• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membawa perubahan atau melanggengkan struktur?

4 Di balik gemerlap acara: Logika proses produksi konten

4.4. Stasiun-stasiun TV

4.4.2. Membawa perubahan atau melanggengkan struktur?

Seiring terbukanya industri media di Indonesia, banyak pemain baru bergabung dalam pasar dan mencoba untuk menawarkan produk baru. Salah satunya adalah Metro TV, yang hadir dalam skema industri TV kita pada awal milenium sebagai saluran pertama di Indonesia yang khusus menjadi saluran berita. Stasiun ini sengaja menyasar kelompok pasar yang berbeda dan memiliki sasaran pasar yang jelas dalam benak mereka maupun dalam perencanaan bisnis mereka.

Fokus pada berita dan informasi, Metro TV memiliki pasar yang terbatas tapi sangat spesifik dan terus tumbuh. Mereka menyasar kelas A dan B, yang jelas memiliki daya beli tinggi serta cenderung mampu memilah nilai penting suatu berita.

Dengan rating? Metro TV kan memang unik. Dari awal dia berdiri dengan target segmennya dan rating sendiri tidak, walaupun dia [rating] itu dijadikan untuk ya “bahan jualan” dari TV lain, atau media lain. Kalau Metro TV memang, kita jualannya lebih ke target segmen yang dituju. Rata-rata audiens Metro TV sendiri di A, B 20+, dan kita sadar bahwa presentase dari penduduk Indonesia yang di segmen tersebut memang tidak sebesar dari target segmen yang lain, dan kita cukup bangga bahkan pada awalnya itu hanya Metro TV, pada waktu awal kita berdiri itu hanya Metro TV yang memang target segmen di A, B 20+ tersebut. (Foppa, Staf Pemasaran Metro TV, wawancara, 10 Mei 2014)

Memilih hanya segmen penonton tertentu dan memusatkan perhatian pada kelas menengah adalah sebuah langkah berani. Keberanian ini terbayar perlahan. Sisi lain dari pilihan ini adalah bahwa dalam kerangka pemasaran, stasiun ini tak perlu mengacu

rating, karena tujuannya memang bukan untuk menciptakan

produk bagi pasar massal, tapi hanya berfokus pada pasar A-B. Biasanya sih mengejarnya rating, karena menurut mereka kan semakin besar rating, semakin besar audiens, nah produknya mereka semakin banyak dilihat, kan begitu. Ada juga beberapa produk yang tidak hanya mengejar rating, contoh itu adalah produk-produk yang kelas A-B. (Apriyanti, Trans TV, wawancara, 14 Agustus 2014)

Stasiun lain yang membawa gagasan baru ke industri adalah Trans TV. Sejak awal berdirinya, stasiun ini mencari pasar yang berbeda yang siap untuk menikmati pengalaman menonton yang berbeda. Trans TV menyasar pasar yang lebih terdidik, yang hanya sedikit menaruh minat pada sinetron, tayangan andalan para pemain lama untuk menjaring massa. Hal ini dijelaskan oleh para eksekutif mereka:

Kita tidak pernah bergerak di lower-market misalnya. […] Konsekuensinya di upper-market itu memang market-nya lebih kritis ya, lebih demanding [menuntut] gitu karena secara edukasi mereka lebih bagus. Pemirsa sinetron kebanyakan lower-market, middle-market, yang

upper-market jarang untuk sinetron, kalau mereka menonton itu karena

mereka tidak ada pilihan lain. (Probo Susanto, Trans TV, wawancara, 4 November 2014)

Jadi, TV itu kan industri kreatif ya. Kalau teman-teman lihat di layar kelihatannya sederhana, tapi sebenarnya tidak sederhana sekali ya. Jadi biasanya kita mempelajari dulu apa yang disukai orang, apa yang disukai dari market, Indonesian market itu ya. Dan itu tidak mudah karena kita tidak masuk dalam mainstream. Mainstream itu sinetron, drama, FTV, film India, dan sebagainya, itu mainstream. Nah kita keluar dari situ. (Probo Susanto, Trans TV, wawancara, 4 November 2014) Lepas dari rencana awal mereka untuk menyajikan program-program bermutu sebagai alternatif bagi konten arus-utama, belakangan Trans TV semakin sering dikritik publik. Sikap publik ini kentara dalam kasus Yuk Keep Smile17 yang menyiarkan adegan-adegan kontroversial dan karenanya mendapat teguran serta dipaksa menghentikan siarannya oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Trans TV rupanya memilih tunduk pada motif mencari laba kendati program yang dibuat bertentangan dengan nilai dan prinsip mereka.

17 Petisi online untuk menghentikan acara ini, misalnya, bisa dilihat di: https://www.change.org/p/transtv-corp-segera-hentikan-penayangan-yks

Pertama, kita [stasiun TV] adalah business entity [entitas bisnis], jadi yang kita buat harus mempertimbangkan aspek bisnisnya. Ini bisa dijual atau tidak, ini bisa menarik atau tidak, itu ya. Yang kedua, ini bisa menarik pemirsa atau tidak. Pemirsa, ya penonton karena dua hal ini sangat berkaitan. Jadi seperti triangle [segitiga], di sini ada TV, di sini ada pengiklan, di sini ada penonton. This triangle has to be in sinergy [Segitiga ini harus sinergis]. (Probo Susanto, Trans TV, wawancara, 4 November 2014)

Hal ini terjadi hampir bersamaan dengan mundurnya salah satu eksekutif Trans TV, Wishnutama. Pasca pengunduran diri, ia membuat saluran TV baru. Maka, sejak 2013, kita menyaksikan NET. memasuki gelanggang pasar TV sebagai buah kreasi Wishnutama. NET. didukung oleh Indika Group, yang juga memiliki beberapa stasiun radio di Indonesia.

Berbekal pengalaman mendirikan Trans TV, Wishnutama mengarahkan NET. menjauhi konten arus utama, sebagaimana

positioning Trans TV di awal berdiri mereka, yakni menyasar

kelas menengah dan atas sebagai khalayak penonton mereka. Penonton NET. mungkin lebih sedikit dari penonton TV lain, tapi penontonnya NET. very specific [sangat spesifik], [yaitu] mereka punya

buying power [daya beli]. Ada penonton yang hanya menonton power

saja gitu ya kan. Banyak [yang] menonton, tapi [daya] menonton itu [lalu] mau [apa?]. Sekarang pertanyaan saya simpel. Kalau mereka hanya penonton power kamu mau beriklan, [produk] kamu tidak akan terbeli. Tapi kalau audience yang punya buying power itu mampu beli gitu. [Lahirnya] NET. itu untuk mengejar kualitas daripada kebutuhan mereka tersebut. Jadi ini kalau ditanya, saya [biasa] ditanyai waktu mempresentasikan konsep jaringan kami, ada beberapa advertiser menghampiri saya mengatakan, “Kamu sok idealis nih?” Oh tidak, tidak, saya realistis. (Wishnutama, NET., wawancara, 18 Desember 2014) Sebagai nakhoda stasiun televisi ini, Wishnutama mengikuti beberapa prinsip khusus seperti: tidak merujuk rating untuk mengevaluasi program. Sebagai pengganti, ia harus menciptakan indikator khusus untuk meyakinkan para pengiklan terhadap potensi NET. Di titik inilah, idealisme perusahaan akan diuji oleh aturan-aturan pasar. Walau para pendatang baru seperti NET. mencoba untuk menambahkan warna baru ke dalam industri media, pada titik tertentu mereka pasti akan menghadapi ujian

bagi kekuatan sumber daya mereka. Hal ini diakui oleh Wishnutama sendiri:

Memang sebuah televisi akan aman, dari segi bisnis kalau revenue mereka itu per bulan itu sudah di atas 70 milyar. 70 sampai 100 milyar per bulan itu. Karena ya cost, pengeluarannya segala macam itu [banyak], [jadi pemasukannya] harus di atas itu lah. Itu akan dianggap baru aman ya belum menguntungkan ya, gitu baru aman. Sebagai gambaran Metro TV hari ini itu, per hari ini tuh sales-nya per bulan mungkin ya sekitar 20 miliar, 20, tidak sampai 30 lah. Kalau TV One mungkin untuk sekarang sekitar 40-an ya per bulan. 40 sampai 50. Kira-kira saya ya perKira-kiraan saya ya. (Wishnutama, NET., wawancara, 18 Desember 2014)

Pada akhirnya, upaya menjinakkan dominasi sistem rating yang nyaris tanpa kompromi merupakan ujian besar bagi siapa pun yang berani berinovasi di tengah ortodoksi modal. Metro TV, Trans TV, dan NET. adalah sekadar tiga contoh pelaku di dalam struktur media.

Di samping TV swasta terestrial, TV Berbayar adalah saluran lain yang juga telah membentuk industri TV pada tahun-tahun belakangan ini. Saat ini, populasi TV berbayar di Jakarta dan wilayah sekitarnya telah menggaet 3,3 juta orang atau kira-kira 11,3% populasi total (Nielsen, 2014). Jumlah ini terus meningkat dalam enam tahun ini, dari awalnya hanya 300 ribu orang, dan tercermin pula dari pertambahan angka operator, dari hanya lima atau lebih menjadi 10 (Nielsen, 2014 Bulletin).

Para aktor/pelaku berpengetahuan, adalah pemain penting dalam mobilisasi berbagai bentuk aturan dan sumber daya yang berbeda maupun yang baru. Para pelaku ini memiliki kemampuan untuk

mengubah struktur, dengan secara aktif melakukan apa yang

disebut sebagai tindakan refleksif dan selalu memantau industri melalui kemampuan refleksi tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan secara sadar membuka kemungkinan terhadap program alternatif dan tidak menyerah tunduk pada aturan legitimasi dominan yang dpaksakan oleh para pelaku lain dalam skema industri ini.

Hal ini membawa kita kembali ke topik mengenai para pekerja kreatif dan preferensi mereka sendiri terhadap konten. Adalah paradoks bahwa para produser TV sendiri jarang menonton acara yang mereka buat, seperti seringkali diakui oleh mereka sendiri.18

Apa yang membedakan para produser televisi Indonesia, seperti dicatat oleh Barkin, adalah persis latar belakang mereka yang memang berbeda dari para penonton mereka. Jadi, tegangannya adalah antara televisi berfungsi menjembatani (memediasi) ideal kemanusiaan dan realitas kemanusiaan yang seringkali jauh dari ideal, atau televisi sekadar memberi penonton apa yang dirasa cocok oleh para eksekutifnya (Hobart, 2006).

Meminjam perspektif Giddens tentang tindakan manusia, tampaknya para pekerja media pun seringkali hanyut dalam

kesadaran praktis, dan jarang sekali mengambil jarak untuk

merefleksikan tindakan mereka sendiri. Para petinggi Trans TV dan NET. Mungkin bisa dilihat sebagai perkecualian, mengingat perusahaan mereka secara sadar memilih pendekatan serta strategi yang berbeda dalam memproduksi serta menyampaikan produk mereka.