• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah terbesar yang muncul dalam suatu lembaga adalah kekurangan manajerial. Daud dalam Mzm 78:72 mengatakan “Ia menggembalakan mereka dengan ketulusan hatinya, dan menuntun mereka dengan kecakapan tangannya”. Kepemimpinan adalah suatu konsep manajemen dalam kehidupan organisasi, mempunyai kedudukan strategis dan merupakan gejala sosial yang selalu diperlukan dalam kehidupan sosial atau kehidupan bersama sebagai kelompok (Riberu, 1978: 33). Itulah suatu leadership dan manajemen yang baik. Kepemimpinan kristiani (christian leadership) pada hakekatnya menyangkut pelayanan (service).

Dalam menjalankan fungsi kepemimpinan seorang pemimpin oleh organisasi atau lembaga diserahi berbagai wewenang dan kuasa. Kuasa banyak mengandung resiko bagi manusia. Kekuasaan dapat dipraktekkan secara benar dan tepat, sesuai dengan fungsi dan peran dalam kepemimpinan (Darminta, 1993: 27). Namun kekuasaan juga sangat rentang dengan penyelewengan-penyelewengan. Agar kekuasaan dalam kepemimpinan dapat berjalan secara benar dan tepat perlu mencari inspirasi dari beberapa tokoh kharismatik khususnya dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang secara istimewa dipanggil dan diutus menjadi pemimpin sejati.

1. Tokoh-tokoh Kharismatis dalam Kitab Suci Perjanjian Lama

Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama banyak terdapat tokoh kepemimpinan kharismatis yang dapat dijadikan acuan untuk kepemimpinan. Namun dalam tulisan ini penulis mengambil Nabi Musa dan Raja Daud sebagai tokoh kepemimpinan Perjanjian Lama. Kekhasan kepemimpinan Musa lebih berciri kepemimpinan spiritual. Fungsi kepemimpinan lebih pada relasi spiritual, sikap bakti pada Allah, dan menghantar umat untuk membangun hubungan relasi yang benar di hadapan Allah. Sedangkan Raja Daud, dikatakan sebagai pemimpin yang berkarakter, Daud memeliki kekuatan dan keunggulan namun tidak membuat dia menjadi sombong tapi dengan rendah hati mau mendengarkan kritik dan saran orang lain (Nabi Natan) serta mau mengakui kesalahan dan kelemahannya.

a. Kepemimpinan Musa

Musa adalah pemimpin yang membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir. Dia menjadi pembela orang-orang yang tertindas dan membawa bangsannya ke kemerdekaan. Dia pulalah yang memberi dasar-dasar berbangsa bagi Israel, dengan hukum Taurat. “Kepemimpinan Musa lebih bersifat karismatis artinya berlandaskan atas kepribadiannya, yang mempunyai keprihatinan atas identitas bangsa Israel sebagai bangsa yang bermartabat dan berhak atas kemerdekaan” (Darminta, 1993: 15). Kharisma Musa tidak hanya berasal dari pengenalan diri atas bangsa-bangsa yang ia pimpin, tetapi karena pergaulan akrab dengan Allah yang diimani. Musa mendasarkan kepemimpinannya pada pergaulan dan konsultasi dengan Allah. Sebagai pemimpin kharismatis Musa menjalankan banyak hal seperti:

Mengusahakan makan dan minum (Kel 16-17), menanggung beban kelemahan, ketidakdewasaan, kecemasan serta sungut-sungut bangsa Israel (Ul 1:10.12). melayani dengan doa dan pengantaraan, bila bangsa itu berperkara dengan Allah (Kel 17:11), menguatkan bangsanya, bila mengalami kegocangan (Kel 14:13) dan menyampaikan kehendak Tuhan, atau visi masa depan kepada bangasanya (Kel 19:3)

(Darminta, 1993: 16).

Untuk menjalankan fungsi kepemimpinan seperti itu, Musa belajar pula membagi tugas atau mengenakan sistim delegasi (Kel 18:13) bahkan Musa harus menanggung kelemahan-kelemahan sendiri sebagai manusia, yang mengalami ketakutan dan keraguan serta tak percaya. Kebesaran Musa justru terletak dalam kematian yang sunyi, yaitu merelakan tugas kepemimpinan dengan penuh iman kepada Yosua (Darminta, 1993: 18)

Musa sebagai pemimpin lebih dari satu juta orang, pernah terjebak dalam paradigma lama yang sangat memberatkan tugasnya. Didorong oleh rasa tanggung jawabnya kepada Tuhan, semua persoalan bangsanya ia tangani dan ia selesaikan sendiri (Kel 18:13) Musa lupa bahwa bangsanya juga bertanggung jawab kepada Tuhan. Yitro, mertuanya, memberi saran dan nasehat supaya Musa mengubah cara memimpin bangsanya (Martasudjita, 2006b: 51) dengan menciptakan struktur organisasi baru dan mengatur mekanisme kerjanya (Kel 18:19). Musa menunjuk pembantu-pembantunya, membagi-bagi tugas dan mendelegasikan tuags-tugas tersebut kepada orang-orang yang sudah ditunjuk menurut hirarki dalam struktur organisasi yang telah ia tetapkan (Martasudjita, 2006b: 53). Ia memilih pembantu-pembantunya sesuai dengan prinsip”the right man in the right place”. Pembantu-pembantu yang ia tunjuk haruslah orang yang memahami tugas-tugas yang diembannya, bertanggung jawab, bijaksana, jujur, cakap, pandai,

terampil, setia dapat bekerjasama, suka melayani, sabar, ramah, bersedia berkurban, saleh dan takut kepada Tuhan (Kel 18:21-22).

Dengan organisasi yang seperti itu Musa memimpin bangsanya berjalan di padang yang tandus, menuju ke Tanah Perjanjian. Sebenarnya persoalan yang dihadapi Musa tidaklah sesederhana seperti yang tergambar di dalam Alkitab, karena Musa tidak hanya mengadili dan memecahkan persoalan-persoalan bangsanya (Martasudjita, 2006b: 51). Tetapi ia juga harus mengorganisir semua yang diperlukan untuk mengatur penghidupan dan perjalanan bangsanya (Kel 16-17).

b. Kepemimpinan Daud

Daud merupakan pemimpin Israel dalam bernegara. Dia lebih menekankan penghayatan berbangsa dengan segala kompleksitas hidup bernegara dengan landasan kebangsaan tertentu, yaitu sebagai umat Allah (Darminta, 1993: 18).

Kebesaran Daud sebagai pemimpin terletak pada sikap kerendahan hati, bakti dan pengabdiannya kepada Allah sebagai Pemimpin Utama “Siapakah aku ini ya Tuhan Allah sehingga Engkau membawa aku sampai sedemikian ini. Engkau besar ya Tuhan Allah tidak ada yang sama seperti Engkau dan tidak ada Allah lain selain Dikau” (2 Sam 7:18.22). Dalam menjalankan tugas kepemimpinan Daud sangat menekankan prinsip keadilan dan kebenaran (2 Sam 8:15). Prinsip ini menjadi suatu kekuatan yang menghantar Daud pada berbagai kemenangan dan keberhasilan. Kemampuan Daud sebagai pemimpin juga Nampak pada kelihaiannya mengatur strategi dalam menghadapi peperangan melawan musuh-musuhnya. Kecakapan mengatur posisi bawahannya memberi

pertanda bahwa Daud sungguh mengenal mengetahui kemampuan setiap bawahannya sehingga Daud selalu menang dalam perang (2 Sam 10).

Kejayaan kuasa manusia selalu disertai dengan kelemahan serta benih-benih kehancuran bagi dirinya sendiri, bahkan bagi bangsa yang dipimpin. Demikian pula Daud, kebesaran Daud justru terletak dalam keberanian mengakui dosa dan kesalahan, yang sangat merendahkan tidak hanya kewibawaan sebagai raja dan penguasa tetapi juga martabat sebagai manusia “Aku sudah berdosa kepada Tuhan” (2 Sam 12:13). Daud merupakan gambaran orang beriman yang kuat sekaligus lemah dalam kemanusiaan, ambisi dan nafsu kedagingan (Darminta, 1993: 19). Kekuatan Daud ialah berani mengakui semua itu di hadapan Tuhan dan rakyatnya “Ia berpuasa dengan tekun dan semalam-malaman ia berbaring di tanah” (2 Sam 12:16).

Daud merupakan gambaran seorang pemimpin yang mau menyesali kesalahan-kesalahan dalam menggunakan kuasa, yang memang sangat rawan dalam hati manusia. Sikap inilah yang bisa diambil sebagai hikmah bagi siapa saja yang memegang kuasa dalam tingkat serta eselon manapun juga. Kesalahan fatal para pemimpin umumnya ialah tidak berani mengakui kesalahan di depan umum. Apa yang dibuatnya selalu dinilai benar oleh dirinya sendiri (Darminta, 1993: 19-20). Daud menjadi teladan kerendahan hati bagi setiap pemimpin zaman sekarang dalam hal mendengarkan dan menerima saran dan kritik dari orang lain. Kesederhanaan dan kerendahan hatinya Nampak pada keterbukaan menerima semua kesalahan dan berani bangkit dari kejatuhan itu untuk mau berubah kearah yang lebih baik (2 Sam 12:20).

Zaman sekarang tidak banyak pemimpin seperti Daud yang mau mendengarkan dengan baik saran dan kritik orang lain apalagi jika saran tersebut datang dari bawahan serta menyangkut kelalaian dan kesalahan yang telah dilakukan. Pemimpin bertanggung jawab mendengarkan kritik dan saran dari siapapun juga dari rekan-rekan “Siapa mendengarkan teguran adalah bijak” (Ams 15:5), tetapi “siapa benci akan teguran akan mati” (Ams 15:10). Pemimpin adalah sarana utama yang digunakan Allah untuk menjaga umat-Nya agar tetap bergerak ke arah yang benar dan mengerjakan hal yang benar. Seorang pemimpin harus berani menghadapi kesulitan dan kritikan dengan jiwa besar demi suatu pengabdian dan doa Daud dapat menjadi kekuatan bagi seorang pemimpin menjalankan kepemimpinan yang bijak dan rendah hati “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal” (Mzm 139:23-24).

2. Tokoh-tokoh Kharismatis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru

Setiap pemimpin perlu memperdalam spiritualitas kepemimpinan yang didasarkan pada nilai-nilai Injil. Pemimpin perlu mengembangkan spiritualitas kepemimpinan Injili (Martasudjita, 2001: 42). Banyak tokoh Perjanjian Baru yang dapat dijadikan teladan kepemimpinan Injili, antara lain yang dapat menjadi sorotan utama adalah Santo Yosef dan Bunda Maria serta Yesus.

Kepemimpinan Santo Yosef dan Maria dapat dilihat dalam kisah kelahiran Yesus (Luk 2:1-20). Dalam kisah ini Yosef dan Maria tidak menjadi pusat perhatian. Mereka tidak dianggap penting. Inilah makna kepemimpinan Injili, yakni kepemimpinan yang tidak pernah mengganti posisi sentral Tuhan.

Pemimpin menurut semangat Injil adalah seorang pemimpin yang memiliki sikap kerelaan tidak menjadi pusat perhatian, dilupakan, diabaikan, tidak dianggap penting tetapi yang penting ialah melayani Tuhan (Martasudjita, 2001: 44). Dasar kepemimpinan dalam semangat Injil adalah “Ia harus semakin besar, tetapi aku harus semakin kecil” (Yoh 3:30).

a. Kepemimpinan Yosef

Santo Yosef adalah seorang pribadi yang semasa hidupnya bekerja di belakang layar. Tidak begitu banyak orang mengetahui seluk-beluk hidup dan perannya dalam panggung sejarah umat beriman (Daia, 2005: 11). Namun demikian Santo Yosef menjadi santo terunggul kedua sesudah Santa Perawan Maria seperti yang dikatakan oleh Paus Yohanes XXIII sebagaimana dikutip Daia, (2005: 12) ketika Paus bertemu dengan para pekerja di Roma, “Santo Yosef memiliki suatu peran yang istimewa, yang lebih manis, lebih mesra….. Semua keunggulan Santo Yosef, bukan hanya oleh alasan karena ia dekat dengan Yesus dan Maria, tetapi juga oleh teladan unggul, yakni mempunyai segala keutamaan.”

Injil menampilkan Santo Yosef sebagai pribadi yang memiliki iman, harap dan cinta. Ia seorang bijaksana dalam memelihara istri dan anaknya. Ia memiliki jiwa kepemimpinan besar dalam melindungi dan membantu Yesus dan Maria. Ia seorang yang tulus hati. Sebagai seorang pribadi dan pemimpin santo Yosef unggul dalam mempraktekkan cinta. Lebih dari itu, ia melindungi dan menjaga harga diri Maria pada masa tunangan dan sepanjang mereka hidup bersama (Daia, 2005: 12-13). Meski kehidupan Yosef tersembunyi, namun umat beriman tak bisa menyangkal peran Yosef dalam karya keselamatan Allah yang terwujud dalam

diri Yesus Kristus peran ini menjadi catatan penting bagi seluruh sejarah keselamatan umat beriman. Secara istimewa Yosef menjadi kunci kepenuhan janji keselamatan Allah yang dijanjikan pada Daud (2 Sam 12-16). Karena Yosef berasal dari garis keturunan Daud, maka Yesus yang lahir dari keluarga Yosef juga dikenal sebagai “Putra Daud”. Sebagai seorang yang memiliki garis keturunan raja Yosef mewarisi nilai-nilai luhur yang dianut leluhurnya. Ia hidup suci, tulus, bijaksana, setia dan siap sedia melaksanakan rencana Allah (Daia, 2005: 20).

Dalam Injil profesi ataupun kepemimpinan santo Yosef hanya disinggung secara tidak langsung, bahkan terkesan tidak nampak. Namun sederetan peristiwa yang terjadi sekitar kehidupan Yesus dan Maria yang diceritakan dalam Injil dapat menjadi dasar yang kuat bahwa Yosef berperan aktif di dalamnya. Berikut ini beberapa peristiwa dalam Injil yang secara tidak langsung memberikan gambaran kepemimpinan dan profesi Yosef, sebagai penyelamat Maria dan Yesus dan pelindung keluarga bagi Maria dan Yesus.

1) “Penyelamat” Maria dan Yesus

Banyak peristiwa menggambarkan Yosef sebagai “penyelamat” Maria dan Yesus. Namun peristiwa Maria mengandung dari Roh Kudus sebelum hidup bersama dengan Yosef (Mat 1:18) menjadi peristiwa sentral dalam tindakan Yosef sebagai seorang “penyelamat” dan “pelindung” hidup Maria dan Yesus. “Yusuf anak Daud, jangan takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus” (Mat 1:21). Dengan mengambil Maria menjadi istrinya, Yosef bertindak lebih daripada hanya

menyelamatkan Maria seorang diri. Yosef terutama bertindak untuk menjamin identitas Yesus sebagai anaknya, anak Daud, sehingga janji Allah terpenuhi (2 Sam 7:12-13). Dalam hal ini Yosef menunjukkan sikap bijak sorang pemimpin yang tidak melegalkan berbagai cara untuk mencapai kepentingan dan kesuksesan pribadi melainkan bersikap berani dan bertanggung jawab untuk menghargai, menjaga dan melestarikan hidup (Daia, 2005: 35).

2) “Pelindung” keluarga bagi Maria dan Yesus

Sebagai “pelindung” keluarga Yosef menyadari dan menunjukkan tanggung jawab dari seorang kepala dan pemimpin keluarga dengan menjalankan kewajiban religius pertama sebagai seorang bapa yakni menyunatkan putranya setelah lahir. Maka ketika genap delapan hari, ia menyunatkan anaknya sekaligus memberi nama “Yesus” (Luk 2:21). Dengan cara itu Yosef menunaikan tanggung jawabnya selaku bapa dan pemimpin keluarga bagi Yesus. Yesus lalu tidak hanya tercatat sebagai anggota keluarga tetapi juga masuk dalam persekutuan umat Allah (Daia, 2005: 35).

Wujud Sikap tanggung jawab kepemimpinan Yosef sebagai bapa dan kepala keluarga nampak pula pada pemberian nama bagi Yesus (Mat 1:21-21). Dengan memberi nama Yosef memberi status resmi secara hukum pada anak itu sebagai anaknya (Luk 3:32; bdk Yoh 1:45). Pada peristiwa ini Yosef memperlihatkan sikap bakti dan pengabdiannya pada Allah dengan ikut serta dalam mewujudkan rencana keselamatan Allah dengan sikap taat dan setia (Daia, 2005: 36-38). Sebagai seorang bapa yang baik dan pemimpin keluarga Yosef tentunya bertanggung jawab atas hidup Maria dan Yesus. Ia bertanggung jawab

membesarkan, memberi makan dan pakaian, dan menjaga keselamatan Yesus (Daia, 2005: 40).

Yosef juga bertanggung jawab mendidik Yesus dalam hidup bermasyarakat, dalam memahami dan menghayati hukum-hukum agama, dalam menangani berbagai pekerjan (Daia, 2005: 40). Yosef menunjukkan kepribadiannya sebagai bapa dan pemimpin keluarga yang tulus hati karena taat setia dan percaya pada penyelenggaraan Allah (Daia, 2005: 45).

b. Kepemimpinan Maria

Kepemimpinan Maria menurut Mardi Prasetyo (2003: 36) antara lain memiliki Keheningan dan ketersembunyian hidup di Nazaret, ketekunan dalam hal-hal biasa dan rutin setiap hari, hanya dapat ditangkap dengan kacamata orang kecil, seperti Simeon dapat membaca kehadiran Tuhan dalam hal-hal yang biasa, tanpa banyak kata, tetap diam dan dengan iman menyimpan segala perkara dalam hati namun selalu waspada menjaga anak dengan penuh pengertian dan cinta keibuan yang lahir dari sikap tulus iklas dan selalu siap sedia mendengarkan sabdaNya dalam usaha memenuhi kehendak Allah (Luk 2:19.50).

Kemampuan memberikan diri tanpa pamrih, yang keluar dari kemurahan hatinya. Pemberian diri ini tak hanya sekali jadi, tetapi merupakan proses yang panjang: melahirkan (Luk 2:7), membesarkan, mengasuh dan mendidik dengan penuh kasih dan afeksi (Luk 2:21-52). Kemampuan merasa iba dan berbelaskasih bukan saja di Nazaret, tetapi juga dalam kegelapan iman di bawah kaki salib Yesus Kristus. Ia tetap bersedia menerima kembali dalam pangkuannya, jenasah Yesus yang diturunkan dari salib.

Kerendahan hati dan solider, berharap sepenuhnya kepada Allah. Kekuatan hidup Maria ada pada Allah. Oleh karena itu dengan berani dan jujur ia menyatakan diri: “Aku ini hamba Tuhan” (Luk 1:38). Dalam rasa solider, Maria menyatukan diri dengan anaknya Yesus, Hamba Allah yang menderita guna menebus dosa ketidakadilan. Maria ikut menderita bersama Yesus hingga sampai puncak pemenuhannya di kayu salib. Maria menghayati seluruh kehidupannya dalam semangat kerendahan hati dan sikap solider dengan memperjuangkan keadilan Allah (Pa, 2006: 24-26).

3. Kepemimpinan Yesus

Ciri khas kepemimpinan Yesus lebih mengutamakan melayani, bukan menguasai, menganjurkan, memberi semangat dan inspirasi (Martasudjita, 2003: 45) serta bertindak atas sabda Kristus: “Barang siapa menjadi terkemuka diantara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:27-28 ).

Yesus menunjukan bahwa kepemimpinan itu pada hakekatnya bersifat pengabdian, yang dilandasi oleh kecintaan sejati kepada manusia sebagai citra Allah (Martasudjita, 2003: 53). Seorang pemimpin harus memiliki kesadaran bahwa kepemimpinan bersifat melayani. Wibawa dianugerahkan untuk mempengaruhi ke hal-hal yang baik dalam hidup. Pangkat dan kekuasaaan dipinjamkan untuk membangun kebaikan dan kesejahteraan bersama. Kenyataan yang sering terjadi kuasa dan pangkat sering berubah menjadi sarana untuk mencelakakan orang lain. Wibawa dipakai untuk mempengaruhi orang lain kepada kejatuhan (Darminta, 1993: 28-29).

Kepemimpinan bukan sekedar mendapat kedudukan dan kehormatan, seperti yang dipikirkan oleh ibu Yakobus dan Yohanes, “perkenankanlah kedua orang anakku ini duduk disamping-Mu, seorang di sebelah kiri-Mu dan seorang lagi di sebelah kanan-Mu” (Mat 20:21) melainkan kesiapan dan kerelaan menjalani semua konsekuensi kepemimpinan dengan penuh tanggung jawab. Setiap pemimpin dapat mengambil kepemimpinan Yesus sebagai ciri khas kepemimpinannya dalam menghayati dan menjalani panggilan serta perutusan (Darminta, 1993: 26-27).

Seluruh kehidupan Yesus dan misi yang diemban-Nya dari Bapa adalah melaksanakan kehendak Bapa dan menjadi hamba yang melayani. Sebagai Mesias dan hamba Allah yang menderita, Yesus mengemban misi dari Bapa untuk menggenapkan nubuat nabi Yesaya mengenai Mesias yang diutus untuk membebaskan mereka yang tertawan, tertindas, menyembuhkan yang sakit dan memberikan penghiburan bagi mereka yang menderita (Yes 61:1-2; bdk. Luk 4:18). Peristiwa pembasuhan kaki seperti yang tercatat dalam Injil Yohanes (13:1-20), merupakan suatu teladan sekaligus pendidikan kepemimpinan. Dalam hal ini Yesus menunjukkan sikap hidup mencintai sampai sehabis-habisnya (Darminta, 1993: 24-25). Dalam menjalankan misi-Nya sebagai hamba, Yesus datang untuk menghadirkan Kerajaan Allah lewat cinta dan pelayanan “Aku datang untuk melayani”. Hal ini berarti bahwa menjadi pemimpin yang sejati berarti “melayani dengan penuh kasih dan ketulusan hati, kejujuran dan penuh kebijaksanaan” (Martasudjita, 2003: 47).

Sekarang ini orang memahami kepemimpinan itu pada hakekatnya ialah suatu fungsi pengabdian bagi kepentingan bersama. Peristiwa pembasuhan kaki

menjadi dasar bagi seorang pemimpin untuk menjalankan tugas kepemimpinan dengan sukarela dan keiklasan hati untuk melayani. Dia yang adalah Guru dan Tuhan membasuh kaki murid-muridNya suatu ungkapan pengabdian didasari pada cinta yang mendalam bagi pelayanan (Yoh 13:12-27). Dengan demikian Yesus mau menjukkan bahwa, setiap pemimpin mengambil prakarsa dalam pengabdian kepada semua orang tanpa membeda-bedakan (Darminta, 1993: 26). Dan pengabdian itu dimulai dengan mendahulukan mereka yang kecil, miskin dan tak berdaya (Mat 25:45).

Tiga kategori kekuatan yang ada di balik teknik kepemimpinan Yesus, meliputi penguasaan diri, tindakan nyata, dan relasi seperti yang dikutip Mardi Prasetyo (2003: 23) sebagai berikut:

Kekuatan penguasaan diri mengandaikan taraf kematangan, kemerdekaan serta gambaran diri tertentu yang matang. Kekuatan tindakan nyata mengandaikan visi yang jelas dan benar sebagai penuntun dan perspektif dari tindakan-tibdakan. Sedangkan kekuatan relasi atau komunikasi mengandaikan kemampuan merebut hati dan membangun hubungan-hubungan demi tercapainya tujuan.

Berdasarkan tiga kategori kekuatan tersebut muncullah kepemimpinan visioner yang mengintegrasikan model manajemen Alpha, manajemen Beta, manajemen Omega dengan kebijaksanaan yang dihayati Yesus dalam memimpin kelompok (Mardi Prasetyo, 2003: 19).

Dalam Manajemen Alpha, kepemimpinan bertolak pada kekuatan kebapaan yang menuntun dan mengarahkan dan pelayanan yang menuntut kesediaan dan kerelaan hati untuk meleyani. Oleh karena itu orientasi pemimpin adalah semakin menyerupai kepemimpinan Yesus yang melayani (Mardi Prasetyo, 2003: 19).

Manajemen Beta bertolak dari kekuatan keibuan yang memiliki kekuatan untuk mencintai dengan kebaikan hati, kesabaran dan kelembutan yang mengandaikan kemamupuan mendengarkan, mengerti, memaafkan dan menerima, memiliki kemampuan merawat dengan penuh perhatian dan menyembuhkan, bahkan mempertaruhkan hidup demi kehidupan anaknya. Orientasi pemimpin adalah kemampuan hati yang halus untuk mencintai dan pelan-pelan mengatasi segala keterbatasan diri dan semakin menyerupai Allah yang murah hati (Mardi Prasetyo, 2003: 21).

Manajemen Omega adalah kepemimpinan yang memadukan dan memperkuat kedua gaya yaitu Alfha dan Beta. Ada tiga pendapat tentang manajemen omega dalam kepemimpinan Yesus sebagi berikut: Yesus melatih dua belas orang murid, Yesus bekerja dengan para murid-Nya yang sepenuhnya manusiawi, beda latar belakang, perasaan mudah koyak, kadang berwatak pengecut, Yesus memilih orang-orang yang sederhana, nelayan, petani serta orang yang memungut pajak (Mardi Prasetyo, 2003: 22).