• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemilihan umum (Pemilu) sebagai Pelaksana Hak Asasi Manusia a. Pemilu sebagai Pelaksana Hak Asasi Manusia

Pengertian Pemilihan Umum menurut Matori Abdul Djalill adalah memberikan kepastian terhadap alih kepemimpinan dan kekuasaan (tranfer leader

and power), secara konstitusional untuk melahirkan pemimpin yang legitimatif:

pemilu adalah wujud dari kedulatan rakyat (Sovereignty).

Konstitusi menjamin hak asasi warga negara salah satunya yaitu hak politik, hak memilih (right to vote) dan hak dipilih (right to be candidate). Setiap warga negara mempunyai hak pilih yang di implementasikan melalui pemilihan umum yang terdiri dari hak pilih aktif (hak memilih) dan hak pilih pasif (hak dipilih). Hak pilih aktif ialah hak warga negara untuk memilih wakilnya di dalam suatu pemilihan umum. Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yaitu apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Hak pilih Pasif ialah hak warga negara untuk dipilih menjadi anggota Badan Permusyawartan Rakyat maupun dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

UUD NRI Tahun 1945 mengatur pemilu sebagai mekanisme melaksanakan kedaulatan rakyat UUD NRI Tahun 1945 menempatkan pemilu sebagai ukuran shahih menentukan berjalan atau tidaknya pelaksanaan demokrasi27 sebagai pengejewataan hak setiap warga negara untuk diberi kesempatan yang sama dan efektif dalam memilih28 dan untuk dipilih.

Sebagai sarana sekaligus ukuran dilaksanakannya kedaulatan rakyat, hakikat pemilihan umum adalah pengakuan atas keberadaan hak memilih dan hak untuk dipilih setiap warga negara. Setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama (adil) untuk berpartisipasi mengajukan diri sebagai anggota DPR, DPD,

27 Khairul Fahmi, Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hal 36

28 Robert Dahl, Prihal Pemilu, Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi secara Singkat, diterjemahkan oleh A Rahman Zainuddin, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, hal 132

Presiden dan Wakil Presiden, DPRD dan kepala daerah. Selain itu juga memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menentukan pilihannya secara bebas dalam proses pemilihan.

Himawan Estu Bagijo mengatakan makna dari kedaulatan berada ditangan rakyat dalam hal ini bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tangung jawab, hak dan kewajiban untuk memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi pengawasan, menyalurkan aspirasi rakyat, membuat undang-undang, serta merumuskan anggran pendapatan dan belanja negara29.

Pemilihan umum yang berdasar kedaulatan rakyat dapat dicapai dengan paradigma penghormatan hak asasi warga negara untuk memilih dan dipilih oleh pihak- pihak yang terkait dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Sehingga menjadi kewajiban negara untuk melindungi hak warga negara. Negara wajib memastikan bahwa semua prasyarat dan pelaksanaan hak politik warga negara dilindungi dan dipenuhi. Menjadi kewajiban bagi penyelenggara pemilihan umum, yang meliputi Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik itu Pusat, Provinsi maupun Kabbupaten/ Kota dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), untuk mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia dalam membuat kebijakan,

29 Himawan Estu Bagijo, Daftar Pemilih Tetap dan Perlindungan Hak pIlih ( Kaijian Perundang-Undangan dan Keptusan Mahkamah Konstitusi), Jurnal Perspektif Volume XV No. 4 Tahun 2010 edisi Oktober

keputusan, hingga setiap kegiatan teknis dan perilaku praktis dalam rangka melindungi hak politik warga negara.

Adapun piha-pihak lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum ialah warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih ( pemilih dan peserta pemilihan umum) yang dikehendaki untuk saling memberi penghormatan atas hak yang dimiliki masing- masing individu. Kemudian partai politik, negara harus memastikan agar partai politk juga memberikan penghormatan terhadap hak politik warga negara. Dan bahkan lembaga peradilan (Mahkamah Konstitusi), yang berwenang dalam hal memutus sengketa perselisihan pemilihan umum, jika memang dalam penyelengggaraan pemilu terjadi sengketa yang sampai dirasa menghilangkan hak politik, yakni hak rakyat dalam memilih dan dipilih dalam pemilu.

Bentuk penjaminan hak asasi manusia yaitu hak pilih warga negara sebagaina yang dimaksud dalam UU No. 39 Tahun 1999 ayat (1) Undang – Undang NO. 39 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Lebih lanjut dinyatakan”.

Dengan asasnya yang langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya,tanpa perantaraan. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku bagi semua warga negara, tanpa dikriminasi berdasarkan suku, agama, ras golongan, jenis kelamin kedaerahan, pekerjaan dan status sosial30. Umum dengan kata lain universal, sebagai hak asasi manusia, hak

30 Ibid

pilih atau hak politik warga negara yang bersifat universal berarti semua warga negara memilki kesempatan yang sama tanpa pembatasan yang tidak wajar apalagi oleh karena perbedaan. Sama halnya yang dikatakan oleh Miriam Budiardjo universal, artinya dimiliki oleh semua manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama atau jender31. Kemudian dalam memberikan suaranya pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahuhi oleh pihak mana pun, pemilih saat memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak diketahui oleh orang lain.

Pengaturan pemilu UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22E ayat (6) yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut tenang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”32 menghendaki supaya pemilihan diatur dalam undang-undang. Secara yuridis undang-undang pemilu berkaitan dengan 3 (tiga) aspek penting yaitu, Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah. Pemilu Legilatif pengaturannya dalam UU No. 7 Tahun 201733 Tentang Pemilihan Umum, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam UU No. 42 Tahun 2008 (UU No.7 Tahun 201734) dan Pemilu Kepala Daerah yaitu UU No. 10 Tahun 2016 (UU NO.7 Tahun 201735).

b. Sistem Pemilihan Umum

Karena Pemilihan Umum merupakan salah satu cara untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Badan Perwakil-wakilan Rakyat, dengan sendirnya

31 Mirriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm 212.

32 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 22E

33 UU No.7 Tahun 2017 Pasal, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182

terdapat berbagai sitem pemilihan umum36. Sistem Pemilihan Umum dapat dibedakan, yaitu

1). Singgle-member Constituncy (salah satu daerah pemilihan mewakili satu wakil; biasanya disebut sistem Distrik)

2). Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan Sistem Perwakilan Berimbang atau Sistem Proporsional)

Dalam Sistem Distrik, yaitu satu wilayah kecil (distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (singgle member contituency) atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Dalam sistem distrik, wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan (dapil) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang diperukan untuk dipilih.

Misalnya, jumlah anggota DPR, ditentukan 500 orang. Maka, wilayah negara dibagi dalam 500 distrik atau daerah pemilihan (dapil) atau constituencies.

Artinya setiap distrik atua daerah pemilihan akan diwakili oleh hanya satu orang wakil yang akan duduk di DPR. Sebagian sarjana juga menyebut sistem ini sebagia sistem mayoritas karena yang dipilih seabgai wakil rakyat dari suatu daerah ditentukan oleh siapa yang memperoleh suara terbanyak atu suara mayoritas untuk daerah itu, sekalipun kemenangannya hanya bersifat mayoritas relatif (tidak mayoritas mutlak). Misalnya, didaerh pemilihan 1, valon A memperoleh suara 100.000, B memperoleh 99.999, C memperoleh 100.001, maka yang dinyatakan terpilih menjadi wakil dari daerah pemilihan 1 untuk menjadi

36 Jimmly Asshiddiqie, “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara”, (Jakarta,Rajawali Pers,2014), hlm 421

anggota lembaga perwakilan rakyat adalah C, sebab setiap distrik hanya diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara paling banyak37.

Dalam sistem proporsional, satu wilayah besar (daerah pemilihan) memilih beberapa wakil (multi member constituency). Persentase kursi tiap-tiap lembaga perwakilan rakyat dibai kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan persentase suara yang diperoleh oleh tiap-tiap partai politik. Misalnya, jumlah pemilih yang sah pada suatu daerah pemilihan umum tercatat 1.000.000 (satu juta)orang.

Misalnya jumlah kursi di lembaga perwakilan rakyat ditentukan 100 kursi, berarti untuk satu orang wakil rakyat diperlukan suara 10.000. Pembagian kursi di Badan Perawakilan Rakyat tergantung kepada berapa jumlah yang didapatsetiap partai politik yang ikut pemilihan umum38.

Perbedaan pokok antar kedua sistem ini ialah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaaan dalam komposisi perwakilan parlemen bagi masing-masing partai politik.

3. Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Legal Standing para pihak dalam Perkara Putusan Mahkamah Konstitusi No. 102/PUU-VII/2009

Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 junto Pasal 10 UU No. 24 Tahun 20004 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutanya disingkat UU Mahkamah menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengeta kewenangan

37 Ibid, hlm 424

38 ibid, hlm 425

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dalam perkara pemilihan umum (pemilu) MK memiliki wewenang untuk memutus perselisihan sengketa hasil pemilu dan menguji undang- undang pemilu terhadap Undang-Undang Dasar, jika memang terjadi perselisihan atau jika terjadi kasus hilangnya hak politik atau hak pilih rakyat untu dipilih dan untuk memilih dalam pemilihan umum hilang.

Terkait dengan kewenangan MK Menguji Undang-Undang tehadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dalam tulisan ini akan membahas bagaimanakah kewenangan MK dalam hal menanganai perkara NO. 102/PUU-VII/2009 terkait pengujian Undang – undang NO. 42 tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang mana para pemohon mendalikan bahwa pasal 28 dan pasal 111 ayat (1) telah setidaknya bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) dan pasal 28 D ayat (1) dan (3) UUD 1945.

Dalam putusan MK tersebut dijelaskan bagaimana kewenangan hakim dalam telah sesuai dengan pasal 24C ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 junto pasal 10 UU No. 24 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terrakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945, dan memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan

umum. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili perkara pengujian UU No. 42 tahun 2008.

Kemudian dilain sisi untuk dapat Mahkamah Konstitusi menguji UU No.

42 tahun 2008 tersebut maka harus dilihat bagaimana kedudukan hukum para pemohon atau legal standing para pemohon. Legal standing atau kedudukan hukum para pemohon agar didapat dianggap sebagai pihak yang mengganggap hak dan/atau kewenangannya dirugikan oleh berlakunya undang – undang, harus memenuhi syarat atau unsur – unsur sebagai berikut: