• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah pertama

4. Kemauan Menerobos Batas dan Sekat

Menerobos batas dan sekat tidaklah mudah. Setiap orang nyaman dan berakar dalam kotak-kotak sosial yang dibuat sendiri. Menanggalkan suatu batas identitas bukanlah hal mu-dah dalam proses perubahan. Namun, seringkali perubahan tercapai ketika sekat dan batas tersebut diterobos.

Seorang manajer Microsoft, John Wood, misalnya me-ning galkan lingkungan dan identitasnya sebagai profesional kelas elit demi membuka Room to Read, suatu organisasi nir-laba yang memberikan kesempatan kepada anak-anak agar dapat memiliki dan membaca buku serta mengupayakan ke-tersediaan perpustakaan di berba gai penjuru dunia.

Apa yang dilakukan oleh Eka Putra Wirya mungkin menjadi contoh yang menunjukkan pentingnya keberanian melin -tasi batas-batas sosial, etnis, atau aga ma. Keturunan Tiong-hoa yang tum buh di kalangan bis nis ini didi dik oleh BPK PENABUR, yang pe serta didiknya hampir semua Tiong hoa.

Garis hidupnya sudah diten tukan: menjadi pebisnis Tionghoa yang ber hasil, apalagi ia mewarisi suatu per usa haan yang cu-kup tangguh dan me rupakan seorang penganut iman Kristen.

Namun, tanpa menonjolkan diri, de ngan tekun Eka justru menyem plungkan diri di dunia olahraga ca tur di Indonesia.

Walau pun tidak per nah menjadi ketua pengurus atau dewan pembina, masyarakat menge nali dampak keterlibatan dan peng abdiannya. Eka membuat momen-momen bersejarah di negara ini.

Eka menyadari bahwa olahraga catur tidak populer di mata ma syarakat Indonesia ketika ia memperoleh gelar master catur pada tahun 1983. Di dunia, prestasi Indonesia

B E R A N I B E R U B A H

66

“Saat itu, saya berbeda pendapat dengan salah satu pemain perempuan. Ia pilih Prabowo, saya pilih Jokowi. Saya tanya kepadanya, kenapa sih, kenapa pilih Prabowo, tidak kah prestasi Jokowi sudah terbukti? Kami berdiskusi dan ber debat. Ia katakan, pokoknya ustaznya memintanya memilih Prabowo.

Kami berdiskusi terus di depan teman yang lain de ngan sangat seru. Nah, karena ia harus ganti baju untuk syuting, ia pergi. Ketika melangkah, kaki saya terinjak olehnya.”

Hengky mengatakan kepadanya, “Jangan begitu juga, dong. Mentang-mentang kamu pilih Prabowo, nggak pilih Jokowi.”

Sejak itu, ejekan itu jadi viral. “Setiap kali pulang syuting, kami kumpul lagi di base camp. Yang dibicarakan ada lah salam injak kaki. Begitulah keakraban persahabatan di an tara pemain, kru, dan sutradara. Saya rasa, itulah bekal yang saya bawa ke sana karena apa yang saya peroleh sejak zaman saya bersekolah: keluwesan.”

Semua kasus di atas menunjukkan bagaimana per ubah-an dapat dirubah-angkul dubah-an jadi nyata ketika seorubah-ang individu atau sekelompok orang menyadari bahwa sebagai pendorong perubahan, mereka harus memiliki sejumlah fitur:

1. Mengadopsi perspektif hidup yang lebih luas dari sebe-lum nya, yaitu hidup tidak hanya untuk diri sendiri.

2. Memaknai apa yang dilakukan: khususnya memiliki passion untuk peduli dan berbagi.

3. Bersedia mencoba dan tahan banting karena memak nai perjalanan hidupnya.

4. Memiliki keberanian untuk terus belajar, termasuk me-nerobos batas, sekat, kebiasaan lama, dan zona nyaman.

68

juga tidak dapat dibanggakan. Namun, passion sosok ini dalam olahraga catur selama bertahun-tahun mendorongnya mem-fasilitasi para pecatur

masih bekerja di perusahaan ayahnya yang kini ber kembang menjadi Ekatama Group, mencoba meyakinkan ayah nya untuk ikut membiayai pengembangan catur Indone sia.

Ayahnya menye tu jui ka rena Eka membuk ti kan kerja keras nya dapat ber buah po sitif. Sementara itu, perusa haan ayah nya makin maju.

Salah satu kebaha gi aan Eka atas pencapaian di dunia catur adalah ketika Utut yang ia dukung dan bina men jadi Grand Master Super yang diper hi tungkan di du nia, bah kan dapat ber main remis melawan Anatoly Karpov, sang le gen-daris du nia. Maka, kembali dunia ca tur Indonesia ber gai rah.

Selama 27 tahun Eka me lakukan apa yang tidak mu dah dengan kon sisten. Identitasnya yang diingat orang ada lah peng abdi di dunia catur In do ne sia, bukan sebagai Chief Executive Officer (CEO) Ekatama Group, dan bukan sebagai

B E R A N I B E R U B A H

68 69

E m p a t E l E m E n p E n E n t u

pe bisnis dari kalangan Tionghoa. Pada hal, ia berkecimpung saat warna segre gasi Orde Baru masih kuat, ketika orang dibedakan ber dasarkan agama, latar belakang etnis, dan kelas sosial.

Eka berani melangkah keluar me nerobos sekat etnis dan kelas sosial demi pengabdiannya bagi bangsa ini. Oleh karena itu, pada tahun 2019 ia di anugerahi penghargaan LifeTime Achieve ment dari Seksi Wartawan Olahraga PWI. Kini Indo-nesia me miliki Utut Adianto yang memperoleh Grand Master Super, Susanto Megaranto Grand Master, Irene Kharisma Sukandar, dan Medina Warda Aulia menjadi Woman Grand Master.

Keberanian untuk tidak memutlakkan identitas kelom-pok, apalagi yang terkait dengan identitas etnis, memang sulit.

Itulah yang menjadi pergumulan bangsa Indonesia pada tahun-tahun awal masa revolusi, yaitu apakah bangsa ini cocok men-jadi republik federasi atau kesa tuan.

Salah satu kasus yang menarik di pelajari di tengah ma-syarakat adalah bagaimana suatu kelompok persekutuan aga ma di kalangan orang Tionghoa Indonesia berani mening gal kan ke-Tionghoa-annya. Padahal, di masa keputusan itu di am bil, kalangan Tionghoa dipandang berstatus lebih tinggi daripada orang banyak yang dianggap sebagai “bumi putra malas dan tidak terdidik.” Keputusan itu membuat kalangan Tionghoa lain mencerca mereka. Mereka dianggap me ning galkan warisan budaya ribuan tahun. Banyak juga yang mempertanyakan apa-kah hal itu di tempuh demi mendapatkan penerimaan yang luas di tengah bangsa yang baru lahir pada waktu keputusan berani itu di ambil.

Para sesepuh dari kalangan Tionghoa Indonesia tadi baca dari kitab suci mereka bahwa sang Pencipta tidak

mem-70

bedakan manusia, baik Yunani atau Ibrani, yang artinya, menurut kelas dan menurut status sosial. Mereka juga menyadari ke khasan kelompok mereka yang tidak lagi kental memeluk budaya Tiongkok dan bahkan tidak menggunakan bahasa asli ne nek moyang mereka. Spiritualitas mereka mewarnai pola pikir mereka untuk tidak memutlakkan identitas mereka se bagai kelas me nengah, apalagi minoritas yang lebih sejahtera. Mereka berani menerobos batas atau sekat tradisional yang pada masa itu sangat kuat.

Kelak, sekolah-sekolah yang didirikan oleh kalangan ini juga meng ambil alih perspektif spiritual tersebut sehingga mereka me miliki guru-guru dari berbagai suku, termasuk warga negara asing. Nyatanya, sekolah ini, yaitu BPK PENABUR, sudah me ngelola lebih dari 164 sekolah dan prestasinya istimewa.

Dalam kehidupan individu, seorang yang mampu me-ning galkan jejak yang tidak terlupakan dan bahkan berani mereng kuh keberagaman di masyarakat ada di dalam sosok Hengky Solaiman, aktor kondang Indonesia. Henky merupakan contoh orang yang hidup dan ber karya menerobos tembok-tembok batas ideologi, suku, kelas sosial, dan bidang ilmu.

Bagi teman-teman sebayanya dan yang lebih muda, kin alumni BPK PENABUR yang berusia 78 tahun ini lebih dikenal sebagai pakar dalam ngerjain orang dan bergurau.

Kreativitas dan keisengannya cukup dikenal. Hengky adalah seorang otodidak. Guru dan sekolah nya yang utama adalah hidup itu sendiri. Di balik tawa dan candanya, ia adalah seorang yang diam-diam merenungkan dan mencari makna dari peristiwa-peristiwa yang ia alami.

B E R A N I B E R U B A H

70 71

E m p a t E l E m E n p E n E n t u

Sebelum masuk ke dalam lingkungan BPK PENABUR, Hengky adalah murid dari Paul Kruger School (kini PSKD) di Pra pat an. Kemudian, setelah Konferensi Meja Bundar, peserta didik harus berpindah ke sekolah yang berbahasa lokal.

Pada awal masa SR itu, ibu kandungnya meninggal dunia. Maka, oleh ayah nya, pada tahun 1949 Hengky diarahkan ke Sekolah Rakyat Tanah Nyonya milik BPK Jabar di Gunung Sahari, yang kini dikenal dengan nama BPK PENABUR ketika ia me masuki kelas tiga.

Ia mengingat masa kecilnya, “… ayah saya sering meng-ajak kami berdoa bersama. Lalu, sekolah di masa itu menye-nangkan. Ada banyak kesempatan bermain. Pel ajar an di seko-lah juga hanya berhitung, bahasa, dan mungkin ilmu bumi.

Pelajarannya juga gampang …. ”

Dokumentasi setelah wawancara dengan Hengky Solaiman

72

Sejak awal bersekolah di Paul Kruger School, lalu di Tanah Nyonya, Hengky sudah main tonil alias sandiwara.

Setelah SMP, ia makin terlibat da lam dunia drama sampai ikut pentas di Gedung Kese nian Jakarta pada tahun 1957.

Di Gereja Kelinci tempat ia beribadah, Hengky terlibat dalam drama Paskah, Natal, dan sebagainya. Selain itu, Hengky dianggap sebagai pelawak. Ia pernah mem ben tuk grup lawak dan memenangkan juara ketiga dalam pertan dingan di mana Bing Slamet menjadi panitianya.

Seusai SMA, ia masuk Akademi Teknik Nasional (ATN), Cikini. “Saya bukan masuk ATN, akademik teater nasional Indonesia, tetapi Akademi Teknik Nasional. Saya mau ambil teknik, sok mau jadi insinyur. Tetapi sambil berkuliah, saya juga bekerja karena ayah saya sudah pen siun. Di zaman itu biaya kuliah masih murah. Saya bekerja sebagai tata usaha di SMAK 2 BPK PENABUR yang berlokasi di Gunung Sahari.

Hanya enam bulan di sana, lalu saya pindah karena dipanggil perusahaan Lawsim Zecha, agen tunggal Parker Pen. Otak duit saya meng hitung bahwa kesempatan be kerja ini memberi gaji lebih be sar,” katanya.

Dari Parker, ia berpindah ke Ritcofarma di Krekot Bunder.

Di sana ia sempat menjadi manager sambil belajar sendiri.

“Saya otodidak, ya, ... korespondensi Inggris waktu itu.” Me-mang sewaktu bekerja di Parker, seminggu sekali ada se orang yang diminta datang untuk menangani korespondensi bahasa Inggris, yaitu membalas surat-surat dari Amerika. Namun, pada suatu hari, atasan Hengky, Pak Yohan, memintanya men coba membaca surat masuk dan surat keluar dan menjawab dalam bahasa Inggris. “Saya berusaha membalas surat-surat Ame rika itu sendiri berdasarkan pengalaman. Akhirnya, keterusan ....”

B E R A N I B E R U B A H

72 73

E m p a t E l E m E n p E n E n t u

Di gereja, Henky berjumpa dengan dua orang, yaitu Steve Lim (Teguh Karya) dan Hok Goan. Merekalah yang kemudian membawa Hengky ke dunia televisi. Lebih lanjut lagi, persa-habatannya dengan Teguh Karya membuat Hengky dapat mengikuti pela tihan seni peran yang disponsori oleh Usmar Ismail sampai terlahir Teater Populer.

Dari lingkungan satu warna, kemudian Hengky belajar meren tang hidupnya untuk hidup beriringan dengan orang-orang dari ber bagai latar belakang, seperti Slamet Raharjo, Mieke Wijaya, Dicky Zulkarnaen, dan sebagainya. Taman Ismail Marzuki seolah menjadi rumah keduanya. Selanjutnya, ia me rambah ke dunia perfilman yang pada tahun 1981 membuatnya menjadi sutra dara.

Hengky berkata bahwa kebahagiaan dan kenikmatannya adalah dapat ber bagi dengan saudara-saudara seiman maupun bukan seiman.

Sampai tahun lalu, ia terus aktif, terutama dalam sinetron Dunia Terbalik. Namun, kesehatannya membuat ia mengun durkan diri dari dunia yang ia cintai itu.

Ketika memasuki dunia drama, TV, dan film, Henky menggunakan sepenuhnya dalam kehidupan sehari-hari bekal pergaulan dan suasana persahabatan yang informal yang ia peroleh di BPK PENABUR.

Dengan bergairah ia menuturkan, “Saya terapkan di (si-ne tron) Dunia Terbalik. Saya termasuk pemain yang paling tua, tetapi dengan mereka yang muda, tetap akrab. Katakan lah dengan pemain yang berbeda karena di antara kami ada yang Muslim dan ada yang Kristen. Namun, kami akrab. Walau yang Kristen tidak banyak, kami juga tidak dibedakan. Yang saya tidak lupa mengenai persahabatan waktu itu adalah dikasih salam injak kaki.

bab 4

Dokumen terkait