3.1. Kerangka Konseptual
Gambar 3.1. Kerangka Konseptual
Komunikasi adalah proses belajar sepanjang hidup yang dimulai semenjak bayi, dan membantu anak untuk belajar, membangun relasi sosial, mengekspresikan perasaan, dan berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari (Pierce, 1998). Lebih lanjut Pierce menyebutkan bahwa anak yang mengalami hambatan perkembangan kognitif dan atau fisik akan mengalami kesulitan mengekspresikan diri mereka secara jelas, dan juga memahami apa yang diucapkan pada mereka.
Karakteristik khusus dari anak dengan Down syndrome menyebabkan
kondisi dimana masih diperlukannya penelitian lebih lanjut yang dapat menjawab
kebutuhan anak dengan Down syndrome agar dapat mengkomunikasikan
kebutuhannya melalui berbagai cara, dan tidak hanya melalui komunikasi verbal. Pembelajaran Musik: 1. Mendengarkan 2. Menirukan 3. Menyanyikan 4. Memainkan Kemampuan Mengolah Pendengaran: 1. Auditoryawareness 2. Auditory discrimination 3. Auditory identification 4. Auditory comprehension Kemampuan Komunikasi: 1. mampu berinteraksi dengan individu lain 2. mampu menggunakan
bahasa verbal untuk merespon
3. mampu terlibat dalam kegiatan belajar di kelas 4. mampu menggunakan
bahasa non-verbal 5. mampu mengenali minat
dan perasaan orang lain 6. mampu mengenali
perasaannya dan menggunakannya secara tepat
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
86
Musik sebagai salah satu bahasa universal menjadi salah satu alternatif media komunikasi anak berkebutuhan khusus yang telah dicoba diteliti oleh beberapa peneliti (Atterbury, 1985; Collett, 1992; Edgerton, 1994; Welch, 2001; Teachout, 2005; Strait, dkk., 2010).
Menurut penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Orsmond dan Miller (1999) tentang efek pembelajaran musik sedini mungkin terhadap kemampuan perseptual musik (non-verbal dan kemampuan spasial), pembelajaran musik menunjukkan adanya efek transfer spesifik pada kemampuan integrasi visual motor, dan disimpulkan bahwa musik menjadi medium yang memperkuat integrasi dan koordinasi visual-motorik. Integrasi dan koordinasi auditori-visual-motorik melibatkan proses sensori integrasi. Sensory Integration (SI) merupakan kata yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan menerima dan menyerap informasi sensori secara akurat dan mengintegrasikan informasi tersebut untuk dapat berfungsi sesuai lingkungan (Ayres, 1994). Setiap anak memiliki potensi SI, tetapi anak-anak perlu berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya untuk mengembangkan potensi tersebut. SI berisi kemampuan mengambil dan juga menyaring informasi, dan ketika terjadi kesulitan dalam proses dan pengaturan informasi sensori, terjadi disfungsi integrasi sensori, yang biasa terjadi pada anak dengan Down syndrome.
Keterampilan sensori termasuk kemampuan melihat, mendengar, menyentuh, merasakan, atau mencium objek dan orang di lingkungan sekitarnya. Keterampilan perseptual mengacu pada kemampuan untuk memberikan makna pada input sensoris. Jadi tidak hanya dibutuhkan komponen komunikasi dan
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
87
kapasitas intelektual yang memadai untuk dapat berkomunikasi, namun juga terkait dengan perkembangan elemen dasar kemampuan, yaitu keterampilan berbicara dan berbahasa, yang didalamnya dibutuhkan pula kemampuan sensoris dan kemampuan perseptual yang berkaitan dengan fungsi kognitif.
Menurut beberapa penelitian (Bloom & Lahey, 1978; Bruner, 1983; Braithwaite & Sigafoos, 1998; Chapman & Hesketh, 2000; Rio, Galvain, & Gracia, 2001; Buckley & Bird, 2002; Buckley, 2009), disimpulkan bahwa ada tiga aspek yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi seseorang, yaitu perkembangan kognitif (kognisi sosial dan proses kognitif), perkembangan secara
umum (early language, motorik, sistem sensori), dan demografis (latar belakang
komunitas, sistem ekologikal, lingkungan komunikatif). Ketiga hal tersebut tidak diteliti secara langsung di dalam penelitian ini, tetapi digunakan sebagai pembatasan karakteristik Subjek penelitian, yaitu: sekolah di SLB-BC TKS tingkat sekolah dasar (perkembangan kognitif dan demografis), serta tidak
mengalami hambatan pendengaran (general development). Kepastian tidak adanya
hambatan pendengaran didapatkan dari hasil pemeriksaan tumbuh kembang Subjek yang dilakukan secara rutin oleh dokter dari puskesmas yang bertugas di SLB-BC TKS.
Gambar 3.1 menunjukkan pengaruh pembelajaran musik secara langsung pada kemampuan komunikasi, dan pengaruh pembelajaran musik melalui stimulasi kemampuan mengolah pendengaran terhadap kemampuan komunikasi. Pinel (2009) menyatakan dalam bukunya bahwa sebagian besar musik diolah di hemisfer kanan dan kiri otak manusia melalui mekanisme sistem pendengaran.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
88
Kegiatan mendengarkan musik memberikan informasi gelombang suara dalam sistem auditori (pendengaran) Subjek, yang kemudian menstimulasi kemampuan mendeteksi suara/bunyi, termasuk mengenali lokasi sumber suara/bunyi (sound localization), dan kemampuan memfokusikan perhatian pada informasi auditori utama yang muncul bersama suara/bunyi lain. Stimulasi terhadap indera auditori Subjek mendorong Subjek untuk mencari sumber suara, sehingga terjadi proses integrasi antara auditori (membedakan suara utama dan suara lain), motorik (bergerak mencari asal suara), dan visual (melihat asal suara).
Saat Subjek telah familiar dengan musik yang didengarnya, Subjek belajar
menirukan suara yang didengarnya, termasuk tempo maupun pitch. Kegiatan
menirukan akan mendorong Subjek untuk dapat membedakan suara yang akan ditiru dan suara yang akan diabaikan. Pinel (2009) menyebutkan dalam bukunya bahwa kegiatan seperti memainkan instrumen musik dan mengenali musik melibatkan pengolahan informasi di hemisfer kiri manusia, di mana bahasa juga diolah di hemisfer kiri.
Nina Kraus dan sejawatnya melakukan beberapa penelitian untuk melihat keterkaitan mekanisme musik dan bahasa di dalam otak (Kraus & Banai, 2007; Koelsch, dkk.; Strait, dkk., 2010). Melalui beberapa penelitian tersebut, ia
mengatakan bahwa kemampuan mengolah pendengaran (auditory processing
skills) memberi dasar kemampuan manusia untuk melakukan perilaku kompleks seperti memahami bahasa lisan dan memainkan instrumen musik. Pengolahan pendengaran (auditory processing) bukanlah suatu proses yang kaku, tetapi sangat interaktif dengan sistem saraf lainnya, dan dipengaruhi oleh pengalaman,
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
89
lingkungan, dan pembelajaran aktif. Nina Kraus menekankan pembahasan hasil penelitiannya pada fungsi respon batang otak pendengaran terhadap produksi signal elektrik dalam otak yang meningkatkan karakteristik stimulus gelombang suara. Stimulus suara tersebut mengandung tempo, pitch, dan timbre, yaitu informasi dasar yang merupakan elemen musik maupun bicara.
Kegiatan seleksi suara yang menjadi fokus sistem pendengaran menstimulasi kemampuan Subjek untuk mendeteksi perbedaan antar-suara di sekitarnya, termasuk kemampuan mendeteksi perbedaan aspek non-fonem seperti jeda, intensitas, pitch, dan rima secara keseluruhan (suprasegmentals), dan juga kemampuan mendeteksi perbedaan antar suara ucapan yang spesifik (segementals).
Tahap selanjutnya Subjek belajar menyanyikan lirik lagu yang didengarkannya. Saat Subjek berusaha mengenali dan menyanyikan lirik, maka fokus Subjek tidak hanya pada suara musik, tetapi keterkaitan setiap nada dengan lirik yang didengarnya. Hal tersebut menstimulasi kemampuan Subjek mengaitkan antara bunyi/suara dan ucapan, termasuk kemampuan mengubah produksi bicara (speech production) berdasarkan informasi yang diperoleh dari mendengarkan ucapan diri sendiri (auditory feedback/self-monitoring), dan juga kemampuan mengidentifikasi, menggabungkan, memilah, dan memanipulasi struktur bahasa oral (phonological awareness/auditory analysis). Menurut Pinel (2009), ketika seseorang mendengarkan musik dan lirik, maka keduanya akan dipisahkan oleh mekanisme sistem pendengaran di bagian korteks auditori, di mana lirik akan diolah oleh bagian anterior superior temporal sulcus.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
90
Kegiatan terakhir proses pembelajaran musik adalah kegiatan memainkan instrumen musik keyboard. Chan, dkk. (1998) menyimpulkan dari penelitiannya bahwa belajar memainkan suatu alat musik meningkatkan kemampuan otak untuk mengingat kata-kata. Artinya, kemampuan otak untuk mengingat kata-kata akan
meningkat ketika seorang anak berkebutuhan khusus seperti anak dengan Down
syndrome belajar memainkan alat musik tertentu. Subjek sudah mengenal lagu yang akan dimainkan di tahap ini, dan juga keterkaitan antara lirik dengan nada lagu. Saat Subjek belajar memainkan lagu, ia kembali lagi harus fokus pada bunyi/suara nada yang ditekannya, dan kegiatan ini menstimulasi kemampuan menggunakan informasi auditori yang sudah pernah didengar dan yang baru diperoleh (auditory memory). Stimulasi peningkatan ingatan auditori artinya sekaligus melatih ingatan verbal, terutama saat Subjek belajar menekan urutan nada. Tempo dan pitch yang masih bersifat abstrak pada kegiatan belajar tahap pertama sampai dengan ketiga, dirasakan dan dialami lebih nyata/konkret oleh Subjek dalam kegiatan belajar tahap keempat.
Tempo (irama) menstimulasi kepekaan anak saat berbicara, waktu yang tepat untuk merespon, kecepatan berbicara, dan pengendalian pernafasan saat berbicara maupun saat mengendalikan emosi. Pitch yang terdiri dari nada, melodi, dan harmoni menstimulasi kepekaan dan kemampuan anak mengatur nada bicara yang sesuai dengan kata yang diucapkannya, sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat dipahami oleh orang lain. Urutan nada yang dipelajari oleh Subjek akan menstimulasi kepekaan terkait sintaks.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
91
Keseluruhan proses pembelajaran musik dan interaksi anak dengan guru pelatih secara tidak langsung menstimulasi kemampuan anak untuk menggunakan bahasa verbal sebagai salah satu cara berkomunikasi selain bahasa non-verbal. Selain itu, interaksi bersama guru juga akan menstimulasi kepekaan anak terhadap perasaannya sendiri maupun perasaan orang lain.
Jadi melalui proses pembelajaran musik bersama guru dan teman sebaya,
anak Down syndrome mengalami stimulasi sensori pada indera visual (mengamati
gerakan guru, warna pada tuts instrumen keyboard), indera auditori (mendengarkan rekaman lagu, suara guru, lirik lagu), dan motorik (menggerakan tangan dan jemari). Prinsip pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran konstruktif (Vygotsky dan Piaget), teori belajar sosial kognitif (Bandura), dan teori sensori integrasi (Ayres). Guru, orangtua, dan teman sebaya berperan sebagai
model/contoh perilaku, dan proses interaksi anak Down syndrome bersama ketiga
pihak tersebut dalam proses pembelajaran musik dapat menstimulasi motivasi
anak Down syndrome untuk berkomunikasi.
3.2. Hipotesis Penelitian
Menurut Kerlinger dan Lee (2000), penelitian psikologi melibatkan lebih dari sebuah hipotesis. Secara umum ada dua hipotesis dalam penelitian eksperimental, yaitu hipotesis ilmiah (scientific hypothesis) dan hipotesis statistik (statistical hypothesis). Adapun hipotesis ilmiah penelitian ini adalah sebagai berikut:
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
92
1. Ada pengaruh pembelajaran musik terhadap kemampuan mengolah
pendengaran(auditory processing skills)anak dengan Down syndrome.
2. Ada pengaruh kemampuan mengolah pendengaran (auditory processing
skills) terhadap kemampuan komunikasi (communication skills) anak dengan Down syndrome.
3. Ada pengaruh pembelajaran musik terhadap kemampuan komunikasi
(communication skills) anak dengan Down syndrome.
Hipotesis selanjutnya adalah hipotesis statistik, yang menggunakan pengujian statistik untuk menganalisis data. Hipotesis statistik merupakan pernyataan yang dapat diuji secara statistik mengenai hubungan antara dua atau lebih variabel penelitian, dimana dalam penelitian eksperimental hipotesis statistik menyatakan adanya perbedaan DV (dependent variable) di antara kelompok-kelompok penelitian (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2011). Adapun hipotesis statistik penelitian ini adalah:
H0: Tidak ada pengaruh pembelajaran musik dengan stimulasi kemampuan
mengolah pendengaran terhadap kemampuan komunikasi anak dengan Down
syndrome.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA