• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPURA-PURAAN SAMA DENGAN KETIDAK IKHLASAN

Dalam dokumen Mediakom Edisi 15 Desember 2008 - [MAJALAH] (Halaman 46-49)

PELITA

berlebihan, bukan saja memancing frustasi, tetapi juga membentuk sikap mental minder, merasa tidak puas terhadap apa yang dimiliki, baik kecantikan, pakaian atau tubuh. Sikap ini akan menimbulkan pola hidup konsumeris dan serba kekurangan.

Maka, jalan pintas menuju kemewahan itu tak lain melalui KKN. Tindakan kriminal seperti KKN pun terjadi di jajaran elit dan penguasa, yang hakikatnya implikasi dari dunia kepura-puraan juga.

Drama kepura-puraan di pentas politik telah menjadi ‘serial’ laiknya sinetron bersambung di acara-acara entertainment televisi nasional. Wajah buruk parlemen kian parah. performa pemerintah juga tak kalah payah. Lantas, rakyat menjadi korban lagi. Entah sampai kapan kita bisa mendapatkan sebuah sistem politik nasional yang jujur, berpihak kepada rakyat, dan tidak dibangun diatas semangat kepura-puraan. Ya, pura- pura vokal, pura-pura memihak, pura-pura atas nama rakyat, pura- pura bersidang, pura-pura rapat, dan seterusnya-sampai urusan pura-pura studi banding (study comparative). Tidak semua memang seperti itu, kita juga masih memiliki politisi, elite, wakil yang memiliki hati nurani, jiwa patriotik, dan amanah. Masalahnya, sedikit sekali. Sebenarnya tradisi ini bisa dibalikkan, seandainya semangat komitmen kepada rakyat dan atas dasar amanah menjadi latar belakang kinerja bagi para elite. Kalau saja, rapat atau sidang yang diadakan itu benar-benar dan sungguh-sungguh membahas masalah sekaligus menjadi problem solving (way out) bagi masalah yang sesungguhnya sedang dihadapi rakyat, maka menjadi bisa dipahami kendati rapat atau sidang itu memang harus memerlukan biaya mahal. Hal sama juga berlaku bagi

kunjungan kerja atau studi banding- studi banding yang berulang-ulang itu.

Wajah elit di seantero negeri ini yang tampil dengan style penuh “kepura- puraan” dalam mengemban amanah kekuasaan yang dipercayak an kepada merek a sesungguhnya adalah wujud ketidak ikhlasan dalam beramal.

Bisa jadi ketidak-ikhlasan mereka muncul dari niat awal para elit itu menjadi penguasa hanya untuk memperjuangkan kepentingan pribadi mereka.

Mereka sejak awal memang hanya ingin jadi orang kaya, orang hebat, orang berpengaruh, orang penting, dan sederet predikat orang super lainnya. Amanah kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka akhirnya dijalankan dengan penuh kepura-puraan agar kedok mereka sejak awal itu bisa tertutupi dan mereka dengan kepura-puraan itu seolah-olah tetap menjadi pejuang, pemimpin dan pengayom kepentingan rakyat.

Bisa jadi kepura-puraan sama dengan ketidak-ikhlasan mereka terjadi karena niat awal mereka untuk memikul amanah kekuasaan dengan baik telah bergeser karena adanya tuntutan keadaan, lingkungan sosial dan budaya yang “memaksa” para elit harus berkhianat.

Mungkin keluarga, kolega, organisasi politik, atau tuntutan buaya selebritis akhirnya menggeser keikhlasan mereka untuk menjadi pemimpin, penguasa dan pelayanan masyarakat sejati.

Sehingga ujung dari lahirnya kepura- puraan itu tak lain karena para elit kita sesungguhnya adalah orang- orang yang miskin keimanan kepada Penciptanya walaupun dia sangat

kaya materi dan harta benda.

Apapun alasan dari style kepura- puraan para elit itu sesungguhnya tak lain dari lahirnya krisis keikhlasan mereka. Dan keikhlasan itu adalah buah manis dari keimanan seorang hamba Allah.

Oleh karena itu, bagi diri remaja sendiri sebagai generasi muda penerus cita bangsa dan negara, hendaknya bisa berpikir dewasa, kritis dan bermental baja. Remaja masa kini harus memiliki kesadaran nurani yang tinggi, tidak begitu saja mengekor atau mencontoh segala yang ditayangkan media massa terutama TV.

Maka, jangan biarkan setiap detik berlalu tanpa aktivitas positif. Masa depan akan semakin sarat tantangan. Masa depan membutuhkan remaja-remaja kreatif yang siap mengayuh perahu lebih cepat, berani menentang ombak dan siap berhadapan dengan derasnya arus globalisasi zaman.

Diantara fakta kebanyakan itu, sesungguhnya masih tersisa diantara elite yang memiliki komitmen moral yang tinggi. Kita mendoakan semoga yang tersisa itu, tetap bertahan dan setia atas sikap mulia itu. Wallahu a’lam.

“Jangan pik irk an kesenangan, t a p i p i k i r k a n l a h b a g a i m a n a memperjuangk an kesenangan. J a n g a n p i k i r k a n s u r g a , t a p i pikirkanlah bagaimana membuat amal kebaikan. Ketahuilah bahwa jalan untuk meraih surga itu dipagari duri dan jalan meraih neraka dipagari roti.“ . Surat Al-Baqarah (Ayat 8-13).

Jika seorang muslim telah menjadikan Islam sebagai titik tolak berikir dalam segala hal maka sikap dan perilakunya bukan sekadar dibuat-buat melainkan dilakukan

dengan kesadaran.

Iltizam adalah suatu komitmen yang lahir dari dalam diri (wa’yu dzati) dan bukan sesuatu yang bersifat kamulase (kepura-puraan) ataupun paksaan. Menurut Fathi Yakan, iltizam adalah sebuah komitmen terhadap Islam dari hukum-hukumnya secara utuh dengan menjadikan Islam sebagai siklus kehidupan, tolak pikir dan sumber hukum dalam setiap tema pembicaraan dan permasalahan. Sebagaimana perintah Allah Taala dalam, QS. 2:208 agar seorang muslim masuk ke dalam Islam secara kafah.

Paling tidak harus ada dua indikator yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki iltizam atau komitmen : Ada indikator lahiriah yang jelas dan kongkrit. Misalnya seorang muslim yang shaleh akan hampir selalu terlihat shalat tepat waktu dan berjamaah di masjid. Jadi logikanya tidak bisa dibalik bahwa orang yang shalat di masjid belum tentu baik. Hal tersebut di atas memang tidak bisa digeneralisir dan kita sulit mengatakan seseorang memiliki iltizam jika ia enggan shalat.

Adanya muraqabah dzatiyah. Kita memang tidak boleh hanya mengandalkan mutaba’ah zhahiriyah, melainkan juga harus menumbuhkan muraqabah dzatiyah agar amal yang dilakukan tidak dinodai kepura-puraan, kamulase, nifaq, dan riya. Artinya di manapun dan dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun apakah ada orang atau tidak, giat atau malas, suka atau tidak suka, dicaci atau di puji kita tetap konsisten dalam melakukan amal shaleh. Sebagaimana Rasulullah SAW berpesan kepada seorang sahabat yang belum mau pulang ke daerah asalnya untuk berdakwah.

“Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada dan iringilah

perbuatan buruk dengan perbuatan baik. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”

Iltizam terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah shahihah, akhlaq hamidah, dakwah wal jihad, syumul wa tawazun. Dimilikinya iltizam tersebut dalam diri seseorang diharapkan akan membentuk manusia yang utuh (insan mutakamil).

Memiliki komitmen atau beriltiazam kepada akhlaq hamidah (akhlak terpuji). Akhlaq hamidah jelas harus dimiliki oleh seorang muslim yang beriltizam. Dan akhlaq hamidah yang dimaksud tentu saja akhlak yang Islami dan qurani. Sebagaimana R a s u l u l l a h d i u t u s u n t u k menyempurnakan akhlak manusia dan dipuji Allah sebagai orang yang berbudi pekerti agung. (QS 68: 4) Aisyah ra. Mengatakan bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran. Artinya jika ingin melihat bagaimana Al-Quran dijabarkan secara konkret dalam sikap, perilaku, dan tindak tanduk di segala aspek kehidupan, lihatlah diri Rasulullah. Rasulullah boleh dikatakan “the living quran” atau Al-Quran yang hidup. Bila seorang dai memiliki akhlak yang Islami ia akan mendapat manfaat antara lain bahwa dirinya patut menjadi teladan. Akhlak terpujinya itu juga menjadi daya tarik dakwah dan dirinya juga akan selalu terhindar dari itnah. Rasulullah SAW misalnya pernah dikatakan dukun, tukang sihir, gila dan sebagainya, tetapi akhirnya itnah-itnah itu terlepas dengan sendirinya melihat keutamaan pribadi Rasulullah. Begitu pula itnah keji berupa tuduhan zina terhadap ummul mukiminin Aisyah ra yang dikenal dengan peristwa haditsul ifki. Beliau akhirnya mendapatkan pembelaan langsung dari Allah dalam surat An-Nur.

Dari ilmu dan pemahaman

diharapkan menumbuhkan keyakinan dan iman yang kemudian mensibghah dan pada akhirnya membentuk sikap serta perilaku yang Islami. Imam syahid Hasan Al-Bana membagi manusia ke dalam tiga kelompok berdasarkan pemahaman dan tingkatan akidahnya :

Kelompok yang menerima iman Islam secara doktrin atau dogmatis yang tidak disertai ilmu dan pemahaman yang memadai. Kualitas keyakinannya minim dan biasanya berubah menjadi keragu-raguan bila ada hal yang menimbulkan keraguan pada dirinya.

Kelompok yang menerima iman Islam karena sesuai dengan logika dan pemikiran. Bila diungkapkan dengan dalil-dalil berupa logika qurani, maka keimanan dan keyakinan semakin mantap dan bertambah kuat. Hanya saja amalnya masih kurang nampak atau belum terealisir secara baik. Jadi keyakinannya baru sampai tataran logika.

Kelompok yang menerima iman Islam karena memadukan unsur pikir, pemahaman dan ketaatan. Jadi semakin yakin ia akan semakin taat melaksanakan amal shaleh dan memperbaiki ibadahnya hatinya selalu diterangi cahaya Allah. (yanti). PELITA

SAAT INI SUDAH ADA EMPAT BPFK

Dalam dokumen Mediakom Edisi 15 Desember 2008 - [MAJALAH] (Halaman 46-49)