• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan membedakan program Allah.

Dalam dokumen Pengaruh Model Pembelajaran Rasul Paulus (Halaman 53-60)

Setiap gereja memiliki dasar pengajaran masing-masing sesuai dengan dasar teologi yang dibangun. Oleh sebab itu setiap gereja memiliki keunikan tersendiri dalam praktek-praktek pelayanan yang dilakukan di dalam gereja masing. Hal ini tentunya

menimbulkan kebingungan bagi kaum awam dalam memposisikan dirinya di tengah- tengah keunikan-keunikan tersebut. Jadi melalui model pembelajaran membagi Firman Allah dengan tepat semua keunikan itu akan dapat diketahui penyebabnya, semuanya itu adalah karena ketidakmampuan dalam membedakan program Allah dengan tepat, sehingga ada banyak praktek-praktek yang dilakukan kelihatannya dibangun atas dasar Alkitab namun sebenarnya bukanlah sesuatu yang harus dipraktekkan pada masa kini. Allah sudah mewahyukan program Allah melalui rasul Paulus yang ditujukan kepada orang percaya yang hidup dalam tugas penyelenggraaan kasih karunia ini. Oleh sebab itu keberhasilan pelaksanaan model pembelajaran membagi program Allah dengan tepat dapat diukur dari kemampuan jemaat dalam membedakan program Allah bagi umatNya. Seperti yang diterapkan oleh rasul Paulus dimana pada saat terjadi permasalahan di dalam jemaat, Paulus mampu membedakan setiap program Allah sehingga orang yang diajar dapat dengan mudah mengerti. Karena melalui model ini akan memberikan jawaban atau solusi terhadap hal-hal yang kelihatannya bertentangan di dalam Alkitab.

Model Pembelajaran dalam Membagi Sasaran Pelayanan dengan Tepat

Pelayanan rasul Paulus mengandung lingkup pelayanan yang lebih luas dibandingkan dengan keduabelas rasul. Rasul Paulus memiliki sasaran pelayanan yang lebih komplikasi. Karena pelayanannya tidak dibatasi oleh daerah, budaya, status, jabatan, dan pendidikan. Paulus berkata dalam Galatia 3:28, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki- laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Konteks ayat ini adalah kesatuan di dalam Kristus, rasul Paulus menjelaskan kepada orang Galatia yang masih terpengaruh dengan ajaran Hukum Taurat yang selalu menawan mereka. Yesus Kristus telah menggenapi seluruh tuntutan Hukum Taurat tersebut sehingga barangiapa yang hidup oleh iman kepada Tuhan Yesus akan dipersatukan

menjadi satu dalam Kristus. Charles Baker menanggapi hal ini dengan mengatakan “Amanat melalui Paulus tidak lagi memandang manusia pada latar belakang kedagingan, manusia dipandang sudah mati, dengan semua pembedaan keduniawian dan kedagingannya telah lenyap. Semua orang dipandang sudah mati melalui kematian Kristus, sehingga telah menjadi calon kehidupan kekal.”70

Dengan demikian objek pelayanan Paulus bersifat heterogen, maka untuk menghadapi keberagaman dalam pelayanannya maka rasul Paulus menggunakan model pembelajaran kontekstual, dimana melalui model pembelajaran kontekstual ia dapat mempersatukan pengetahuan dengan keadaan nyata. B.S Sidjabat mengatakan bahwa “strategi pembelajaran kontekstual mengasumsikan konteks kehidupan sosial dan budaya merupakan sumber serta media belajar yang penuh makna.”71 Untuk itulah rasul Paulus berusaha membagi sasaran pelayanan yang sedang ia layani, Paulus harus memiliki kemampuan dalam memilah-milah kelompok yang sedang ia layani agar pembelajaran yang ia lakukan dapat diterima sesuai dengan konteks orang yang dilayaninya. Jadi pada saat dengan orang Yahudi ia akan seperti orang Yahudi, dengan orang yang hidup di bawah Hukum Taurat ia hidup seperti orang yang hidup di bawah Hukum Taurat, dengan orang lemah ia menjadi seperti orang lemah (IKorintus 9:21-23). Demikian pula pada saat ia ada di Athena, rasul Paulus melihat kota itu penuh dengan patung-patung berhala. Paulus berusaha untuk menyelidiki dan mencari media yang dipakai dalam konteks Yunani, dan akhirnya melalui sebuah tulisan pada sebuah mezbah tertulis, kepada Allah yang tidak dikenal (Kisah Para Rasul 17: 23), melalui tulisan ini Paulus memperkenalkan Allah yang benar yang telah menciptakan langit dan bumi yaitu Tuhan Yesus Kristus. B.S Sidjabat menjelaskan:

70

Charles F.Baker, A Dispensational Theologi.,terj.Johan Pandelaki ( Jakarta: Pustaka Alkitab Anugerah, 2009), 737.

71

Ketika melayani di Athena, ia melakukan pengamatan beberapa waktu untuk mengerti pola pikir, kebiasaan, dan tradisi masyarakat di sana. Ia juga bertukar pikiran dengan orang-orang terpelajar di pasar atau tempat pertemuan ( Agora). Walaupun tidak semua menerima berita Injil, sejumlah orang menjadi murid Tuhan ( Kisah Para rasul 17:16-34)72

Kemampuan rasul Paulus dalam menjalankan pembelajaran kontekstual sangat membantu dalam perluasan pelayanan yang dipercayakan kepadanya. Dan bahkan kemampuan rasul Paulus dalam pelayanan kontekstual untuk beberapa kali ia dapat lepas dari permasalahan yang sampai mengancam nyawanya seperti pada waktu ia ada di markas orang Romawi untuk disesah, Paulus berkata,” bolehkah kamu menyesah warganegara Rum, apalagi tanpa diadili?.” Secara kontek Paulus mengetahui undang- undang yang berlaku di Roma, dimana sejak republik Roma didirikan di dalam undang- undang kewarganegaraannya telah diatur bahwa warganegara Roma dikecualikan dari segala bentuk hukuman yang merendahkan si terhukum. Mengetahui hal itu maka para tentara yang hendak menyesah Paulus mundur. Peristiwa selanjutnya pada waktu Paulus dihadapan mahkamah agama, Paulus memperhatikan bahwa yang hadir adalah golongan orang Saduki dan golongan orang Farisi, ia tahu bahwa orang Saduki tidak percaya akan kebangkitan dan adanya malaikat dan Roh sedangkan orang Farisi mempercayai keduanya, ia berseru dalam mahkamah agama itu, katanya: ”Hai saudara- saudaraku, aku adalah orang Farisi, keturunan orang Farisi; aku dihadapkan ke Mahkamah ini, karena aku mengharap akan kebangkitan orang mati (Kisah Para Rasul 23:6-7).” Karena pernyataan itu maka terjadi keributan besar dan perpecahan di Mahkamah Agama dan akhirnya pengadilan terhadap Paulus tidak berlangsung.

B.S.Sidjabat menjelaskan bahwa model pembelajaran kontekstual yang diterapkan oleh Rasul Paulus ini sebenarnya diteladani dari Tuhan Yesus Kristus yang telah bersedia menjadi manusia (inkarnasi). Ia datang ke dalam konteks Yahudi di

72

Palestina pada masa lalu.( Yohanes 1:14). Ia hidup di tengah masyarakat selama kurang lebih 33 tahun.73 Dalam penerapan model pembelajaran kontekstual, bukan berarti bahwa Paulus kompromi terhadap kebudayaan, pengetahuan atau kebiasaan manusia yang di dalamnya masih terdapat unsur dosa, melainkan ini adalah salah satu kemampuan rasul Paulus di dalam pelayanan kontekstual atau sering juga disebut pelayanan lintas budaya, ia harus bisa melihat cara yang terbaik untuk bisa memenangkan orang yang dimaksud tanpa harus secara ekstrim menghilangkan budaya setempat.

Pengalaman yang bermakna dialami rasul Paulus dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual, sehingga ia dapat menghibur dan menguatkan serta mendorong orang percaya agar tetap berpegang teguh akan pengharapan kepada Tuhan Yesus, dalam suratnya kepada jemaat di Filipi ia berkata dalam Filipi 4:12-13:

”Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.”

Model pembelajaran dengan membagi sasaran pelayanan dengan benar memberikan dampak yang besar dalam pelayanan Paulus. Pencapaian orang-orang dari berbagai kalangan berhasil diraihnya.

Dalam pelayanan gereja masa kini penerapan model pembelajaran ini dapat diterapkan melalui pelayanan majemuk yaitu pelayanan yang tidak terikat pada suatu suku, status sosial, pekerjaan, dan apapun yang membuat batasan antara individu yang satu dengan yang lain. Melalui kemampuan menyesuaikan dengan sasaran yang dituju oleh gereja maka diharapkan gereja mampu memenangkan jiwa-jiwa baru untuk Tuhan

73

dari berbagai latar belakang suku dan budaya. Sehingga terjadi kesatuan dalam Kristus di dalam jemaat bersama-sama memuji dan memuliakan nama Tuhan.

Konsep pelayanan majemuk merupakan konsep pelayanan gereja sebagai tubuh Kristus, dimana tubuh memiliki banyak anggota dan setiap anggota memiliki tugas sesuai dengan kemampuannya masing-masing yang dikaruniakan oleh Allah. Masing- masing anggota tubuh memiliki keunikannya masing-masing. Satu anggota tubuh tidak boleh memaksakan kehendaknya harus dilaksanakan oleh anggota lain. Chris Marantika mengatakan bahwa gereja sebagai tubuh Kristus memiliki tiga jenis hubungan yaitu satu di dalam Kristus, kebersamaan dalam pelayanan untuk Kristus dan kebergantungan satu dengan yang lain di dalam keluarga Allah.74

Pelayanan majemuk juga berhubungan dengan sikap gereja terhadap kebudayaan, Richard Niehbur memberikan lima jenis kedudukan gereja di dalam kebudayaan. Kedudukan ini menjadi pertimbangan gereja untuk memposisikan Kristus di dalam kebudayaan. Adapun kelima kedudukan itu adalah:

Kristus menentang kebudayaan (Christ Against Culture), Kristus milik kebudayaan ( Christ of Culture), Kristus di atas kebudayaan ( Christ on The Culture), Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks (Christ and The Culture in Paradox), dan Kristus sebagai mengubah kebudayaan (Christ transform the culture).75

Dalam pelayanan majemuk gereja diharapkan memiliki kepekaan terhadap kebudayaan dalam mengambil tindakan seperti yang disampaikan oleh Richard Niehbur. Kemampuan gereja dalam menentukan sikap terhadap budaya akan menopang

74

Chris Marantika, Principles & Practice of The World Mission ( Yogyakarta: Iman Press, 2002), 34 .

75

pertumbuhan pelayanan dalam setiap budaya, sehingga keberagaman di dalam jemaat semakin nyata.

Indikasi keberhasilan pelaksanaan dan keberhasilan pelayanan majemuk dalam pelayanan gereja masa kini sebagai penerapam model pembelajaran dalam membagi sasaran pelayanan dengan tepat dapat dilihat dari :

1.Keberagaman dalam jemaat

Keberagaman dalam jemaat merupakan hasil dari pelayanan majemuk yang dilakukan di dalam program pengembangan jemaat. Kebenaran Firman Tuhan tidak dirasakan oleh masyarakat yang homogen saja, yang berdasarkan budaya, pekerjaan, status sosial, bahasa dan lain sebagainya. Namun gereja yang melakukan pelayanan majemuk akan menghasilkan kuantitas jemaat yang majemuk pula. Jemaat yang heterogen bersatu dalam Yesus Kristus seperti yang dituliskan oleh rasul Paulus tentang kesatuan orang-orang percaya dalam Kristus di Kolose 3:11, “dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.” Dan selanjutnya Paulus menjelaskan dalam Kolose 3:14, “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.”

Selain menghasilkan keberagaman dalam jemaat, pelayanan majemuk menunjukkan bahwa Firman Tuhan adalah kebutuhan dari semua orang tanpa ada batasan apapun. Melalui pembagian program Allah yang tepat maka Allah memiliki program tersendiri bagi orang Yahudi maupun bukan Yahudi, dengan demikian setiap orang yang mengerti program Allah dapat menikmati Firman Allah sesuai dengan kebutuhannya.

Dalam dokumen Pengaruh Model Pembelajaran Rasul Paulus (Halaman 53-60)

Dokumen terkait