• Tidak ada hasil yang ditemukan

Survei GAVI-HSS Ditjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Survei GAVI-HSS Ditjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Indonesia.Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Assessment GAVI - HSS 2010-2011 Direktorat

Jenderal Bina Gizi dan KIA : Laporan akhir Provinsi Banten,--Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.2011

1. Judul I. VACCINES II. IMUNIZATION III. SOCIAL CONDITION IV. PROGRAM DEVELOPMENT 614.47

Ind a

(3)

DIREKTUR JENDERAL BINA GIZI DAN KIA KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

SAMBUTAN

Kegiatan imunisasi merupakan upaya yang paling cost effective dalam menu-runkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yang diharapkan akan berdampak pada penurunan angka kematian bayi dan balita. Universal Child Immunization (UCI) Desa/Kelurahan secara nasional setiap tahunnya selalu tidak mencapai target.

Dalam upaya mengatasi permasalahan mengenai terjadinya kemerosotan cakupan pelayanan kesehatan dalam berbagai program termasuk program imunisasi, Pemerintah Indo-nesia dalam hal ini Kementerian Kesehatan melakukan berbagai langkah untuk menganalisa kondisi yang terjadi di masyarakat. Beberapa permasalahan telah diidentifikasi dan diantaranya perlu mendapat perhatian dan penanganan secepatnya, yaitu: dukungan masyarakat yang lemah dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), termasuk imunisasi, kapasitas petugas kesehatan yang menurun, khususnya petugas di bidang KIA dan imunisasi, kemitraan yang belum dikembangkan dengan institusi swasta dan non pemerintah/masyarakat, dan keterbatasan jumlah tenaga dan motivasi petugas kesehatan menurun di beberapa lokasi tertentu.

GAVI (Global Alliance for Vaccines and Immunization), suatu organisasi kesehatan internasional yang berkedudukan di Geneva, telah memberikan bantuan hibah kepada Peme-rintah Republik Indonesia melalui 3 (tiga) komponen yaitu ISS (Immunization Service Support), HSS (Health System Strengthening), dan CSO (Civil Society Organization) dalam rangka pelaksanaan program pembangunan kesehatan terkait dengan upaya mengatasi masalah tersebut. Beberapa alasan yang melatarbelakangi pemberian bantuan GAVI pada 3 (tiga) komponen tersebut antara lain bahwa penguatan program imunisasi sendiri saja tidak cukup untuk meningkatkan dan mempertahankan cakupan imunisasi. Kelemahan dalam sistem kesehatan dapat menghambat pencapaian cakupan imunisasi, dan penguatan sistem kesehatan tidak hanya dapat meningkat cakupan imunisasi, cakupan pelayanan, kesehatan ibu dan anak, tetapi juga berdampak pada kesehatan lain.

Sejalan dengan maksud diatas, kegiatan Healths System Strengthening (HSS) difokuskan pada pencapaian 4 (empat) tujuan, yaitu Mobilisasi masyarakat untuk mendukung Program KIA dan Imunisasi, Peningkatan kemampuan manajemen petugas kesehatan, Kemitraan dengan Organisasi Non Pemerintah/ CSO (LSM), Pilot Project tentang mekanisme insentif dan kontraktual tenaga KIA.

Untuk mendukung tujuan tersebut telah dilakukan penilaian dan pemetaan kegiatan pemberdayaan masyarakat di tingkat desa (Village Mapping) dan ketersediaan pelayanan kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit (Service Availlability Mapping) di 5 Provinsi GAVI,

(4)

yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Papua dan Papua Barat, yang mencakup 62 Kabupaten/Kota, 1.715 Puskesmas, 11.060 Desa. Kegiatan ini melibatkan Universitas terdekat dengan daerah GAVI –HSS, yang terdiri dari : Universitas Indonesia untuk daerah Banten, Universitas Pajajaran untuk daerah Jawa Barat, Universitas Hasanudin untuk daerah Sulawesi Selatan, dan Universitas Cendrawasih untuk daerah Papua dan Papua Barat, dengan koordinasi oleh Universitas Gajah Mada.

Hasil penilaian dan pemetaan kegiatan pemberdayaan masyarakat di tingkat desa (Vil-lage Mapping) dan ketersediaan pelayanan kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit (Service Availlability Mapping) di 5 Provinsi GAVI yang telah dilakukan, disusun dan disajikan pada buku laporan hasil akhir VM dan SAM GAVI-HSS untuk masing-masing daerah provinsi GAVI.

Saya mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan atas kerjasama dan segala dukungan yang telah diberikan oleh seluruh mitra dari Universitas dan semua pihak yang telah berkonstribusi dalam penyusunan buku Laporan Assesment GAVI-HSS ini.

Semoga data dan informasi yang tersedia pada buku laporan ini bermanfaat untuk menjadi bahan masukan dalam menelaah keadaan yang ada di Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan juga sebagai dasar untuk menyusun kebijakan, perencanaan, implementasi dan evaluasi program sehingga pencapaian pelayanan kesehatan yang maksimal menuju Indo-nesia Sehat dapat terwujud.

Disadari bahwa data dan informasi yang tersaji dalam buku ini belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan data dan informasi, sehingga masukan berupa saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan kedepan sangat kami harapkan.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta memberi petunjuk kepada kita sekalian dalam melaksanakan pembangunan kesehatan hingga terwujudnya masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan.

Jakarta, November 2011 Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala Rahmat dan Petunjuk-Nya sehingga pelaksanaan penelitian hingga penulisan laporan dapat dilakukan dengan baik.

Kegiatan penelitian Global Alliance for Vaccines and Immunization Health System Strengthening (GAVI-HSS). Laporan ini menyajikan data Hasil Survei GAVI-HSS berupa Village Mapping (VM) dan Service Availability Mapping (SAM) di Provinsi Jawa Barat. Kegiatan ini terselenggara berkat dukungan dari GAVI-HSS, Kementerian Kesehatan RI, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Kami mengucapkan terima kasih kepada para responden dan informan yang mau menyi-sihkan waktunya di sela-sela kesibukannya dan kepada semua pihak yang turut terlibat dalam penelitian ini.

Kami menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik membangun senantiasa kami harapkan dari semua pembaca. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi Ridho atas semua niat dan amal baik kita.

Jakarta, 18 Oktober 2011

(6)

DAFTAR ISI

SAMBUTAN ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GRAFIK ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

A. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN ... 1

B. LATAR BELAKANG ... 2

C. TUJUAN ... 6

II. METODOLOGI PENELITIAN ... 7

A. RANCANGAN PENELITIAN ... 7

B. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN ... 7

C. SAMPEL ... 7

D. PENGUMPULAN DATA ... 8

E. PENGOLAHAN DATA ... 9

F. TAHAPAN ANALISA DATA ... 9

III. HASIL PENELITIAN ... 11

A. KEGIATAN MOBILISASI MASYARAKAT ... 11

1. Pelaku Pelayanan Kesehatan ... 11

2. Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi ... 16

3. Desa Siaga ... 21

a. Poskesdes dan Polindes ... 22

b. Kelompok Donor Darah ... 24

c. Pendataan Ibu Hamil, Bayi dan Balita ... 24

d. Ambulans Desa ... 27

4. Posyandu ... 28

5. Pembiayaan Dalam Mobilisasi Masyarakat ... 30

a. Musrembang Desa ... 30

b. Operasional Posyandu dan Rujukan ... 32

B. ISU MANAJEMEN PUSKESMAS ... 34

1. Sumber Daya Manusia (SDM) ... 35

a. Pelatihan Bidan ... 35

b. Tenaga Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak ... 35

c. Pelatihan Petugas Puskesmas ... 39

2. Sumber Pembiayaan Pelayanan Kesehatan ... 44

(7)

4. Logistik Puskesmas ... 47

5. Sarana dan Prasarana Puskesmas ... 47

6. KIA dan Pelayanan Puskesmas ... 52

7. Cakupan Pelayanan KIA dan Imunisasi ... 54

8. Lingkungan Geografis ... 66

9. Kejadian Luar Biasa ... 70

C. ISSUE MANAJEMEN RUMAH SAKIT DAN DINAS KESEHATAN ... 71

1. Sumber Daya Manusia ... 73

2. Logistik ... 74

D. CIVIL SOCIETY ORGANIZATION (CSO) ... 76

A. Peranan Makro ... 77

B. Peran Mikro ... 78

IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. KESIMPULAN ... 81

B. SARAN ... 81

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Indikator Kesehatan Berbagai Negara di Regional Asia, 2006 4

2. Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi 18

3. Rata-rata Jumlah Dukun bayi per desa dan Besaran Insentif untuk dukun bayi 18

4. Jumlah Desa Siaga 21

5. Desa dengan Poskesdes, Polindes, Donor Darah dan Pemantauan KIA 22

6. Posyandu di Wilayah Provinsi Banten 29

7. Pelatihan Bidan 35

8. Distribusi Dokter, Bidan, Perawat Menurut Provinsi, 1996-2006 36

9. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak 37

10. Pelatihan Petugas Puskesmas (Dokter) 40

11. Pelatihan Petugas Puskesmas (Perawat) 41

12. Pelatihan Petugas Puskesmas (Bidan) 42

13. Puskesmas yang tidak memiliki satupun dokter, perawat maupun bidan yang dilatih 43 14. Persentase Desa yang melakukan Pembahasan Anggaran, memiliki Alokasi

Anggaran dan Sumber Anggaran Kegiatan KIA 45

15. Karakteristik Puskesmas 48

16. Sarana Yang Dimiliki Puskesmas 49

17. Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas 49

18. Sarana dan Prasarana Puskesmas 49

19. Sarana Imunisasi Puskesmas 51

20. Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas 52

21. Cakupan Program KIA dan Imunisasi Puskesmas 54

22. Alat Transportasi Yang Digunakan Dari Puskesmas Ke Desa Terjauh 69

23. Akses ke Pelayanan Kesehatan (Puskesmas) 69

24. Kejadian Luar Biasa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (KLB PD3

di Puskesmas dalam 1 tahun Terakhir 70

25. Karakteristik Rumah Sakit 72

26. Karakteristik Rumah Sakit 73

27. Ketenagaan RS Terkait Pelayanan KIA di Rumah Sakit 73

28. Jumlah RS dengan Kondisi Refrigerator 74

(9)

DAFTAR GRAFIK

GRAFIK Halaman

1. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota 13 di Provinsi Banten, 2010

2. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa yang menetap berdasarkan 13 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

3. Jumlah Kematian Ibu di Provinsi Banten dari tahun 2005 hingga 2009 14 4. Bidan menetap berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 15 5. Pendidikan Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 15 6. Status Kepegawaian Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 16

7. Jumlah Dukun di Provinsi Banten tahun 2005-2009 17

8. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kemitraan antara Bidan Desa dengan Dukun 19 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

9. Desa/Kelurahan yang Memiliki Aturan Kemitraan Bidan Desa dengan Dukun 20 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

10. Persentase Bidan Desa yang Memberikan Insentif kepada Dukun Berdasarkan 20 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

11. Desa/Kelurahan Siaga Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010 21 12. Jumlah Poskesdes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010 23 13. Jumlah Polindes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010 23 14. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kelompok Donor Darah dan telah Berfungsi 24

Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

15. Pelaksanaan Pendataan Ibu Hamil di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/ 25 Kota di Provinsi Banten, 2010

16. Pelaksanaan Pendataan Bayi di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/Kota 25 di Provinsi Banten, 2010

17. Pelaksanaan Pendataan Anak Balita di Desa/Kelurahan Berdasarkan 26 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

18. Hasil Kegiatan Surveilans KIA Desa/Kelurahan yang Dilaporkan ke Puskesmas 26 per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

19. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 27 20. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 27 21. Pemantauan KIA yang di Musyawarahkan di Musrenbang Berdasarkan Kabupaten/ 30

Kota di Provinsi Banten, 2010

22. Desa/Kelurahan yang Membahas Anggaran KIA di Musrenbang Berdasarkan 31 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

23. Keberadaan Alokasi Anggaran KIA Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/ 31 Kota di Provinsi Banten, 2010

(10)

24. Ketersediaan Dana Operasional Posyandu Berdasarkan Kabupaten/Kota 32 di Provinsi Banten, 2010

26. Sumber Biaya bila Bidan Desa Merujuk ke PKM Berdasarkan Kabupaten/Kota 45 di Provinsi Banten, 2010

27. Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas di setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,2010 46 28. Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas berdasarkan 54

di Provinsi Banten, 2010

29. Cakupan K1 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 55 30. Cakupan K4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 56 31. Cakupan Persalinan Nakes Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 56 32. Cakupan Kunjungan Nifas per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 57 33. Cakupan Deteksi Faktor risiko per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 58 34. Cakupan TT WUS Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 59 35. Cakupan TT Bumil per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 59 36. Cakupan HB0 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 60 37. Cakupan BCG Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 60 38. Cakupan DPT3 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 61 39. Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 62 40. Cakupan Campak Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 63 41. Cakupan BIAS Kelas 1 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 64 42. Cakupan BIAS Kelas 2 SD per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 65 43. Cakupan Bias Kelas 3 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 65 44. Cakupan Bias Campak per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 66 45. Tipe Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 67

46. Kategori letak puskesmas se-Banten, 2010 67

(11)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR Halaman

1. Peta Wilayah Indonesia dan Provinsi Banten, 2010 1

2. Peta Wilayah Provinsi Banten 2

3. Keberadaan Bidan Desa 12

4. Peta Sebaran Puskesmas di Provinsi Banten 53

5. Peta Cakupan DPT3 Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, 2010 67 6. Peta Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, 2010 68 7. Peta Cakupan Campak Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, 2010 69 8. Cakupan BIAS Kelas 1 SD BerdasarkanKab/Kota di Prov. Banten, 2010 70 9. Sebaran Puskesmas berdasarkan Kriteria Terpencil-Biasa, dan

Perawatan-non perawatan di Banten, 2010 75

10. Peta Waktu Tempuh ke Puskesmas di Provinsi Banten 77

(12)

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

ADD : Anggaran Dana Daerah

AFP non Polio : Accute Flaccid Paralysis non Polio

AMP : Audit Maternal Perinatal

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BCG : Bacillus Calmette Guerin

CSO : Civil Society Organization

D1 : Diploma satu

D2 : Diploma Dua

D3 : Diploma Tiga

D4 : Diploma Empat

Dinkes : Dinas Kesehatan

Dll : Dan Lain lain

DPT : Difteri Pertusis Tetanus

GAVI : Global Alliance for Vaccines and Immunization

HB 0 : Hepatitis B 0 (nol)

HSS : Health System Strengthening

Kab. : Kabupaten

Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan

KIA : Kesehatan Ibu dan Anak

KLB : Kejadian Luar Biasa

Kt. : Kota

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MMD : Musyawarah Masyarakat Desa

Monev : Monitoring dan Evaluasi

MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit

Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan

Otsus : Otonomi Khusus

P4K : Program Perencanaan dan Pencegahan Komplikasi

PD3I : Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi

Pemkab : Pemerintah Kabupaten

Pemkot : Pemerintah Kota

Perda : Peraturan Daerah

PNPM : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

Polindes : Pondok Bersalin Desa

PONED : Pelayanan Obstetri, Neonatologi, dan Emergensi Dasar

Poskesdes : Pos Kesehatan Desa

Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

Pustu : Puskesmas Pembantu

RR : Reporting and Recording

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah

S1 : Strata Satu

S2 : Strata Dua

SAM : Service Availabillity Mapping

TT : Tetanus Toxoid

UKBM : Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN

Provinsi Banten yang menjadi lokasi pada penelitian ini mempunyai luas wilayah 8.800,83 km2, dengan jumlah penduduk Provinsi Banten pada tahun 2009 sebanyak 10.295.519 jiwa.

Banten terletak di bagian Barat Pulau Jawa. Sebelumnya, Banten masuk ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat. Di Provinsi Banten ada berbagai kelompok etnis. Sejak tahun 2000, Banten terpisah dari Jawa Barat dan berdiri sendiri sebagai Provinsi 30 Indonesia. Dengan lebar 8867,96 km2, Banten memiliki empat kabupaten dan empat kota yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten

Serang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Serang, Kota Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan. Secara geografis, Banten di batasi oleh Laut Jawa di sebelah Utara, Samudra Hindia di sebelah Selatan, Selat Sunda di sebelah Barat, DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat di sebelah Timur.

Gambar 1. Peta Wilayah Indonesia dan Provinsi Banten

Banten terdiri dari dataran tinggi (pegunungan), dataran rendah (lembah) dan rawa. Di daerah ini beberapa sungai mengalir dan berfungsi sebagai irigasi persawahan. Bahasa yang umum digunakan adalah Sunda Banten. Bahasa ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan bahasa Sunda lainnya, terutama dalam pengucapan. Bahasa lain yang populer adalah Banten Jawa yang dituturkan oleh penduduk Banten Utara. Daerah Banten memiliki sejarah latar belakang yang kuat. Hal ini memotivasi peneliti domestik dan asing banyak untuk meneliti reruntuhan artefak dari zaman pra-sejarah. Banten terkenal sebagai salah satu Kerajaan Islam besar selama abad ke-16. Banten memiliki banyak situs, gunung, sungai dengan berbagai

(14)

latar belakang sejarah dan keyakinan dari masyarakatnya. Mata pencaharian masyarakat umumnya dibidang pertanian persawahan. Selain itu, mereka juga memproduksi kopi, cengkeh, jengkol, pisang, durian dan makanan pokok lainnya.

Gambar 2. Peta Wilayah Provinsi Banten

B.

LATAR BELAKANG

Pembangunan kesehatan di Indonesia sudah mulai dirancang pada tahun 50-an, namun baru dilaksanakan secara sistematik mulai tahun 1968/1969 dengan disusunnya Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) dengan mengacu pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam jangka waktu tiga dekade (1968-1998), pembangunan kesehatan di Indonesia telah berhasil meningkatkan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar secara lebih merata di seluruh wilayah Republik Indonesia, sehingga dapat menurunkan angka kematian bayi dan balita, meningkatkan kesehatan ibu dan anak, meningkatkan keadaan gizi masyarakat dan memperpanjang harapan hidup rata-rata penduduk.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan kesehatan menghadapi tantangan yang cukup besar dalam mempertahankan laju peningkatan status kesehatan masyarakat. Indikasi ini terlihat dari melambatnya penurunan kematian ibu, kematian bayi dan meningkatnya tingkat kekurangan gizi pada balita.

Dalam Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah 2004-2009, permasalahan utama yang dihadapi dalam pembangunan kesehatan adalah disparitas status kesehatan, baik antar wilayah geografis, antar golongan pendapatan dan perkotaan-perdesaan, beban ganda penyakit, kinerja pelayanan kesehatan yang rendah, dan perilaku masyarakat yang kurang mendukung perilaku hidup bersih dan sehat serta kurangnya pemberdayaan masyarakat itu sendiri.

(15)

Permasalahan kesehatan lainnya adalah rendahnya kondisi kesehatan lingkungan; rendahnya kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan; terbatasnya jumlah dan distribusi yang tidak merata tenaga kesehatan; serta rendahnya status kesehatan penduduk miskin.

Sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2009 adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Sasaran dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Meningkatnya Umur Harapan Hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun;

2. Menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) dari 35 menjadi 26 per 1.000 kelahiran hidup;

3. Menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI) dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup;

4. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita dari 25,8 menjadi 20,0 %.

Dampak pembangunan kesehatan di Indonesia dari waktu ke waktu sesungguhnya menunjukkan adanya perbaikan status kesehatan masyarakat. Namun, pencapaian tersebut disertai dengan semakin melebarnya disparitas status kesehatan serta masih kalah cepat dengan perbaikan status kesehatan di regional Asia Timur. Secara umum peningkatan Umur Harapan Hidup berjalan stabil dan mengarah pada tercapainya target Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah 2004-2009 yaitu 70,2 tahun.

Pada 1967, Angka Kematian Bayi per 1.000 kelahiran hidup masih sangat tinggi yaitu 142 (Sensus Penduduk, 1971). Dalam waktu sekitar 25 tahun, angka ini menurun dengan cepat menjadi 46 pada 1997. Sejak itu, Angka Kematian Bayi menurun relatif lambat. Dalam waktu sekitar 5 tahun, Angka Kematian Bayi hanya menurun menjadi 35 (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2002-2003). Selajutnya, selama lima tahun berikutnya penurunan Angka Kematian Bayi semakin melambat, yaitu hanya menurun satu per 1.000 kelahiran hidup menjadi 34 (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2007).

Angka Kematian Ibu cenderung mengalami penurunan yang sangat lambat. Angka Kematian Ibu menurun dari 390 selama periode 1990-1994 menjadi 334 selama periode 1993-1997 dan akhirnya menjadi 307 selama periode 1998-2003 (BPS dan OCR Macro, 2003). Laporan Sementara Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2007) menunjukkan penurunan Angka Kematian Ibu menjadi 248.

Dengan kecenderungan seperti ini, selama jangka waktu 25 tahun (dalam hal ini selama periode waktu 1990-2015), diperkirakan Angka Kematian Ibu akan mengalami penurunan sebesar 52 %. Secara umum status gizi anak balita membaik pada periode 1990-2000. Dalam kurun waktu ini, kekurangan gizi menurun dari 37,5 % menjadi 24,7 %. Pada periode 2000 hingga 2005, terjadi peningkatan prevalensi kekurangan gizi pada balita menjadi 28,0 % (2005). Pada periode ini kenaikan terutama disebabkan oleh meningkatkan prevalensi gizi buruk yang meningkat dari 6,3 % menjadi 8,8 % pada tahun 2005. Dengan angka ini, maka pada tahun 2005 diperkirakan terdapat 5,7 juta anak balita yang mengalami kekurangan gizi dan 1,8 juta di antaranya mengalami gizi buruk.

(16)

Data kinerja pembangunan kesehatan di atas menunjukkan bahwa sejak 2004 secara umum status kesehatan mengalami peningkatan. Namun peningkatan yang lebih besar diperlukan agar sasaran Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah 2004-2009 dapat tercapai. Perlu diperhatikan bahwa pencapaian target status kesehatan dalam Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah 2004-2009 bukanlah hanya ditentukan oleh sektor kesehatan semata.

Tingkat kematian bayi, kematian ibu dan kekurangan gizi juga sangat ditentukan oleh ketersediaan dan akses prasarana umum seperti air bersih dan sanitasi lingkungan, ketersediaan bahan makanan dan bahan bakar, tingkat pendidikan orang tua, penghasilan keluarga, transportasi, serta iklim/musim.

Dalam konteks regional Asia, status dan pelayanan kesehatan Indonesia masih tergolong relatif rendah. Ketertinggalan Indonesia misalnya dapat dilihat dari angka kematian bayi, kematian ibu serta berbagai indikator pelayanan kesehatan seperti cakupan imunisasi dan persalinan oleh tenaga kesehatan lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara lain.

Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia memberikan kontribusi yang sangat besar pada beban penyakit dan kematian baik di tingkat regional, maupun di tingkat dunia, seperti misalnya beban penyakit akibat Tuberkulosis, campak dan beberapa penyakit lain yang sebenarnya bisa dicegah dengan upaya imunisasi dan pencegahan lain.

Tabel 1. Indikator Kesehatan Berbagai Negara di Regional Asia, 2006

Sumber: World Bank, 2006

Persalinan

Negara PDB/ UHH AKK AKB AKBA Imunisasi Imunisasi AKI Oleh

kapita DPT Campak Nakes

1. Indonesia 1.260 67,8 7,3 28,0 36,0 70 72 420 69 2. Kamboja 430 57,0 10,4 68,0 87,3 82 79 540 43,8 3. Malaysia 4.970 73,7 4,7 10,0 12,0 90 90 62 100 4. Vietnam 620 70,7 6,0 16,0 19,0 95 95 150 90 5. Thailand 2.720 70,9 7,2 18,0 21,0 98 96 110 t.a.d. 6. Filipina 1.290 71,0 4,9 25,0 33,0 79 80 230 59,8 7. India 730 63,5 7,6 56,0 64,0 59 58 450 48 8. Cina 1.740 71,8 6,5 23,0 27,0 87 86 45 97,3 Regional Asia 1.628 70,7 6,7 26,4 32,7 83,7 83,4 t.a.d. 86,9

(17)

Depkes RI menetapkan visi “Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat” (Depkes RI, 2006). Orientasi visi Depkes RI untuk memandirikan masyarakat hidup sehat, salah satunya didasari atas isu strategis bahwa selama ini pembangunan kesehatan masih menempatkan masyarakat sebagai objek, belum sebagai subjek. Berbagai masalah kesehatan dewasa ini tidak perlu terjadi, bila kemandirian dan peran aktif masyarakat telah meningkat serta dapat dipertahankan di masa lalu (Depkes RI, 2006).

Adanya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, turut menyebabkan menurunnya kemandirian masyarakat dalam bidang kesehatan. Krisis ekonomi telah meningkatkan jumlah masyarakat miskin, dari 11,3% atau 22,4 juta penduduk pada tahun 1996, menjadi 24,2% atau 49,5 juta penduduk pada tahun 1998 (Depkes RI, 2003:p.1).

Masyarakat miskin lebih rentan untuk terjangkit dan tertular penyakit. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan dan pemukiman yang buruk, pengetahuan dan perilaku hidup bersih dan sehat yang masih kurang, serta kesulitan terhadap akses pelayanan kesehatan. Dampak selanjutnya adalah meningkatnya kerentanan masyarakat miskin terhadap pemenuhan kebutuhan dasar, seperti termasuk kesehatan (Depkes RI, 2008).

Sebagai upaya menanggulangi dampak krisis tersebut, mulai tahun 1999 pemerintah menjalankan kebijakan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakatnya. Kebijakan tersebut ditujukan terutama kepada cakupan pelayanan kesehatan dasar, seperti cakupan KIA maupun Vaksin dan Imunisasi. Diharapkan agar seluruh wilayah Indonesia dapat memenuhi Standar Pelayanan Minimal yang telah ditetapkan.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan dan Badan Pusat Statistik, cakupan imunisasi lengkap di Indonesia anak dibawah dua tahun hanya mencapai 46,2 %. Secara nasional, cakupan imunisasi campak dalam Riskesdas 2010 sebesar 74,5 %, menurun 6,1 % dibanding Riskesdas 2007 (81,6%). Cakupan imunisasi terendah di Provinsi Papua (47,4%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (96,4%). Terdapat 19 Provinsi cakupan imunisasi campak di bawah rata-rata nasional. Salah satunya adalah Provinsi Banten yang cakupan imunisasinya hanya mencapai 69,3%.

Selain program imunisasi, program kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah satu prioritas utama pembangunan kesehatan di Indonesia, program ini bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu melahirkan, bayi, dan anak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan program KIA dan imunisasi yang ada di Provinsi Banten. Sehingga nantinya dapat dijadikan bahan evaluasi untuk mencari jalan guna mengatasi masalah kesehatan masyarakat, khususnya imunisasi dan KIA.

(18)

C.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari kegiatan ini adalah menilai dan mendapatkan gambaran dasar: (1) Kegiatan gerakan/mobilisasi masyarakat; (2) pengelolaan program KIA dan Imunisasi di Puskesmas terpilih; (3) ketersediaan sarana yang berkaitan dengan KIA dan imunisasi di 5 provinsi termasuk Provinsi Banten.

(19)

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

A.

RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan operasional studi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Studi kuantitatif dengan desain survei melalui pengumpulan data primer dan sekunder (data dan laporan kegiatan Puskesmas yang terkait, profil Kesehatan Kabupaten/ Kota serta data-data yang menunjang lainnya).

1. Metode Kuantitatif

Metode kuantitatif digunakan untuk memperoleh informasi kegiatan masyarakat dalam program KIA dan imunisasi dengan menggunakan kuesioner dan untuk memperoleh informasi pemetaan pelayanan kesehatan atau Service Availability Mapping (SAM) dengan menggunakan instrumen survei.

2. Metode Kualitatif

Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh informasi secara mendalam melalui wawancara (indepth interview) dalam rangka mendukung data-data kuantitatif.

B.

WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan yaitu bulan November sampai Desember 2011 di seluruh wilayah kerja Provinsi Banten.

C.

SAMPEL

Sampel dalam penelitian ini di ambil untuk kuantitatif dan kualitatif. Berikut adalah penjelasan sampel kuantitatif dan kuantitatif.

1. Sampel Kuantitatif

Sampel kuantitatif dalam penelitian ini adalah seluruh desa (village mapping), puskesmas utama (Service Availability Mapping Puskesmas) dan rumah sakit (Service Availability Mapping Hospital) di Provinsi Banten. Pengumpulannya dilakukan dengan wawancara ke seluruh desa perangkat desa (Kades atau Sekdes), puskesmas utama (Kepala puskesmas, Bidan Koordinator, dan petugas imunisasi) dan rumah sakit (Dirut RS/Dir. Pelayanan, Unit/bagian Obgyn dan Anak dan Imunisasi) se-provinsi Banten.

(20)

2. Sampel Kualitatif

Sampel kualitatif diambil di level desa, kecamatan dan kabupaten. Responden di level desa diambil dari perangkat desa (Kades atau Sekdes), Koordinator kader desa/ PKK, dan Bidan desa. Responden di level Puskesmas adalah Kepala pus-kesmas, Bidan Koordinator, dan petugas imunisasi. Responden di level kabupaten adalah Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Bidang Kesehatan dan Keluarga,dan Kepala bidang P2.

Berikut adalah penjelasan kriteria inklusi sampel di level desa: 1. Mempunyai bidan desa

2. Ada kemitraan bidan dan dukun (didukung adanya kesepakatan) 3. Ada desa siaga

Kriteria inklusi di level Kecamatan/Puskesmas: 1. Puskesmas ibukota kecamatan 2. Mempunyai bidan desa

3. Ada kemitraan bidan dan dukun (didukung adanya kesepakatan) 4. Ada desa siaga

D.

PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data diseluruh desa (village mapping) untuk assesment masyarakat dalam program KIA dan Imunisasi dilakukan oleh Enumerator.

1. Pengumpulan Data Kualitatif Di Desa

Pengumpulan data kualitatif disalah satu desa pada kecamatan yang sama dan kabupaten yang sama dengan wawancara mendalam untuk assessment masyarakat dalam program KIA dan Imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan (Korlap). Penentuan desa/kelurahan untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan mempertimbangkan unsur keterwakilan karakteristik kecamatan.

2. Pengumpulan Data Di Kecamatan

Pengumpulan data kualitatif di kecamatan (Puskesmas) untuk kegiatan masyarakat dalam program KIA dan imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan (Korlap). Penentuan kecamatan untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan mempertimbangkan unsur keterwakilan karakteristik kabupaten.

3. Pengumpulan Data Kualitatif di Dinkes Kabupaten

Pengumpulan data kualitatif ditingkat kabupaten dalam hal kegiatan masyarakat dalam program KIA dan imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan dengan Informan Kadinkes dan atau staf yang paling mengetahui data dan kondisi yang ada.

(21)

E.

PENGOLAHAN DATA

Setelah dilakukan pengumpulan data, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: - Coding data, pada tahap ini dilakukan pemberian kode pada setiap informasi yang telah terkumpul pada setiap pertanyaan kuesioner pada kotak yang tersedia disebelah kanan daftar pertanyaan.

- Editing data, tahap ini dilakukan kegiatan mengedit/menyunting data yang telah terkumpul, misalnya kelengkapan pengisian jawaban dari kuesioner.

- Entry data, memasukkan seluruh data ke dalam perangkat lunak yang telah diplilih. - Cleaning data, sebelum dilakukan analisis data maka dilakukan cleaning/ pembersihan data terlebih dahulu, untuk mengkoreksi kesalahan saat dilakukan entry.

F.

TAHAPAN ANALISA DATA

Analisa data digunakan untuk menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibaca dan dilakukan interpretasi. Adapun tahapan dalam analisis menggunakan ukuran frekuensi, bertujuan untuk menjelaskan berapa kerap suatu peristiwa terjadi di populasi.

(22)
(23)

BAB III

HASIL PENELITIAN

A.

KEGIATAN MOBILISASI MASYARAKAT

Data atau informasi mengenai kegiatan mobilisasi pelayanan kesehatan masyarakat di sini mencakup penjelasan tentang Pelaku Pelayanan Kesehatan meliputi Bidan Desa, Desa Siaga, Pemberi Layanan KIA, Kemitraan Bidan dan Dukun, dan Karakteristik kader. Selanjutnya mengenai Dukungan Materil dan Non-materil Pelayanan Kesehatan meliputi Dukungan Pelayanan KIA, Dukungan Pelayanan Kesehatan di Polindes, Dukungan Transportasi Rujukan, Dukungan Pelayanan Kesehatan di Posyandu, dan Dukungan Aktivitas Desa Siaga.

1. Pelaku Pelayanan Kesehatan

Peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak dibutuhkan oleh ibu khususnya saat dan segera setelah persalinan. Selain meningkatkan pelayanan kesehatan, perubahan perilaku masyarakat yang paling rentan terhadap kematian ibu juga harus dilakukan, termasuk peningkatan pengetahuan keluarga tentang status kesehatan dan gizi, serta pemberitahuan tentang jangkauan dan jenis layanan yang dapat mereka gunakan. Pemerintah juga perlu meningkatkan sistem pemantauan untuk mencapai MDG 5.

Peningkatan sistem pengumpulan data, terutama aspek manajemen dan aliran informasi, data kesehatan dasar khususnya infrastruktur, dan koordinasi antar instansi terkait dengan masyarakat donor juga perlu ditingkatkan untuk menghindari tumpang tindih dan kegiatan yang tidak perlu, sehingga peningkatan kesehatan ibu dapat dicapai dengan efektif dan efisien.

Salah satu aktor dalam pelayanan kesehatan yang utama di desa adalah bidan desa. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1997), bidan di desa adalah bidan yang ditempatkan, diwajibkan tinggal serta bertugas melayani masyarakat di wilayah kerjanya, yang meliputi 1 sampai 2 desa. Fungsi Bidan di desa adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan KIA termasuk KB, di wilayah desa tempat tugasnya. Dalam menjalankan fungsinya, bidan desa diwajibkan tinggal di desa tempat tugasnya dan melakukan pelayanan secara aktif sehingga tidak selalu menetap atau menunggu di suatu tempat pelayanan namun juga melakukan kegiatan atau pelayanan keliling dan kunjungan rumah sesuai dengan kebutuhan.

Untuk menunjang seluruh upaya pembangunan kesehatan diperlukan tenaga yang mempunyai sikap nasional, profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berilmu dan terampil. Kemampuan serta persebarannya dapat mendukung penyelenggaraan pembangunan

(24)

kesehatan disetiap tingkatan khususnya dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Di Provinsi Banten dari jumlah 1532 desa, tercatat 1414 (92,3%) memiliki bidan desa, dan bidan yang menetap didesa tersebut sebanyak 80,8 % atau 1143 orang.

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tidak 100 % desa yang terdapat di Provinsi Banten memiliki bidan desa, sehingga masih ada sekitar 118 desa yang tidak memiliki tenaga yang kompeten didalam memberikan pelayanan/pertolongan persalinan.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Gambar 3. Keberadaan Bidan Desa

Berdasarkan data yang ada, berkisar 43,8 % Bidan desa yang terdapat di Provinsi Banten berstatus PNS. Sedangkan untuk tingkat pendidikan didominasi oleh lulusan D3 yaitu sebanyak 85,8% atau 1306 orang, sehingga bisa dikatakan dari segi pendidikan formal sebagian besar sudah cukup memadai. Meskipun pendidikan tetap harus ditingkatkan sebagai upaya peningkatan kompetensi didalam memberikan pelayanan/pertolongan persalinan.

Peran ibu sangat besar dalam pertumbuhan bayi dan perkembangan anak. Gangguan kesehatan yang dialami seorang ibu yang sedang hamil dapat mempengaruhi kesehatan janin dalam kandungannya hingga kelahiran dan masa pertumbuhan anaknya. Resiko kematian ibu paling banyak terjadi pada periode kelahiran/persalinan. Periode persalinan merupakan periode yang berkontribusi besar terhadap angka kematian ibu di Indonesia, kematian saat bersalin dan 1 minggu pertama diperkirakan 60% dari seluruh kematian ibu (lancet ,2006). Pertolongan persalinan aman dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan. Berdasarkan survey sosial ekonomi nasional (susenas)2009, sebesar 77,34% kelahiran pada balita ditolong oleh tenaga kesehatan, Presentase penolong kelahiran tertinggi oleh bidan 61,24%, dukun 21,29%, dan dokter 15,28%.

(25)

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 1. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Dari Grafik di atas dapat terlihat bahwa Kota Tangerang memiliki persentase terendah jumlah bidan desa (9,60). Sedangkan secara rata – rata Provinsi jumlah proporsinya relative baik (92,3%). Dengan angka ini sebetulnya Banten cukup baik dalam hal keberadaan bidan desa, namun jika dibandingkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM), jumlah ini masih kurang. Menurut Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota (Kepmenkes, 2008) seharusnya setiap desa memiliki minimal satu bidan desa.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 2. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa yang menetap berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

(26)

Dalam meningkatkan kelangsungan hidup ibu, terdapat tiga komponen yang menjadi sasaran, yaitu peningkatan penggunaan tenaga kesehatan terampil di fasilitas, peningkatan kualitas pelayanan, dan mengimplementasi rujukan yang tepat (dan efektif). Komponen tersebut saling terkait satu sama lain, dimana membuat ibu melahirkan dengan persalinan tenaga kesehatan terampil di fasilitas harus disertai dengan rujukan yang tepat (dan efektif), ketika rujukan diperlukan.

Dalam kaitannya dengan kebijakan penempatan bidan desa, menempatkan bidan desa juga harus disertai dengan kompetensi bidan yang cukup. Sehingga, pemempatan bidan di setiap desa yang belum memiliki bidan desa sesuai dengan harapan agar pelayanan kesehatan yang merata dapat terwujud.

Dari data yang ada meskipun proporsi rata – rata penempatan bidan desa sudah tinggi, namun persoalan kematian ibu di Banten dari waktu kewaktu belum menunjukkan penurunan yang signifikan.

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Banten

Grafik 3. Jumlah Kematian Ibu di Provinsi Banten dari tahun 2005 hingga 2009

Persoalan lain yang sering muncul adalah masalah bidan menetap di desa. Bidan desa yang tidak menetap di wilayah kerjanya diharapkan dapat tinggal menetap di wilayah kerjanya agar dapat mendeteksi secara dini apabila ada masalah kesehatan di wilayah kerjanya. Tentunya hal ini harus didukung oleh ketersediaan fasilitas yang memadai.

(27)

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 4. Bidan menetap berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

(28)

Berdasarkan Grafik diatas sebagian besar bidan desa yang berada di wilayah kabupaten/ kota di Provinsi Banten berpendidikan D3.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 6. Status Kepegawaian Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Status kepegawaian bidan desa yang berada di setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten sebagian besar berstatus PNS.

2.

KEMITRAAN BIDAN DAN DUKUN

Masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu sebanyak 208/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 melatarbelakangi beragamnya program pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu diantaranya ialah kemitraan bidan dan dukun. Kemitraan ini didasari pada kenyataan bahwa masih banyaknya masyarakat yang memilih dukun paraji sebagai penolong pertama persalinan disebabkan potensi yang dimilikinya seperti kedekatannya dengan masyarakat; memiliki ilmu praktek persalinan yang menghargai nilai-nilai sosial dan budaya; pelayanan yang lebih lengkap (termasuk mengurut dan mencuci); kedudukannya sebagai orang yang di-tua-kan sehingga memiliki pengaruh yang besar dan sangat dipercaya di masyarakat; dan dianggap lebih sabar dan telaten dalam pelayanan persalinan.

Potensi ini melahirkan persepsi rasa nyaman dan aman di kalangan ibu hamil dan masyarakat. Potensi ini juga yang tampaknya memberikan kewenangan pada dukun paraji sebagai pihak yang memutuskan apakah seorang ibu perlu dirujuk ke tenaga kesehatan atau tidak. Di lain pihak, tidak bisa dipungkiri, ada banyak kematian ibu dan bayi disebabkan oleh dukun paraji, termasuk didalamnya karena terlambat mengambil keputusan dan merujuk ke fasilitas kesehatan.

(29)

Di beberapa daerah seperti di Kabupaten Takalar, Subang dan Trenggalek keberhasilan pelaksanaan kemitraan bidan-dukun sudah terlihat signifikasinya dalam meningkatkan persalinan dengan tenaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu. Bahkan di Kabupaten Takalar dalam waktu 6 bulan semenjak diberlakukannya kemitraan bidan dan dukun pada pertengahan tahun 2007 di 2 kecamatan percontohan, cakupan persalinan dengan tenaga kesehatan sudah mencapai 100% dan tidak ada kejadian kematian ibu sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa kerjasama dengan dukun paraji memegang peranan yang sangat penting dalam penurunan angka kematian ibu secara drastis dan dalam waktu singkat.

Definisi Kemitraan Bidan dan Dukun sendiri adalah suatu bentuk kerjasama bidan dan dukun yang saling menguntungkan dengan prinsip keterbukaan, kesetaraan dan kepercayaan dalam upaya untuk menyelamatkan ibu dan bayi, dengan menempatkan bidan sebagai penolong persalinan dan mengalihfungsikan dukun dari penolong persalinan menjadi mitra dalam merawat ibu dan bayi pada masa nifas, dengan berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat antara bidan dan dukun serta melibatkan seluruh unsur/elemen masyarakat yang ada.

Kerjasama antara dukun bayi dengan bidan telah ada di beberapa tempat di Banten. Ada pula peraturan yang mendukung, namun kurang berjalan dengan baik. Seperti yang dikatakan oleh informan (bidan desa) berikut ini,

“Surat tertulis, dari puskesmas ada....ada berbentuk,...ada tanda tangan.” Dengan kemitraan tersebut dukun mendapatkan insentif dari bidan,

“Ada... kalau misalnya di dampingi sama dukun, kita bidan ngasih fee 100 ribu”

Jika melihat data dari Dinkes Provinsi Banten, tidak terlihat penurunan jumlah absolut dukun bayi di Provinsi Banten, bahkan terlihat trend peningkatan jumlah dukun dari waktu ke waktu. Tabel di bawah ini memperlihatkan kondisi jumlah dukun di Provinsi Banten dari tahun 2005 hingga tahun 2009.

Sumber: Dinkes Provinsi Banten 2010

(30)

No Kemitraan Jumlah Persentase 1 Jumlah desa yang memiliki kemitraan bidan dan dukun bayi 1343 88,3% 2 Bentuk kemitraan bidan dan dukun bayi :

a. Formal 1132 84,3%

b. Tidak formal 211 15,7%

3 Bentuk kemitraan formal yang sudah didukung dengan 845 62,9% peraturan

4 Jumlah dukun bayi yang mendapat insentif dari bidan yang telah bermitra1325 87,2%

Berdasarkan pengumpulan data di lapangan, dukun bayi yang terdapat di Provinsi Banten sebanyak 88,3% atau 1343 orang, dan dukun bayi tersebut sudah melakukan kemitraan dengan bidan baik itu secara formal ataupun tidak formal.

Tabel 2. Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Jumlah dukun bayi yang sudah melakukan kemitraan secara formal dan didukung oleh peraturan sebanyak 62,9% dan yang melakukan kemitraan secara tidak formal sebanyak 15,7% sedangkan sisanya melakukan kemitraan secara formal hanya saja belum didukung oleh peraturan.

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah desa di Banten yang memiliki kemitraan bidan desa dengan dukun sudah mencapai 88,3%, berarti masih ada sekitar 11,7% desa/kelurahan yang belum memiliki kemitraan bidan dan dukun. Hal ini bisa jadi karena masih tingginya tingkat kepercayaan masyarakat untuk menggunakan dukun.

Tabel 3. Rata-rata Jumlah Dukun bayi per desa dan Besaran Insentif untuk dukun bayi

No Dukun Bayi Minimum Maksimum Mean 1 Jumlah Dukun bayi per desa/kelurahan 0 24 3,51 2 Besaran insentif yang diterima dukun bayi 0 600.000 60.500

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Jika dilihat dari nilai rata – rata, maka di setiap desa di Provinsi Banten terdapat paling kurang 3 dukun di setiap desanya. Angka ini cukup menggambarkan bahwa bidan di desa paling tidak dikelilingi 3 orang dukun. Dari insentif yang diberikan ke dukun, rata – rata insentif yang di terima adalah Rp. 60.000,- dengan median Rp. 50.000,-.

(31)

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 8. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kemitraan antara Bidan Desa dengan Dukun Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Jika dilihat dari Grafik di atas, terlihat bahwa mayoritas kabupaten/kota sudah melakukan kemitraan dan sebagian besar adalah kemitraan dukun yang formal. Hanya Kota Tangerang dan Kota Cilegon yang jumlah kemitraannya dibawah 60%. Sekilas terlihat bahwa kemitraan sudah berjalan dengan baik. Namun jika ditelusuri lebih jauh, kemitraan bidan – dukun yang ada yang ada yang ada tidak sepenuhnya berjalan. Kemitraan hanya akan berjalan dengan optimal jika menggunakan prinsip – prinsip keterbukaan, kesetaraan dan lain sebagainya. Harus di bangun sebuah pemahaman akan peran sosial dan hubungan yang saling menguntungkan antara bidan dan dukun.

Pengaturan, jasa dukun dihargai sebesar lima puluh ribu rupiah hingga seratus ribu rupiah per kelahiran dari pihak Puskesmas. Merasakan kesetaraan peran dan manfaat ekonomi yang layak, para dukun mulai bersemangat mengidentifikasi ibu hamil, membawa mereka ke bidan, dan mengajak ibu hamil menjalan insentif dan penghargaan terhadap dukun adalah kunci yang mesti diaplikasikann. Bidan pun diharapkan dapat mengambil kepercayaan dari masyarakat dan pengguna kesehatan. Tanpa hal tersebut di atas, kemitraan yang ada hanya berjalan semu.

(32)

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 9. Desa/Kelurahan yang Memiliki Aturan Kemitraan Bidan Desa dengan Dukun Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Grafik di atas menunjukkan bahwa bentuk kemitraan formal di Banten yang didukung dengan adanya peraturan sebanyak 74,6%.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 10. Persentase Bidan Desa yang Memberikan Insentif kepada Dukun Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Grafik 10 menunjukkan bahwa di Banten sekitar 87,2% dukun yang memperoleh insentif dari bidan. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sekitar 12,8% dukun yang bermitra tidak mendapatkan intensif dari bidan. Kondisi ini disebabkan karena setelah persalinan biasanya pasien/ ibu bersalin langsung memberikan uang/insetif kepada dukun jadi bidan merasa tidak perlu lagi memberikan insetif.

(33)

Proporsi pemberian insentif di wilayah Kabupaten umumnya lebih tinggi daripada yang ada di Kota. Dibeberapa desa insentif kemitraan bidan dan dukun desanya tidak hanya dalam bentuk uang saja tapi juga dalam bentuk jasa pelayanan kesehatan dengan cara memberikan pelayanan khusus kepada dukun jika ada keperluan di sarana kesehatan, seperti berobat gratis, mendapatkan prioritas dan fasilitas khusus.

3.

Desa Siaga

Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemam-puan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri (DEPKES 2007). Dalam bidang kesehatan ibu dan anak (KIA) pemberdayaan masyarakat ini diharapkan mampu membangun sebuah sistem kesiagaan masyarakat dalam upaya mengatasi situasi gawat darurat terkait kehamilan dan persalinan.

Tabel 4. Jumlah Desa Siaga

No Variabel Jumlah Persentase

1 Jumlah Desa Siaga 1092 71,4%

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Di wilayah Provinsi Banten terdapat 1092 (71,4%) desa siaga, sehingga masih ada 25,6% desa yang belum terbentuk menjadi desa siaga. Hal ini perlu didorong mengingat desa siaga sebagai komunitas kesehatan yang berbasis masyarakat akan mampu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

(34)

Salah satu kriteria dari desa siaga adalah adanya pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa adalah pondok persalinan desa (Polindes), dan pos kesehatan desa (Poskesdes). Adapun kriteria lain desa siaga adalah adanya forum masyarakat desa, adanya pelayanan kesehatan dasar, adanya UKBM Mandiri yang dibutuhkan masyarakat, dibina puskesmas PONED, memiliki sistem surveilans (faktor risiko dan penyakit) berbasis masyarakat, memiliki sistem kewaspadaan dan kegawatdaruratan bencana berbasis masyarakat, memiliki sistem pembiayaan kesehatan berbasis masyarakat, memiliki lingkungan yang sehat, dan masyarakatnya berperilaku hidup bersih dan sehat.

Tabel 5. Desa dengan Poskesdes, Polindes, Donor Darah dan Pemantauan KIA

No Variabel Jumlah Persentase

1 Jumlah Desa yang telah memiliki poskesdes 371 34,0%

2 Jumlah Desa yang masih mempunyai polindes 204 13,3%

4 Jumlah poskesdes yang berfungsi sebagai polindes 107 52,5% 5 Jumlah Desa yang memiliki kelompok donor darah 530 34,7% 6 Jumlah Desa yang memilki kelompok donor darah yang 231 43,6%

sudah berfungsi

7 Jumlah desa yang melakukan koordinasi dan

musyawarah terhadap hasil kegiatan pemantauan KIA 1256 82,1% 8 Jumlah desa yang menggunakan hasil kegiatan

pemantauan KIA untuk pengambilan keputusan di 1125 73,6% tingkat desa

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 11 diatas menunjukkan bahwa diantara 8 Kabupaten/Kota di Banten, Kabupaten Pandeglang, Lebak, Serang dan Kota Cilegon memiliki proporsi desa siaga diatas angka Provinsi Banten yaitu 71,4%. Sedangkan di Kab. Tangerang, Kota Tangerang, Kota Serang, dan Kota Tangerang Selatan proporsi desa siaganya lebih rendah dari proporsi desa siaga Provinsi Banten. Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan tahun 2008 menargetkan pada tahun 2015 jumlah desa siaga aktif mencapai 80%.

a)

Poskesdes dan Polindes

Menurut konsep yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, Poskesdes adalah Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa. Hal ini menjadi syarat dalam pembentukan desa siaga. Sebagai salah satu kriteria desa siaga, Pos kesehatan desa (Poskesdes) memiliki fungsi pelayanan kesehatan dasar ditingkat masyarakat desa.

Kepala desa/Lurah: ....Poskesdes itu manfaatnya kalo ada masyarakat yang sakit sedikit apa segala berobat sudah kumpulnya itu seminggu 3 kali, seminggu 3 kali itu standby

(35)

bidannya kader-kader itu kumpul disitu jadi masyarakat kumpul disitu menanyakan ato segala macam. Poskesdes sudah ada (Transkrip wawancara).

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 12. Jumlah Poskesdes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010

Sedangkan Polindes adalah bangunan yang dibangun dengan bantuan dana pemerintah dan partisipasi masyarakat desa untuk tempat pertolongan persalinan dan pemondokan ibu bersalin, sekaligus tempat tinggal Bidan di desa. Di samping pertolongan persalinan juga dilakukan pelayanan antenatal dan pelayanan kesehatan lain sesuai kebutuhan masyarakat dan kompetensi teknis bidan tersebut.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

(36)

b)

Kelompok Donor Darah

Dalam konsep Desa Siaga, desa diharapkan memiliki kelompok pendonor darah sebagai penyedia darah bagi PMI yang dapat digunakan oleh ibu bersalin yang memerlukan darah.

Dari data dilapangan, Kota Serang memiliki proporsi kelompok donor darah tertinggi. Sedangkan Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan adalah kota/ kabupaten dengan proporsi kelompok donor darah yang paling rendah. Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan merupakan kabupaten/kota dengan proporsi desa yang kelompok donor darah di bawah proporsi Provinsi Banten yang angkanya 34,7%. Demikian pula jika dilihat dari proporsi kelompok donor darah yang berfungsi, daerah – daerah tersebut angkanya di bawah proporsi Provinsi Banten yang berjumlah 43,6%.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 14. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kelompok Donor Darah dan telah Berfungsi Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Dari data diatas, terlihat bahwa kelompok donor darah lebih banyak di wilayah rural seperti Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Berbeda dengan wilayah perkotaan, kelompok donor ini justru tidak terlalu banyak. Hal ini bisa jadi membuktikan bahwa masyarakat mencoba mengatasi kesulitannya sendiri dengan melakukan pemberdayaan dari diri sendiri. Pada data ini, angka Provinsi Banten sendiri hanya sejumlah 34,7%.

c)

Pendataan Ibu Hamil, Bayi dan Balita

Data adalah hal yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan program kesehatan ibu dan anak. Pendataan ibu hamil, bayi maupun balita dimaksudkan untuk mempermudah mengontrol faktor-fakktor resiko yang mungkin bisa terjadi, sehingga bila kasus yang beresiko petugas kesehatan cepat bergerak.

(37)

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 15. Pelaksanaan Pendataan Ibu Hamil di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 16. Pelaksanaan Pendataan Bayi di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten, 2010

(38)

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 17. Pelaksanaan Pendataan Anak Balita di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Banyak kabupaten memiliki angka pendataan bumil, bayi, dan balita oleh kader didesa yang sudah mencapai 100%. Di Banten pendataan bumil mencapai 98,7%. Angka ini cukup baik dan diharapkan kedepannya, pendataan tetap dapat dilakukan sehinggamencapai angka optimal.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 18. Hasil Kegiatan Surveilans KIA Desa/Kelurahan yang Dilaporkan ke Puskesmas per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Dari Grafik di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Tangerang adalah kabupaten yang proporsi pelaporan surveilans KIAnya di bawah angka Provinsi Banten (95,7%).

(39)

d)

Ambulans Desa

Berdasarkan Grafik di bawah ini bahwa kepemilikan ambulans desa sangat bervariasi antar kabupaten kota. Terlihat bahwa Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang dan Kabupaten Lebak adalah wilayah yang memiliki proporsi ambulans desa terbanyak. Hal sebaliknya, proporsi ambulans desa justru rendah di wilayah perkotaan, kecuali Kabupaten Tangerang. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat di wilayah selatan (remote) umumnya lebih berperan dalam mencari solusi yang terkait dengan persoalan kesehatannya.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 19. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Grafik berikut ini memperlihatkan proporsi ambulan desa yang masih berfungsi di semua kabupaten/kota di Provinsi Banten.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 20. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

(40)

Hal yang sama dengan Grafik sebelumnya memperlihatkan bahwa ambulans desa yang berfungsi lebih banyak di wilayah kabupaten (Pandeglang, Lebak, dan Serang). Hal sebaliknya, proporsi ambulans desa berfungsi rendah di wilayah perkotaan. Kondisi masyarakat di wilayah sulit memaksa penggunaan ambulans desa lebih berfungsi.

4.

Posyandu

Pos pelayanan terpadu (Posyandu) yang merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada msayarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar (Depkes 2006).

Kegiatan Posyandu dilapangan meliputi beberapa kegiatan seperti imunisasi, penimbangan balita, penyuluhan, dan yang lainnya. Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh kader Posyandu.

Kepala desa/Lurah: Posyandu sepanjang kegiatan belum lama ini, ada kegiatan imunisasi campak dan polio, penimbangan balita, ibu hamil, pemberian gizi, tapi rata-rata, posyandu itu perpanjangan tangan dari puskesmas. Jadi nanti ada bidan pembina yang turun langsung ke posyandu, ada kegiatan namanya BKB (bina keluarga balita), pendidikan anak usia dini, itu sudah berjalan sejak 2006 sejak saya kemari, sudah tahun lebih itu, kalau penyuluhan yang keterkaitan gizi balita dengan ada asi eksklusif ya, kemudian ada lagi KDRT ya? Juga diberikan sosialisasi, reproduksi, disini juga ada digalakkan tentang DBD. Keterkaitan bagaimana kita bisa meminimalisir sedapat mungkin demam berdarah, bahkan khusus di kota tangerang kita punya yang namanya jumantik, itu mewujud agar setiap RT peduli terhadap sarang-sarang nyamuk. (Transkrip wawancara)

Kader: Selain imunisasi juga ada penimbangan, penyuluhan, PMT, itu tiap bulan rutin, kita punya donatur dari dokter gigi, dulu kan jadi pembina kelurahan karena skrg di tugaskan ke dinas jadi kita dapat PMT, pembagiannya waktu lokmin disini. (Transkrip wawancara)

Permasalahan Posyandu yang terdapat di Provinsi Banten khususnya di wilayah perkotaan adalah kurangnya tingkat kehadiran ibu dan anak pada saat kegiatan Posyandu. Seperti yang diungkapkan oleh informan pada saat wawancara.

Petugas Puskesmas: Ya kurangnya cakupan..kalau saya ya. Kalau sudah ditaksir segini, ternyata didesa kok lebih susah. Apalagi… kalau dulu…desa yang terbelakang gitu ya. Kalau sekarang masalahnya bukan ini, malah kita..rumahnya. Rumah elit tuh kita mau masuk susah. Itu caranya gimana…walaupun ada posyandu tapi kok ga datang. Padahal posyandunya sudah bagus-bagus, tapi kok yang datang juga sedikit. (Transkrip wawancara)

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya kehadiran pada saat kegiatan Posyandu, untuk daerah perkotaan salah satunya adalah faktor kemampuan keluarga untuk melakukan imunisasi kepada dokter swasta. Sehingga mengakibatkan mereka enggan datang pada saat kegiatan posyandu.

(41)

Petugas Puskesmas: Karena sudah ke dokter, mungkin gengsi ya ke posyandu gitu kali ya. Kalau menurut saya sih, gengsi ke posyandu, mendingan ke dokter. Padahal kan ke dokter kan mahal. Kadang-kadang malah ada yang kaya gitu, dikira murahanlah, inilah… (Transkrip wawancara).

Persoalan Posyandu lainnya adalah masih banyaknya Posyandu yang tidak memiliki tempat pelayanan yang layak, sehingga kegiatan diselenggarakan dirumah penduduk.

Kepala desa/Lurah: Posyandu ini kan sementara di kelurahan ciwedus itu masih menumpang di rumah warga memang ada sebagian yang sudah tetap dibangun oleh swadaya masyarakat jadi kita minta bantu ke pemerintah cilegon pada tahun 2009 untuk alokasi di 2011. (Transkrip wawancara)

Kepala desa/Lurah: Kita punya posyandu 9 buah, 2 udah pemerintah (terbangun dengan dana APBD), 7 masih ke RW, nah yang bergerak di posyandu itu para PKK. (Transkrip wawancara)

Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 orang kepala desa/lurah terlihat bahwa masih banyaknya kegiatan Posyandu yang dilakukan di rumah warga, ini artinya sebagian besar Posyandu belum memiliki tempat pelayanan yang layak.

Dibawah ini tabel mengenai Pos pelayanan terpadu (Posyandu) diwilayah Provinsi Banten.

Tabel 6. Posyandu di Wilayah Provinsi Banten

No Variabel Posyandu Minimum Maksimum Mean Median 1 Jumlah posyandu per desa 0 35 6,49 5 2 Jumlah posyandu aktif per desa 0 35 6,47 5 3 Rata-rata jumlah kader per posyandu 1 30 4,86 5 4 Rata-rata jumlah kader aktif per posyandu 10 100 90,63 100 5 Jumlah kader yang sudah dilatih

program KIA per posyandu 0 30 2,4 2 6 Jumlah posyandu

a. Pratama 0 70 2,02 0

b. Madya 0 25 3,04 3

c. Purnama 0 32 1,16 0

d. Mandiri 0 37 0,33 0

7 Jumlah ibu hamil per desa 0 3000 78,01 38 8 Jumlah bayi (< 1 tahun) yang ada di desa 0 1765 122,50 80 9 Jumlah anak balita (1 - < 5 tahun) yang ada di Desa ini 0 4227 476,52 316 10 Responden yang menyatakan pernah merujuk bayi/balita ke puskesmas978 63,9%

(42)

5.

Pembiayaan Dalam Mobilisasi Masyarakat

a)

Musrenbang Desa

Melalui Musrenbang Desa diharapkan agar masyarakat memiliki kemampuan dalam menemukan permasalahan yang ada, kemudian merencanakan dan melakukan pemecahannya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Penekanan ini sangat jelas dalam program yang canangkan oleh Departemen Kesehatan.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 21. Pemantauan KIA yang di Musyawarahkan di Musrenbang Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Berdasarkan variabel pembahasan KIA dalam musrenbang desa dan penggunaan hasil Musrenbang dalam keputusan desa terlihat bahwa Kab. Lebak, Kab. Pandeglang dan Kota Serang umumnya rendah dan berada dibawah proporsi Provinsi Banten. Hal yang menarik terlihat di Kota Cilegon, dimana pembahasan KIA dalam Musrenbang desa proporsinya 93% namun hasil pembahasan KIA digunakan dalam keputusan desa hanya sebesar 67,4%.

Hasil pemantauan KIA di Banten relatif belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh seluruh perangkat desa dalam pengambilan keputusan ataupun kebijakan di tingkat desa. Dari data Provinsi Banten, pembahasan KIA di musrenbang sebanyak 82,1%, sedangkan penggunaan hasil pembahasan KIA sebagai keputusan desa hanya sejumlah 73,6%. Diskusi dalam musrembang lebih didominasi oleh diskusi hal lain seperti pembangunan fisik, dan infrastuktur lainnya. Pelaksanaan musrenbang desa juga tidak akan berjalan secara maksimal jika pemerintahan desa juga tidak terlalu berperan aktif membantu masyarakatnya.

(43)

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 22. Desa/Kelurahan yang Membahas Anggaran KIA di Musrenbang Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Grafik di atas menunjukkan bahwa proporsi tertinggi desa yang membahas anggaran KIA dalam musrenbang desa adalah Kota Tangerang Selatan dan yang terendah adalah Kota Serang dan Kabupaten Lebak. Jumlah proporsi dilevel proporsi sendiri sebanyak 49,7%.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 23. Keberadaan Alokasi Anggaran KIA Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

(44)

Grafik di atas menunjukkan bahwa di Kabupaten Lebak hanya 13,8% desa yang memiliki anggaran KIA. Sedangkan Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan adalah wilayah dengan proporsi desa tertinggi. Proporsi di level Provinsi Banten sejumlah 31,75. Angka ini terbilang rendah mengingat angkanya yang ada dibawah 50%. Variasi antar kabupaten kota juga sangat tinggi.

b)

Operasional Posyandu dan rujukan

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 24. Ketersediaan Dana Operasional Posyandu Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Grafik di atas menunjukkan bahwa posyandu di Provinsi Banten hanya 42,6% yang memiliki dana operasional. Kota Serang, Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang angkanya masing – masing 9,1%, 24,4% dan 35%. Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan adalah dua wilayah yang memiliki proporsi tertinggi dalam hal posyandu yang memiliki dana operasional.

Anggaran kegiatan kesehatan ibu dan anak (KIA) ditingkat desa sebagian besar menggunakan dana APBD (62,9%), yang diajukan setelah melalui proses musrenbang desa lalu kecamatan dan terakhir musrenbang kota/kabupaten.

Bidan desa: tapi memang kan ..waktu itukan kita pernah kita musrenbang, tapi musrenbangnya bukan desa siaga sih . Tapi biasanya eee...apa...Ada dana untuk kegiatan di posyandu, ee..apa namanya...kegiatan untuk bikin gedung posyandu juga Ada ..kita minta gitukan .. untuk anggaran ke situ..gitu kan..

(45)

Kepala Desa/Lurah: Kalo kita disini itu Musrenbang kalo kita kan musyawarah pembangunan kelurahan jadi kita kumpulkan RT, RW, tokoh masyarakat, tokoh agama termasuk ketua pemuda dan karang taruna itu kita kumpulkan kita membicarakan apa kendala atau masalah yang ada di kelurahan kemudian kedepan untuk kemajuan kelurahan apa aja, contoh kalo untuk bidang kesehatan itu kita minta seperti foging karena disini kan banyak DBD kita ajukan disitu foging per triwulan itu salah satunya kemudian untuk fisiknya kita banyak.. (Transkrip wawancara)

Penggunaan dana APBD ini sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang pada dasarnya merupakan pemberian wewenang yang lebih besar pada suatu daerah dalam pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah tersebut. Sayangnya, saat ini perhatian pemerintah daerah terhadap persoalan kesehatan ibu dan anak (KIA) atau kesehatan pada umumnya masih kecil. Anggaran APBD cenderung lebih banyak digunakan untuk administrasi dan pembangunan fisik, sementara program-program kesehatan pada umumnya dipandang sebagai program nonfisik yang tidak menarik perhatian pemerintah daerah. Sedangkan Pendanaan untuk kegiatan Posyandu berasal dari dana APBD, selain dana APBD ada juga dana bantuan dari pihak swasta/perusahaan dalam kerangka coorporate so-cial responsibility (CSR), dana ini merupakan bentuk pertanggung jawaban sosial perusahaan terhadap masyarakat dimana perusahaan tersebut beroperasi. Potensi dana CSR ini merupakan salah satu aset penting didalam membantu keterbatasan pemerintah daerah didalam mendanai pelayanan kesehatan. Sehingga tidak ada pungutan biaya pelayanan kesehatan bagi bayi/ balita.

Pewawancara: Kalau yang posyandu itu jadi dari APBD ya? Petugas Puskesmas: Dari APBD. (Transkrip wawancara)

Lurah: Sejauh ini, tidak dipungut, bahkan setiap pemeriksaan mendapatkan PMT, bahkan kita dapat dari kemitraan perusahaan, mereka bisa bantu biskuit buat balita, telur dan kacang hijau, diolah oleh para kader, bantuan rutin dari perusahaan yang peduli. (Transkrip wawancara)

Kalau pun terdapat pungutan lebih bersifat sukarela, yang dananya digunakan untuk operasional kader dan bidan dilapangan. Hal ini dikatakan salah seorang kader yang menjadi informan.

Kader: Jadi mungkin bu, mengenai posyandu kita lanjutkan jadi begini secara resmi diwajibkan biaya memang tidak ada,, Cuma kegiatan posyandu itu artinya supaya berjalan sehingga kader itu semacam kensceng lah, tetapi tidak diwajibkan atau tidak dipaksa misalnya harus Rp. 1000 atau harus Rp. 5000 tidak begitu, sehingga berapa aja si ibu itu seikhlasnya untuk memberi ke posyandu. Apalagi yang jamkesmas bu, itu 100% kami melarang untuk memungut. . Jadi ke kader itu beberapa kali sudah diumumkan baik dipertemuan kader kan kami melaksanakan pertemuan kader bu, setiap 1 bulan sekali di minggu kedua setiap hari

Gambar

Gambar 1. Peta Wilayah Indonesia dan Provinsi Banten
Grafik 1. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Grafik 6. Status Kepegawaian Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota  di Provinsi Banten, 2010
Grafik 8. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kemitraan antara Bidan Desa dengan Dukun Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Litbang seputar fisika reaktor yang berkembang pada jenis reaktor VHTR diantaranya adalah bentuk bahan bakar je- nis partikel berlapis tiga (TRISO) dengan heterogen- itas ganda (

organisasi, komitmen organisasi, dan partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja manajerial dengan obyek penelitian Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas.

Dalam Proyek Akhir ini akan dibuat perangkat lunak untuk Sistem Informasi Pelayanan Parkir yang dilengkapi Kamera sehingga didapatkan kemudahan dalam menjalakan

• Manajemen Biaya Proyek adalah suatu proses atau kegiatan yang diperlukan untuk memastikan bahwa proyek akan dapat diselesaikan dalam suatu anggaran yang telah disetujui..?.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa proses pelaksanaan program Tahfidz Al-Qur‟an ini dilaksanakan dibagi menjadi dua tingkatan halaqah dan dijadwalkan

Jari&lt;mah perampokan dapat dikenakan hukuman ta’zi&lt;r apabila dalam melakukan perampokan pelaku merupakan anak yang masih di bawah umur atau jika pelaku adalah

Sesuai dengan tugas dan fungsinya Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bungo membantu Kepala Daerah dalam menyelengarakan kewenangan

Ketidak-berdayaaan warga masyarakat sukubangsa setempat dalam melawan pemerintah atau sistem nasional, kecuali di Aceh, mungkin dikarenakan bahwa: