• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konten: Gumpalan aturan dan sumber daya

2 Beberapa perspektif teoretis

2.2. Strukturasi dan dinamika produksi-konsumsi konten

2.2.1. Konten: Gumpalan aturan dan sumber daya

“Content is King” ("Konten adalah segalanya") merupakan

sebuah ungkapan terkenal atas sebuah industri televisi yang selalu berubah. Mereka yang sepakat pada ungkapan itu percaya bahwa konten adalah sesuatu yang pada akhirnya menentukan rasa percaya para konsumen. Semenjak digitalisasi media, keyakinan ini tumbuh semakin kuat seiring semakin banyaknya kesempatan yang terbuka. Konten yang baik merupakan sumber daya penting bagi kesuksesan, baik sukses ekonomi maupun sukses secara kultural. Windeler dan Sydow berbagi pandangan serupa:

Melihat pesatnya pertumbuhan jumlah kanal/saluran TV, yang bukan lagi sekadar medium melainkan juga imbas dari globalisasi, digitisasi, serta privatisasi industri ini, konten bukan hanya tetap akan menjadi elemen mahapenting, tetapi, kemungkinan besar, akan menjadi sumber daya yang jauh lebih penting lagi, penentu bagi kesuksesan secara ekonomi (dan, mungkin, secara kultural). Para produser, pada gilirannya, dituntut untuk memproduksi konten yang menghibur atau informatif (atau keduanya sekaligus), orisinal, inovatif, mampu mencuri perhatian, dan, tidak kurang pentingnya, disampaikan tepat pada waktunya (Windeler dan Sydow, 2001, hal. 2).

Karena konten masih dianggap segalanya, tidaklah mengejutkan apabila para aktor di dalam industri media menilai tinggi konten sebagai unsur penjual utama. Mengingat proses aktual produksi konten mungkin lebih rumit pada industri yang berorientasi profit (Nugroho et al., 2013), maka membuka selubung proses produksi konten media akan menjadi sangat menarik, terutama untuk memahami bagaimana setiap aktor menggerakkan sumber daya mereka. Konten, dalam hal ini, dapat dilihat sebagai sumber daya alokatif (materi) yang dimiliki oleh para aktor terkait. Konten media sendiri lebih dari sekadar visualisasi yang menghibur mata kita. Ambillah contoh serial TV, iklan, atau

sinetron. Pesan-pesan dari setiap program merentang lebih jauh dari sekadar yang tampak pada layar TV kita, menyusup ke alam bawah sadar para penonton dengan membawa berbagai karakter, model, serta aturan yang implisit. Melalui konten inilah, kemampuan para penonton untuk melakukan penilaian dilucuti, dan segenap perhatian mereka teralihkan pada kuasa televisi.

Sederhananya, televisi adalah arah utama dari epistemologi baru. Tidak ada khalayak yang terlalu muda untuk dijauhkan dari televisi. Tidak ada kemiskinan yang begitu malangnya sehingga harus rela hidup tanpa televisi. Tidak ada pendidikan yang begitu luhur sehingga tidak terpengaruh oleh televisi. Dan yang paling penting dari semua itu, tidak ada subjek dari kepentingan publik – entah itu politik, berita, pendidikan, agama, ilmu pengetahuan, olah raga – yang tidak menemukan jalan mereka ke televisi. Yang artinya, seluruh pemahaman publik akan berbagai subjek itu telah dibentuk oleh berbagai bias televisi. (Postman, 1985, hal. 77-78)

Dengan menekankan pandangan Postman tersebut, Fiske (1987) berpendapat bahwa sebuah peristiwa yang telah disiarkan televisi pastilah berisi kode-kode sosial tertentu. Mengikuti gagasan Bourdieu, Fiske membagi tiga tingkat penyandian (encoding) oleh televisi, yakni: "realitas", "representasi", dan "ideologi".

Tingkat Satu: Realitas Tingkat Dua: Representasi Tingkat Tiga: Ideologi Realitas disamarkan dalam

kode-kode sosial seperti penampilan, pakaian, riasan (make-up), perilaku, wicara, gestur, ekspresi, suara, dll. Realitas disandikan secara elektronik dengan kode-kode teknis seperti terlihat di Tingkat Dua.

Contoh:

Sebatang pohon yang terpantul di danau mungkin menjadi latar sebuah adegan romantik.

Representasi disandikan dengan kode-kode teknis untuk menyampaikan realitas; seperti: sudut pengambilan gambar (angle), pencahayaan, penyuntingan, pembingkaian (framing) dan fokus, musik/suara, dll. Contoh:

Sudut kamera mid-shot dan

close-up membawa para

penonton ke sebuah hubungan intim dengan sebuah karakter di layar.

Ideologi dibentuk oleh representasi.

Kode-kode representasional ditata agar koheren (padu) dengan nilai yang diterima secara sosial dalam kode-kode ideologis, seperti:

individualisme, kelas sosial, kapitalisme, dst. Semua kode itu digabungkan untuk disandikan lagi untuk menampilkan makna yang mendukung ideologi tertentu. Sumber: Fiske, 1987. Tabel 1. Tingkat penyandian (encoding) oleh televisi.

Menurut Fiske, ketika kepingan realitas yang telah disandikan itu disiarkan televisi, maka kode-kode teknis dan konvensi representasional dari medium diberdayakan agar realitas tersebut (a) bisa disalurkan dengan mudah melalui teknologi yang ada, dan (b) menjadi sebuah teks kebudayaan yang layak bagi khalayak (1987, hal. 5).

Sementara Fiske dan Boudieu menggagas teori tentang bagaimana televisi menyandikan sebuah peristiwa, teori strukturasi menawarkan perspektif yang lebih luas. Lapis-lapis S-D-L (Signifikasi-Dominasi-Legitimasi) menyediakan gugus perangkat analitik. Gugus perangkat analitik ini mampu mengungkapkan penyandian makna dari praktik bahasa dan wacana (Signifikasi), juga mampu membuka selubung cara kerja kuasa diterapkan (Dominasi), sekaligus mengungkap bagaimana berbagai sudut pandang (perspektif) normatif melekat sebagai norma-norma sosial (Legitimasi). Dengan menggunakan lapis-lapis S-D-L juga, akan sangat menarik untuk menelisik berbagai dinamika di dalam industri dan mekanisme mereka dalam melahirkan konten televisi. Dengan hipotesis bahwa ada sejumlah pelaku yang terlibat, termasuk dewan redaksi televisi, lembaga-lembaga rating, biro iklan, serta berbagai rumah produksi, maka pemetaan relasi saling silang antara aktor-aktor tersebut menjadi sangat penting dalam memahami proses pengambilan keputusan untuk menyiarkan (atau tidak menyiarkan) konten tertentu.

Karena konten sebagai struktur dipertahankan dan diadaptasi melalui tindakan pelaku, maka penting juga untuk membekali para pelaku dengan kemampuan-kemampuan tertentu. Oleh karena kemampuan konten-konten untuk menyusup secara leluasa ke sekat-sekat personal, maka sungguh penting bahwa konten media dikonsumsi dengan penalaran kritis tertentu, melalui daya refleksif dan kemampuan untuk mawas diri. Lebih jauh lagi, kemampuan demikian kerapkali berkembang seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan, yang juga bergantung

pada tingkat kesejahteraan (Filmer dan Prichett, 2001). Secara kebetulan, sebagaimana diilustrasikan oleh makalah tersebut, pengukuran kesejahteraan itu sendiri dilakukan melalui beberapa pendekatan – salah satunya, dengan menjadikan televisi sebagai salah satu perkakas yang mengisyaratkan kepemilikan barang berharga sebuah rumah tangga. Di negara-negara berkembang dengan akses infrastruktur yang rendah, hal tersebut sungguh terasa ironis. Nilai sebuah televisi semestinya tidak hanya ditimbang secara kultural, tapi juga secara ekonomis dan politis (Briceno-Garmendia et al., 2004; Tufte, 1996).