• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN TEORI

C. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi

1. Pengertian Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi

Menurut Taksonomi Bloom yang telah direvisi proses kognitif terbagi

menjadi kemampuan berpikir tingkat rendah (Lower Order Thingking) dan

yang termasuk kemampuan berpikir tingkat renadah (LOT) adalah

kemampuan mengingat (remember), memahami (understand), dan

menerapkan (apply), sedangkan HOT meliputi kemampuan menganalisis

(analyze), mengevaluasi (evaluate), dan menciptakan (create) (Anderson &

Krathwohl, 2001, p.30). Taksonomi Bloom masih digunakan dalam banyak

kurikulum dan bahan pengajaran (Brookhart, 2010, p.39, Schraw and

Robinson, 2011, pp.158- 159).

Menurut Brookhart (2010, p.5) kemampuan berpikir tingkat tinggi

(HOTS) adalah (1) berpikir tingkat tinggi berada pada bagian atas taksonomi

kognitif Bloom, (2) tujuan pengajaran di balik taksonomi kognitif yang dapat

membekali peserta didik untuk melakukan transfer pengetahuan, (3) mampu

berpikir artinya peserta didik mampu menerapkan pengetahuan dan

keterampilan yang mereka kembangkan selama belajar pada konteks yang

baru.

Higher Order Thingking Skill didefinisikan didalamnya termasuk berpikir kritis, logis, reflekstif, metakognisi, dan kreatif (King, 2011). Semua

keterampilan tersebut aktif ketika seseorang berhadapan dengan masalah yang

tidak biasa, ketidakpastian, pertanyaan dan pilihan. Penerapan yang sukses

dari keterampilan ini terdapat dalam penjelasan, keputusan, penampilan, dan

produk yang valid sesuai dengan konteks dari pengetahuan dan pengalaman

yang ada serta lanjutan perkembangan keterampilan ini atau keterampilan

Corebina, dkk dalam Kawuwung (2011:158) mengatakan bahwa

keterampilan berpikir tingkat tinggi dapat diketahui dari kemampan kognitif

siswa pada tingkatan analisis, sintesis, dan evaluasi. Kemampuan berpikir

tngkat tinggi dengan hasil belajar kognitif sangat berkaitan dengan

kemampuan awal siswa.

Resnick (Arrend, 2007:44) berpikir tingkat tingkat tinggi adalah proses

yang melibatkan operasi-operasi mental seperti klasifikasi, induksi, deduksi,

dan penalaran. Dalam proses berpikir tingkat tinggi seringkali dihadapkan

dengan banyak ketidakpastian dan juga menuntut beragam aplikasi yang

terkadang bertentangan dengan kriteria yang telah ditemukan dalam proses

evaluasi.

Dari pengertian kemampuan berpikir tingkat tinggi diatas dapat

disimpulkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan proses

berpikir di mana tidak hanya sekedar mengingat atau menghafal, namun juga

dapat menyimpulkan dengan kata-kata sendiri, menghubungkan, serta

mentransformasi pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki secara kritis dan

kreatif untuk memecahkan masalah pada situasi yang baru dalam kehidupan

sehari-hari.

2. Konsep Utama Pendekatan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Konsep utama dalam pendekatan keterampilan berpikir tingkat tinggi

adalah mengikuti ketiga anggapan tentang berpikir dan belajar, yaitu:

a. Berpikir tidak bisa dihubungkan dari tingkat, mereka saling tergantung

b. Berpikir atau tidak berpikir dapat belajar tanpa isi pokok, hanya poin

teoritis. Dalam kehidupan nyata, siswa akan mempelajari materi pelajaran

berdasarkan pada pengalaman sekolahnya. Misalnya untuk bisa menguasai

konsep materi akuntansi dasar 2, maka harus menguasai akuntansi 1

terlebih dulu. Pengalaman pada sekolah-sekolah terdahulu akan membantu

mereka mempelajari konsep yang lebih tinggi pada tahun berikutnya.

c. Keterampilan berpikir tingkat tinggi meliputi berbagai cara berpikir,

memproses, serta menerapkan pada situasi gabungan dan variabel

kelipatannya setelahnya.

Tingkat berpikir tergantung pada hubungan real-world situation (situasi

dunia nyata) dengan variabel kelipatan penawaran ke tantangan berpikir

memproses. Keberhasilan berpikir tingkat tinggi tergantung pada kemampuan

individu dalam menerapkan, merobak, dan memperindah pengetahuan dalam

konteks situasi berpikir.

Pengajaran keterampilan berpikir dilandasi dua filosofi. Pertama harus ada

materi atau pelajaran khusus tentang berpikir. Kedua mengintegrasikan

kegiatan berpikir kedalam setiap pelajaran ekonomi. Dengan demikian

keterampilan berpikir terutama berpikir tingkat tinggi harus dikembangkan

dan menjadi bagian dari pelajaran ekonomi sehari-hari. Dengan acara ini

keterampilan berpikir dapat dikembangkan dengan cara membantu siswa

menjadi problem solver yang lebih baik. Untuk itu guru harus menyediakan

masalah (soal) yang memungkinkan siswa menggunakan keterampilan

3. Pengembangan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi a. Level 1: Prasyarat

Sejauh mana siswa mengembangkan kemampuan berpikir tingkat

tinggi tergantung pada konten dan konteks interaksi dengan keterampilan

rendah siswa untuk berpikir, disposisi, dan kemampuan. Dalam

perencanaan pelajaran, guru kadang-kadang mungkin merasa sulit untuk

membedakan tingkat tertinggi dalam kategori “golongan rendah” dari

tingkat terendah dalam kategori “golongan lebih tinggi”. Bagaimana pun

kemampuan berpikir tidak benar-benar sebagai individu yang terpisah seperti “blok bangunan”, meskipun para sarjana dan peneliti sering menggunakan metafora tersebut. Meskipun demikian penguasaan konten

dan berpikir tingkat rendah merupakan prasyarat penting untuk berpikir

yang lebih tinggi menurut Gagne, Bringgs, dan Wager (1988)

Kecerdasan bawaan siswa, lingkungan belajar, dan penggunaan yang

lebih rendah kemampuan berpikir dapat mempengaruhi perkembangan

kognitif mereka. Kecenderungan dan kemampuan memainkan bagian

penting dari proses berpikir. Marzano (1993) menggambarkan satu set kecenderungan sebagai “kebiasaan berpikir”. Ini termasuk mencari akuransi dan kejelasan, yang berpikiran terbuka, menahan diri, dan

mengambil posisi satu arah, serta pengaturan diri, berpikir kritis dan

berpikir kreatif. Penelitian lain memperlakukan pengaturan diri sebagai

bagian dari metakognisi, dan pemikiran kritis dan kreatif sebagai dimensi

b. Level 2 : Penghubung

Menghubungkan jaringan dan operasi membantu menyediakan

jembatan ke tingkat berpikir yang lebih tinggi. Secara keseluruhan,

dimensi konten dan konteks, berpikir tingkat tinggi yang lebih rendah, dan

disposisi dan kemampuan membantu untuk mengembangkan skemata,

koneksi, dan perancah untuk jaringan yang menghubungkan dan operasi.

Ketika siswa menghubungkan sebelum belajar dengan konteks yang baru,

memasuki skemata mereka sendiri, dan memiliki peranca yang tepat untuk

informasi baru, mereka bergerak menuju pemikiran tingkat tinggi. Siswa “memperluas pengetahuan mereka tentang dunia dengan membagun hubungan antar konsep yang berbeda (Crow; et al, 1997:148), dan ketika

digabungkan, hubungan ini membentuk aturan yang merupakan prasyarat

utama dalam menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan

pemecahan masalah (Gagne, Briggs, & Wager, 1988)

Penghubung dari rendah ke pemikiran tingkat tinggi dibuat dengan menjalin kegiatan berpikir dengan konten melalui “menguraikan materi yang diberikan, membuat kesimpulan melampaui apa yang secara eksplisit

disajikan, membangun representasi yang memadai, menganalisis, dan membangun hubungan” (Lewis & Smith, 1993:133). Misalnya dalam materi pemahaman membaca, siswa terlibat dalam membuat kesimpulan

dan menggunakan informasi yang berada di luar apa yang tertulis,

sehingga menjalin berpikir tingkat rendah dan lebih tinggi dengan isi materi. Hubungan dari jaringan penghubung sangat penting karena “dalam

istilah yang sangat sederhana, kita mengingat hal-hal yang telah kita hubungkan” (Marzano, 1993: 156). “Hal ini terutama isi yang dimulai dalam bentuk yang relatif sederhana dan tumbuh menjadi kompleksitas… sifat tidak berubah… tetapi menyesuaikan tantangan yang meningkat” (Clarke, 1990:24)

c. Level 3 : Berpikir Tingkat Tinggi

Situasi, keterampilan dan hasil adalah komponen yang menantang

pemikir untuk melakukan pemikiran tingkat tinggi. Beberapa interprestasi

mungkin telah menempatkan pemikiran metakognitif sebagai bagian dari

jaringan penghubung yang merupkan sebagai salah satu keterampilan

berpikir tingkat tinggi. Konsep kontemporer metakognisi yang sebenarnya

berasal dari Strenberg (dikutip dalam Crowl et al, 1997) yaitu teori

Triarchic kecerdasan. Teori ini mencakup komponen-komponen berpikir, pendekatam untuk pengalaman, dan konteks tanggapan terhadap

pemecahan masalah situasi. Tiga bagian dari teori triarchic adalah aspek

komponen makna, aspek pengalaman dan aspek kontekstual.

Strategi metakognitif adalah kompleks. Termasuk temuan masalah,

dtetapkan oleh Bruner (dikutip dalam Gagne, Briggs, & Wager, 1988)

sebagai tugas yang membutuhkan lokasi ketidaklengkapan, anomaly,

kesulitan, ketimpangan, dan kontradisi. Mereka menghubungkan

penemuan permasalahan dan kreativitas melalui kegiatan perencanaan,

pemantauan diri dari kemajuan, dan strategi penyesuaian diri untuk

4. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi menurut Taksonomi Bloom Revisi Kemampuan berpikir tingkat tinggi sebelum revisi Taksnomi Bloom

meliputi tingkat analisis, sintesis, dan evaluasi, setelah Taksnomi Bloom revisi

menjadi tingkat menganalisis (Analyze), mengevaluasi (Evaluated), dan

mencipta (Create). Adapun definisi untuk masing-masing tingkat tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Menganalisis (Analyze)

Menganalisis meliputi kemampuan untuk memecahkan satu kesatuan

menjadi bagian-bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut

dihubungkan satu dengan yang lain atau bagian tersebut dengan

keseluruhannya. Analisis menekankan pada kemampuan merinci sesuatu

unsur pokok-pokok menjadi bagian-bagian dan melihat hubungan antar

bagian tersebut. Di tingkat analisis seseorang akan mampu menganalisa

infromasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi

ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya

dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari

sebuah scenario yang rumit. Kategori mengenalisis terdiri dari

kemampuan membedakan (Differentiating), mengorganisasi (Organizing)

dan memberi simbol (Attributing)

1) Differentiating (membedakan)

Membedakan meliputi kemampuan membeda-bedakan

bagian-bagian dari keseluruhan struktur dalam bentuk yang sesuai.

Mengorganisasi meliputi kemampuan mengidentifikasi

unsur-unsur secara bersama-sama menjadi struktur yang saling terkait.

3) Attributing (mengatribusikan)

Mengatribusikan adalah kemampuan siswa untuk menyebutkan

tentang sudut pandang, pendapat, nilai atau maksud dari suatu masalah

yang diajukan. Mengatribusikan membutuhkan pengetahuan dasar

yang lebih agar dapat menerka maksud dari inti permasalahan yang

diajukan.

b. Mengevaluasi (Evaluate)

Mengevaluasi didefinisikan sebagai kemampuan melakukan judgement

berdasar pada kriteria dan standar tertentu. Kriteria yang paling sering

digunakan adalah kualitas, efektifitas, efisiensi, dan konsistensi. Standar

ini bisa bersifat kuantitas atau kualitas. Evaluasi mencakup kemampuan

untuk membetuk suatu pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal,

bersama dengan pertanggungjawaban pendapat itu yang berdasarkan

kriteria tertentu. Adanya kemampuan ini dinyatakan dengan memberikan

penilaian terhadap sesuatu. Kategori mengevaluasi atau menilai terdiri dari

memeriksa (Checking) dan mengkritik (Critiquing)

1) Memeriksa (Checking)

Memeriksa adalah kemampuan untuk mengetes konsistensi internal

atau kesalahan pada operasi atau hasil serta mendeteksi keefektifan

2) Mengkritik (Critiquing)

Mengkritik adalah kemampuan memutuskan hasil atau operasi

berdasarkan kriteria dan standar tertentu. Mendeteksi apakah hasil

yang diperoleh berdasarkan suatu prosedur menyelesaikan suatu

masalah mendekati jawaban yang benar.

c. Mencipta (Create)

Mencipta didefinisikan sebagai menggeneralisasi ide baru, produk atau

cara pandang yang baru dari suatu kejadian. Mencipta disini diartikan

sebagai peletak beberapa elemen dalam satu kesatuan yang menyeluruh

sehingga terbentuklah dalan satu bentuk yang koheren atau fungsional.

Siswa dikatakan mampu mencipta jika dapat membuat produk baru

dengan merombak beberapa elemen atau bagian ke dalam bentuk atau

struktur yang belum pernah diterangkan oleh guru sebelumnya. Proses

mencipta umumnya berhubungan dengan pengalaman belajar siswa yang

sebelumnya. Proses mencipta dapat dipecah menjadi tiga fase yaitu:

1) Masalah yang diberikan, di mana siswa mencoba untuk memahami

soal, dan mengeluarkan solusi yang mungkin

2) Perencanaan penyelesaian, di mana siswa memeriksa kemungkinan dan

memikirkan rancangan yang dilaksanakan

3) Pelaksanaan penyelesaian, di mana siswa berhasil melaksanakan

rencana.

Karena itu, proses kreatif dapat diartikan sebagai awalan yang

penyelesaian yang bermacam-macam sebagaimana yang dilakukan siswa

yang mencoba untuk memahami soal (merumuskan/generating).

Langkah ini dilanjutkan dengan langkah mengerucut, di mana siswa

memikirkan metode penyelesaian dan menggunakannya dalam rancangan

kegiatan (merencanakan/planning). Terakhir rencana dilaksanakan dengan

cara siswa menyusun penyelesaian (memproduksi/producing).

5. Karakteristik Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Secara umum, keterampilan berpikir terdiri atas empat tingkatan, yaitu:

mengahafal (recall thingking), dasar (basic thingking), kritis (critical

thingking), dan kreatif (creative thingking) (Kurlik & Rudnick, 1999)

a. Menghafal adalah tingkat berpikir paling rendah. Keterampilan ini hampir

otomatis atau refleksif sifatnya. Siswa pada sekolah menengah atas

seringkali dipaksa untuk menghafal mengenai teori-teori pada mata

pelajari seperti teori penawaran ataupun teori permintaan.

b. Keterampilan dasar, yakni keterampilan yang meliputi pemahaman

konsep-konsep seperti penjumlahan dan pengurangan, serta aplikasinya

dalam soal-soal.

c. Berpikir kritis, yaitu berpikir yang memeriksa, menghubungkan, dan

mengevaluasi semua aspek situasi atau masalah. Termasuk di dalamnya

mengumpulkan, mengorganisir, mengingat, menganalisa informasi.

Berpikir kritis termasuk kemampuan membaca dengan pemahaman dan

mengidentifikasi materi yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan.

dan mampu menentukan ketidak-konsistenan dan pertentangan dalam

sekelompok data merupakan bagian dari keterampilan berpikir kritis.

Dengan kata lain, berpikir kritis adalah analitis dan refleksif.

Beberapa kemampuan yang dikaitkan dengan konsep berpikir kritis adalah

kemampuan-kemampuan untuk memahami masalah, menyeleksi informasi

yang penting untuk menyelesaikan masalah, memahami asumsi-asumsi,

merumuskan dan menyeleksi hipotesis yang relevan, serta menarik

kesimpulan yang valid dan menentukan kevalidan dari

kesimpulan-kesimpulan (dressel dan Mayhew) (Watson dan Glaser, 1980:1). Dari

pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis merupakan

bagian dari penalaran.

Bonnie dan Potts (2003) berpendapat bahwa terdapat beberapa

kemampuan yang terpisah yang berkaitan dengan kemampuan yang

menyeluruh untuk berpikir kritis, yaitu menemukan analogi-analogi dan

macam hubungan yang lain antara potongan-potongan informasi, menentukan

kerelevanan dan kevalidan informasi yang dapat digunakan untuk

pembentukan dan penyelesaian masalah, serta menemukan dan mengevaluasi

penyelesaian atau cara-cara lain dalam menyelesaikan masalah.

Dengan demikian agar siswa tidak salah pada waktu membuat keputusan

dalam kehidupannya, mereka perlu memiliki kemampuan berpikir kritis yang

baik. Menurut Ruber (Romlah, 2002:9) dalam berpikir kritis siswa dituntut

untuk menggunakan strategi kognitif tertentu yang tepat untuk menguji

kekurangannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Tapilouw (Romlah, 2002:9), bahwa “berpikir kritis merupakan berpikir disiplin yang dikendalikan oleh kesadaran. Cara berpikir ini merupakan cara berpikir yang terarah, terencana,

mengikuti alur logis sesuai dengan fakta yang diketahui” Berpikir

kreatif,,yaitu keterampilan berpikir yang sifatnya orisinil dan reflekstif. Hasil

dari keterampilan kreatif adalah sesuatu yang kompleks. Kegiatan yang

dilakukan diantaramta menyatukan ide baru, menentukan efektifitasnya.

Berpikir kreatif meliputi juga kemampuan menarik kesimpulan yang biasanya

menghasilkan hasil akhir yang baru.

D. Rasa Senang Belajar Ekonomi

Dokumen terkait