A. KEGIATAN MOBILISASI MASYARAKAT
2. Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi
3. Rata-rata Jumlah Dukun bayi per desa dan Besaran Insentif untuk dukun bayi 18
4. Jumlah Desa Siaga 21
5. Desa dengan Poskesdes, Polindes, Donor Darah dan Pemantauan KIA 22
6. Posyandu di Wilayah Provinsi Banten 29
7. Pelatihan Bidan 35
8. Distribusi Dokter, Bidan, Perawat Menurut Provinsi, 1996-2006 36
9. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak 37
10. Pelatihan Petugas Puskesmas (Dokter) 40
11. Pelatihan Petugas Puskesmas (Perawat) 41
12. Pelatihan Petugas Puskesmas (Bidan) 42
13. Puskesmas yang tidak memiliki satupun dokter, perawat maupun bidan yang dilatih 43 14. Persentase Desa yang melakukan Pembahasan Anggaran, memiliki Alokasi
Anggaran dan Sumber Anggaran Kegiatan KIA 45
15. Karakteristik Puskesmas 48
16. Sarana Yang Dimiliki Puskesmas 49
17. Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas 49
18. Sarana dan Prasarana Puskesmas 49
19. Sarana Imunisasi Puskesmas 51
20. Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas 52
21. Cakupan Program KIA dan Imunisasi Puskesmas 54
22. Alat Transportasi Yang Digunakan Dari Puskesmas Ke Desa Terjauh 69
23. Akses ke Pelayanan Kesehatan (Puskesmas) 69
24. Kejadian Luar Biasa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (KLB PD3
di Puskesmas dalam 1 tahun Terakhir 70
25. Karakteristik Rumah Sakit 72
26. Karakteristik Rumah Sakit 73
27. Ketenagaan RS Terkait Pelayanan KIA di Rumah Sakit 73
28. Jumlah RS dengan Kondisi Refrigerator 74
DAFTAR GRAFIK
GRAFIK Halaman
1. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota 13 di Provinsi Banten, 2010
2. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa yang menetap berdasarkan 13 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
3. Jumlah Kematian Ibu di Provinsi Banten dari tahun 2005 hingga 2009 14 4. Bidan menetap berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 15 5. Pendidikan Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 15 6. Status Kepegawaian Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 16
7. Jumlah Dukun di Provinsi Banten tahun 2005-2009 17
8. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kemitraan antara Bidan Desa dengan Dukun 19 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
9. Desa/Kelurahan yang Memiliki Aturan Kemitraan Bidan Desa dengan Dukun 20 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
10. Persentase Bidan Desa yang Memberikan Insentif kepada Dukun Berdasarkan 20 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
11. Desa/Kelurahan Siaga Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010 21 12. Jumlah Poskesdes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010 23 13. Jumlah Polindes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010 23 14. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kelompok Donor Darah dan telah Berfungsi 24
Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
15. Pelaksanaan Pendataan Ibu Hamil di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/ 25 Kota di Provinsi Banten, 2010
16. Pelaksanaan Pendataan Bayi di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/Kota 25 di Provinsi Banten, 2010
17. Pelaksanaan Pendataan Anak Balita di Desa/Kelurahan Berdasarkan 26 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
18. Hasil Kegiatan Surveilans KIA Desa/Kelurahan yang Dilaporkan ke Puskesmas 26 per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
19. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 27 20. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 27 21. Pemantauan KIA yang di Musyawarahkan di Musrenbang Berdasarkan Kabupaten/ 30
Kota di Provinsi Banten, 2010
22. Desa/Kelurahan yang Membahas Anggaran KIA di Musrenbang Berdasarkan 31 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
23. Keberadaan Alokasi Anggaran KIA Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/ 31 Kota di Provinsi Banten, 2010
24. Ketersediaan Dana Operasional Posyandu Berdasarkan Kabupaten/Kota 32 di Provinsi Banten, 2010
26. Sumber Biaya bila Bidan Desa Merujuk ke PKM Berdasarkan Kabupaten/Kota 45 di Provinsi Banten, 2010
27. Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas di setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,2010 46 28. Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas berdasarkan 54
di Provinsi Banten, 2010
29. Cakupan K1 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 55 30. Cakupan K4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 56 31. Cakupan Persalinan Nakes Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 56 32. Cakupan Kunjungan Nifas per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 57 33. Cakupan Deteksi Faktor risiko per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 58 34. Cakupan TT WUS Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 59 35. Cakupan TT Bumil per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 59 36. Cakupan HB0 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 60 37. Cakupan BCG Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 60 38. Cakupan DPT3 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 61 39. Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 62 40. Cakupan Campak Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 63 41. Cakupan BIAS Kelas 1 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 64 42. Cakupan BIAS Kelas 2 SD per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 65 43. Cakupan Bias Kelas 3 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 65 44. Cakupan Bias Campak per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 66 45. Tipe Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 67
46. Kategori letak puskesmas se-Banten, 2010 67
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR Halaman
1. Peta Wilayah Indonesia dan Provinsi Banten, 2010 1
2. Peta Wilayah Provinsi Banten 2
3. Keberadaan Bidan Desa 12
4. Peta Sebaran Puskesmas di Provinsi Banten 53
5. Peta Cakupan DPT3 Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, 2010 67 6. Peta Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, 2010 68 7. Peta Cakupan Campak Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, 2010 69 8. Cakupan BIAS Kelas 1 SD BerdasarkanKab/Kota di Prov. Banten, 2010 70 9. Sebaran Puskesmas berdasarkan Kriteria Terpencil-Biasa, dan
Perawatan-non perawatan di Banten, 2010 75
10. Peta Waktu Tempuh ke Puskesmas di Provinsi Banten 77
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
ADD : Anggaran Dana Daerah
AFP non Polio : Accute Flaccid Paralysis non Polio
AMP : Audit Maternal Perinatal
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BCG : Bacillus Calmette Guerin
CSO : Civil Society Organization
D1 : Diploma satu
D2 : Diploma Dua
D3 : Diploma Tiga
D4 : Diploma Empat
Dinkes : Dinas Kesehatan
Dll : Dan Lain lain
DPT : Difteri Pertusis Tetanus
GAVI : Global Alliance for Vaccines and Immunization
HB 0 : Hepatitis B 0 (nol)
HSS : Health System Strengthening
Kab. : Kabupaten
Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan
KIA : Kesehatan Ibu dan Anak
KLB : Kejadian Luar Biasa
Kt. : Kota
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MMD : Musyawarah Masyarakat Desa
Monev : Monitoring dan Evaluasi
MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit
Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Otsus : Otonomi Khusus
P4K : Program Perencanaan dan Pencegahan Komplikasi
PD3I : Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
Pemkab : Pemerintah Kabupaten
Pemkot : Pemerintah Kota
Perda : Peraturan Daerah
PNPM : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Polindes : Pondok Bersalin Desa
PONED : Pelayanan Obstetri, Neonatologi, dan Emergensi Dasar
Poskesdes : Pos Kesehatan Desa
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
Pustu : Puskesmas Pembantu
RR : Reporting and Recording
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
S1 : Strata Satu
S2 : Strata Dua
SAM : Service Availabillity Mapping
TT : Tetanus Toxoid
UKBM : Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat
BAB I
PENDAHULUAN
A. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN
Provinsi Banten yang menjadi lokasi pada penelitian ini mempunyai luas wilayah 8.800,83 km2, dengan jumlah penduduk Provinsi Banten pada tahun 2009 sebanyak 10.295.519 jiwa. Banten terletak di bagian Barat Pulau Jawa. Sebelumnya, Banten masuk ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat. Di Provinsi Banten ada berbagai kelompok etnis. Sejak tahun 2000, Banten terpisah dari Jawa Barat dan berdiri sendiri sebagai Provinsi 30 Indonesia. Dengan lebar 8867,96 km2, Banten memiliki empat kabupaten dan empat kota yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Serang, Kota Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan. Secara geografis, Banten di batasi oleh Laut Jawa di sebelah Utara, Samudra Hindia di sebelah Selatan, Selat Sunda di sebelah Barat, DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat di sebelah Timur.
Gambar 1. Peta Wilayah Indonesia dan Provinsi Banten
Banten terdiri dari dataran tinggi (pegunungan), dataran rendah (lembah) dan rawa. Di daerah ini beberapa sungai mengalir dan berfungsi sebagai irigasi persawahan. Bahasa yang umum digunakan adalah Sunda Banten. Bahasa ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan bahasa Sunda lainnya, terutama dalam pengucapan. Bahasa lain yang populer adalah Banten Jawa yang dituturkan oleh penduduk Banten Utara. Daerah Banten memiliki sejarah latar belakang yang kuat. Hal ini memotivasi peneliti domestik dan asing banyak untuk meneliti reruntuhan artefak dari zaman pra-sejarah. Banten terkenal sebagai salah satu Kerajaan Islam besar selama abad ke-16. Banten memiliki banyak situs, gunung, sungai dengan berbagai
latar belakang sejarah dan keyakinan dari masyarakatnya. Mata pencaharian masyarakat umumnya dibidang pertanian persawahan. Selain itu, mereka juga memproduksi kopi, cengkeh, jengkol, pisang, durian dan makanan pokok lainnya.
Gambar 2. Peta Wilayah Provinsi Banten
B. LATAR BELAKANG
Pembangunan kesehatan di Indonesia sudah mulai dirancang pada tahun 50-an, namun baru dilaksanakan secara sistematik mulai tahun 1968/1969 dengan disusunnya Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) dengan mengacu pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam jangka waktu tiga dekade (1968-1998), pembangunan kesehatan di Indonesia telah berhasil meningkatkan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar secara lebih merata di seluruh wilayah Republik Indonesia, sehingga dapat menurunkan angka kematian bayi dan balita, meningkatkan kesehatan ibu dan anak, meningkatkan keadaan gizi masyarakat dan memperpanjang harapan hidup rata-rata penduduk.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan kesehatan menghadapi tantangan yang cukup besar dalam mempertahankan laju peningkatan status kesehatan masyarakat. Indikasi ini terlihat dari melambatnya penurunan kematian ibu, kematian bayi dan meningkatnya tingkat kekurangan gizi pada balita.
Dalam Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah 2004-2009, permasalahan utama yang dihadapi dalam pembangunan kesehatan adalah disparitas status kesehatan, baik antar wilayah geografis, antar golongan pendapatan dan perkotaan-perdesaan, beban ganda penyakit, kinerja pelayanan kesehatan yang rendah, dan perilaku masyarakat yang kurang mendukung perilaku hidup bersih dan sehat serta kurangnya pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
Permasalahan kesehatan lainnya adalah rendahnya kondisi kesehatan lingkungan; rendahnya kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan; terbatasnya jumlah dan distribusi yang tidak merata tenaga kesehatan; serta rendahnya status kesehatan penduduk miskin.
Sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2009 adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Sasaran dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Meningkatnya Umur Harapan Hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun;
2. Menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) dari 35 menjadi 26 per 1.000 kelahiran hidup;
3. Menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI) dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup;
4. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita dari 25,8 menjadi 20,0 %.
Dampak pembangunan kesehatan di Indonesia dari waktu ke waktu sesungguhnya menunjukkan adanya perbaikan status kesehatan masyarakat. Namun, pencapaian tersebut disertai dengan semakin melebarnya disparitas status kesehatan serta masih kalah cepat dengan perbaikan status kesehatan di regional Asia Timur. Secara umum peningkatan Umur Harapan Hidup berjalan stabil dan mengarah pada tercapainya target Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah 2004-2009 yaitu 70,2 tahun.
Pada 1967, Angka Kematian Bayi per 1.000 kelahiran hidup masih sangat tinggi yaitu 142 (Sensus Penduduk, 1971). Dalam waktu sekitar 25 tahun, angka ini menurun dengan cepat menjadi 46 pada 1997. Sejak itu, Angka Kematian Bayi menurun relatif lambat. Dalam waktu sekitar 5 tahun, Angka Kematian Bayi hanya menurun menjadi 35 (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2002-2003). Selajutnya, selama lima tahun berikutnya penurunan Angka Kematian Bayi semakin melambat, yaitu hanya menurun satu per 1.000 kelahiran hidup menjadi 34 (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2007).
Angka Kematian Ibu cenderung mengalami penurunan yang sangat lambat. Angka Kematian Ibu menurun dari 390 selama periode 1990-1994 menjadi 334 selama periode 1993-1997 dan akhirnya menjadi 307 selama periode 1998-2003 (BPS dan OCR Macro, 2003). Laporan Sementara Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2007) menunjukkan penurunan Angka Kematian Ibu menjadi 248.
Dengan kecenderungan seperti ini, selama jangka waktu 25 tahun (dalam hal ini selama periode waktu 1990-2015), diperkirakan Angka Kematian Ibu akan mengalami penurunan sebesar 52 %. Secara umum status gizi anak balita membaik pada periode 1990-2000. Dalam kurun waktu ini, kekurangan gizi menurun dari 37,5 % menjadi 24,7 %. Pada periode 2000 hingga 2005, terjadi peningkatan prevalensi kekurangan gizi pada balita menjadi 28,0 % (2005). Pada periode ini kenaikan terutama disebabkan oleh meningkatkan prevalensi gizi buruk yang meningkat dari 6,3 % menjadi 8,8 % pada tahun 2005. Dengan angka ini, maka pada tahun 2005 diperkirakan terdapat 5,7 juta anak balita yang mengalami kekurangan gizi dan 1,8 juta di antaranya mengalami gizi buruk.
Data kinerja pembangunan kesehatan di atas menunjukkan bahwa sejak 2004 secara umum status kesehatan mengalami peningkatan. Namun peningkatan yang lebih besar diperlukan agar sasaran Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah 2004-2009 dapat tercapai. Perlu diperhatikan bahwa pencapaian target status kesehatan dalam Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah 2004-2009 bukanlah hanya ditentukan oleh sektor kesehatan semata.
Tingkat kematian bayi, kematian ibu dan kekurangan gizi juga sangat ditentukan oleh ketersediaan dan akses prasarana umum seperti air bersih dan sanitasi lingkungan, ketersediaan bahan makanan dan bahan bakar, tingkat pendidikan orang tua, penghasilan keluarga, transportasi, serta iklim/musim.
Dalam konteks regional Asia, status dan pelayanan kesehatan Indonesia masih tergolong relatif rendah. Ketertinggalan Indonesia misalnya dapat dilihat dari angka kematian bayi, kematian ibu serta berbagai indikator pelayanan kesehatan seperti cakupan imunisasi dan persalinan oleh tenaga kesehatan lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara lain.
Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia memberikan kontribusi yang sangat besar pada beban penyakit dan kematian baik di tingkat regional, maupun di tingkat dunia, seperti misalnya beban penyakit akibat Tuberkulosis, campak dan beberapa penyakit lain yang sebenarnya bisa dicegah dengan upaya imunisasi dan pencegahan lain.
Tabel 1. Indikator Kesehatan Berbagai Negara di Regional Asia, 2006
Sumber: World Bank, 2006
Persalinan
Negara PDB/ UHH AKK AKB AKBA Imunisasi Imunisasi AKI Oleh
kapita DPT Campak Nakes
1. Indonesia 1.260 67,8 7,3 28,0 36,0 70 72 420 69 2. Kamboja 430 57,0 10,4 68,0 87,3 82 79 540 43,8 3. Malaysia 4.970 73,7 4,7 10,0 12,0 90 90 62 100 4. Vietnam 620 70,7 6,0 16,0 19,0 95 95 150 90 5. Thailand 2.720 70,9 7,2 18,0 21,0 98 96 110 t.a.d. 6. Filipina 1.290 71,0 4,9 25,0 33,0 79 80 230 59,8 7. India 730 63,5 7,6 56,0 64,0 59 58 450 48 8. Cina 1.740 71,8 6,5 23,0 27,0 87 86 45 97,3 Regional Asia 1.628 70,7 6,7 26,4 32,7 83,7 83,4 t.a.d. 86,9
Depkes RI menetapkan visi “Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat” (Depkes RI, 2006). Orientasi visi Depkes RI untuk memandirikan masyarakat hidup sehat, salah satunya didasari atas isu strategis bahwa selama ini pembangunan kesehatan masih menempatkan masyarakat sebagai objek, belum sebagai subjek. Berbagai masalah kesehatan dewasa ini tidak perlu terjadi, bila kemandirian dan peran aktif masyarakat telah meningkat serta dapat dipertahankan di masa lalu (Depkes RI, 2006).
Adanya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, turut menyebabkan menurunnya kemandirian masyarakat dalam bidang kesehatan. Krisis ekonomi telah meningkatkan jumlah masyarakat miskin, dari 11,3% atau 22,4 juta penduduk pada tahun 1996, menjadi 24,2% atau 49,5 juta penduduk pada tahun 1998 (Depkes RI, 2003:p.1).
Masyarakat miskin lebih rentan untuk terjangkit dan tertular penyakit. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan dan pemukiman yang buruk, pengetahuan dan perilaku hidup bersih dan sehat yang masih kurang, serta kesulitan terhadap akses pelayanan kesehatan. Dampak selanjutnya adalah meningkatnya kerentanan masyarakat miskin terhadap pemenuhan kebutuhan dasar, seperti termasuk kesehatan (Depkes RI, 2008).
Sebagai upaya menanggulangi dampak krisis tersebut, mulai tahun 1999 pemerintah menjalankan kebijakan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakatnya. Kebijakan tersebut ditujukan terutama kepada cakupan pelayanan kesehatan dasar, seperti cakupan KIA maupun Vaksin dan Imunisasi. Diharapkan agar seluruh wilayah Indonesia dapat memenuhi Standar Pelayanan Minimal yang telah ditetapkan.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan dan Badan Pusat Statistik, cakupan imunisasi lengkap di Indonesia anak dibawah dua tahun hanya mencapai 46,2 %. Secara nasional, cakupan imunisasi campak dalam Riskesdas 2010 sebesar 74,5 %, menurun 6,1 % dibanding Riskesdas 2007 (81,6%). Cakupan imunisasi terendah di Provinsi Papua (47,4%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (96,4%). Terdapat 19 Provinsi cakupan imunisasi campak di bawah rata-rata nasional. Salah satunya adalah Provinsi Banten yang cakupan imunisasinya hanya mencapai 69,3%.
Selain program imunisasi, program kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah satu prioritas utama pembangunan kesehatan di Indonesia, program ini bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu melahirkan, bayi, dan anak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan program KIA dan imunisasi yang ada di Provinsi Banten. Sehingga nantinya dapat dijadikan bahan evaluasi untuk mencari jalan guna mengatasi masalah kesehatan masyarakat, khususnya imunisasi dan KIA.
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari kegiatan ini adalah menilai dan mendapatkan gambaran dasar: (1) Kegiatan gerakan/mobilisasi masyarakat; (2) pengelolaan program KIA dan Imunisasi di Puskesmas terpilih; (3) ketersediaan sarana yang berkaitan dengan KIA dan imunisasi di 5 provinsi termasuk Provinsi Banten.
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
A. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan operasional studi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Studi kuantitatif dengan desain survei melalui pengumpulan data primer dan sekunder (data dan laporan kegiatan Puskesmas yang terkait, profil Kesehatan Kabupaten/ Kota serta data-data yang menunjang lainnya).
1. Metode Kuantitatif
Metode kuantitatif digunakan untuk memperoleh informasi kegiatan masyarakat dalam program KIA dan imunisasi dengan menggunakan kuesioner dan untuk memperoleh informasi pemetaan pelayanan kesehatan atau Service Availability Mapping (SAM) dengan menggunakan instrumen survei.
2. Metode Kualitatif
Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh informasi secara mendalam melalui wawancara (indepth interview) dalam rangka mendukung data-data kuantitatif.
B. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan yaitu bulan November sampai Desember 2011 di seluruh wilayah kerja Provinsi Banten.
C. SAMPEL
Sampel dalam penelitian ini di ambil untuk kuantitatif dan kualitatif. Berikut adalah penjelasan sampel kuantitatif dan kuantitatif.
1. Sampel Kuantitatif
Sampel kuantitatif dalam penelitian ini adalah seluruh desa (village mapping), puskesmas utama (Service Availability Mapping Puskesmas) dan rumah sakit (Service Availability Mapping Hospital) di Provinsi Banten. Pengumpulannya dilakukan dengan wawancara ke seluruh desa perangkat desa (Kades atau Sekdes), puskesmas utama (Kepala puskesmas, Bidan Koordinator, dan petugas imunisasi) dan rumah sakit (Dirut RS/Dir. Pelayanan, Unit/bagian Obgyn dan Anak dan Imunisasi) se-provinsi Banten.
2. Sampel Kualitatif
Sampel kualitatif diambil di level desa, kecamatan dan kabupaten. Responden di level desa diambil dari perangkat desa (Kades atau Sekdes), Koordinator kader desa/ PKK, dan Bidan desa. Responden di level Puskesmas adalah Kepala pus-kesmas, Bidan Koordinator, dan petugas imunisasi. Responden di level kabupaten adalah Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Bidang Kesehatan dan Keluarga,dan Kepala bidang P2.
Berikut adalah penjelasan kriteria inklusi sampel di level desa: 1. Mempunyai bidan desa
2. Ada kemitraan bidan dan dukun (didukung adanya kesepakatan) 3. Ada desa siaga
Kriteria inklusi di level Kecamatan/Puskesmas: 1. Puskesmas ibukota kecamatan 2. Mempunyai bidan desa
3. Ada kemitraan bidan dan dukun (didukung adanya kesepakatan) 4. Ada desa siaga
D. PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data diseluruh desa (village mapping) untuk assesment masyarakat dalam program KIA dan Imunisasi dilakukan oleh Enumerator.
1. Pengumpulan Data Kualitatif Di Desa
Pengumpulan data kualitatif disalah satu desa pada kecamatan yang sama dan kabupaten yang sama dengan wawancara mendalam untuk assessment masyarakat dalam program KIA dan Imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan (Korlap). Penentuan desa/kelurahan untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan mempertimbangkan unsur keterwakilan karakteristik kecamatan.
2. Pengumpulan Data Di Kecamatan
Pengumpulan data kualitatif di kecamatan (Puskesmas) untuk kegiatan masyarakat dalam program KIA dan imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan (Korlap). Penentuan kecamatan untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan mempertimbangkan unsur keterwakilan karakteristik kabupaten.
3. Pengumpulan Data Kualitatif di Dinkes Kabupaten
Pengumpulan data kualitatif ditingkat kabupaten dalam hal kegiatan masyarakat dalam program KIA dan imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan dengan Informan Kadinkes dan atau staf yang paling mengetahui data dan kondisi yang ada.
E. PENGOLAHAN DATA
Setelah dilakukan pengumpulan data, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: - Coding data, pada tahap ini dilakukan pemberian kode pada setiap informasi yang telah terkumpul pada setiap pertanyaan kuesioner pada kotak yang tersedia disebelah kanan daftar pertanyaan.
- Editing data, tahap ini dilakukan kegiatan mengedit/menyunting data yang telah terkumpul, misalnya kelengkapan pengisian jawaban dari kuesioner.
- Entry data, memasukkan seluruh data ke dalam perangkat lunak yang telah diplilih. - Cleaning data, sebelum dilakukan analisis data maka dilakukan cleaning/ pembersihan data terlebih dahulu, untuk mengkoreksi kesalahan saat dilakukan entry.
F. TAHAPAN ANALISA DATA
Analisa data digunakan untuk menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibaca dan dilakukan interpretasi. Adapun tahapan dalam analisis menggunakan ukuran frekuensi, bertujuan untuk menjelaskan berapa kerap suatu peristiwa terjadi di populasi.
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. KEGIATAN MOBILISASI MASYARAKAT
Data atau informasi mengenai kegiatan mobilisasi pelayanan kesehatan masyarakat di sini mencakup penjelasan tentang Pelaku Pelayanan Kesehatan meliputi Bidan Desa, Desa Siaga, Pemberi Layanan KIA, Kemitraan Bidan dan Dukun, dan Karakteristik kader. Selanjutnya mengenai Dukungan Materil dan Non-materil Pelayanan Kesehatan meliputi Dukungan Pelayanan KIA, Dukungan Pelayanan Kesehatan di Polindes, Dukungan Transportasi Rujukan, Dukungan Pelayanan Kesehatan di Posyandu, dan Dukungan Aktivitas Desa Siaga.
1. Pelaku Pelayanan Kesehatan
Peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak dibutuhkan oleh ibu khususnya saat dan segera setelah persalinan. Selain meningkatkan pelayanan kesehatan, perubahan perilaku masyarakat yang paling rentan terhadap kematian ibu juga harus dilakukan, termasuk peningkatan pengetahuan keluarga tentang status kesehatan dan gizi, serta pemberitahuan tentang jangkauan dan jenis layanan yang dapat mereka gunakan. Pemerintah juga perlu meningkatkan sistem pemantauan untuk mencapai MDG 5.
Peningkatan sistem pengumpulan data, terutama aspek manajemen dan aliran informasi, data kesehatan dasar khususnya infrastruktur, dan koordinasi antar instansi terkait dengan masyarakat donor juga perlu ditingkatkan untuk menghindari tumpang tindih dan kegiatan yang tidak perlu, sehingga peningkatan kesehatan ibu dapat dicapai dengan efektif dan efisien.
Salah satu aktor dalam pelayanan kesehatan yang utama di desa adalah bidan desa. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1997), bidan di desa adalah bidan yang ditempatkan, diwajibkan tinggal serta bertugas melayani masyarakat di wilayah kerjanya, yang meliputi 1 sampai 2 desa. Fungsi Bidan di desa adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan KIA termasuk KB, di wilayah desa tempat tugasnya. Dalam menjalankan