• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Pemikiran Teori

Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian berisi landasan teori yang menjadi dasar dalam menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang diuraikan meliputi teori analisis usahatani, teori bagi hasil tanpa dan dengan bagi biaya, dan analisis biaya modal pinjaman (cost of fund). Kerangka pemikiran teori ini dijadikan dasar dalam penentuan metode yang digunakan dalam penelitian ini.

Analisis Usahatani

Suatu usahatani dapat dikatakan mencapai kondisi yang memaksimumkan keuntungan jika fisrt order condition (FOC) dan second order condition (SOC) nya terpenuhi (Debertin 1986). Asumsikan, harga otput adalah sebesar Py, maka penerimaan yang diperoleh oleh petani adalah:

�� = . � ...(1.a) Bila komuditi yang dihasilkan lebih dari satu jenis, maka persamaan (1.a) menjadi:

�� = ∑ � . ��... (1.b) Biaya yang dikeluarkan dalam usahatani terbagi menajdi dua, yakni biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel (variabel cost) adalah seluruh biaya yang dikeluarkan yang bagiannya sesuai dengan tingkat atau level output yang diproduksi. Artinya, biaya total variabel akan meningkat seiring dengan jumlah output yang diproduksi. Biaya tetap adalah biaya yang harus dikeluarkan meskipun kegiatan produksi tidak dilaksanakan oleh petani. Artinya, total biaya tetap tidak dipengaruhi oleh jumlah output yang diproduksi (Debertin 1986). Secara keseluruhan, biaya usahatani memenuhi persamaan (2), yakni:

�� = ��� + ���...(2) Sehingga, keuntungan yang diterima dalam usahatani memenuhi persamaan (3) berikut:

� = �� − ��...(3) Usahatani yang dijalankan petani dikatakan berada dalam keuntungan, jika turunan pertama (FOC) dari fungsi keuntungan sama dengan nol (0). Sehingga, persamaan di atas akan menghasilkan kondisi yang memaksimumkan keuntungan jika: � �= ...(4.a) − � = ...(4.b) � − � = ...(5.a)

� = �...(5.b) Kondisi ini belum tercapai jika SOC-nya belum terpenuhi. Usahatani akan mencapai kondisi yang memaksimumkan keuntungan jika turunan kedua (SOC) dari fungsi keuntungan bernilai negatif, sesuai dengan persamaan berikut:

� − � < ...(6)

Dimana :

TR = Besar penerimaan (total revenue)dalam usahatani (Rupiah)

TC = Total biaya yang dikeluarkan (total cost)dalam usahatani (Rupiah) TFC = Total biaya tetap yang dikeluarkan (total fixed cost) dalam usahatani

(Rupiah)

TVC = Total biaya input variabel yang dikeluarkan dalam usahatani (total variable cost) (Rupiah)

MC = Biaya marjinal (marginal cost)

MR = Penerimaan marjinal (marginal revenue) Py = Harga output (Rupiah per unit)

Pyi = Harga output dari komuditi ke-i (Rupiah per unit) Y = Output produksi (unit atau ton)

Yi = Output produksi komuditi ke-i (unit atau ton)

π = Besar keuntungan yang diterima dari usahatani (Rupiah)

Teori Bagi Hasil Tanpa Bagi Biaya

Bagi hasil adalah sebuah metode atau cara dimana pemilik lahan atau tanah memberikan hak kepada penggarap untuk mengusahakannya. Kemudian, pemilik lahan dan penggarap menerima hasil tanah atau hasil lahan sesuai dengan bagian bagi hasil atau imbangan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Bagian bagi hasil atau imbangan pada umumnya adalah bagi dua, bagi tiga, bagi empat, atau bagi lima. Pada kondisi ini, pemilik lahan tidak ikut menanggung biaya produksi. Artinya, biaya produksi ditanggung seluruhnya oleh penggarap. Kemudian, pemilik lahan menerima bagian sebesar k dan penggarap menerima bagian sebesar (1-k). Kondisi antara kedua pihak ini akan dijelaskan sebagai berikut. Tabel 4 menjelaskan struktur bagi hasil tanpa bagi biaya dalam usahatani.

Tabel 4 Matriks Struktur Bagi Hasil Tanpa Bagi Biaya

Sumber : Debertin 1986

Struktur Pemilik Lahan Petani Penggarap

Biaya (TC) 0 1

24

Pemilik Lahan

Asumsikan bagian bagi hasil yang diterima oleh petani penggarap (k) adalah sebesar ¼, sehingga pemilik lahan menerima bagian bagi hasil (1 - ¼) = ¾. Input yang digunakan dalam produksi ini hanya dua, yakni modal (K) dan tenaga kerja (L). Pemilik lahan tidak menanggung biaya produksi, sehingga

�� = ...(7) Kegiatan produksi yang dilakukan memenuhi persamaan:

� = � , ...(8) Diketahui harga input adalah PK dan PL untuk harga input kapital dan tenaga kerja. Harga output diketahui sebesar Py. Sehingga penerimaan yang diterima pemilik lahan adalah :

�� = − . � ...(9.a)

�� = − [ . � , ]...(9.b)

�� = [ . � , ]...(9.c) Sehingga, pendapatan atau keuntungan yang diterima pemilik lahan adalah

� = �� − ��...(3) � , = [ . � , ] − ...(10.a) � = Py . fK = 0 ...(10.b) � = Py . fL = 0 ...(10.c) Persamaan (10.b) dan (10.c) dibandingkan, sehingga menghasilkan persamaan (11) berikut:

Py . fK = Py . fL = 0 ...(11.a)

fK = fL = 0 ...(11.b)

MPPK = MPPL = 0 ...(11.c) Persamaan (11.c) menunjukkan bahwa tujuan utama pemilik lahan adalah memasimumkan output atau mengoptimalkan penggunaan input produksi. Berdasarkan konsep produksi, ketika Marginal Physical Product bernilai sama dengan nol (MPP = 0) menunjukkan bahwa produksi total yang dihasilkan mencapai titik maksiumum. MPP merupakan tambahan output atas tambahan pengguanaan input satu satuan. Secara matematis, MPP adalah turunan pertama (first oreder) dari fungsi produksi total. Jika turunan pertama suatu fungsi bernilai sama dengan nol, maka fungsi tersebut mencapai titik maksimumnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa jika MPPL = MPPK = 0, maka fungsi produksi total berada dalam kondisi titik maksimumnya, sehingga terbukti bahwa pemilik lahan bertujuan untuk memaksimumkan output (Debertin 1986).

Petani Penggarap

Selanjutnya, akan dilihat bagaimana kondisi petani penggarap. Asumsikan bagian bagi hasil yang diterima oleh petani penggarap (k) adalah sebesar ¼. Input

yang digunakan dalam produksi ini hanya dua, yakni modal (K) dan tenaga kerja (L). Diketahui harga input adalah PK dan Pl untuk harga input kapital dan tenaga kerja. Petani penggarap menanggung seluruh biaya produksi, sehingga

TC = PK . K + PL . L...(12) Kegiatan produksi yang dilakukan memenuhi persamaan (8):

� = � , ...(8) Harga output diketahui sebesar Py. Sehingga penerimaan yang diterima petani penggarap adalah:

�� = . . � ...(13.a)

�� = [ . � , ]...(13.b) Sehingga, pendapatan atau keuntungan yang diterima petani penggarap adalah:

� = �� − ��...(3) � , = [ . � , − . + . ...(14.a) π = Py . fK– PK = 0 ...(14.b) Py . fK = PK ...(14.c) π = Py . fL– PL = 0 ...(14.d) Py . fL = PL ...(14.e) Persamaan (14.c) dan (14.e) dibandingkan, sehingga menghasilkan persamaan (15) berikut: � . � . = ...(15.a) = ...(15.b) PP PP = ...(15.c) MRSK,L = = Price Ratio ...(15.d) Persamaan (15.d) menunjukkan bahwa tujuan utama petani penggarap adalah memasimumkan keuntungan. Marginal Rate of Substitution merupakan kemiringan atau slope dari kurva isoquant. Perbandingan harga (price ratio) merupakan kemiringan atau slope dari kurva iso-outlay line atau garis anggaran (budget constraint). Jika kemiringan kurva isoquant bernilai sama dengan kemiringan garis anggraan (MRS = price ratio), maka dalam teori produksi, kondisi ini mencapai titik yang memaksimumkan keuntungan atau profit. Dengan demikian, persamaan (15.d) adalah bukti bahwa petani penggarap cenderung untuk memaksimumkan keuntungan (Debertin 1986). Dari persamaan (11.c) dan (15.d) dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tujuan antara pemilik lahan dan petani penggarap. Inilah salah satu bukti bahwa dalam bagi hasil terdapat ketidakdailan.

26

Teori Bagi Hasil dengan Bagi Biaya

Analisis selanjutnya adalah mengenai bagi hasil dengan bagi biaya. Artinya, baik pemilik lahan maupun petani penggarap turut menanggung biaya produksi dengan bagian atau imbangan bagi biaya yang telah disepakati sebelumnya. Dalam analisis ini dapat dilihat berapa bagian hasil hasil dam bagian bagi biaya yang dapat memberikan keadilan bagi pemilik lahan dan petani penggarap. Misalnya, petani penggarap menanggung biaya produksi sebsar h dan bagian hasil yang diterimanya adalah sebesar k. Maka bagian bagi biaya dan bagi hasil yang ditanggung dan diterima oleh pemilik lahan adalah sebesar (1-h) dan (1-k). Kondisi antara kedua pihak ini akan dijelaskan sebagai berikut. Tabel 5 menjelaskan struktur bagi hasil dengan bagi biaya dalam usahatani.

Tabel 5 Matriks Struktur Bagi Hasil dengan Bagi Biaya

Sumber : Debertin 1986 Pemilik Lahan

Berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian bagi hasil bagian bagi hasil yang diterima oleh petani penggarap adalah sebesar k dan bagian bagi biaya adalah sebesar h, sehingga pemilik lahan menerima bagian bagi hasil sebesar 1-k dan menanggung bagian bagi biaya sebesar 1-h. Input yang digunakan dalam produksi ini hanya dua, yakni modal (K) dan tenaga kerja (L). Diketahui harga input adalah PK dan PL untuk harga input kapital dan tenaga kerja, sehingga pemilik lahan menanggung biaya produksi sesuai dengan persamaan (16).

TC = (1-h) (PK . K + PL . L)...(16) Kegiatan produksi yang dilakukan memenuhi persamaan (8):

� = � , ...(8) Harga output diketahui sebesar Py. Sehingga penerimaan yang diterima pemilik lahan adalah:

�� = − . � ...(9.a) Sehingga, pendapatan atau keuntungan yang diterima pemilik lahan adalah:

� = �� − ��...(3) � , = − . � − − ℎ . + . ...(17.a) � , = − [ . � , ] − − ℎ . + . ...(17.b) π K,L = (1-k) [Py . F (K,L)]) – (1-h) (PK . K + PL . L) ...(17.b) � = (1-k) Py . fK - (1-h) PK = 0 ...(18.a) Py . fK = −ℎ − PK...(18.b)

Struktur Pemilik Lahan Petani Penggarap

Biaya (TC) 1-h h

VMPK = −ℎ − MFCK ...(18.c) π = (1-k) Py . fL - (1-h) PL = 0 ...(18.d) Py . fL = −ℎ − PL ...(18.e) VMPL = −ℎ − MFCL ...(18.f)

Dari persamaan (18.c) dan (18.f) dapat disimpukkan bahwa jika bagian bagi biaya lebih besar dari bagian bagi hasil (h > k), maka Value Marginal Product

(VMP) lebih besar daripada Marginal Factor Cost (MFC). Pun demikian jika h < k, maka VMP lebih rendah daripada MFC. Sesuai dengan konsep The Equimarginal Return yang menyebutkan bahwa tambahan atau marjinal penerimaan harus sama dengan tambahan marjinal biaya (MR = MC atau VMP = MFC) agar tujuan memaksimumkan keuntungan dapat tercapai (Debertin 1986). Dengan demikian, kondisi yang dapat memberikan keadilan bagi kedua pihak yang terlibat dalam bagi hasil adalah ketika bagian bagi biaya sama nilainya dengan bagian bagi hasil (h = k). Jika h = k, maka VMP = MFC sesuai dengan The Equimarginal Return Principle

(Debertin 1986).

Petani Penggarap

Analisis yang selanjutnya adalah bagaimana kondisi petani penggarap. Berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian bagi hasil bagian bagi hasil yang diterima oleh petani penggarap adalah sebesar k dan bagian bagi biaya adalah sebesar h. Input yang digunakan dalam produksi ini hanya dua, yakni modal (K) dan tenaga kerja (L). Diketahui harga input adalah PK dan PL untuk harga input kapital dan tenaga kerja, sehingga pemilik lahan menanggung biaya produksi sesuai dengan persamaan (19).

�� = ℎ . + . ...(19) Kegiatan produksi yang dilakukan memenuhi persamaan:

� = � , ...(8) Harga output diketahui sebesar Py. Sehingga penerimaan yang diterima pemilik lahan adalah :

�� = . . � ...(13.a)

�� = . [ . � , ]...(20) Sehingga, pendapatan atau keuntungan yang diterima pemilik lahan adalah

� = �� − ��...(3) π K,L = (k) (Py . Y) – (h) (PK . K + PL . L) ...(21.a) π K,L = (k) [Py . F (K,L)]) – (h) (PK . K + PL . L) ...(21.b) π = (k) Py . fK - (h) PK = 0 ...(21.c) Py . fK = ℎ PK...(21.d) VMPK = ℎ MFCK ...(21.e)

28

= (k) Py . fL - (h) PL = 0 ...(21.f)

Py . fL = ℎ PL ...(21.g)

VMPL = ℎ MFCL ...(21.h) Dari persamaan (21.e) dan (21.h) dapat disimpukkan bahwa jika bagian bagi biaya lebih besar dari bagian bagi hasil (h > k), maka VMP lebih kecil daripada MFC. Pun demikian jika h < k, maka VMP lebih besar daripada MFC. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mengenai konsep The Equimarginal Return, dimana untuk memberikan kondisi yang optimal bagi kedua pihak adalah ketika VMP = MFC dan itu tercapai ketika h = k (Debertin 1986). Dengan demikian, jelas bahwa nilai h dan k adalah faktor penentu dalam bagi hasil bagi kedua belah pihak.

Teori Biaya Modal Pinjaman (Cost of Fund)

Analisis ini digunakan untuk mengestimasi berapa besar biaya modal pinjaman (kredit) yang dibayarkan oleh petani penggarap kepada pemilik lahan. Anggarini (2015) menjelaskan bahwa secara umum, besarnya biaya modal pinjaman (cost of fund) yang dibayarkan oleh petani penggarap dapat diestimasi dengan persamaan (22).

� � =� � � �� % ...(22) Dimana :

Interest Paid = Bunga yang dibayarkan oleh petani penggarap (Rupiah)

Total Fund = Total pinjaman yang diterima oleh petani penggarap (Rupiah) Bunga yang dibayar (interest paid) merupakan besarnya biaya pinjaman yang harus ditanggung oleh petani penggarap kepada pemilik lahan. Total pinjaman (total fund) merupakan besarnya pinjaman (kredit) yang diterima oleh petani penggarap untuk usaha garam dari pemilik lahan. Besar nilai interest paid dapat diestimasi berdasarkan penentuan langsung dari pemilik lahan dan dapat pula didasarkan pada bagi hasil keuntungan. Namun, Basu (1997) menjelaskan bahwa dalam bagi hasil pertanian, metode penentuan bunga yang dibayarkan (interest paid) yang biasa digunakan oleh pemilik lahan adalah :

(1) Interest paid berdasarkan output, petani penggarap akan memberikan atau menyerahkan outputnya sejumlah tertentu dengan cuma-cuma. Dari hal ini, dapat dihitung berapa interest paid yang diterima oleh pemilik lahan. Dasar perhitungan ini sangatlah sederhana. Petani penggarap diwajibkan menyerahkan hasil outputnya dalam jumlah tertentu yang sekiranya akan tetap memberikan keuntungan bagi pemilik lahan. Secara matematis,

penghitungan ini memenuhi persamaan berikut:

COF = − ...(22.a)

COF = ( �∗�� − ) x 100 % ...(22.b) Dimana:

COF = Biaya pinjaman yang dibayarkan petani penggarap (persen) L1 = Besarnya nilai penerimaan dari penjualan output yang

diserahkan petani penggarap (Rupiah)

L0 = Besarnya pinjaman (total fund) yang diberikan oleh pemilik lahan (Rupiah)

Pi = Harga garam Kualitas Produksi (KP) ke-i (Rupiah per ton) Yi = Output yang diserahkan oleh petani penggarap (ton)

(2) Interest paid berdasarkan harga, metode yang kedua adalah memberlakukan harga yang lebih rendah dari harga pasar. Artinya, petani penggarap menjual kepada pemilik lahan namun harga yang mereka terima lebih rendah daripada harga yang diberlakukan di pasar. Penentuan harga jual ini terkadang hanya dilakukan secara sepihak oleh pemilik lahan. Dengan menggunakan metode kedua ini dapat diestimasi berapa interest paid yang diterima oleh pemilik lahan. Metode ini cukup lumrah digunakan oleh para pemilik lahan. Secara matematis, penghitungan tingkat suku bunga yang diberlakukan memenuhi persamaan berikut:

COF = ( {∑( ′− )}∗�� − ) x 100 % ...(22.c) Dimana:

COF = Biaya pinjaman yang dibayarkan petani penggarap (persen) P’ = Harga beli garam yang diberlakukan oleh pemilik lahan (Rupiah

per ton)

P0 = Harga garam yang berlaku di pasar (Rupiah per ton)

L0 = Besarnya pinjaman (total fund) yang diberikan oleh pemilik lahan (Rupiah)

Yi = Output yang diserahkan oleh petani penggarap (ton)

(3) Metode campuran, metode yang terakhir adalah campuran metode pertama dan kedua. Artinya, pemilik lahan tidak hanya menerapkan satu metode saja, namun metode yang digunakan adalah kedua-duanya. Pemilik lahan tidak hanya memperoleh keuntungan dari penyerahan output secara cuma- cuma namun juga memberlakukan harga yang lebih rendah. Metode ini tentu sangat memberatkan petani. Keuntungan yang diperoleh dengan metode ini akan lebih besar jika dibandingkan dengan metode lainnya.

30

Kerangka Pemikiran Operasional

Mata pencaharian sebagai petani garam merupakan pekerjaan utama bagi penduduk yang tinggal di daerah pesisir dan pantai Kabupaten Pamekasan. Sumberdaya yang mendukung daerah ini menjadi salah satu produsen garam terbesar di Provinsi Jawa Timur bahkan Indonesia. Namun seperti kegiatan usahatani pada umumnya, usaha garam rakyat juga mengalami banyak permasalahan. Dua permasalahan utama dalam usaha garam rakyat adalah pemasaran dan pembiayaan. Sebenarnya, dua permasalahan ini telah menjadi rahasia umum dan menjadi alasan utama mengapa pertanian Indonesia belum mampu melakukan swasembada. Hal ini membuat permasalahan ini menjadi siklus dan dikenal dengan sebutan ‘lingkaran setan’.

Dalam usaha garam rakyat, penyebab utama munculnya dua permasalahan di atas adalah adanya dominasi peran tengkulak, baik dalam pemasaran maupun pembiayaan usaha garam. Adanya dominasi peran tengkulak dalam pemasaran membuat sistem pemasaran garam rakyat menjadi tidak efisien. Adanya dominasi peran tengkulak dalam pembiayaan membuat petani menjadi sangat bergantung pada keberadaannya. Terlebih, biaya yang harus dikeluarkan oleh petani garam dalam usaha garam termasuk dalam hitungan yang besar.

Tengkulak merupakan pemodal yang mana juga merupakan pemilik lahan dalam sistem bagi hasil. Tengkulak memiliki peranan yang kuat dalam pembiayaan melalui bagi hasil usaha garam rakyat. Sistem bagi hasil dalam usaha garam sangat beragam polanya, ada pola bagi dua, bagi tiga, bahkan bagi empat dan bagi lima. Namun, pola bagi hasil yang umum dilakukan adalah pola bagi dua dan pola bagi tiga. Bagian bagi hasil disesuaikan dengan kesepakatan antar pihak. Dan tentunya, masing-masing pihak diharapkan memperoleh imbalan yang sesuai dengan korbanan yang telah dilakukannya. Menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai sistem bagi hasil yang selama ini berlaku dalam usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan. Apakah hak dan kewajiban masing-masing pihak sudah terpenuhi? Dari dua pola bagi hasil yang dijalankan di Kabupaten Pamekasan, pola bagi hasil manakah yang paling baik dan efisien untuk diterapkan? Dengan membandingkan nilai keuntungan yang diterima oleh pemilik lahan dan petani penggarapnya akan diperoleh suatu nilai yang akan menjadi pembanding antar pola bagi hasil usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan.

Pemilik lahan biasanya memberikan pinjaman tanpa bunga dalam sistem bagi hasil. Besarnya suku bunga yang diberlakukan oleh pemilik lahan merupakan biaya pinjaman (cost of fund)yang harus ditanggung oleh petani penggarap. Petani penggarap membayarkan interest paid kepada pemilik lahan dapat dilakukan dengan tiga metode, penyerahan output secara cuma-cuma, pembelian output produksi dengan harga lebih rendah, atau bahkan menggabungkan dua metode tersebut. Hal ini sebenarnya merugikan petani penggarap, namun petani penggarap beranggapan bahwa hal ini adalah sebuah kewajaran. Petani penggarap

beranggapan bahwa pemilik lahan dalam sistem bagi hasil adalah ‘penolong’ mereka. Melakukan estimasi biaya pinjaman yang ditanggung oleh petani penggarap kepada pemodal juga akan menjadi hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hal ini digunakan untuk melihat seberapa besar tingkat suku bunga ini jika dibandingkan dengan suku bunga perbankan.

Dalam sistem bagi hasil, petani penggarap dihadapkan untuk memilih pola bagi hasil manakah yang akan diikutinya, apakah pola bagi dua atau pola bagi tiga. Sebenarnya, keputusan dalam suatu pola bagi hasil ditentukan oleh pemilik lahan. Namun, petani penggarap juga memiliki hak apakah bersedia atau tidak terhadap pola bagi hasil yang ditawarkan kepadanya. Dengan menggunakan beberapa variabel independen dan menggunakan model logit, penelitian ini akan mengestimasi peluang petani penggarap untuk berpartisipasi dalam suatu pola bagi hasil. Selain itu, pemilik lahan juga ditempatkan pada dua kondisi, yakni menjalankan usaha garam sendiri atau justru dengan sistem bagi hasil. Analisis ini juga perlu dilakukan untuk melihat faktor apakah yang memengaruhi keputusan pemilik lahan untuk menjalankan usaha garam miliknya, apakah dengan atau tanpa bagi hasil. Analisis ini juga menggunakan model regresi logistik dengan beberapa variabel independen.

Besarnya pinjaman atau kredit yang diterima oleh petani penggarap ditentukan oleh beberapa variabel penjelas. Besaran biaya pinjaman yang harus ditanggung oleh petani penggarap juga ditentukan oleh beberapa variabel penjelas. Analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi besarnya pinjaman yang diterima dan biaya pinjaman yang ditanggung oleh petani penggarap menjadi hal yang menarik untuk dikaji dalam penelitian ini. Faktor-faktor tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan kebijkan apakah yang tepat untuk mengurangi ketidakadilan dalam usaha garam rakyat, terlebih dalam hal permodalan. Secara lengkapnya, kerangka pemikiran operasional ini disajikan dalam Gambar 1.

32

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian

Saran dan Rekomendasi Kebijakan untuk Sistem Bagi Hasil dalam Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur Perbandingan

Mekanisme Pola Bagi Dua dan Pola Bagi Tiga

dalam Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Pamekasan Analisis Deskriptif Estimasi Besarnya Biaya Pinjaman (Cost of Fund)yang Ditanggung oleh Petani Penggarap Analisis Biaya Pinjaman Faktor-Faktor yang Memengaruhi Partispasi Petani Garam dalam Sistem Bagi Hasil Dipengaruhi Oleh Usia Petani Penggarap, Pengalaman Bertani, Tingkat Pendidikan, Jarak Gudang ke Jalan, Keuntungan, Produksi Garam

Analisis Keuntungan yang

Diterima oleh Masing-masing

Pihak Per Pola Bagi Hasil Analisis Bagi Hasil Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pinjaman dan Biaya Pinjaman Analisis Regresi Binary Logistic Analisis Regresi Linier Berganda Dipengaruhi Oleh Lama Pinjaman, Jumlah Anggota Keluarga, Pengalaman Bertani, Usia, Biaya Pinjaman, Tingkat Keuntungan, Harga Garam, Produksi Garam, Ketersediaan Jaminan, Sumber Pinjaman Lain Usaha Garam Rakyat

di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur

Usaha garam masih dijalankan secara tradisional dan pada umumnya bagi hasil banyak diterapkan

oleh pemilik lahan

Hal ini menyebabkan adanya dominasi peran pemilik lahan dalam bagi hasil itu sendiri dalam hal :