• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perfectae Caritatis art. 8 menyatakan bahwa “hakikat hidup religius sendiri mencakup kegiatan merasul dan beramal kasih … yang oleh Gereja dipercayakan kepada mereka, dan harus dilaksanakan atas nama Gereja.” Sementara itu dalam kaitannya dengan dunia modern ini Konsili Vatikan II menegaskan, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS, art.

1). Kehadiran Kongregasi JMJ dalam karya pelayanan Gereja melalui berbagai karya kerasulan menjadi tanda untuk mengabdi diri pada kepentingan umat manusia (Konst, art. 21). Pada hakekatnya tujuan karya perutusan JMJ merupakan kelanjutan perutusan Kristus melalui karya perutusan seluruh Gereja (Kapitel, art. 51).

Kepemimpinan dalam tarekat bukan semata-mata soal kedudukan dan posisi, bukan juga soal menjadi yang terpenting dan pusat perhatian. Seorang pemimpin dalam Gereja atau tarekat harus menyadari bahwa yang terpenting adalah menjadi pelayan Kristus dan ia menjadi bagian yang satu dan utuh dengan mereka yang dipimpin (Martasudjita, 2001: 63).

Darminta (2005: 11) mengatakan bahwa “Memimpin dalam tarekat berarti memimpin sekelompok Umat Allah yang memiliki Kristus sebagai Gembala (Yoh 10:1-21) dan Guru-Nya (Yoh 13:12-17), dan Roh Kudus yang akan memimpin menuju kebenaran (Yoh 16:12-13)”. Dengan demikian kepemimpinan tarekat berorientasi pada pribadi Kristus sendiri yang dengan suka rela mengabdi dan melayani (Mrk 10:45). Bagian ini akan membahas kepemimpian menurut semangat pendiri Pater Mathias Wolff, kepemimpinan menurut Konstitusi Kongregasi JMJ, kualitas pemimpin menurut spiritualitas Kongregasi JMJ.

1. Kepemimpinan Menurut Semangat Pendiri Pater Mathias Wolff

Hidup religius merupakan suatu kharisma dalam Gereja, juga dalam setiap kesatuan religius memiliki kharisma sendiri. Kharisma menentukan identitas dan merupakan dasar kekuatan kesatuan dalam Gereja dan masyarakat. Kharisma

adalah pemberian Roh kepada seseorang sehingga memiliki kepekaan terhadap miteri Allah dalam Kristus (Palit, 1992: 5).

Pendiri Kongregasi Jesus Maria Joseph adalah seorang kristiani yang menghayati panggilannya dalam situasi historis tertentu. Sebagai seorang kristiani yang diberi kharisma khusus, ia membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus melalui sabda Injil dan pewartaan sebagai pelayan umat di zaman itu. Kharisma pendiri terarah kepada umat. Allah sendiri menghendaki bahwa keterbukaan pendiri untuk rahmat serta kesaksian, dan karena ia menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang belum cukup diperhatikan oleh Gereja seluruhnya, menjadi terang dan menjadi tantangan bagi orang kristiani yang lain juga. Dengan mengikuti orang kharismatis itu mereka yang dipimpin dapat melaksanakan satu segi hakiki dari hidup panggilan sabagai umat beriman (van Laarhoven, 1999: 6).

Van Laarhoven (1999: 7) mengatakan bahwa kharisma pendiri mempunyai sifat profetis dalam tiga arti sebagai berikut:

Pertama, pendiri mengartikan tanda-tanda zaman dengan pandangan iman. Kedua, menyadari dengan suatu perasaan mendalam salah satu tuntutan mendesak dari injil, yang tertuju kepada seluruh gereja pada zaman itu. Malah sebelum gereja resmi mau menjadi terlibat di dalamnya, mereka sudah menunjuk pada tuntutan itu dam memberi kesaksian mengenai itu, kadang-kadang dalam bentuk protes, juga kalau dengan demikian mereka menjadi suara di padang gurun yang mengganggu.

Ketiga, Kharisma mereka bersifat profetis, juga karena dihayati bukan hanya dalam zaman mereka sendiri tetapi menjangkau lebih jauh, dan tetap mempunyai arti bago orang lain dan untuk kesejahteraan Gereja. Memahami kharisma pendiri mengandaikan pertama-tama bahwa kita memahami semangat yang menjiwai seluruh hidupnya. Terlebih khusus semangat yang diperoleh dari sabda-sabda Allah dan juga melalui semangat St. Ignatius, sebagaimana itu dihayati dalam Ordo Jesuit. Seluruh hidup pendiri terarah pada

kehormatan dan kemuliaan Allah. Ia merasa dicekam oleh Allah sedemikian rupa sehingga tidak lagi menginginkan sesuatu, kecuali apa yang diinginkan Tuhan terhadap dirinya. Dalam keadaan hati dan budi seperti itu ia mengalami bahwa segala-galanya terlaksana menurut penyelenggaraan Ilahi. Dan di dalam pengalamannya ia menemukan ketenangan hati. Seluruh kepribadiannya terarah kepada kemuliaan Allah (van Laarhoven, 1999: 7).

Pater Wolff terkadang mengalami suatu pergulatan batin, kendati terlibat dalam kegiatan apostolik yang hebat. Namun ia memiliki kepercayaan yang tak tergoncangkan pada Allah “Orang menjadi kristiani bukan hanya karena iman dan kasih, tetapi juga karena pengharapan” (van Laarhoven, 1999: 7). Dalam hal ini Mathias Wolff membiarkan Allah memanggil dan mengatur hidupnya seturut kehendak-Nya. Ia bukanlah orang yang sibuk mencari kehormatan sendiri. Yang dicari adalah kehendak Allah serta kehormatan-Nya. Pater Wolff memiliki perhatian yang mendalam untuk dunia dan untuk semua orang. Seluruh hidupnya berakar dalam Allah. Dalam penyerahan diri pada Allah ia menemukan kekuatan untuk menjalankan semangat ketaatan pada kehendak Allah dan dalam doa ia mengenal kehendak Allah. Dengan kata lain semangat Mathias Wolff berkembang dalam pelayanan apostolik yang mengarah kepada Allah dan sesama (van Laarhoven, 1999: 8-9).

2. Kepemimpinan Menurut Konstitusi Kongregasi JMJ

Dalam konstitusi JMJ pengertian kepemimpinan dihubungkan dengan fungsi seorang pemimpin, sebagai fasilitator yang memperlancar dan menjaga kesatuan. Secara keseluruhan, pimpinan berfungsi memelihara, agar kharisma

pendiri dihayati dan diwujudkan oleh semua anggota. Hal ini dipertegas dalam konstitusi bagi para anggota Kongregasi Jesus Maria Joseph, sebagai berikut:

Untuk menjamin kelangsungan kharisma dan melindungi kesatuan dalam keanekaragaman di lingkungan kita, diperlukan pimpinan yang memberi inspirasi dan menjaga ketertiban. Dengan semangat turut bertanggung jawab kita sebagai anggota kesatuan bersama pimpinan mencari jalan untuk mengabdikan hidup dan karya kita kepada keadilan dan kedamaian (Konst, art. 33).

Dengan demikian seorang pemimpin bertanggung jawab menjalankan tugas dan fungsi kepemimpinan berdasarkan pada kehendak Allah. Inti jiwa yang mendalam seorang pemimpin, adalah menjalankan serta melaksanakan kharisma dan panggilan Tarekat, mendengarkan serta mengikuti petunjuk Roh Kudus yang memimpin Gereja, mampu merasakan bimbingan Allah yang sedang berjalan dalam diri para anggotanya sehingga menempatkan anggota pada jalan yang layak bagi tiap pribadi dan yang sesuai dengan panggilan Tarekat di masa sekarang ini (Soenarja, 1972: 6).

Seorang pemimpin menjalankan tugas kepemimpinan, tidak seorang diri sebagai penentu segala sesuatu, melainkan bersama-sama dengan anggota sebagai satu kesatuan bertanggung jawab “mencari jalan untuk memenuhi kehendak Allah, menyediakan diri dalam ketaatan menerima dan menjalankan tugas perutusan atas dasar kerasulan untuk melayani Kerajaan Allah” (Konst, art. 14). Dan dengan jalan berdialog “berusaha dengan penegasan Roh yang diperoleh dalam doa dengan pengertian… mencoba merumuskan, kearah mana kita harus dan menemukan bentuk kerasulan. Dalam Tarekat kita mengusahakan kerasulan cintakasih” (Statut, art. 3). Kepemimpinan yang baik selalu mengajak seluruh anggota untuk terus-menerus terbuka kepada Roh, dan mampu untuk mengikuti dorongan Roh dalam hidup dan pelayanan. Dorongan Roh itu dimaksudkan untuk

mempertahankan keaslian karisma serta mengembangkan tindakan (Darminta, 2005: 56). Pemimpin yang bijak digambarkan sebagai pribadi yang memiliki kemampuan untuk mengadakan penegasan, mampu pula untuk menilai tanda-tanda zaman dan menyesuaikan dengan kesadaran akan peran dan tugas kepemimpinan (Darminta, 2005: 21).

3. Kualitas Pemimpin Menurut Spiritualitas Kongregasi JMJ

Ciri khas spiritualitas Kongregasi Jesus Maria Joseph (JMJ) tak terpisahkan dengan kharisma pendiri “Kesiap-siagaan apostolik, yang selalu menyesuaikan diri; tidak lebih, dan tidak kurang dari itu” (Konst, art. 3). Kharisma yang telah mendorong dan menjiwai pendiri ini, menjadi dasar kehidupan Kongregasi JMJ di dalam Gereja dan dunia. Kharisma ini telah menghidupi semangat setiap anggota dalam hidup dan karya untuk selalu siap sedia diutus. “Dengan demikian setiap suster JMJ harus selalu hadir di tempat dimana kepentingan Gereja mendesak demi keselamatan umat manusia. Sikap ini menutut suatu kebebasan batiniah, untuk memilih bentuk konkrit dalam cara hidup dan cara merasul demi pelayanan kerasulan” (Statut, art. 3.2).

Seorang pemimpin mesti menyadari bahwa yang pokok dalam menjalani tugas kepemimpinan adalah melayani Kristus dan sesama dengan kebebasan dan kemerdekaan batin (Martasudjita, 2001: 63). Dalam hal ini Pemimpin yang memiliki kualitas spiritualitas yang mendalam tidak akan pernah merasa terikat pada tempat atau tugas tertentu. Jadi, “apabila Tuhan menghendaki kita berada ditempat. Tetaplah di sana, tetapi apabila Ia menginginkan ke lain tempat, pergilah” (Konst, art. 3). Seperti kata Yesus “Marilah kita pergi ke tempat lain, ke

kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang” (Mrk 1:38).