PERANGKATPEMBELAJARANJUCAMAUNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA
Endang Krisnawati, Nicky Dwi Puspaningtyas, Tatag Yuli Eko Siswono (Program Pascasarjana Pendidikan Matematika
Universitas Negeri Surabaya Kampus Ketintang Surabaya;
Bronggalan Sawah Surabaya; 085648553560; [email protected])
Abstrak
Guru memegang peranan penting untuk mendorong kemampuan berpikir kreatif siswa. Hal ini bisa dilakukan dengan memfasilitasi siswa dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika seperti yang telah terdapat pada model pembelajaran JUCAMA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan guru SD dalam merancang perangkat pembelajaran JUCAMA. Penelitian deskriptif kuantitatif ini merupakan bagian dari Penelitian Strategi Nasional yang dilakukan terhadap guru kelas III, IV, dan V SD di kabupaten Sidoarjo. Hasil penelitan menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam merancang pembelajaran JUCAMA tergolong dalam kategori “baik” dan juga terjadi peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa setelah diajar dengan menggunakan model pembelajaran JUCAMA. Simpulannya, guru telah mampu merancang perangkat pembelajaran JUCAMA untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif para siswanya.
Kata Kunci: berpikir kreatif, perangkat pembelajaran, model pembelajaran JUCAMA
Pendahuluan
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memberikan pengetahuan, wawasan, ketrampilan, dan keahlian tertentu kepada manusia untuk mengembangkan bakat dan kepribadian mereka. Aspek-aspek tersebut diperlukan oleh setiap orang untuk menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Matematika merupakan salah satu pelajaran yang mendukung hal tersebut. KTSP 2006 (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang standar isi) menyebutkan bahwa mata pelajaran matematika memberikan penekanan untuk memberi bekal siswa mulai dari sekolah dasar berupa kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Salah satu dari kompetensi yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan harus dikembangkan pada kegiatan pembelajaran adalah kemampuan berpikir kreatif.
Berpikir kreatif merupakan salah satu kemampuan intelektual manusia yang sangat penting, dan oleh para ahli psikologi kognitif sering dikaitkan dengan kemampuan dalam memecahkan masalah. Para ahli psikologi kognitif juga mengungkapkan bahwa kreativitas seringkali disebut sebagai berpikir kreatif. Evans (dalam Siswono, 2008) menjelaskan kreativitas adalah kemampuan untuk menemukan hubungan-hubungan baru untuk melihat suatu
objek dari perspektif baru, dan untuk membentuk kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang sudah ada dalam pikiran. Pendapat lain tentang berpikir kreatif dalam matematika juga dikemukakan oleh Sriraman (2011) sebagai kemampuan untuk melihat atau memilih penyelesaian dalam matematika. Selain itu Guilford (dalam Suharnan, 2005) menjelaskan bahwa berpikir kreatif memiliki hubungan yang erat dengan berpikir divergen. Hal tersebut dikarenakan dengan berpikir secara divergen seseorang akan dituntut untuk menemukan alternatif-alternatif solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh seseorang. Pada pembahasan ini, berpikir kreatif didefinisikan sebagai suatu rangkaian kemampuan berpikir secara divergen untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Dalam matematika, sesuatu yang baru tersebut itulah yang menjadi sebuah tolok ukur pada berpikir kreatif, yaitu dalam memecahkan masalah dan mengajukan masalah pada khususnya.
Pemecahan masalah terutama dalam matematika banyak digunakan dalam kurikulum-kurikulum pada suatu negara, begitu juga Indonesia yang memuat secara tersirat dalam tujuan pembelajaran matematika. Berdasarkan pendapat Pehkonen (dalam Siswono, 2008), terdapat 4 alasan tentang pentingnya pemecahan masalah diajarkan di kelas, antara lain.
1. Pemecahan masalah mengembangkan ketrampilan kognitif secara umum 2. Pemecahan masalah mendorong kreativitas
3. Pemecahan masalah merupakan bagian dari proses aplikasi matematika 4. Pemecahan masalah memotivasi siswa untuk belajar matematika.
Selain itu, pemecahan masalah juga dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengungkap kemampuan berpikir kreatif siswa (Haylock, dalam Siswono, 2008). Adams (2010) juga menyatakan bahwa pemecahan masalah seringkali digunakan untuk mengungkap dan membiasakan seseorang untuk berpikir kreatif, khusunya masalah yang dinamis (memiliki solusi tidak tunggal). Cara lain yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif adalah dengan menggunakan pengajuan masalah (Dunlap, dalam Siswono, 2008). Nixon-Ponder (dalam Kilic, 2013) juga menyatakan bahwa mengembangkan dan memperkuat kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif merupakan salah satu keuntungan menggunakan pengajuan masalah sebagai aktivitas belajar mengajar di kelas. Selain itu, keuntungan lain dari pengajuan masalah sebagai aktivitas di kelas adalah dengan pengajuan masalah guru dapat memfasilitasi siswanya untuk berpikir secara fleksibel dan melakukan penilaian terhadap hasil pengerjaan mereka sendiri (Kilic, 2013). Dengan demikian, jika dalam suatu rangkaian aktivitas pembelajaran guru menerapkan adanya pengajuan masalah dan pemecahan masalah, maka hal tersebut dapat memperbaiki kemampuan berpikir kreatif siswa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siswono (2008) juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan berpikir kreatif oleh siswa, meskipun peningkatan tersebut tidak signifikan tapi jika pembelajaran dengan menggunakan pengajuan dan pemecahan masalah terus dilakukan secara kontinu maka kemampuan berpikir kreatif siswa juga akan meningkat secara bertahap.
Guru memegang kunci penting dalam mendorong dan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Dalam hal ini guru dituntut untuk memfasilitasi kegiatan belajar mengajar agar siswa mampu mengembangkan kemampuan berpikir kreatif mereka. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru adalah merencanakan pembelajaran dengan model, pendekatan, atau strategi pembelajaran yang dapat memacu siswa untuk berpikir kreatif. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa pengajuan masalah dan pemecahan masalah dapat digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa, maka model pembelajaran JUCAMA dapat digunakan sebagai alternatif model pembelajaran yang mendorong siswa untuk berpikir kreatif dalam matematika. JUCAMA merupakan model pembelajaran yang berdasarkan pada pengajuan masalah dan pemecahan masalah (Siswono, 2008). Model pembelajaran JUCAMA ini memiliki 2 macam tujuan, yaitu tujuan instruksional dan tujuan tidak langsung. Menurut Siswono (2008), tujuan instruksional model pembelajaran JUCAMA adalah sebagai berikut.
a. Meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada pemecahan masalah yang dihubungkan dengan materi yang dibahas.
b. Meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir kreatif yang diindikasikan dengan kefasihan, fleksibilitas, maupun kebaruan dalam memecahkan maupun mengajukan masalah matematika.
Sedangkan, untuk tujuan khususnya adalah sebagai berikut.
a. Mengaitkan konsep-konsep matematika yang sudah dipelajari dengan konsep lain dan pengalaman siswa sehari-hari.
b. Memusatkan perhatian dan melakukan pengulangan terhadap materi yang sudah dipelajari (mendorong untuk belajar mandiri)
c. Melatih mengkomunikasikan ide secara rasional atau bernalar karena dituntut untuk menjawab masalah secara divergen.
Model pembelajaran JUCAMA dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa karena sintaks model pembelajaran ini mencakup pada langkah-langkah pemecahan dan pengajuan masalah matematika, yaitu terdiri dari 5 fase antara lain.
1. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa.
2. Mengorientasikan siswa pada masalah melalui pemecahan dan pengajuan masalah serta mengorganisasikan siswa untuk belajar.
3. Membimbing penyelesaian secara individual maupun kelompok. 4. Menyajikan hasil penyelesaian pemecahan dan pengajuan masalah. 5. Memeriksa pemahaman dan memberikan umpan balik sebagai evaluasi.
Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa, guru harus membiasakan siswanya berpikir secara divergen. Dalam hal ini, salah satu model pembelajaran yang bisa
digunakan adalah model pembelajaran JUCAMA. Namun, karena model pembelajaran ini masih baru sehingga banyak guru yang belum mengetahui bagaimana cara mempersiapkan serta menerapkan model pembelajaran JUCAMA di kelas. Oleh karena itu perlu diadakan pelatihan bagi guru-guru tentang bagaimana merencanakan serta menerapkan pembelajaran JUCAMA di kelas. Sebagai tindak lanjut dari Penelitian Strategi Nasional, maka guru-guru kelas III, IV, dan V SD di kabupaten Sidoarjo yang terlibat dalam penelitian Strategi Nasional diharuskan untuk merencanakan dan menerapkan pembelajaran matematika di kelas dengan menggunakan model pembelajaran JUCAMA setelah mendapat pelatihan tentang model pembelajaran JUCAMA. Pada perencanaan pembelajaran, guru perlu untuk membuat perangkat pembelajaran JUCAMA yang terdiri dari RPP, LKS, soal pretes dan postes, serta lembar penilaian. Seperti juga halnya dengan model pembelajaran lain, pada perencanaan mengajar dengan menggunakan model pembelajaran JUCAMA juga membutuhkan adanya Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP adalah program perencanaan yang disusun sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran untuk setiap kegiatan proses pembelajaran (Sanjaya, 2012). Terdapat beberapa komponen yang harus dimuat di dalam RPP yaitu tujuan pembelajaran, materi/isi, strategi dan metode pembelajaran yang digunakan, media dan sumber belajar, serta evaluasi. Dalam penelitian ini, karena model pembelajaran yang akan digunakan adalah model pembelajaran JUCAMA maka strategi dan metode yang digunakan juga menggunakan pengajuan dan pemecahan masalah. Perangkat pembelajaran penting lainnya yaitu Lembar Kerja Siswa (LKS). LKS yang dibuat oleh guru juga harus mencakup pengajuan dan pemecahan masalah. Seperti halnya yang telah dijelaskan oleh Guilford (dalam Suharnan, 2005) bahwa berpikir kreatif berkaitan dengan berpikir divergen, maka LKS yang disusun oleh guru juga harus melibatkan berpikir divergen siswa. Hal ini sesuai dengan indikator-indikator kreativitas matematika dalam pemecahan masalah dan pengajuan masalah yaitu kefasihan (fluency), fleksibilitas (flexibility), dan kebaruan (novelty)(Silver, 1997). Kefasihan dalam pemecahan masalah dapat dilihat dari jawaban benar dan beragam yang diberikan oleh siswa. Fleksibilitas dalam pemecahan masalah dapat dilihat dari cara-cara lain yang berbeda yang digunakan oleh siswa dalam menyelesaiakn masalah matematika yang sudah ada. Sedangkan kebaruan dalam pemecahan masalah dapat dilihat dari jawaban yang benar dan “tidak biasa” yang diberikan oleh siswa. Dalam pengajuan masalah, kefasihan mengacu pada kemampuan siswa dalam membuat soal sekaligus dengan penyelesaian yang beragam dan benar. Fleksibilitas dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam mengajukan masakah yang mempunyai cara penyelesaian berbeda-beda. Indikator terakhir yaitu kebaruan, dalam pengajuan masalah indikator kebaruan dilihat dari kemampuan siswa untuk mengajukan suatu masalah yang berbeda dengan soal yang diberikan gurunya. Sehingga baik LKS, soal pretes, maupun soal postes yang diberikan harus memenuhi syarat berikut.
2. Bersifat divergen dalam jawaban maupun cara penyelesaian sehingga memunculkan kriteria fleksibilitas, kebaruan, dan kefasihan
3. Berkaitan dengan lebih dari satu pengetahuan/konsep matematika siswa yang sudah dipelajari sebelumnya
4. Informasi harus mudah dimengerti dan jelas tertangkap makna atau artinya. (Siswono, 2008)
Selanjutnya untuk mengetahui berpikir kreatif siswa, guru juga seharusnya membuat lembar penilaian. Lembar penilaian berpikir kreatif ini berisi tentang indikator berpikir kreatif yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Kemudian skor berpikir kreatif siswa di kategorikan ke dalam 5 tingkat berpikir kreatif sebagai berikut.
Tingkat Karakteristik
Tingkat 4 (Sangat Kreatif)
Siswa mampu menunjukkan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan atau kebaruan dan fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.
Tingkat 3 (Kreatif)
Siswa mampu menunjukkan kefasihan dan kebaruan atau kefasihan dan fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.
Tingkat 2 (Cukup Kreatif)
Siswa mampu menunjukkan kebaruan atau fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.
Tingkat 1 (Kurang Kreatif)
Siswa mampu menunjukkan kefasihan dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.
Tingkat 0 (Tidak Kreatif)
Siswa tidak mampu menunjukkan ketiga aspek indikator berpikir kreatif.
Hasil wawancara dan observasi dengan guru menunjukkan bahwa sebelum mendapat pelatihan JUCAMA, hampir 100% guru menggunakan ceramah dan model pengajaran langsung dalam kegiatan belajar mengajar matematika baik di kelas III, IV, maupun V SD. Sehingga guru belum pernah membuat perangkat pembelajaran JUCAMA untuk meningkatkan kreativitas siswa.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan: (1) mendeskripsikan kemampuan guru dalam merencanakan perangkat pembelajaran JUCAMA untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa; dan (2) mendeskripsikan kemampuan berpikir kreatif siswa sebelum diajar dengan menggunakan JUCAMA dan setelah diajar dengan menggunakan JUCAMA.
Metode Penelitian
Penelitian deskriptif kuantitatif ini dilakukan terhadap guru-guru matematika kelas III, IV, dan V yang mengajar di delapan SD di Kabupaten Sidoarjo. Kedelapan SD ini terdiri dari enam sekolah negeri dan dua sekolah swasta. Guru yang terlibat sebanyak 21 orang dan siswa sebanyak 719 anak yang terdiri dari 114 siswa kelas III, 266 siswa kelas IV, dan 339 siswa kelas V. Karakteristik siswa untuk sasaran penelitian ini termasuk karakteristik umum siswa di sekolah-sekolah di Kabupaten Sidoarjo. Dengan demikian situasi dan kondisi sekolah dapat dikatakan tidak menunjukkan perbedaan-perbedaan yang mempengaruhi terhadap hasil penelitian.
Guru yang terlibat penelitian ini bisa dibilang belum memiliki banyak pengalaman mengajar dan merancang pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Secara umum, mayoritas guru belum tersertifikasi, berpengalaman mengajar kurang dari 10 tahun, belum pernah mengikuti pelatihan berpikir kreatif, bahkan ada beberapa guru yang bukan merupakan sarjana pendidikan matematika. Pada saat pembelajaran dikelas, para guru ini menyampaikan materi dengan metode ceramah dan tanya jawab. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa guru masih “asing” dengan pembelajaran yang menggunakan model pengajuan dan pemecahan masalah (jucama).
Sebelum para guru merancang perangkat pembelajaran yang akan diimplementasikan sesuai dengan sintaks jucama, penelitian ini diawali dengan dilaksanakannya workshop sebanyak 2 kali. Kegiatan workshop membahas tentang kemampuan berpikir kreatif siswa, cara peningktannya, dan cara merancang perangkat pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan bagi siswa unuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatifnya. Setelah kegiatan itu guru merancang perangkat pembelajaran jucama dan mengimplementasikan pada masing-masing sekolah. Perangkat pembelajaran terdiri dari RPP, LKS, soal pretes dan postes, serta lembar penilaian berpikir kreatif siswa. Pembelajaran dalam penelitian ini terdiri dari empat kali pertemuan dimana siswa diberikan LKS pada setiap pertemuan. Pretes dilakukan sebelum pembelajaran untuk mengetahui tingkat kemampuan awal berpikir kreatif siswa dan postes dilakukan di akhir pembelajaran untuk mengetahui tingkat kemampuan berpikir kreatif siswa setelah mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model jucama.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:(1) Lembar Penilaian Pembuatan Perangkat Pembelajaran Guru untuk mengetahui kemampuan guru SD dalam merancang pembelajaran dengan model jucama untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa; (2) Tes Kemampuan Berpikir Kreatif (TKBK) untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif siswaSD dalam mengajukan dan memecahkan masalah matematika. Soal pretes dan postes dirancang sedemikian sehingga dapat mengukur tingkat kemampuan berpikir kreatif siswa.
Analisis data secara deskriptif dengan membandingkan kemampuan guru dalam menyusun perangkat pembelajaran dengan peningkatan tingkat kemampuan berpikir kreatif
siswa yang terjadi.Analisis data secara kuantitatif dilakukan dengan membandingkan tingkat kemampuan berpikir kreatif siswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Analisis ini bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh perangkat pembelajaran jucama yang disusun oleh para guru dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa.
Indikator keberhasilan adalah guru dikatakan telah berdaya atau memiliki kemampuan merancang perangkat pebelajaran dengan baik jika : (1) Rata-rata skor pada lembar penilaian mecapai lebih dari 60,0 atau tergolong dalam katogori “baik”. Rata-rata tersebut dihitung berdasarkan skor perangkat yang dibuat dan dilaksanakan pada tiap pertemuan oleh 21 guru dalam penelitian ini. (2) Tingkat kemampuan berpikir kreatif siswa sesudah pembelajaran dengan menggunakan perangkat permbelajaran jucama yang disusun guru meningkat.
Hasil Penelitian
Kemampuan Guru dalam Merancang Perangkat Pembelajaran Jucama
Kemampuan merancang perangkat pembelajaran merupakan kemampuan yang esensial yang harus dimiliki oleh seorang guru. Perangkat pembelajaran yang baik akan mendukung kegiatan belajar mengajar menjadi terstruktur dan terarah. Pada penelitian ini, perangkat pembelajaran yang diamati adalah perangkat pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran jucama yang terdiri dari : (1) RPP, yang dirancang untuk 4 kali pertemuan dan memiliki tujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa; (2) LKS, yang juga dirancang untuk 4 kali pertemuan dan memfasilitasi siswa untuk mengeksplor kemampuan berpikir kreatifnya; (3) Pretest dan Postes, yang bertujuan untuk mengukur tingkat kemampuan berpikir kreatif siswa di awal dan akhir pembelajaran; (4) Lembar Penilaian Hasil Pretes dan Postest Siswa, yang dalam penilaiannya harus memenuhi ketiga indicator berpikir kreatif, yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan.
Kemampuan guru dalam merancang pembelajaran jucama dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Skor Guru dalam Merancang Perangkat Pembelajaran Jucama Nama
Samaran
Instansi Mengajar Kelas Skor Perangkat (8 butir)
Guru 1 SD Negeri 3 82.5 Guru 2 SD Negeri 3 67.5 Guru 3 SD Negeri 3 50.0 Guru 4 SD Swasta 3 80.0 Guru 5 SD Swasta 3 80.0 Guru 6 SD Negeri 4 80.8 Guru 7 SD Negeri 4 64.4 Guru 8 SD Negeri 4 70.0 Guru 9 SD Negeri 4 75.0 Guru 10 SD Negeri 4 75.0
Guru 11 SD Negeri 4 65.0 Guru 12 SD Negeri 5 72.5 Guru 13 SD Negeri 5 83.3 Guru 14 SD Negeri 5 78.1 Guru 15 SD Negeri 5 78.1 Guru 16 SD Negeri 5 72.5 Guru 17 SD Negeri 5 75.0 Guru 18 SD Negeri 5 72.5 Guru 19 SD Swasta 5 72.5 Guru 20 SD Negeri 5 62.5 Guru 21 SD Swasta 5 82.5 Rata-rata 73.3
Bedasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan guru dalam merancang perangkat pembelajaran cukup bervariasi. Terlihat bahwa rata-rata skor perangkat pembelajaran guru adalah 73,3 atau tergolong dalam kategori “baik”. Lebih detailnya, 4,76% guru memperoleh skor dibawah 60,0 yang artinya guru tersebut masih memiliki kemampuan yang tergolong “kurang baik” dalam menyusun perangkat pembelajaran jucama. 80,95% guru memenuhi kategori berkemampuan baik sedangkan 14,29% lainnya tergolong dalam kategori sangat baik. Maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan guru SD dalam merancang perangkat pembelajaran sudah baik.
Kemampuan Awal dan Akhir Berpikir Kreatif Siswa
Analisis terhadap kemampuan awal dan akhir berpikir kreatif siswa dilakukan untuk melihat apakah pembelajaran yang dirancang oleh guru sesuai dengan model jucama dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Secara keseluruhan siswa kelas III, IV, dan V menunjukkan peningkatan kemampuan berpikir kreatif di akhir pembelajaran seperti yang terlihat pada table 2 berikut.
Tabel 2. Skor Pretes dan Postes Siswa Kelas III, IV, dan V
TKBK Banyak Siswa Pretes Postes TKBK 0 143 103 TKBK 1 244 146 TKBK 2 124 69 TKBK 3 140 173 TKBK 4 68 196
Berdasarkan data di atas, banyak siswa yang tergolong dalam TKBK 1, 2, 3 menurun cukup signifikan di akhir pembelajaran. Sementara itu, banyak siswa yang tergolong TKBK 3
dan 4 yaitu yang tergolong kreatif dan sangat kreatif meningkat sangat dramatis setelah mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model jucama.
Peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa di masing-masing jenjang kelas pun terlihat jelas. Bahkan, untuk siswa kelas III, persentase siswa yang tergolong dalam kategori “sangat kreatif” meningkat hingga 950%. Data selengkapnya terangkum dalam tabel 3 berikut.
Tabel 3. Skor Pretes dan Postes Siswa Kelas III
TKBK Banyak Siswa Pretes Postes TKBK 0 18 11 TKBK 1 60 47 TKBK 2 5 1 TKBK 3 29 27 TKBK 4 2 21
Selanjutnya untuk siswa kelas IV, kemampuan awal berpikir kreatif para siswa dapat dikatakan bervariasi. Namun, setelah dilakukan pembelajaran jucama, pada hasil skor postes menunjukkan bahwa mayoritas siswa memiliki kemampuan berpikir kreatif yang sangat baik dan tegolong dalam sangat kreatif. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4 berikut.
Tabel 4. Skor Pretes dan Postes Siswa Kelas IV
TKBK Banyak Siswa Pretes Postes TKBK 0 67 38 TKBK 1 49 25 TKBK 2 69 30 TKBK 3 40 52 TKBK 4 41 90
Peningkatan kemampuan berpikir kreatif pada siswa kelas V pun terjadi dengan signifikan. Dimana yang pada awalnya kemampuan siswa yang tergolong tidak kreatif sebanyak 58 orang, menurun 6.89% diakhir pembelajaran sehingga hanya ada 54 siswa yang tergolong berkemampuan tidak kreatif. Selain itu, banyaknya siswa yang berkemampuan sangat kreatif pun bertambah dengan drastis. Banyak siswa yang berkemampuan sangat kreatif bertambah hingga lebih dari tiga kali lipat dari banyak siswa berkemampuan sangat kreatif sebelum pembelajaran jucama. Data selengkapnya dapat dilihat dari tabel 5 berikut.
Tabel 5. Skor Pretes dan Postes Siswa Kelas V TKBK Banyak Siswa Pretes Postes TKBK 0 58 54 TKBK 1 135 74 TKBK 2 50 38 TKBK 3 71 94 TKBK 4 25 85
Pembahasan Hasil Penelitian
Pada penelitian ini dibahas tentang kemampuan guru dalam merancang perangkat pembelajaran JUCAMA untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Guru dikatakan mampu membuat perangkat pembelajaran JUCAMA yang baik jika skor penilaian perangkat pembelajaran JUCAMA lebih dari 60,00.Berdasarkan tabel 1, terdapat 1 orang guru yang memperoleh skor kurang dari atau sama dengan 60,00, ini berarti guru tersebut memiliki kemampuan yang kurang baik dalam menyusun perangkat pembelajaran JUCAMA. Banyak guru yang memperoleh skor 60-80 adalah 17 orang, hal tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 17 orang guru telah memenuhi kategori baik dalam menyusun perangkat pembelajaran JUCAMA. Sisanya, yaitu 3 orang guru mendapat skor lebih dari 80 yang berarti bahwa kemampuan 3 guru tersebut tergolong dalam kategori sangat baik dalam menyusun perangkat pembelajaran JUCAMA.
Dari hasil pretes dan postes dapat dilihat bahwa tingkat kemampuan berpikir kreatif siswa meningkat setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran JUCAMA yang dikembangkan oleh para guru. Secara keseluruhan, jumlah siswa yang berada pada TKBK 0 (tidak kreatif), TKBK 1 (kurang kreatif), dan TKBK 2 (cukup kreatif) mengalami penurunan, sedangkan untuk jumlah siswa dengan TKBK 3 (kreatif) dan TKBK 4 (sangat kreatif) mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Pembelajaran JUCAMA memberikan dampak baik bagi tingkat kemampuan berpikir kreatif siswa. Hal ini juga dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam membuat perangkat pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk berpikir secara divergen (Guilford, dalam Suharnan 2005). Dengan adanya fasilitas dari guru dalam bentuk LKS maupun langkah-langkah pembelajaran yang mendorong siswa untuk berpikir secara divergen, maka hal ini bisa memunculkan indikator-indikator kreativitas yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan dalam mengajukan dan memecahkan masalah (Silver, 1997). Hal ini menyebabkan tingkat kemampuan berpikir kreatif (TKBK) siswa meningkat, sehingga bisa diindikasikan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa juga meningkat setelah menggunakan pembelajaran JUCAMA.
Simpulan dan Saran
Berdasar pertanyaan penelitian yang diajukan, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan guru SD dalam merancang perangkat pembelajaran sudah baik.
Kemampuan berpikir kreatif siswa dalam memecahkan dan mengajukan masalah mengalami peningkatan dari hasil pretes dan hasil postes. Banyak siswa yang tergolong dalam