• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keluarga urban membangun rutin di sekitar televisi

5 TV Berbayar, kartun, dan YouTube: Perilaku menonton di keluarga

5.3. Keluarga urban membangun rutin di sekitar televisi

Bima membuka harinya ditemani Bleach39, acara TV favoritnya. Sambil menikmati sarapan, mata Bima tertancap ke layar televisi mengikuti setiap gerak dari karakter anime kesukaannya. Bagi Bima, menonton Bleach pada pukul 06.30 sambil sarapan adalah bagian penting dalam aktivitas paginya. Setiap orang di rumah tahu persis hal itu. Hanya setelah Bima selesai nonton, TV lantas – hampir secara berturutan – digunakan oleh Sita dan Gilang sesuai minat dan keinginan masing-masing. Sita beralih ke Metro TV untuk mendapatkan kilasan berita terkini, sementara Gilang berpindah-pindah antara siaran olah raga dan hiburan ringan. TV memenuhi kebutuhan tertentu mereka sebelum pergi meninggalkan rumah untuk bekerja atau menyelesaikan berbagai urusan di luar rumah.

Dua keluarga yang kami amati di Bandung juga punya kebiasaan serupa. Walau tak punya jadwal menonton teratur, kedua keluarga membiarkan anak mereka menonton televisi untuk waktu tertentu di bawah pengawasan orangtua mereka. Waktu singkat tersebut ditunggu-tunggu dan seolah "terprogram" dalam benak mereka, dan ketika dilakukan secara teratur menjadi bagian yang membentuk kebiasaan mereka. Pikiran mereka menangkap proses tersebut sebagai bagian dari proses harian mereka dan menjadi sebuah unsur penting bagi rasa aman ontologis mereka; yakni, ketika seseorang menemukan rasa aman dan kenyamanan di dalam suatu pengalaman atau tindakan yang berulang-ulang. Dalam kasus ini, hal itu ditemukan dalam praktik menonton dengan pola yang akrab dan bisa ditebak oleh mereka sendiri.

Sumber: Penulis.

Menariknya, Kupang memperlihatkan contoh sebuah rutin yang berkebalikan. Sementara di Bandung dan Jakarta kita melihat bagaimana orangtua membatasi anak-anak mereka menonton TV (sambil tetap membentuk sendiri pengulangan praktik tertentu), di Kupang, justru orangtualah yang membangun rutin mereka di seputar kotak ajaib tersebut. Prime time di keluarga Kupang Gambar 13.

Rumah di Kelapa Lima.

cocok dengan definisi prime time komersial: selepas makan malam, dan sebelum waktu tidur. Setelah mengalami rutin ini selama beberapa dekade, Abdul dan Robin sangat terbiasa menonton TV sebagai bentuk relaksasi. Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk menonton televisi selepas kerja, bahkan saat tak ada "kerja". Sukar bagi mereka untuk mematahkan kebiasaan ini dan menemukan cara baru untuk menghabiskan malam.

Antitesis dari keluarga di Kupang tergambar jelas di keluarga Iman. Keluarga muda di Jakarta itu membangun rutinnya di sekeliling kegiatan anak-anak mereka, khususnya Nana, namun tanpa melibatkan televisi. Mereka bermain dan menyanyi bersama, menjadikan keyboard sebagai benda yang lebih penting daripada televisi.

Sebagaimana kami amati, mengembangkan kebiasaan menonton TV rupanya merupakan tindakan yang tidak selalu disadari. Namun, fungsi menonton TV bagi keluarga, baik sebagai sebuah unit maupun bagi individu, di dalamnya cukup jelas. Seperti telah sering dikemukakan (Silverstone, 2003; Takahashi, 2002), dalam konteks dunia modern, kegiatan dan praktik berkeluarga seringkali berputar di sekitar televisi karena pengaruh televisi yang memang semakin besar kepada anggota keluarga. Ruang di sekeliling televisi dianggap sebagai teritori keluarga, tempat banyak interaksi paling intim terjadi (Morley, 2000). Sementara masuknya orang luar ke ruang keluarga baru dibolehkan setelah melalui tumbuhnya sejumlah besar kepercayaan pada orang asing itu. Kehadiran televisi bisa berperan praktis sebagai perekat sosial juga, menyediakan sebuah dasar bersama (common ground) untuk semua pihak yang terlibat. Hal ini sangat tampak dalam cara anak-anak menanggapi dan menyesuaikan diri pada televisi di setiap kasus kami.

Kebanyakan orangtua yang kami amati sangat sadar akan kekuatan televisi. Mereka secara sadar mendiskusikan konsumsi TV anak-anak mereka, dan memiliki kepastian kuasa bukan

hanya pada TV tapi juga pada anak-anak mereka, seperti terlihat pada keluarga di Rasuna dan Bandung. Kesadaran ini, atau kapasitas refleksif ini, merupakan syarat penting untuk mampu menemukan kegiatan alternatif, atau meningkatkan literasi anak-anak mereka.

Berbagai aturan ketat mengenai pembatasan konsumsi TV cenderung diterapkan pada keluarga-kelurga yang memiliki anak, berapa pun usia anak mereka (di Rasuna, anak terkecil belum tiga tahun, sementara anak-anak di Bandung antara 5 dan 8 tahun). Hal ini tampak di Rasuna dan di Bandung. Dalam keluarga dengan anak-anak yang lebih tua, TV tak terlalu dipandang sebagai sebuah "ancaman" karena mereka mengandalkan kendali-diri masing-masing anggota keluarga, seperti terlihat di Bintaro dan terutama Kupang.

Berdasarkan pengamatan kami, keputusan para orangtua untuk menerapkan aturan-aturan ketat di dalam rumah tersebut tak dipengaruhi oleh kelompok bermain mereka. Walau secara teoretis, gaya pendidikan anak seperti itu tak sepenuhnya lepas dari cara-cara mendidik anak yang ditemukan orangtua tersebut di lingkungan mereka. Orangtua itu bisa jadi meminta nasihat dari kerabat dan teman-teman mereka, juga sesama orangtua yang mereka temui. Tapi, pada akhirnya, keputusan mereka sendirilah yang diambil, tanpa ada satu pun yang didorong oleh tekanan eksternal atau ekspektasi sosial.

Pembatasan konsumsi TV bisa memicu munculnya akibat-akibat tak terduga. Misalnya, anak-anak jadi menghabiskan waktu terlalu lama di luar rumah, atau malah jadi lebih sering main

online dan/atau video games. Dalam kasus Bintaro, Bima hanya

diizinkan untuk bermain online game setelah Jumat sore, atau setelah seluruh kegiatan yang terkait dengan sekolah telah selesai. Seandainya ia dibolehkan bermain selama hari sekolah, ia mungkin takkan begitu terikat dengan televisi. Demikian juga,

jika Bima tak dibolehkan main sama sekali, maka televisi akan jadi pelarian utamanya.

Pembatasan konsumsi televisi bukan hanya menimbulkan akibat-akibat tak terduga bagi anak, tapi juga bagi orangtua mereka. Di sinilah internet berperan penting. Menarik bahwa kehadiran dunia cyber ternyata punya dampak yang berbeda-beda bagi setiap anggota keluarga. Walau internet membantu anggota keluarga berpindah dari TV, internet juga mesti dilihat sebagai sumber potensial pembentuk rutinitas baru. Orangtua, misalnya, memanfaatkan internet untuk mengakses berbagai berita dari ponsel dan laptop mereka. Dari pengamatan kami, TV tidak lebih menarik daripada internet bagi orang-orang berusia 35+ di Jakarta dan Bandung. Agaknya, TV hanya digunakan sebagai sumber informasi sekunder oleh mereka. Sementara di Kupang, TV rupanya masih jadi sumber utama hiburan bagi kaum tua.

Sementara itu, anak-anak di Bandung, Jakarta, dan Kupang juga memanfaatkan internet dengan cara yang berbeda-beda. Sementara Bima sedang dalam tahap usia yag masih mudah kecanduan games arcade yang ia mainkan secara online, anak-anak di rumah Iman menonton film anak-anak dari YouTube, sambil tetap didampingi orangtua. Di Kupang, para remaja terutama menggunakan internet untuk menonton drama Korea, sebagai pengganti televisi. Dalam pengertian ini, mereka menggunakan internet mirip dengan cara mereka menggunakan televisi. Dari amatan kami, praktik menciptakan kebiasaan adalah sesuatu yang berulang. Tanpa sepenuhnya disadari, televisi menyediakan rasa aman dari sesuatu yang tertebak. Ketika kita ditemani oleh sebuah objek sejak usia dini, kita akan mengembangkan perasaan akrab dengan benda tersebut. Kita membiarkannya merasuk ke dalam jalinan hidup keseharian kita dan merasuk ke dalam lapis paling pribadi milik kita. Hal ini tampak jelas ketika Bunga (1) yang bahkan belum sampai pada usia ketika ia telah memiliki

kemampuan mengingat atau memahami lingkungannya, disuapi makan siang setiap hari di depan TV, dengan layar memancarkan gambar anak-anak menyanyi dan menari (pengasuh Bunga biasanya memutar saluran Baby TV untuk menarik perhatian Bunga, sehingga lebih mudah untuk menyuapinya makan). Praktik ini terjadi setiap hari, terus menerus, hingga bahkan anggota keluarga termuda pun jadi terbiasa dengan rutinisasi tersebut.

Secara konseptual, pemberlakukan rutin seperti inilah yang membuat individu (para agen) mempertahankan sebuah rasa aman ontologis (Giddens, 1984, hal. 282). Kebutuhan akan rasa aman ontologis itulah yang mendorong agen/pelaku untuk mereproduksi praktik-praktik rutinisasi tersebut. Rasa aman ontologis dipertahankan melalui hal-hal yang akrab dan bisa diperkirakan (Silverstone, 2002, hal. 19), yang memberi sebuah rasa percaya dan yakin pada seseorang mengenai kehadirannya, juga perasaan berada-di-dunia-ini.

Kita hanya menyadari makna penting (signifikansi) televisi terhadap rasa aman kita setelah kita mengambil jarak, sebagai pengamat eksternal di rumah tiga keluarga yang ramah dan baik hati. Perjalanan etnografi kami telah memberi kami kesempatan untuk memahami bahwa televisi bukan hanya telah menjadi sebuah bagian yang nyaris tak tergantikan dari kehidupan sehari-hari, tetapi juga bahwa dampak televisi melampaui kepentingan dan tujuan seorang individu. Televisi telah menjadi semakin lekat dengan kehidupan sosial kita, yang dimulai dari keluarga kita.

Intervensi

Seperti kita telah lihat, setiap keluarga punya struktur kebiasaan mereka sendiri saat menonton TV. Di wilayah-wilayah urban, di mana para penonton biasanya lebih yakin dengan konten yang

mereka pilih, intervensi dengan pengenalan konten yang biasanya di luar zona nyaman mereka adalah cara untuk mengalami dan mengeksplorasi sebuah wilayah baru dari konstruksi kehidupan sehari-hari. Melalui eksperimen ini, kami berharap untuk dapat mengungkapkan cara-cara baru eksplorasi para penonton.

Ketika kami mengintervensi tontonan, kami menemukan reaksi yang berbeda dari orang yang berbeda, sejalan dengan bahan intervensi yang berbeda-beda. Namun, sebuah pola pun muncul. Penolakan akan tampak ketika para penonton diintervensi oleh program tertentu, khususnya di rumah keluarga Bintaro dan Dago Giri. Ketika anak-anak yang biasanya menonton acara berbahasa asing di TV Berbayar diganti oleh pertunjukan lokal seperti sinetron atau acara anak produk lokal, mereka mengungkapkan reaksi yang keras terhadap perubahan acara itu. Bima, yang acara-acara favoritnya disiarkan oleh stasiun seperti BBC Knowledge, Discovery Channel, dan National Geographic, tampak sangat marah ketika diberi kilasan acara seperti Catatan

Hati Seorang Istri, Ganteng Ganteng Srigala, D'Terong Show dan

Yuk Keep Smile. Ia segera meminta agar saluran TV diubah

kembali, sambil setengah berteriak, karena tahu bahwa kilasan acara-acara lokal itu tak memberi informasi yang ia inginkan ketika nonton TV. Ia tak memberikan dirinya waktu barang sedikitpun untuk berpikir ulang – bagaimana pun, Bima dulu pernah terbiasa nonton saluran lokal (ia tahu beberapa band

lokal seperti Noah dan D'Massive), tapi kini sudah lebih mengerti untuk tidak menonton acara-acara lokal tersebut.

Reaksi serupa dapat ditemukan di Dago Giri. Anak-anak di keluarga tersebut suka sekali menonton film kartun berbahasa Inggris di Disney Channel, Nickelodeon, dan Discovery Kids. Mereka kami intervensi dengan acara-acara lokal, seperti Laptop

Si Unyil40 dan Jika Aku Menjadi41. Teriakan riuh segera terdengar

memenuhi ruang keluarga. Mereka marah dan menjeritkan protes karena tontonan mereka terganggu. Walau mereka tak mengungkapkan alasan mereka menolak mentah-mentah acara lokal tersebut, jelaslah bahwa mereka tak merasa bahwa konten lokal itu menarik.

Sumber: Penulis.

Namun, tak semua acara lokal ditolak oleh warga urban. Beberapa acara TV cukup baik untuk dibiarkan oleh Bima dan tiga anak di Dago Giri. Acara-acara itu bersifat sama dengan genre acara favorit mereka, hanya saja format pengemasannya yang berbeda. Contohnya, ketika Bima ditunjukkan acara New

Famili 10042 atau On the Spot43, yang juga merupakan konten

lokal, ia cukup memberi perhatian. Ia juga suka On the Spot

karena acara tersebut menawarkan pengetahuan dan informasi baru, sesuatu yang selalu ia cari dari BBC Knowledge dan acara

41 Jika Aku Menjadi adalah sebuah reality show disiarkan di Trans TV. 42 New Famili 100 adalah sebuah acara kuis yang disiarkan Indosiar. 43 On the Spot adalah sebuah acara informasi ringan yang disiarkan Trans 7. Keluarga Orang yang diintervensi Intervensi Reaksi

Bintaro Keluarga Gilang

Bima Program informatif: New

Famili 100, On the Spot, Indonesia Lawak Klub (ILK)

Menerima, karena mendapat informasi baru.

Hiburan:

Catatan Hati Seorang Istri, Ganteng-ganteng Serigala, D’Terong Show, Yuk Keep Smile

Menolak, karena tak ada informasi dari acara lokal itu

Dago Giri

Keluarga Rafi Garin, Keisha, Azra

Acara Non-Bahasa Inggris:

Laptop si Unyil, Jika Aku Menjadi

Menolak, karena berbahasa non-Inggris

Acara Berbahasa Inggris Alternatif: Nat Geo Wild

Menerima, karena berbahasa Inggris Kelapa Lima Keluarga Robin Robin Hiburan:

The Mummy, Pirates of the Caribbean

Menerima, karena filmnya menunjukkan konflik terbuka (pertarungan fisik dan mistik) antara Kebaikan dan Kejahatan.

Tabel 11. Intervensi urban.

sejenisnya. Hal ini terjadi juga pada anak-anak di Dago Giri, saat kami mengintervensi mereka dengan sebuah acara tentang fauna di saluran National Geographic Wild, tak ada tanda penolakan dan mereka duduk tenang serta terus menonton.

Di Kelapa Lima, saat Robin sang ayah diberikan pertunjukan The

Mummy44 dan The Pirates of the Caribbean45, ia tidak menolak,

karena memang tontonan itu karakter yang mirip dengan acara favoritnya, Raden Kian Santang, menampilkan mengandung konflik serta karakter mistis.

Kita bisa melihat bagaimana para penonton mengkonstruksi/ membentuk selera dan kecenderungan mereka. Kebanyakan masih konsisten dengan konsep mereka tentang "acara bermutu". Hal ini menunjukkan bahwa kaum urban memang punya kuasa untuk menyaring konten apa yang akan mereka konsumsi dari televisi.

5.4. TV dan implikasinya dalam kehidupan