• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari uraian-uraian bab-bab dimuka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pengaturan tentang tindak pidana kehutanan telah dirumuskan di dalam ketentuan Pasal 50 ayat (2) jo Pasal 78 ayat (1), ayat (14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 41 sampai dengan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedang pengaturan tentang tindak pidana pencucian uang (money laudering) yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. UUTPPU dapat dibedakan dalam dua kriteria yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 3 dan 6) dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pencucian Uang (Pasal 8 dan 9).

2. Pertanggungjawaban pelaku kejahatan di dalam tindak pidana kehutanan sebagai kejahatan asal (predicate crime) melalui pendekatan rezim money laundering tentunya terlebih dahulu dilakukan pendekatan secara refresif

sebagai bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) yang merupakan tindakan pemberatasan dan sekaligus penumpasan terhadap kejahatan kehutanan yang menggunakan lembaga keuangan sebagai sarana untuk mengalihkan, menyembunyikan kejahatan kehutanan dengan maksud dana tersebut seolah-olah legal dan digunakan untuk mendanai kejahatan-kejahatan

selanjutnya atau kegiatan legal. Penentuan kejahatan pada tindak pidana awal pencucian uang (predicate crimes on money laundering) bagi proses penegakan hukum pencucian uang di Indonesia mengalami kesulitan, hal ini terlihat bahwa sistem hukum pidana Indonesia menganut asas bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai kejahatan harus melalui mekanisme hukum yakni ditandai dengan adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya selama belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka suatu perbuatan yang dituduhkan kepada tersangka berupa tindak pidana awal (core crime). Hal ini dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Medan dan Mahkamah Agung terhadap terdakwa Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) dengan tidak adanya putusan Pengadilan Negeri Medan dan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa terdakwa Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) diduga atau patut diduga telah melakukan tindakan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan melalui kegiatan

money lundering yang tentunya dilandasi oleh sistem pembuktian dianut di Indonesia dengan dasar dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya yakni pembalakan liar yang dimulai dari penyidikan dan tuntutan tindak pidana predicate crimes, sehingga hal yang terpenting adalah “terbuktinya tindak pidana asal” bukan “sudah terdapat bukti permulaan yang cukup”. 3. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan dalam

upaya menanggulangi money laundering pada hakekat UUTPPU memberi peluang bagi aparat penegakan hukum di dalam sistem peradilan pidana

khususnya hakim dengan pendekatan mengejar harta kekayaan hasil kejahatan yang ditempatkan untuk menetapkan pelaku tindak pidana pencucian uang sebagai follow up crime on illegal logging. Melalui pendekatan ini tentunya memudahkan penjeratan terhadap aktor intelektual yang melakukan tindakan pembalakan liar terutama pemegang IUPHHK dan HPH dengan menekankan penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan dan juga memberikan sebuah landasan berpijak untuk aparat penegak hukum dalam menjerat aktor-aktor intelektual yang mendanai kegiatan illegal logging. Penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan tentunya memerlukan kerjasama dengan lembaga keuangan (Penyedia Jasa Keuangan) yang telah menerapkan prinsip know your customer. Dengan demikian penyelidikan dan penyidikan terhadap aliran dana hasil kejahatan pembalakan hutan akan lebih mudah dilakukan, oleh karena muara aliran uang sudah tentu akan berakhir pada aktor intelektual penebangan hutan.

B. Saran

1. Diharapkan adanya keterpaduan sistem hukum dalam rangka penegakan terhadap peraturan perundang-undang sehingga dalam penerapanya mempunyai keterkaitan dan saling mendukung untuk terciptanya penegakan hukum yang berdaya guna dengan didukung adanya persamaan persepsi dan komitmen aparat penegak hukum di dalam sistem peradilan pidana. Hal ini dapat dilihat pada penerapan kasus Adelin Lis (Direksi PT.KNDI) menyangkut tentang pembuktian predicate crime terlebih dahulu atau patut

diduga sudah bisa dijadikan kerangka untuk menyidik tindak pidana pencucian uang. Apabila dicermati maka Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 terlihat masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan, antara lain terdapat di dalam Pasal 35 UUTPPU tentang pembalikan beban pembuktian (shifting of the burden of proof), sebagai dasar di dalam penerapan asas diduga melakukan tindak pidana pencucian uang, yang tidak secara tegas mengatur bagaimana kalau terdakwa tidak dapat membuktikannya. Dalam pasal tersebut hanya dikatakan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa hartanya bukan merupakan hasil kejahatan. Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya tersebut, maka harta kekayaan tersebut dapat langsung disita atau dapat dianggap terbukti berasal dari kejahatan asal (predicate crimes). Di samping itu untuk menghindari adanya nebis in idem dalam kerangka meminta pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencucian uang agar aparat penegak hukum melakukan pendekatan dan mencari kasus lainnya misalnya kejahatan perbankan, kejahatan pasar modal dan kejahatan-kejahatan lainnya.

2. Untuk meminta pertanggungjawaban pelaku kejahatan kehutanan dalam upaya menangulangi money laudering diharapkan adanya kesepahaman yang dianut oleh criminal justice system untuk menerapkan Pasal-Pasal yang terdapat pada UUTPPU yakni penerapan Pasal 3 UUTPPU yang seharusnya dapat digunakan untuk menjerat pelaku khususnya pada kasus PT. KNDI

yakni berdasarkan beberapa bukti yang diduga telah terjadinya praktek money laundering harta kekayaan hasil pembalakan liar dan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan, dengan pendekatan unsur-unsur sebagaimana dianut oleh Pasal 3 UU Pencucian Uang yang telah memenuhi standar pada umumnya dipakai dalam kriminalisasi pencucian uang, yaitu meliputi:

Pertama, a financial transaction (transaksi keuangan). Kedua, proceed

(hasil-hasil kejahatan). Ketiga, unlawful activity (tindakan kejahatan).

Keempat, knowledge (mengetahui atau patut mengetahui), dan Kelima,

intent (maksud). Sedangkan unsur objektif pada Pasal 3 UU Pencucian Uang ini adalah menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya terhadap harta kekayaan. Selanjutnya unsur subyektif Pasa1 3 terdiri dari sengaja, mengetahui atau patut menduga

bahwa harta kekayaan berasal dari atau merupakan hasil tindak pidana. Maka dalam nunusan tersebut dapat dikatakan telah memenuhi syarat universal tentang pedoman unsur mens rea dalam ketentuan pencucian uang yaitu

intended (sengaja dan mengetahui dan patut menduga). Sebagai unsur inti delik maka unsur subyektif tersebut harus dibuktikan.

3. Diharapkan dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan kehutanan dalam upaya menanggulangi money laundering maka UU anti

money laundering sebenarnya telah memberikan peluang bagi aparat penegakan hukum untuk melakukan penegakan hukum terhadap aktor

intelektual yang melakukan tindakan pembalakan liar terutama pemegang IUPHHK dan HPH dengan menekankan penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan dan juga memberikan sebuah landasan berpijak untuk aparat penegak hukum dalam menjerat aktor-aktor intelektual yang mendanai kegiatan illegal logging. Dengan demikian penyelidikan dan penyidikan terhadap aliran hasil kejahatan pembalakan hutan akan lebih mudah dilakukan, oleh karena muara aliran uang sudah tentu akan berakhir pada aktor intelektual penebangan hutan. Dengan dimasukkannya tindak pidana bidang kehutanan sebagai predikat crimes dalam pranata hukum yang relatif baru ini, aparat penegak hukum dengan bekerjasama dengan PPATK, sebuah lembaga yang diberi wewenang khusus untuk menangani pelaporan kasus

money laundering, kini mempunyai dasar hukum untuk melakukan penyelidikan terhadap berbagai transaksi yang mencurigakan dari lembaga-lembaga keuangan seperti bank, pasar modal dan asuransi untuk mencari aliran dana yang pada akhirnya akan menuju kepada aktor intelektual pemegang dana kegiatan illegal logging. Di samping itu sangat diharapkan adanya peran aktif lembaga keuangan untuk melaporkan dalam hal adanya transaksi keuangan yang mencurigakan.

DAFTAR PUSTAKA