• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelemahan Dalam Penerapan Rezim Money Laundering Dalam Kasus Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) Karena Harus Didasarkan Pada Pembuktian

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA KEHUTANAN DI DALAM KASUS ADELIN LIS (DIREKSI PT KEANG NAM DEVELOPMENT

B. Kelemahan Dalam Penerapan Rezim Money Laundering Dalam Kasus Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) Karena Harus Didasarkan Pada Pembuktian

Predicate Crime Terlebih Dahulu

Proses penerapan rezim money laundering yang dipahamkan oleh aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana sampai saat ini untuk membuktikan “hasil harta kekayaan”83 yang diperoleh dari tindak pidana awal untuk menjerat pelaku kejahatan pencucian uang harus di dasarkan kepada dua unsur yakni: Pertama,

83

Lihat, Penjelasan Pasal 2 UUTPPU bahwa UUTPPU dalam menentukan hasil tindak pidana menganut asas kriminalitas ganda (double criminality)

adanya laporan dari penyidik tindak pidana awal, atas adanya indikasi/patut diduga mengalihkan dan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan pembalakan liar.

Kedua, harta kekayaan tersebut diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan yang telah dilakukan dan dikriminalisasi dalam UUTPPU.84

Penentuan kejahatan pada tindak pidana awal pencucian uang (predicate crimes on money laundering) bagi proses penegakan hukum pencucian uang di Indonesia mengalami kesulitan, hal ini terlihat bahwa sistem hukum pidana Indonesia menganut asas bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai kejahatan harus melalui mekanisme hukum yakni ditandai dengan adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya selama belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka suatu perbuatan yang dituduhkan kepada tersangka berupa tindak pidana awal (core crime), misalnya tindak pidana kehutanan yang disidik oleh Polri dan diduga adanya insikasi pencucian uang hasil harta kekayaan pembalakan liar tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan, jika hasil suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan maka unsur “hasil tindak pidana” yang merupakan syarat terjadinya pencucian uang tidak terpenuhi. Akibat hukum dari tidak dipenuhinya prasyarat terjadinya pencucian uang adalah tidak terbuktinya terdapat indikasi pencucian uang.

84

Lihat, Pasal 2 UUTPPU yang mengkategorikan predicate crimes menjadi 24 jenis, ditambah dengan tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan diwilayah Negara Republik Indonesia atau diluar Wilayah Negara Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Tidak dibuktikannya predicate crime oleh sistem peradilan pidana terlebih dahulu dahulu tentunya penyidikan TPPU telah menyimpangi asas presumption of innocence (praduga tak bersalah) dan asas non self incrimination.85 Tersangka /Terdakwa tindak pidana pencucian uang seolah-olah telah dianggap bersalah melakukan predicate crime tanpa dibuktikan terlebih dahulu kesalahannya yang ditandai dengan adanya putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga berdasarkan asas ini maka pelaku TPPU dapat dijerat dengan penerapan asas perbuatan berlanjut (delictum continuatum/voortgezettehandeling),86 yang menyatakan bahwa ada perbuatan berlanjut apabila seseorang melakukan perbuatan, perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau pelanggaran, antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.87

Dalam permasalahan pembuktian bagi aparat penegak hukum sebagai salah satu tindakan represif terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (money laundering) apabila diadakan studi komperatif atau banding dengan beberapa negara misalnya Amerika Serikat terdapat perbedaan yang cukup signifikan dimana Amerika Serikat telah berani menyatakan bahwa bukti pendukung atau petunjuk (circumtantial

85

Walaupun pada penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUTPPU secara implisit menyatakan bahwa terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan TPPU. Namun menurut penulis pada tahap pemberantasan TPPU oleh sistem peradilam pidana akan mengalami kesulitan dalam membuktikan dugaan TPPU tersebut, sehingga dikhawatirkan yang dapat dijerat dan dihukum hanya tindak pidana awalnya saja tanpa menyentuh TPPU.

86

Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 14

87

evidence) sudah cukup untuk membenarkan adanya unsur-unsur tindak pidana pencucian uang (money laundering), sedangkan dinegara Indonesia pembuktian selalu didasarkan pada unsur subjektif atau mens rea dan unsur obejektifnya atau

actus reus. Di dalam mens rea yang harus dibuktikan yaitu mengenai atau patut diduga (knowladge) dan berkaitan erat bermaksud (intends) dimana kedua unsur tersebut selalu berkaitan erat bahwa seorang tersangka, tertuntut atau terdakwa mengetahui bahwa uang/ dana tersebut berasal dari hasil kejahatan dan juga mengetahui tentang atau maksud melakukan transaksi tersebut.88 sehingga dengan demikian terlihat dengan jelas bahwa sistem pembuktian sangat memegang peranan penting dan sulit membuktikan terhadap kejahatan utamanya (predicate offence) dalam penegakan hukum karena memang tindak pidana pencucian uang adalah merupakan kejahatan lanjutan (follow up crime).89

Pembuktian yang dianut dalam konsepsi hukum pidana Indonesia meminta pertanggungjawaban perbuatan pelaku didasarkan pada unsur subjektif dan objektif tentunya sangat sulit dalam melakukan penjeratan terhadap pelaku, untuk itu kerangka hukum yang diterapkan adalah UUTPU yakni tersangka bermaksud menyembunyikan, mengaburkan harta kekayaan hasil kejahatan. Apabila kerangka ini yang digunakan dalam penanggulangan tidak pidana pencucian uang tentunya aparat penegak hukum dapat melakukan tindakan penyitaan terhadap aset pelaku berdasarkan 3 (tiga) modus opzet pelaku yakni placement, layering dan integration.

88

Lihat, Yenti Garnasih, op-cit, hal. 1

89

Pendekatan sengaja dan bermaksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana pada hakekatnya adalah untuk melakukan tindakan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku, oleh karenanya untuk terpenuhinya adanya unsur kesengajaan sebagaimana yang dirumuskan oleh UUTPPU maka terlebih dahulu harus dibuktikan bahwa si tersangka mempunyai maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, misalnya dalam fakta-fakta kasus Adelin Lis adanya maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan. Adapun fakta dimaksud sebagai berikut:90

1. pada kasus ini si tersangka diduga kuat telah mengetahui dan patut menduga bahwa asal-usul harta kekayaan ini merupakan hasil dari tindak pidana di bidang kehutanan.

2. kayu bulat hasil penebangan PT. KNDI (Jabatan Adelin Lis selaku tersangka pada PT ini sebagai Direktur Keuangan/Umum) yang illegal dikelola oleh PT. Mujur Timber mejadi kayu plywood (Jabatan Adelin Lis selaku tersangka pada PT ini sebagai Direktur PT. Mujur Timber).

3. kayu plywood olahan PT. Mujur Timber Sibolga-Sumatera Utara ini sejak tahun 2003 dibeli oleh PT. Mitra Niaga Makmur Lestari dan PT. Niaga Prima Terang Lestari.

4. untuk menampung hasil pembayaran pembelian kayu plywood oleh PT. Mitra Niaga Makmur Lestari dan PT. Niaga Prima Terang Lestari, maka tersangka membuka dua rekening yaitu rekening pribadinya nomor: 0020001783 atas nama Adelin Lis pada Bank Buana Indonesia Cabang Medan Jalan Palang Merah dan rekening pribadi Adelin Lis nomor: 750.3002538-0 pada Bank Lippo cabang Medan.

5. tersangka Adelin Lis meminta kepada PT. Mitra Niaga Makmur Lestari dan PT. Niaga Prima Terang Lestari/Soeyanto untuk menempatkan uang hasil penjualan

plywood olahan PT. Mujur Timber dari kayu bulat produksi PT. KNDI sesuai dengan intruksi pembayaran kepada rekening pada bank yang telah ditunjuk oleh

90

Independent Legal Auditors-Forensik Legal Auditors Sophia Hadyanto & Partners, Legal Opinion Kasus Adelin Lis, hal. 704

PT. Mujur Timber yaitu dua nomor rekening di atas yang keduanya merupakan rekening pribadi tersangka dan bukan rekening perusahaan PT. Mujur Timber. 6. tersangka Adelin Lis memasukkan uang hasil penjualan plywood tersebut ke

dalam rekening pribadi tidak atas sepengetahuan dan persetujuan para pemegang saham PT. Mujur Timber.

Selanjutnya, dalam rangka melakukan tindakan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku tindak pidana pencucian uang berdasarkan atas adanya transaksi keuangan yang mencurigakan di dalam lembaga penyedia jasa keuangan sebagai rangkaian proses pemeriksaan, penuntutan, persidangan TPPU maka UUTPPU telah memberikan landasan yang mensyaratkan bahwa untuk kepentingan proses pembuktian dalam perkara tindak pidana pencucian uang, maka penyidik Polri,91 penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai hasil harta kekayaan yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa, hal ini sebagaimana dirumuskanPasal 33 ayat (1) UUTPPU sebagai berikut:

“Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uag maka penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka atau terdakwa”

91

Surat permintaan untuk memperoleh keterangan dari PJK harus ditanda tangani oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik.

Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal ini, terhadap penyidik92, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. Adapun tujuan dari pembukaan rahasia bank adalah semata-mata untuk mengetahui jumlah uang yang dicurigai sebagai hasil tindak dipidana. Selama ini, ketatnya rahasia bank membuat orang lain tidak mengetahui keuangan yang kita miliki di bank. Namun, dengan adanya tindak pidana pencucian uang memberi kesempatan kepada penyidik bagi aparat penegak hukum untuk membuka rahasia bank seseorang atau korporasi.

Selanjutnya aparat penegak hukum di dalam melakukan penyelidikan TPPU mempunyai kewenangan untuk memblokir harta kekayaan pelaku kejahatan, sesuai dengan Pasal 32 ayat (1), Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim berwenang memerintahkan kepada Penyedia Jasa Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan dari orang maupun korporasi yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, apabila harta kekayaan dari korporasi diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana. Setelah mendapat perintah, Penyedia jasa Keuangan wajib melaksanakan pemblokiran sesaat surat perintah pemblokiran diterima. Harta kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada Penyedia Jasa Keuangan yang bersangkutan.

92

Permintaan untuk memberikan keterangan dari PJK oleh Polri baru dimulai setelah surat permintaan tersebut ditandatangani Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik.

Adapun tujuan pemblokiran adalah untuk membatasi ruang gerak dari pemilik rekening yang dicurigai sebagai tindak pidana pencucian uang. Di samping itu, pemblokiran juga dapat membantu proses pembuktian. Tujuan pemblokiran dana pelaku kejahatan pencucian dalam proses penyidikan dimaksudkan untuk pembebanan pembuktian sebagai salah satu tindakan yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang dikenal dengan istilah (criminal justice system), sehingga pelaksanaannya tidak akan terlepas dari faktor kerja sama yang bersifat posistif dari masing-masing sub sistem tersebut yang merupakan suatu sistem yang kuat, dimana salah satu sub sistem didalam sistem peradilan pidana pencucian uang (money laundering) adalah dengan dibentuknya Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) baik Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 maupun perubahannya di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Perangkat hukum ini telah memberikan tugas dan wewenang kepada PPATK untuk dapat melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang terindikasi patut diduga sebagai perbuatan tidak pidana pencucian uang (money laundering) kepada pihak penyidik kepolisian dan penuntut umum.93 Menurut UUTPPU maka PPATK mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan yang dapat diwujudkan dalam bentuk : mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengepaluasi informasi yang

93

diperoleh oleh PPATK,94 meminta laporan Penyedia Jasa Keungan (PJK).95 Dan juga melakukan audit.96

Proses pemeriksaan dalam rangka pembuktian TPPU pada dasarnya secara normatif UUTPPU telah memberikan perlindungan kepada tersangka atau terdakwa yang diduga atau patut diduga melakukan TPPU dengan menerapkan prinsip bahwa terdakwa dapat membuktikan atas harta kekayaan yang diperolehnya bukan hasil tindak pidana, hal ini dituangkan pada Pasal 35 UUTPPU yang menyebutkan bahwa: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”. Pasal ini mensyaratkan suatu sistem pembuktian pembuktian terbalik yang khusus diberlakukan untuk pidana pencucian uang.

Menurut sistem ini, terdakwa harus membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan merupakan hasil dari kejahatan. Apabila orang dan korporasi ditetapkan sebagai terdakwa dalam tindak pidana pencucian uang, maka terdakwa tersebut harus dapat membuktikan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga dari hasil kejahatan oleh penyidik dan penuntut hukum sebenarnya bukan dari hasil kejahatan. Sistem ini menjadikan pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian uang

94

Lihat, pasal 26 huruf a UUTPPU

95

Lihat, pasal 27 ayat (1) huruf a UUTPPU

96

berlaku asas praduga bersalah. Artinya, harta kekayaan yang dikuasainya adalah berasal dari kejahatan kecuali ia dapat membuktikan sebaliknya.97

Pasal 35 UUTPPU ini memberi peluang bagi penyidik Polri untuk mengungkap dan melakukan rangkaian proses penyidikan kepada pelaku kejahatan

money laundering sesuai dengan kewenangan Polri yang telah diberikan oleh undang-undang,98 bagi jaksa memberikan peluang untuk dapat secara langsung menuntut seseorang tanpa kewajiban untuk mengajukan bukti-bukti mengenai dasar dakwaannya, beban pembuktian justru diserahkan kepada pelaku yang dituntut pidana di sidang pengadilan

Pasal 36 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) juga membenarkan adanya “Peradilan in-absensia” yaitu proses pemeriksaan di pengadilan tanpa dihadiri oleh terdakwa. Tujuan penggunaan sistem ini adalah dimaksudkan agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam pelaksanaan peradilannya dapat berjalan dengan lancar, maka sekali pun terdakwa dengan alasan yang sah tetapi apabila sampai 3 ( tiga ) kali dilakukan pemangilan untuk sidang tidak hadir, perkara tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran terdakwa.

Tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan kelas atas yang dapat mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah besar, sehingga proses dan harus

97

Soewarsono dan Reda Manthovani, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, (Jakarta: Malibu, 2004), hal. 85-87

98

Lihat, Pasal 30 UUTPPU yang menyatakan bahwa penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Selanjutnya Pasal 31 UUTPPU memberikan amanah kepada PPATK untuk menyerahkan hasil analisis kepada penyidik dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja setelah ditemukannya adanya petunjuk atas dugaan telah ditemukan transaksi mencurigakan.

diminimalisasi segala hambatan-hambatan yang dapat memperlambat proses persidangan. Apalagi jika pelakunya pengurus sebuah perusahaan besar yang tergolong dalam tindak pidana korporasi. Dengan kekayaan yang dimilikinya, mereka akan menghalalkan segala cara untuk menghindari proses peradilan. Bahkan, dapat melarikan diri ke luar negeri dalam waktu yang lama. Namun, dengan adanya pasal 36 tersebut, walaupun mereka menghindari peradilan pengadilan masih tetap mempuyai kuasa untuk menjatuhkan putusan. Misalnya, dengan putusan jatuhan pidana berupa pembubaran korporasi maka korporasi dapat dibubarkan walaupun pada saat di putus pengurusnya tidak ada. Disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. Tindak Pidana ini diatur dalam Pasal 17 A

Dalam membantu proses pemeriksaan TPPU, UUTPPU membentuk satu lembaga khusus yang disebut “Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan” (PPATK). Lembaga ini merupakan Financial Intelegence Unit (FIU) yang dimiliki oleh Indonesia yang mempunyai kewenangan antara lain : meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada pihak penyidik Polri atau penuntut umum.99

Laporan transaksi keuangan yang mencurigkan sebagai kewajiban bank dan langkah awal penegakan hukum TPPU dalam tatanan praktek mengalami hambatan terutama terdapat beberapa mitos dalam pelaporan transaksi mencurigakan dari bank-bank baik yang berasal dari internal maupun eksternal bank-bank, walaupun secara tegas

99

Pasal 15 UUTPPU telah memberikan “hak imunitas” dalam pelaporan transaksi mencurigakan. Adapun mitos tersebut antara lain:

a. Takut kehilangan nasabah

Bank merasa khawatir kehilangan nasabah apabila menerapkan sepenuhnya prinsip KYC baik terhadap nasabah lama (existing customer) maupun nasabah baru (new customer). Hal tersebut karena tidak serentaknya bank-bank dalam menerapkan prinsip KYC pada nasabah. Kondisi ini memberikan peluang bagi nasabah untuk menolak memberikan informasi dan memindahkan dananya ke bank yang belum menerapkan prinsip KYC.

b. Skala usaha bank

Bagi bank yang tergolong dalam skala besar (sebagai contoh memiliki karyawan lebih dari 21. 000 dengan 800 kantor cabang dan 8 juta nasabah di seluruh Indonesia) cenderung lebih sulit menerapkan prinsip KYC sepenuhnya, seperti pendataan profil nasabah, pelatihan bagi karyawan dan pengadaan sistem informasi yang untuk itu dibutuhkan waktu yang panjang biaya yang besar dan keahlian yang memadai.

c. Ketidakpercayaan perbankan terhadap penegak hukum

walaupun UUTPPU telah memberikan kepastian akan jaminan keamanan bagi bank dalam pelaksanaan penyampaian laporan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 15, dan Pasal 40-Pasal 42 UUTPPU namun bank masih meragukan pelaksanaannya khususnya terhadap penegak hukum.100

100

Zulkarnain Sitompul, Peran PPATK Mencegah Dan Memberantas Pencucian Uang, disampaikan pada acara Pelatihan Anti Pencucian Uang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tanggal 15 September 2005 di Medan, hal. 9

BAB IV

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA