• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi rutin harian

7 Sintesis dan kesimpulan

7.2. Konstruksi rutin harian

We take television for granted in a way similar to how we take everyday life for granted.

Kita menerima televisi begitu saja dengan cara yang mirip dengan cara kita menerima kehidupan kita sehari-hari. Begitu saja, tanpa tanya. (Silverstone, 1994, hal. 3)

Apabila kita merenungkan pertumbuhan sosial-ekonomi di Indonesia, kita akan menemukan sebuah gambaran umum yang mengisyaratkan betapa senjangnya kualitas hidup warga di berbagai wilayah di Indonesia. Dari segi infrastruktur, warga yang hidup di wilayah urban dimanjakan dengan melimpahnya pilihan atas berbagai sistem infrastruktur –entah itu infrastruktur

"lunak" seperti: pendidikan, kesehatan, pilihan profesi; atau infrastruktur "keras" seperti: jalanan, listrik, air bersih, serta pilihan transportasi. Situasi ini sangat berbeda jika kita bandingkan dengan keadaan di daerah-daerah suburban dan rural. Beberapa daerah baru bisa mengakses listrik secara terbatas, sedang beberapa ain masih berjuang mendapatkan sanitasi dan manfaat layanan kesehatan dasar. Namun demikian, kesenjangan itu tidak kami temukan dalam kaitannya dengan pertelevisian di Indonesia.

Sumber: Penulis.

Dari tabel tersebut, tampak bahwa tingkat paparan televisi, baik di daerah urban, suburban, dan rural, ternyata tinggi. Dalam penelitian kami, warga di urban, suburban, maupun rural, menikmati waktu menonton televisi setidaknya lima jam per hari. Persis hanya inilah kesamaan di antara tiga wilayah yang kami teliti dalam hal media konvensional. Selebihnya, berbeda. Kaum urban atau penduduk kota yang terpapar berbagai macam media, punya posisi yang relatif lebih kuat dalam memilih konten media yang mereka inginkan. Kehadiran layanan TV Berbayar (Pay TV) juga berkontribusi terhadap keberagaman perilaku konsumsi media warga yang kami teliti. Keluarga-Lanskap

Media Konvensional

Urban Suburban Rural

Akses infrastruk-tur Tingkat konsumsi Akses infrastruk-tur Tingkat konsumsi Akses infrastruk-tur Tingkat konsumsi TV Tersedia Tinggi (5-6 jam/hari) Tersedia Sangat tinggi (10 jam /hari) Tersedia Tinggi (5-6 jam /hari) Pay TV (TV Berbayar) Tersedia (kecuali Kupang) Tinggi (kecuali Kupang)

Tersedia relevan Tidak tersedia Tidak relevan Tidak Surat Kabar Tersedia Tinggi Tersedia Rendah Tersedia Rendah Majalah Tersedia Tinggi Tersedia Rendah Terbatas Rendah Buku Tersedia Tinggi Terbatas Rendah Terbatas Rendah Film (DVD,

bioskop) Tersedia Tinggi Terbatas Rendah

Tidak tersedia Tak bisa dilakukan Tabel 16. Media konvensional di wilayah urban, sub-urban, dan rural.

keluarga yang tinggal di wilayah suburban dan rural menikmati kehadiran televisi, akses ke TV Berbayar sangat terbatas. Tanpa jaringan TV Berbayar, pilihan yang tersedia bagi mereka pun terbatas. Hasrat mereka akan informasi dan hiburan tak terpuaskan hanya oleh konten televisi terestrial yang bersiaran dari Jakarta. Kalaupun beberapa di antara mereka memiliki akses internet, seringkali mereka menggunakannya untuk meringankan rasa tidakberdayanya.

Dalam hal media konvensional, adalah kaum urban atau penduduk kota yang memperoleh manfaat dari beragamnya pilihan akses informasi. Inilah kemewahan yang tak dimiliki oleh mereka yang hidup di pinggiran. Meski media konvensional relatif telah menjangkau warga di daerah suburban dan rural, ada hambatan dari segi daya beli – khususnya menyangkut media cetak. Hambatan itulah yang menjadi salah satu faktor pembeda di wilayah urban dan non-urban.

Sementara beberapa keluarga tahu akan kehadiran internet dan kemungkinan peluang untuk menggali informasi dan terlibat dalam produksi informasi dalam cara-cara yang lebih murah, gambaran besarnya ternyata tak mencerminkan gagasan tersebut. Terlepas dari fakta bahwa infrastrukturnya relatif telah siap, adopsi internet dalam kehidupan warga di non-urban masih sangat terbatas. Tabel berikut menggambarkan penggunaan media berbasis internet di ketiga latar wilayah.

Sumber: Penulis. Tabel 17. Media berbasis internet di wilayah urban, suburban, dan rural. Lanskap media berbasis-internet

Urban Suburban Rural

Akses terhadap infra-struktur Tingkat konsumsi Akses terhadap infra-struktur Tingkat konsumsi Akses terhadap infra-struktur Tingkat konsumsi Fixed line (contohnya FastNet, Biznet, Speedy)

Tersedia Tinggi Tersedia Rendah Terbatas dilakukan Tak bisa Mobile cellular line

(melalui provider

ponsel) Tersedia Tinggi Tersedia Rendah Tersedia

Sangat rendah

Keadaan demikian menggarisbawahi pentingnya televisi dalam menyampaikan informasi di Indonesia. Sebagai media utama, televisi hadir di semua latar daerah dan memasuki ruang-ruang pribadi warga negara selama hampir lima jam per hari. Hal ini menggemakan kembali kemampuan televisi untuk membentuk apa yang dianggap sebagai hal-hal bernilai (atau berharga) (Castells, 2009). Implikasinya sungguh luas manakala kita mendiskusikan logika yang mengendalikan dinamika produksi konten. Walau begitu, cara masing-masing penonton mengon-sumsi konten media tidak bergantung hanya pada sisi penyuplai atau penyedia konten. Kebiasaan mereka menonton televisi terbentuk melalui beragam tingkat interaksi, yakni di tingkat individual, komunitas, hingga masyarakat lebih luas.

Di tingkat individual dan komunitas, bagaimana kita menonton televisi tidak terbentuk secara kebetulan. Sebagai agen/pelaku, kita memutuskan berbagai hal secara sadar. Ketika kita memilih acara tertentu, memerhatikan sebuah program, atau bergabung dengan sebuah komunitas atau sekumpulan orang yang sedang menonton acara, semua itu kita lakukan dalam ranah kendali kita, entah kita sepenuhnya sadar atau tidak. Dengan demikian, jantung gagasan ini adalah keberpengetahuan (knowledgeability) agen/aktor/pelaku. Secara ringkas, agen yang berpengetahuan adalah para pemain relevan yang mampu memengaruhi dinamika media, dengan secara aktif melakukan tindakan disertai kesadaran (reflexive action). Melalui kemampuan refleksi untuk memonitor tindakan-tindakan mereka sendiri, dan kemampuan untuk memproduksi atau mereproduksi berbagai aturan dan sumber daya dalam mengonsumsi konten televisi, para agen berpengetahuan membentuk perilaku konsumsi media mereka sendiri, dan bilamana mungkin, meluaskan kesadarannya untuk melakukan perubahan terhadap struktur. Namun, perlu dicatat bahwa garis batas antara agency dan struktur beragam bergantung konteks.

Di wilayah urban, khalayak tampak sebagai agen/pelaku yang punya kemampuan lebih tinggi dalam memengaruhi struktur yang telah ada dan juga mereproduksi aturan-aturan serta sumber daya baru secara tak sadar. Mereka tampak lebih "mampu" karena mereka memang punya lebih banyak akses ke berbagai sumber informasi. Sayangnya, kesan ini sungguh salah dan bias urban. Warga yang tinggal di wilayah suburban dan rural juga punya kapasitas serupa dengan penduduk kota. Peran agensi terletak dalam tingkat kehendak bebas mereka, dan hal ini tampak dalam beberapa kasus. Hanya saja, keterbatasan akses terhadap media alternatif, membuat warga di daerah pinggiran menemui lebih banyak hambatan dalam mengekspresikan kehendak bebas mereka.

Di seluruh wilayah, kemampuan untuk mengambil jarak terwujud dalam keseharian mereka. Salah satu contoh bisa kita temukan adalah betapa beberapa keluarga secara sadar menerapkan aturan ketat terkait stasiun TV apa yang boleh ditonton oleh anak-anak. Beberapa keluarga bahkan memblokir saluran TV tertentu karena kadang menyiarkan konten yang menurut mereka tak layak ditonton anak. Melalui tindakan-tindakan demikian, terbukti bahwa para agen berpengetahuan memang memiliki daya atau kuasa bukan hanya terhadap TV tapi juga terhadap anak-anak mereka. (Lihat kasus di Jakarta Selatan dan Bandung pada Bab Lima).

Kemampuan untuk mereproduksi aturan dan sumber daya

Urban Suburban Rural

Aturan-aturan  Kemampuan reflektif tinggi  Rasionalisasi tinggi terhadap TV  Sistem telah terinternalisasi  Kemampuan reflektif moderat  Rasionalisasi moderat terhadap TV  Rasionalisasi moderat terhadap TV

 Kapasitas reflektif minim  Rasionalisasi rendah terhadap TV  Sistem tidak terinternalisasi, cenderung menerima begitu saja Sumber

daya Akses infrastruktur tinggi Dukungan pendidikan

 Akses infrastruktur terbatas  Dukungan pendidikan, tapi terbatas  Akses infrastruktur rendah  Dukungan pendidikan, tapi terbatas Cakupan pengaruh

 Pengaruh melalui profesi  Pengaruh memadai atas

struktur

 Pengaruh melalui kelompok pertemanan  Tertekan oleh

pilihan-pilihan dan kualifikasi yang terbatas

 Pengaruh melalui status sosial

 Pengaruh terbatas atas struktur

Sumber: Penulis.

Berlawanan dengan yang terjadi dalam latar urban, khalayak/penonton di daerah suburban tampaknya mengalami kesulitan dalam menerapkan berbagai aturan dan batasan menonton. Mereka harus berjuang keras mempraktikkan kesadaran reflektif mereka agar kesadaran tersebut mnjadi rutin keseharian. Pada titik tertentu, mereka menyadari bahwa mereka memiliki kekuatan atau kuasa atas televisi – dan lantas menerapkan aturan-aturan ketat di lingkungan mereka sesuai kesadaran akan kekuatan tersebut. Namun, karena televisi juga merupakan pusat kehidupan, masih menjadi sumber utama informasi bagi mereka, seringkali kemampuan mereka untuk mendesakkan aturan pun terbatas. Kurangnya akses media alternatif dan internalisasi yang lemah turut andil menciptakan kondisi di mana mereka merasa tak berdaya di hadapan televisi yang perkasa.

Seperti tampak pada tabel di atas, penerapan berbagai aturan dan regulasi menonton sungguh beragam di antara keluarga-keluarga yang kami teliti. Kita bisa melihat beberapa agen yang punya Tabel 18.

Kemampuan agensi di wilayah urban, suburban, dan rural.

kapasitas reflektif bisa mempertanyakan berbagai tindakan mereka sendiri. Berlawanan dengan itu, meminjam perspektif Giddens terhadap tindakan manusia, ada pula keluarga terlalu sering mengandalkan kesadaran praktis serta jarang mempertanyakan alasan apa sesungguhnya di balik pilihan menonton mereka. Sampai titik tertentu, praktik tanpa refleksi itu merupakan mekanisme untuk memperoleh rasa aman ontologis, seperti yang diajukan Giddens (1984, hal. 282) dalam argumennya: "Hanya melalui pelestarian rutinlah, para pelaku mendapatkan suatu rasa aman ontologis".

Sementara di tingkat individual kemampuan reflektif setiap agen adalah faktor utama dalam menentukan tindakan tertentu; interaksi sosial juga memainkan peran penting dalam hal memengaruhi keputusan para pelaku untuk mengonsumsi konten media. Selama penelitian ini, kami menemukan bahwa di tingkat komunal, interaksi di antara para pelaku punya andil signifikan terhadap pembentukan kebiasaan menonton. Bagaimana cara keluarga tertentu atau lingkungan tetangga mereka mengonsumsi konten meresap masuk ke dalam selera pribadi dan dengan demikian memengaruhi pilihan seseorang terhadap satu genre atau acara tertentu.

Menggunakan perspektif Giddens, kami menyimpulkan bahwa kunci bagi pemahaman akan proses konsumsi media adalah dengan memerhatikan para pelaku dan bagaimana mereka mereproduksi seperangkat aturan dan sumber daya, sambil pada saat yang sama juga memahami bagaimana faktor-faktor eksternal (misalnya, akses terhadap infrastruktur dan sistem-sistem penyangga mereka) memungkinkan (atau sebaliknya, malah membatasi) pelaku dalam menerapkan kapasitas mereka. Kedua hal ini merepresentasikan dualitas struktur dan agen, yakni bahwa "segala aturan dan sumberdaya yang ditarik dari produksi serta reproduksi tindakan sosial, pada saat yang sama juga merupakan sarana reproduksi sistem." (Giddens, 1984, hal. 19).

7.3. Perkembangan media dan hak warga: