• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran rumah produksi

4 Di balik gemerlap acara: Logika proses produksi konten

4.3. Rumah produksi

4.3.2. Peran rumah produksi

Rumah-rumah produksi secara harfiah adalah orang-orang yang berada di belakang layar. Kebanyakan rumah produksi yang ada dibangun dari keahlian seseorang, entah itu seorang sutradara, produser, atau eksekutif berpengalaman dari TV atau industri film.

Dalam kasus Aris Nugraha, keberhasilannya dalam beberapa

sitcom (situation comedy) hasil karyanya memungkinkan ia

membangun rumah produksi dan brand komedi tersendiri. Ia berhasil mempertahankan perusahaannya tetap eksis di dalam industri dengan strategi double track, sebagaimana yang ia jelaskan:

Tabel 7. Profil rumah produksi.

Kami punya dua jenis program, yang pertama itu kita istilahkan boutique, satu konveksi. Ada boutique, ada konveksi, jadi saya punya 50 penulis. Kalau boutique mau pesan berapa, eh kalau konveksi mau shooting besok boleh, mau stripping boleh, tapi kalau boutique saya minta weekly [dalam hitungan minggu] gitu. Satu, weekly. Yang kedua, saya akan menulis sendiri, kemudian saya juga akan buat yang spesial, yang khusus konsep khusus. Tapi kalau yang konveksi biasanya itu sitkom saja sudah, lucu-lucuan umum lah. Jadi yang itu misalkan untuk TV-TV yang segmen penontonnya juga rata-rata C. Nah itu biasanya masal, saya bisa satu produksi melibatkan misalkan 10 penulis atau apa, karena kan kebutuhannya mendesak dan cepat ya. Jadi, shooting, jadi,

shooting dan itu biasanya kan lebih mengejar ke lucunya. (Aris Nugraha,

ANP, wawancara, 10 Mei 2014)

Selama bertahun-tahun, Aris Nugraha telah membangun reputasi baik di kalangan stasiun TV yang ada. Sambil tetap memenuhi kebutuhan praktis TV, ia juga berhasil mempertahankan idealismenya dalam menciptakan konten yang bermutu. Hal ini telah memberinya posisi tawar yang cukup kuat ketika berurusan dengan para produser dan eksekutif TV lainnya.

Kebanyakan TV ya, sebetulnya TV, ber-partner dengan PH juga sering, jadi kita joint production [kerja sama produksi]. Tapi kebanyakan dengan TV. TV memang, misalkan ada satu TV yang -sudah jadi kebiasaan- kalau lagi ada masalah pasti telepon. Biasanya kan gitu ya, misalkan begini mas kita ada jam jurang misalkan begitu. Misalkan mereka jam 5 sampai jam 6 bagus, jam 6 sampai jam 7 nih anjlok, nanti mulai bagus lagi di jam ini. Jadi mereka terang-terangan [bilang], sudah fair jadi kita, karena apa, saya juga bicaranya pasti fair ke mereka, jadi tidak ada yang sok-sokan gengsi gitu kan, ini kita masalah, kita butuh apa segala macam tidak, kita memang fair. (Aris Nugraha, ANP, wawancara, 10 Mei 2014)

Demikian, agar bisa bertahan dalam kepadatan bisnis produksi konten, yang dibutuhkan bukan hanya keterampilan teknis dan praktis, tapi juga ketegasan, terutama jika si pebisnis ingin mempertahankan idealismenya hingga level tertentu. Aris Nugroho menunjukkan bagaimana rumah produksi perlu berpikir strategis dalam bekerjasama dengan stasiun-stasiun TV.

Nah itu kan sebetulnya kan [mem-]buat konsep acara, bagi saya bukan sekedar konten, tapi ada strategi bagaimana dia bisa bertarung dengan program lain. Nah bertarung itu bukan soal lucu mana, atau ramai mana tidak, kita bisa ambilnya penontonnya siapa gitu. (Aris Nugraha, ANP, wawancara, 10 Mei 2014)

Rumah-rumah produksi seringkali hanya dianggap sebagai

tukang ketimbang perajin. Imaji tersebut muncul dari fakta

bahwa mereka hanya membuat produk pesanan sesuai kebutuhan produser TV. Gambaran itu kadang ada benarnya, karena para pekerja media seringkali terlalu tunduk pada pesanan, baik mereka yang sadar ataupun yang tak menyadari peran mereka sebagai agen/pelaku dalam sebuah struktur ekonomi yang penuh ujian. Akibatnya, para pekerja media seringkali diperbudak oleh para eksekutif TV tanpa menyadari bahwa pilihan mereka secara tak langsung berdampang pada kualitas konten media kita. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai relasi kuasa antara berbagai rumah produksi dan stasiun TV.

PH nggak punya power [kekuatan] sama sekali sebenarnya, kita nggak punya bargaining power [daya tawar]. Sebetulnya, kalo kita bicara jujur, kita nggak punya bargaining position. Bargaining position kita hanya satu, kita berkarya yang bagus, ya kan. (Anonim, Starvision, wawancara, 12 Februari 2015)

Individu-individu yang bekerja keras menciptakan sebuah cerita baik bagi para penonton seringkali harus menanggung pergulatan kekuasaan terus-menerus. Mereka seringkali punya ide dan jalan cerita orisinal, tapi harus berhadapan dengan karakter pragmatis para produser atau eksekutif TV yang enggan mengembangkan program-program dengan muatan pesan yang bermakna atau pelajaran moral. Hal ini diungkapkan oleh seorang penulis skenario lepas yang beberapa kali menuliskan cerita untuk rumah produksi besar.

Sebenarnya, dari akunya sih, aku ingin sekali sih kalau misalnya aku buat FTV itu dikenang sekali sama penonton. Tapi sepertinya selama nanti proses penilaian di lokasinya itu masih sama, masih sama dibuat seperti sinetron atau seperti yang itu ya tidak akan pernah bisa. Tapi kalau misalnya sutradara sama artisnya masih kejar tayang, buat seperti sinetron, acting sembarangan, ya mau aku buat cerita seperti apa juga percuma gitu. Makanya tuh kenapa aku ingin buat PH sendiri itu ke depannya itu, semoga apa yang aku tulis sama apa yang aku judge di lokasi sesuai dengan keperluan. (Happy Camarillo, penulis skenario lepas, wawancara, 28 November 2014)

Penulis skenario lepas lainnya mengungkapkan pandangan serupa. Dia mengakui bahwa mencari uang merupakan motif utama bukan hanya para eksekutif TV, tapi juga para pekerja kreatif di balik layar. Hanya sedikit kasus yang menunjukkan perkecualian.

Ide akan diterima apabila dinilai unik, menjual dan belum pernah diproduksi. Yang mana, nyaris tidak pernah terjadi. Kompromi, tentunya setiap saat dan setiap waktu. Baik soal ide maupun eksekusi. Jujur, apabila berhubungan dengan program televisi, saya rasa kata yang tepat bukan 'kompromi', melainkan mengikuti 'kehendak dan arahan'

rating. (Anonim, penulis skenario lepas wawancara, 17 December 2014)

Kami mengalami kesulitan menemukan orang yang mengembangkan skenario atau alur cerita sinetron. Baik karena rumah produksi tak punya waktu untuk melakukan wawancara, atau mereka semata-mata menolak ambil bagian dalam penelitian ini. Menurut para produser, mereka jarang melakukan riset untuk mencari tahu preferensi atau selera para penonton. Alih-alih, mereka mengandalkan rating yang didapat stasiun TV untuk membandingkan penghargaan publik terhadap sebuah program. Hasilnya, para produser seringkali tersandera dalam keterkungkungan. Padahal, para pekerja kreatif dan produser sebetulnya punya kemampuan menentukan permainan, hanya memang tak punya sumber daya otoritatif untuk mengubah permainan yang ada.

Rumah produksi nan mapan

Berbagai perusahaan produksi yang telah mapan juga menyimpan sejarah yang sama. Starvision dan Rapi Films, contohnya, memulai usaha mereka dari industri hiburan. Sejarah Rapi Films dimulai dengan mendistribusikan film-film impor pada 1968, sebelum mulai memproduksi film mereka sendiri pada 1971. Starvision juga salah satu pelopor dalam bisnis media, memulai usaha dengan beralih dari bisnis membuat film bioskop menjadi pembuat berbagai drama TV laris.

Bangkitnya bisnis produksi konten terjadi bersamaan dengan menjamurnya televisi swasta di Indonesia. Dengan munculnya berbagai saluran TV baru, rumah produksi menerima lebih banyak tuntutan, sembari pasar mereka pun tumbuh sesuai tuntutan tersebut.

Ya, memang lebih baik kalau nggak jual-putus, lebih bagus. Tapi kalau TV-nya nggak mau beli, memang mereka kan minta putus (jual-putus), ya kita “no choice”, tidak ada opsi lain. (Anonim, Rapi Films, wawancara, 6 Maret 2015)

Bisnis produksi konten mulai tumbuh sekitar awal tahun 2000-an. Inilah periode ketika stasiun-stasiun free-to-air bermunculan dan memicu tingginya tuntutan ketersediaan konten (apa pun jenisnya). Semua stasiun TV, kecuali Metro TV, bernafsu untuk menyediakan program-program hiburan, dan ingin menawarkan kepada publik berbagai konten yang berbeda, tanpa menyadari seutuhnya seberapa "beda" acara mereka bisa diterjemahkan ke dalam praktik. Rumah-rumah produksi yang ada, yang mengkhususkan diri pada pembuatan konten untuk layar perak, mengambil jalan pintas dengan memproduksi sinetron, yang mudah diproduksi dan relatif disukai masyarakat.

Setelah satu dekade dalam milenium baru, stasiun-stasiun TV mulai tersegmentasi. Walau pasarnya masih tetap terbuka tanpa hambatan khusus untuk masuk, hubungan antara rumah produksi dan stasiun TV telah menjadi versi komersial dari hubungan patron dan klien. Saat ini agaknya ada semacam penerimaan umum di antara rumah produksi bahwa, misalnya, RCTI hanya memesan konten ke SinemArt, sedang MNC TV punya perjanjian istimewa dengan MD Entertainment.

Walau tak cukup mengindikasikan bahwa telah terjadi oligopoli dalam bisnis ini, keadaan tersebut tentu saja telah mengubah apa yang seharusnya jadi prasyarat dari sebuah persaingan yang sehat. Ketika ditanya tentang "aturan main" dan potensi adanya oligopoli dalam pasar, dua sosok senior dalam bisnis media

mengakui bahwa stasiun TV tertentu dan perusahaan produksi tertentu memang telah memiliki hubungan bisnis yang istimewa. Dibutuhkan bukti lebih lengkap untuk menentukan apakah kerjasama semacam itu merupakan sebentuk kolusi yang tak adil atau bukan.

[Konglomerasi] saat ini nggak terlihat secara langsung, tetapi kadang-kadang kan orang berpikiran begini, daripada saya kasih ke dia, dia dapat untung, kenapa nggak gue kerjain, untungnya buat gue. Nah kadang-kadang kan pemikiran seperti itu, menurut saya, itu yang tidak membangun sebuah industri dengan baik, tapi itu kan setiap orang punya pemikirannya sendiri. (Anonim, Starvision, wawancara, 12 Februari 2015)

Namun, pengamatan lebih dekat terhadap pasar mengindikasikan bahwa subsektor ini tidaklah seterbuka seperti tampaknya. Walau jumlah pemain telah bertambah selama beberapa tahun belakangan, pengaruh terbesar masih dipertahankan oleh para pemain besar yang lama, kecuali Screenplay Production dan Amanah Surga Production. Tapi, kedua rumah produksi itu sebetulnya juga perusahaan dibawah grup EMTEK, yang mengendalikan SCTV dan Indosiar. Dengan demikian, secara teknis, kedua rumah produksi itu diberi mandat untuk mencipta konten bagi SCTV.

Rumah-rumah produksi tak pernah benar-benar bebas memilih. Sementara jumlah stasiun TV bertambah selama beberapa tahun belakangan, ironinya justru adalah menurunnya pilihan bagi rumah-rumah produksi untuk menawarkan produk mereka. Hal ini dinyatakan oleh seorang produser eksekutif Rapi Films:

Kami membuat film bioskop dan FTV, kalau sinetron pun bersedia, tapi cuma slot-nya nggak ada, mau putar di mana? TV juga kita ajukan, mereka bilang nggak ada slot-nya. Nggak ada slotnya semua. TV lagi putar, SCTV sama RCTI sudah ada slot [untuk menayangkan produksi dari PH lain]. (Anonim, Rapi Film, wawancara, 6 Maret 2015)

Hal ini mengakibatkan terbatasnya pilihan tawar-menawar bagi perusahaan produksi yang ada. Mereka bukan hanya terbatas ssecara finansial, tapi juga tak mampu memasarkan produk

mereka secara bebas. Dilihat dari sudut pandang hubungan antara stasiun-stasiun TV dan rumah produksi, pasarnya adalah

demand-driven (tergerak oleh tuntutan TV). Rumah-rumah

produksi harus memastikan bahwa apa pun yang ingin dilihat produser TV terpenuhi.

Berdasarkan argumen ini, kami dapat mengasumsikan bahwa rumah-rumah produksi adalah yang pertama dan utama membutuhkan stasiun TV. Walau pun otak kreatif jarang kehabisan ide untuk menciptakan cerita orisinal, sikap pragmatis para produser dan eksekutif TV seringkali menghambat proses inovasi dan perbaikan. Di dalam industri, atau di dalam struktur ekonomi media, rumah-rumah produksi jarang dilihat dari segi inovatif mereka; alih-alih, mereka dilihat dalam mengukuhkan atau melestarikan aturan-aturan yang telah ada. Mereka cenderung hanya memproduksi, bukan berkreasi. Alih-alih menampilkan representasi realitas sosial Indonesia, rumah produksi lebih sering dituding menciptakan berbagai stereotipe dan tidak mendidik publik – terbukti dari produksi tak habis-habis sinetron atau film pendek yang jarang menggambarkan kekayaaan budaya dan masyarakat Indonesia.

Namun demikian, premis ini tak selamanya benar. Industri TV Indonesia juga menyaksikan para pendatang baru yang berani menantang aturan main yang ada. Keterampilan berkarya dan keberanian dari para inovator adalah syarat untuk menawarkan sesuatu yang baru bagi penonton TV. Bagian berikut mengupas seberapa jauh industri TV menawarkan ruang bagi perubahan positif.