• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Bagi Hasil Usaha Garam Rakyat Di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Bagi Hasil Usaha Garam Rakyat Di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

POLA BAGI HASIL USAHA GARAM RAKYAT DI

KABUPATEN PAMEKASAN, JAWA TIMUR

CAMPINA ILLA PRIHANTINI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pola Bagi Hasil Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Campina Illa Prihantini

(4)

RINGKASAN

CAMPINA ILLA PRIHANTINI. Pola Bagi Hasil Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan ANNA FARIYANTI.

Provinsi Jawa Timur merupakan produsen garam terbesar di Indonesia. Kabupaten Pamekasan menempati posisi ketiga sebagai kabupaten produsen garam terbesar di provinsi Jawa Timur. Usaha garam rakyat di kabupaten ini pada umumnya dijalankan dengan sistem bagi hasil karena petani garam memiliki keterbatasan lahan dan modal untuk berproduksi. Hal ini membuat bisnis pegaraman hanya dikuasai oleh beberapa pihak tertentu saja, padahal bisnis tersebut masih perlu untuk dikembangkan di kabupaten ini. Penelitian ini memiliki empat tujuan, yakni (1) mengidentifikasi perbedaan mekanisme pelaksanaan sistem bagi hasil dalam usaha garam rakyat, (2) mengestimasi besarnya pinjaman dan biaya pinjaman yang selama ini ditanggung oleh petani penggarap, (3) mengestimasi tingkat keuntungan yang diterima oleh masing-masing pihak antar pola, dan (4) menganalisis tingkat partisipasi petani garam dalam sistem bagi hasil.

Penelitian ini menggunakan teknik snowballing sampling yang menghasilkan 115 responden petani garam, terbagi menjadi 22 orang pemilik lahan dan 93 orang petani penggarap. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan perbedaan mekanisme pelaksanaan antara pola bagi dua dan pola bagi tiga. Analisis biaya pinjaman untuk mengestimasi besarnya biaya pinjaman yang ditanggung oleh petani penggarap. Analisis linier berganda untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi besarnya pinjaman yang diterima dan besarnya biaya pinjaman yang ditanggung oleh petani penggarap. Analisis bagi hasil digunakan untuk mengestimasi tingkat keuntungan yang diterima oleh setiap pihak untuk setiap pola bagi hasil yang dijalankan. Analisis regresi logistik digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi keputusan partisipasi pemilik lahan dan petani penggarap dalam sistem bagi hasil.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan dasar antara pola bagi dua dan pola bagi tiga adalah karakteristik lahan garam yang akan memengaruhi besarnya biaya tambahan perbaikan lahan yang harus ditanggung oleh petani penggarap. Rata-rata biaya pinjaman yang harus ditanggung oleh petani penggarap ternyata sangat tinggi nilainya. Besarnya pinjaman dan biaya pinjaman dipengaruhi oleh lama pinjaman, keuntungan petani penggarap, keuntungan pemilik lahan, luas lahan garam, ketersediaan jaminan, dan sumber pinjaman lain. Rata-rata keuntungan pemilik lahan lebih tinggi terhadap rata-rata keuntungan petani penggarap. Partisipasi pemilik lahan dan petani penggarap terhadap sistem bagi hasil dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pemilik lahan, produksi garam, usia petani penggarap, jumlah anggota keluarga petani penggarap, dan keuntungan petani penggarap. Kata kunci : pola bagi hasil, biaya pinjaman, usaha garam rakyat, analisis

(5)

SUMMARY

CAMPINA ILLA PRIHANTINI. Sharecropping System of Salt Production Busineess in Pamekasan Regency, East Java. Supervised by YUSMAN SYAUKAT and ANNA FARIYANTI.

East Java province is the biggest salt-producer in Indonesia. Pamekasan regency is the third position as the biggest salt-producer regency in East Java province. Most of the salt production busineess in this regency used sharecropping system because most of the sharecroppers are limited in salt-field and capital. It makes the salt production busineess authorized by some person, whereas this busineess is still to be developed in this regency. This research has four objectives, there are (1) to identify the difference between two type of sharecropping system, (2) to estimate the number of credit and cost of fund paid by the sharecropper, (3) to estimate the number of profit accepted by the landlord and the sharecropper, and (4) to analyze rate of landlord’s and sharecropper’s participation in sharecropping system.

This research used snowballing sampling technique that is delivered 115 respondent of farmers, consist of 22 person landlords and 93 person sharecroppers. Descriptive analysis is used to explain the difference of two type of sharecropping system. Cost of fund analysis is used to estimate number of cost of fund paid by the sharecropper. Multiple linier regression analysis is used to identify the determinants of credit accepted and cost of fund paid by the sharecropper. Sharecropping analysis is used to estimate profit accepted by the landlord and the sharecropper for every type of sharecropping system. Logistic regression analysis is used to identify the determinants of landlord’s and sharecropper’s participation in sharecropping system.

The result of this research shows the main difference of two type of sharecropping system is the characteristic of salt-field that will affect the additional maintenance cost paid by the sharecropper. The average number of cost of fund paid by the sharecropper is very high. The number of credit accepted by the sharecropper and the number of cost of fund are affected by duration, sharecropper’s profit, landlord’s profit, dummy of collateral, and dummy of another credit. The average profit accepted by the landlord is higher than accepted by the sharecropper. The participation of landlord and sharecropper in sharecropping system are affected by education level of landlord, number of salt production, age of sharecropper, number of sharecropper’s family, and sharecropper’s profit.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

POLA BAGI HASIL USAHA GARAM RAKYAT DI

KABUPATEN PAMEKASAN, JAWA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian kali ini merupakan lanjutan dari penelitian skripsi dari penulis. Judul yang dipilih adalah Pola Bagi Hasil Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Yusman Syaukat, MEc dan Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MSi selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas bimbingan, arahan, dan kasih sayang selama proses penulisan tesis. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Ibu Dr Lukytawati Anggareni, SP MSi selaku penguji dari Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan penguji dari luar komisi pembimbing atas saran, kritik, dan masukan untuk penyusunan tesis ini. Selain itu, ucapan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh pengajar dan staf akademik di lingkungan Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah banyak memberi bimbingan dan bantuan selama penulis menempuh kuliah.

Ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dan membantu dalam penelitian ini, terlebih untuk Kepala Desa Padelegan, Sekretaris Desa Padelegan, Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Pamekasan, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pamekasan, Kepala Bagian Administrasi Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Pamekasan, Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Pamekasan, atas bantuan informasi, dukungan, dan kerjasama yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua, Ibu Lailatul Hairiyah dan Bapak Bambang Setiawan, beserta keluarga besar atas cinta, kasih sayang, dukungan, dan doa yang tiada henti diberikan kepada penulis hingga saat ini. Selain itu, ucapan terima kasih dan apresiasi kepada rekan-rekan Mayor Imu Ekonomi Pertanian angkatan 2014 dan 2015 atas persahabatan dan kerjasama yang terjalin, serta seluruh pihak yang sekiranya tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan dan dukungan selama penyelesaian tesis ini

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, September 2016

(11)

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 7

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Sistem Bagi Hasil di Indonesia 9

Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 11

Kajian Ekonomi Bagi Hasil 14

Analisis Pendapatan Usahatani 15

Usaha Garam Rakyat 16

Biaya Modal Pinjaman (Cost of Fund) 20

3 KERANGKA PEMIKIRAN 22

Kerangka Pemikiran Teori 22

Analisis Usahatani 22

Teori Bagi Hasil Tanpa Bagi Biaya 23

Teori Bagi Hasil Dengan Bagi Biaya 26

Teori Biaya Modal Pinjaman (Cost of Fund) 28

Kerangka Pemikiran Operasional 30

4 METODE PENELITIAN 33

Lokasi dan Waktu Penelitian 33

Jenis dan Sumber Data 33

Metode Penarikan Sampel 33

Analisis Deskriptif 34

Analisis Bagi Hasil 34

Analisis Biaya Pinjaman (Cost of Fund) 36

Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Besar Pinjaman 37 Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Biaya Pinjaman 38 Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Partisipasi Petani Garam

Terhadap Suatu Pola Bagi Hasil 40

Evaluasi Model 42

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN USAHA GARAM

DI KABUPATEN PAMEKASAN 46

Keadaan Geografis 46

(12)

Proses Produksi Garam Berdasarkan Durasi Panen Garam 48

Profil Usaha Garam Kabupaten Pamekasan 50

Karakteristik Responden Petani Penggarap 55

Karakteristik Responden Pemilik Lahan 59

6 ANALISIS PERBANDINGAN MEKANISME PELAKSANAAN POLA

BAGI HASIL 62

Karakteristik Lahan Pola Bagi Hasil 62

Hak dan Kewajiban Petani Penggarap 63

Besar Pinjaman 65

Biaya Pinjaman 66

Biaya Tambahan Perbaikan Lahan Pola Bagi Dua 66

Persamaan Nilai Keuntungan Relatif 67

Pola-pola Lanjutan dalam Pola Bagi Tiga 68

Keterkaitan Pinjaman dalam Sistem Bagi Hasil Usaha Garam Rakyat 69

7 ANALISIS PINJAMAN DAN BIAYA PINJAMAN 72

Keterkaitan Luas Lahan Garam, Pinjaman, dan Biaya Pinjaman Antar

Pola Bagi Hasil 72

Perbandingan Biaya Pinjaman dengan Suku Bunga Pinjaman Formal 75 Perbandingan Biaya Pinjaman Per Besar Pinjaman Antar Pola Bagi Hasil 77 Faktor-faktor yang Memengaruhi Besarnya Pinjaman 80 Faktor-faktor yang Memengaruhi Biaya Pinjaman 87 8 ANALISIS KEUNTUNGAN YANG DITERIMA DALAM USAHA

GARAM RAKYAT 93

Struktur Keuntungan yang Diterima dalam Pola Bagi Tiga 93 Struktur Keuntungan yang Diterima dalam Pola Bagi Dua 96 Perbandingan Keuntungan yang Diterima Antar Pola Bagi Hasil 98 Perbandingan Nilai Keuntungan Relatif Antar Pola Bagi Hasil 100 9 ANALISIS PARTISIPASI PETANI GARAM DALAM SISTEM BAGI

HASIL 102

Faktor-faktor yang Memengaruhi Keputusan Pemilik Lahan dalam

Sistem Bagi Hasil 102

Faktor-faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Penggarap

Terhadap Suatu Pola Bagi Hasil 108

10 SIMPULAN DAN SARAN 116

Simpulan 116

Saran 116

DAFTAR PUSTAKA 118

LAMPIRAN 123

(13)

1 Produksi Garam Nasional Berdasarkan Provinsi Tahun 2009–2013 1 2 Matriks Perbandingan Hak dan Kewajiban Pemilik Tanah

dan Penggarap 13

3 Perkembangan Kualitas Garam Rakyat 2004-2009 19 4 Matriks Struktur Bagi Hasil Tanpa Bagi Biaya 23 5 Matriks Struktur Bagi Hasil Dengan Bagi Biaya 26 6 Perbandingan Jadwal Panen Garam Berdasarkan Durasi Panen 49 7 Gambaran Usaha Garam Kabupaten Pamekasan 51 8 Jumlah Petani Garam Per Kecamatan di Kabupaten Pamekasan

Tahun 2015 54

9 Karakteristik Responden Petani Penggarap 56

10 Karakteristik Responden Pemilik Lahan 60

11 Perbandingan Hak dan Kewajiban Pemilik Lahan dan Petani

Penggarap 64

12 Rincian Biaya Tambahan Perbaikan Lahan untuk Pola Bagi Dua 67 13 Perbandingan Persamaan Nilai Koefisien Keuntungan Relatif 68 14 Perbandingan Pinjaman, Biaya Pinjaman, dan Luas Lahan Garam

Antar Pola Bagi Hasil Per Musim 72

15 Perbandingan Rata-rata Biaya Pinjaman Per Pola Bagi Hasil dan

Suku Bunga Pinjaman Formal 76

16 Perbandingan Pinjaman dan Biaya Pinjaman Per Kategori

Besarnya Pinjaman 78

17 Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Memengaruhi

Besarnya Pinjaman 80

18 Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Memengaruhi Biaya

Pinjaman 87

19 Struktur Keuntungan yang Diterima dalam Pola Bagi Tiga 94 20 Struktur Keuntungan yang Diterima dalam Pola Bagi Dua 96 21 Perbandingan Perbedaan Keuntungan yang Diterima untuk Setiap

Pola Bagi Hasil 99

22 Perbandingan Koefisien Keuntungan Relatif untuk Setiap Pola

Bagi Hasil 100

23 Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Memengaruhi

Keputusan Pemilik Lahan Terhadap Sistem Bagi Hasil 103 24 Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Memengaruhi

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian 32

2 Grafis Pola Bagi Tiga Tipe 1 69

3 Grafis Pola Bagi Tiga Tipe 2 69

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perbandingan Perbedaan Antar Pola Bagi Hasil 125 2 Hasil Uji Beda Rata-rata (Two Sample T-Test and Confidence Interval)

dengan Menggunakan Program Aplikasi Minitab 11.0 126 3 Output Regresi Model Pinjaman dengan Menggunakan Metode

Ordinary Least Square (OLS) dan Program Aplikasi Minitab 11.0 127 4 Uji Heteroskedastisitas dan Uji Normalitas Model Besarnya Pinjaman

dengan Menggunakan Metode Ordinary Least Square (OLS) dan

Program Aplikasi Minitab 11.0 128

5 Output Regresi Model Biaya Pinjaman dengan Menggunakan Metode

Ordinary Least Square (OLS) dan Program Aplikasi Minitab 11.0 129 6 Uji Heteroskedastisitas dan Uji Normalitas Model Biaya Pinjaman

dengan Menggunakan Metode Ordinary Least Square (OLS) dan

Program Aplikasi Minitab 11.0 130

7 Hasil Analisis Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi Keputusan Pemilik Lahan Terhadap Sistem Bagi Hasil dengan Menggunakan Metode Maximum Likelihood Estimator (MLE) dan

Program Aplikasi Minitab 11.0 131 8 Hasil Analisis Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi

Keputusan Petani Penggarap Terhadap Pola Bagi Hasil dengan Menggunakan Metode Maximum Likelihood Estimator (MLE) dan

Program Aplikasi Minitab 11.0 132

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Garam merupakan salah satu komuditas yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk konsumsi rumahtangga maupun industri. Kebutuhan garam nasional mengalami peningkatan dari tahun 2007 hingga tahun 2011 dengan rata-rata pertumbuhan kebutuhan garam adalah 1,85 persen per tahun (KKP 2011). Kementerian Perdagangan (2012) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2011) menyatakan bahwa alasan meningkatnya kebutuhan garam adalah (1) pertambahan jumlah penduduk, (2) bertambahnya jumlah industri, dan (3) luas lahan garam yang tidak berubah. Produksi garam nasional juga mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Namun, berdasarkan persentasenya, produksi garam dalam negeri justru mengalami penurunan. Rata-rata pertumbuhan produksi garam dalam negeri dari tahun 2010 hingga tahun 2013 adalah -5,28 persen per tahun (KKP 2014).

Tabel 1 Produksi Garam Nasional Berdasarkan Provinsi Tahun 2009–2013

No. Provinsi Produksi (Ton)

2009 2010 2011 2012 2013

1. Jawa Barat 95.000 5.000 131.000 535.249 221.430

2. Jawa Tengah 155.000 5.000 198.000 645.728 278.131

3. Jawa Timur 725.000 7.000 850.000 939.814 490.923

4. NTB 50.000 5.000 69000 230.095 118.462

5. NTT 60.000 3.000 67.000 11.857 3.726

6. Sulawesi Selatan 52.000 3.000 65.000 1.350 1.251

7. Sulawesi Tengah 18.000 1.000 20.000 99.223 39.359

Total 1.155.000 29.000 1.335.000 2.463.316 1.153.282

Sumber : Kemenperin 2009, 2012, KKP 2014

(16)

2

benar Provinsi Jawa Timur adalah lumbung garam nasional. Data mengenai produksi garam nasional disampaikan pada Tabel 1.

Data lainnya, yakni dari Badan Pusat Statistik (2014), menyebutkan bahwa Provinsi Jawa Timur memiliki kontibusi sekitar 47 persen terhadap produksi garam total nasional. Dibandingkan dengan provinsi lainnya, Provinsi Jawa Timur memiliki kemampuan berproduksi tertinggi. Selisih produksi Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Tengah mencapai tujuh belas persen. Posisi ketiga diduduki oleh Provinsi Jawa Barat yang memiliki kontribusi sebesar sepuluh persen terhadap produksi total garam nasional pada tahun 2013. Data-data ini semakin memperkuat status Provinsi Jawa Timur sebagai lumbung garam nasional.

Penurunan produksi garam pada tahun 2010 lebih disebabkan karena adanya anomali iklim yang tidak mampu diprediksi oleh petani garam dan

stakeholders terkait. Adanya musim kemarau basah yang panjang selama satu tahun membuat petani garam enggan untuk berproduksi. Keengganan petani untuk memroduksi garam lebih dikarenakan ketakutan akan gagal panen. Hal inilah yang membuat produksi garam nasional tahun 2010 mengalami penurunan yang nyata. Salah satu cara yang mampu dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pemenuhan kebutuhan garam nasional adalah impor garam. Pada tahun 2011 sebenarnya peningkatan produksi garam domestik didukung oleh cuaca, hanya saja impor garam masih tinggi karena terdapat tindakan beberapa oknum yang dengan sengaja melakukan penimbunan garam (PK2PM 2012). Alasan lainnya mengapa impor masih tinggi di antaranya adalah: (1) keterbatasan lahan, (2) pertumbuhan penduduk, (3) pola hidup masyarakat, (4) iklim dan cuaca, (5) infrastruktur yang sudah tua, dan (6) masalah kepemilikan lahan (Koirala et al. 2016).

Keberadaan Provinsi Jawa Timur sebagai sentra garam terbesar nasional sekaligus lumbung garam nasional tidak terlepas dari keberadaan Pulau Madura. Pulau Madura merupakan pulau yang dikelilingi oleh lautan. Hal ini membuat Pulau Madura memiliki keunggulan komparatif untuk memroduksi garam. PT Garam sebagai satu-satunya Badan Usaha Milik Negara yang memroduksi garam pun berada di Pulau Madura karena sangat didukung oleh cuaca dan lahan yang memadai untuk dilakukan produksi garam. PT Garam menguasai lahan garam sekitar 5.130 hektar dengan produksi pada tahun 2009 mencapai 319.000 ton atau sebesar 30 persen dari produksi garam nasional. Secara nasional luas lahan yang diusahakan untuk memproduksi garam adalah seluas 34.731 hektar dan baru seluas 20.089 hektar yang produktif dengan 74,16 persen lahan tersebut diusahakan oleh petani garam, dengan kapasitas produksi garam nasional rata-rata per tahun pada musim normal sekitar 1,2 juta ton (Ihsannudin 2012).

(17)

menyimpulkan bahwa usaha garam yang dijalankan oleh petani garam adalah berupa bagi hasil dengan berbagai pola, yakni bagi dua, bagi tiga atau bagi empat. Berkembangnya sistem bagi hasil dalam usaha pertanian ternyata telah ada sejak dahulu. Scheltema (1985) menyebutkan bahwa sistem bagi hasil merupakan bentuk usaha yang paling sederhana dan merupakan hasil dan warisan dari sistem foedaal. Seiring berkembangnya paham ekonomi, sistem bagi hasil pun tetap bertahan, terlebih di daerah pedesaan dimana lahan pada umumnya dikuasai oleh pihak-pihak tertentu (Ray 1999).

Sistem bagi hasil pada usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan tidak terlepas dari adanya simbiosis mutualisme antara pemilik lahan dan petani penggarap. Pemilik lahan pada umumnya merupakan tengkulak yang memiliki lahan garam dan modal untuk digunakan dan dimanfaatkan oleh petani penggarap. Petani penggarap merupakan petani yang memiliki keterbatasan input produksi, yakni lahan garam dan modal, untuk menjalankan usaha garam. Pemilik lahan yang memiliki lahan namun dibatasi oleh tenaga kerja dan waktu tentu membutuhkan petani penggarap agar lahan garamnya mampu memberikan hasil kepadanya. Dengan menggunakan lahan garam yang dimilikinya serta modal yang akan diberikan sebagai pinjaman, pemilik lahan akan mencari petani penggarap yang nantinya dapat memberikan hasil atas lahan dan modalnya. Inilah yang disebut dengan sistem bagi hasil. Petani penggarap akan menerima modal dengan status pinjaman tidak berbunga dari pemilik lahan. Selanjutnya, bagian bagi hasil yang akan diterima oleh keduanya didasarkan atas keputusan bersama yang sekiranya tidak merugikan kedua belah pihak (Shceltema 1985).

Dalam sistem bagi hasil, bagian bagi hasil sangat beragam (Ray 1999). Bagi hasil dibedakan menjadi beberapa pola. Pada umumnya, pola bagi hasil yang sering dilakukan adalah pola bagi dua dan bagi tiga (Erviana 2005, Dewi 2011, Negara 2013). Pola bagi dua, dalam beberapa bahasa daerah dikenal dengan istilah pardua

atau maron dua. Pola bagi dua menunjukkan bahwa baik pemodal maupun petani penggarap menerima bagian yang sama, yakni perbandingan 1 : 1. Pola bagi tiga yang dikenal dengan istilah partelon, mertelu, atau paroh tello’. Dalam pola bagi tiga, output yang dihasilkan oleh petani penggarap dibagi menjadi tiga. Selanjutnya, pemodal menerima dua bagian dan petani penggarap menerima satu bagian saja. Pola bagi empat dikenal dengan istilah mrempat atau prempa´. Dalam pola bagi hasil ini, pemodal mengambil dua bagian, petani penggarap satu bagian, dan pihak ketiga (misalnya pemberi pinjaman dari luar, money-lender) juga menerima satu bagian. Penentuan besarnya bagi hasil tentu didasarkan pada hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak. Dan tentunya, masing-masing pihak akan berusaha untuk membagi hasil sesuai dengan kerja dan usaha yang dilakukan.

(18)

4

apa yang disampaikan oleh Marshall (1890) yeng menyatakan bahwa bagi hasil merupakan metode pertanian yang inefisien. Apriliana (2013) dan Nurdiani (2013) menyimpulkan bahwa rata-rata pendapatan yang diterima oleh petani penggarap yang menjalankan sistem bagi hasil lebih kecil daripada petani yang melakukan sistem sewa atau kepemilikan sendiri. Bagi hasil yang dianalisis merupakan sistem bagi hasil dengan pola bagi tiga, dimana pemilik lahan menerima atas hasil bruto dan petani penggarap hanya menerima sebesar dari hasil bruto (Prihantini 2015). Sistem bagi hasil sebenarnya tidak hanya memberikan dampak negatif, terdapat beberapa dampak yang positif, yakni produktivitas lahan produksi. Prihantini (2015) menyebutkan bahwa nilai produktivitas lahan garam yang dijalanakan melalui sistem bagi hasil lebih tinggi daripada lahan sewa atau lahan garam yang dijalankan sendiri. Garret et al.(2003) juga menyatakan hal yang sama. Lahan yang digarap atau dijalankan dalam sistem bagi hasil ternyata juga lebih efisien secara teknis daripada lahan yang dijalankan melalui sistem sewa atau digarap sendiri (Koirala et al. 2016).

Adanya perbedaan yang nyata pendapatan yang diterima oleh petani penggarap dalam sistem bagi hasil rasanya perlu diteliti mengapa hal ini bisa terjadi. Selain itu, keberadaan sistem bagi hasil tetaplah menjadi solusi bagi petani penggarap untuk memperoleh pendapatan. Scheltema (1985) menyatakan dalam bukunya bahwa keberadaan sistem bagi hasil yang tetap bertahan hingga saat ini dirasa mampu mengatasi beberapa masalah, seperti (1) upaya meningkatkan penerimaan petani penggarap, (2) upaya penyerapan kelebihan tenaga kerja, (3) upaya mengatasi permasalahan kekurangan modal, dan (4) upaya mengatasi permasalahan keterbatasan lahan. Hal ini juga disampaikan oleh Lole (1995) bahwa sistem bagi hasil pada pola gaduhan penggemukan sapi potong dirasa sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan di atas.

Selain itu, dalam sistem bagi hasil juga ditemukan bahwa pada umumnya pemilik lahan juga memberikan modal produksi yang berstatuskan sebagai pinjaman kepada petani penggarapnya. Ketika musim produksi garam berakhir, petani penggarap tentu memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Menariknya, dalam pemberian pinjaman ini pemodal tidak memberlakukan bunga kepada petani penggarapnya. Namun, terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh petani penggarap. Misalnya, melakukan penyetoran hasil produksi kepada pemilik lahan atau menjual hasil produksi dengan tingkat harga yang lebih rendah daripada harga pasar. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa pemodal tetap melestarikan sistem bagi hasil. Bagi pemilik lahan atau pemodal, hal tersebut dapat dianggap sebagai keuntungan yang diterima melalui pemberian pinjaman kepada petani penggarap. Berbeda dengan pemodal, hal ini dianggap sebagai biaya pinjaman modal oleh petani penggarap.

(19)

harga pasar, dan bagi hasil keuntungan (Anggraini 2015). Pada umumnya dalam bagi hasil usaha garam tidak diberlakukan suku bunga. Jadi, perhitungan biaya pinjaman pada usaha garam rakyat dihitung berdasarkan harga jual garam yang lebih rendah dari harga pasar atau bagi hasil keuntungan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa biaya pinjaman dalam sistem bagi hasil sangat tinggi nilainya (Lole 1995, Astuti 2003). Hal inilah yang menjadi alasan kuat mengapa sistem bagi hasil dapat terus bertahan.

Kabupaten Pamekasan sebagai salah satu produsen garam terbesar di Indonesia memiliki jumlah petani bagi hasil yang cukup tinggi dalam usaha garam rakyat. Penelitian yang dilakukan oleh Prihantini (2015) menyebutkan bahwa jumlah petani garam yang terlibat dalam pola bagi tiga atau dikenal dengan istilah

partelon mencapai 74 persen dari jumlah keseluruhan petani garam yang ada di Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan. Hal ini menyebabkan pemerataan pendapatan dalam usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan belum dapat tercapai. Petani penggarap yang melakukan sistem bagi hasil menerima pendapatan yang lebih rendah jika dibandingkan petani yang melakukan usaha garam dengan lahan milik sendiri atau lahan sewa (Prihantini 2015). Adanya perbedaan harga yang diterima oleh petani penggarap dengan harga pasar dapat dijadikan sebagai salah satu indikator bahwa pemilik lahan atau pemodal juga menginginkan keuntungan melalui pinjaman yang diberikannya (Anggraini 2015).

Tingginya jumlah petani garam yang terlibat dalam sistem bagi hasil ini sangat disayangkan dengan potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Pamekasan untuk melakukan pengembangan usaha garam rakyat. Kabupaten Pamekasan tercatat sebagai kabupaten terbesar ketiga sebagai produsen garam di Provinsi Jawa Timur (KKP 2010). Dengan potensi lahan garam seluas 1.414 Ha, masih terdapat 31 persen lahan garam yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai sistem bagi hasil yang lebih berkeadilan dalam upaya pengembangan usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan.

Perumusan Masalah

(20)

6

Permasalahan non-teknis, termasuk di dalamnya permasalahan yang muncul setalah pasca-panen, seperti permasalahan dalam sistem permodalan, sistem pemasaran, dan sistem penyimpanan (storage). Sistem permodalan atau pembiayaan menjadi hal yang penting dan menarik untuk dianalisis dan dikaji dalam usaha garam rakyat. Hal ini dikarenakan peranan modal yang begitu penting dalam suatu usahatani (Arief dan Rosmiati 2007). Sama halnya dengan usahatani lainnya, usaha garam rakyat juga memiliki permasalahan dalam sistem permodalan. Prihantini (2015) menyebutkan bahwa permasalahan ini muncul karena adanya dominasi peran tengkulak melalui sistem bagi hasil yang telah lama berkembang dan bertahan di daerah perdesaan (kawasan produksi garam).

Sistem bagi hasil merupakan suatu sistem atau cara melakukan usahatani dimana terdapat dua pemain utama, yakni petani pemilik lahan atau pemodal dan petani penggarap. Pengertian ini telah sesuai dengan pengertian perjanjian bagi hasil menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian. Pada umumnya, pemilik lahan juga berperan sebagai tengkulak dalam sistem pemasaran atau tataniaga garam. Dalam sistem bagi hasil, terdapat pembagian penyediaan input produksi, pembagian hasil produksi, pembagian penerimaan dari hasil produksi, dan pembagian hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.

Sistem bagi hasil terkadang membuat pemilik lahan menjadi lebih dominan daripada petani penggarapnya (Ray 1999, Roy et al. 2001). Hal ini dikarenakan petani penggarap memiliki ketergantungan terhadap keberadaan pemilik lahan sebagai penyedia input produksi, yakni lahan garam. Selain itu, petani penggarap juga bergantung terhadap pemilik lahan dalam hal penyediaan modal produksi. Dua hal inilah yang membuat pemilik lahan seolah berkuasa penuh terhadap hasil produksi garam. Petani penggarap diwajibkan untuk menjual, lebih tepatnya menyerahkan, seluruh hasil produksinya kepada tengkulak dengan harga yang telah ditetapkan oleh pemilik lahan. Penetapan harga jual garam ini juga cenderung secara sepihak oleh pemilik lahan dan tentunya harga ini lebih rendah dari harga pasar (Basu 1997). Kondisi inilah yang membuat petani penggarap tidak memiliki posisi tawar yang kuat.

Di sisi lain, pemilik lahan juga tidak dapat terlepas dengan keberadaan petani penggarap. Hal ini dikarenakan pemilik lahan juga kelebihan lahan dan membutuhkan petani penggarap agar lahan garamnya dapat menghasilkan garam. Sebenarnya, terdapat ketergantungan antara pemilik lahan dengan petani penggarap. Namun, karena beberapa kondisi membuat sistem bagi hasil ini sedikit dipandang negatif. Dan kenyataan di lapang menyatakan bahwa terdapat ketidakadilan hak dan kewajiban serta pendapatan yang diterima oleh kedua belah pihak (Dewi 2011).

(21)

pemilik lahan merupakan salah satu metode untuk memperoleh keuntungan bagi pemilik lahan, namun bagi petani penggarap hal ini disebut sebagai biaya modal pinjaman (cost of fund) (Anggraini 2015). Besarnya suku bunga ini akan memengaruhi pendapatan yang diterima oleh pemilik lahan. Pun demikian besarnya biaya modal pinjaman ini akan memengaruhi pendapatan yang diterima oleh petani penggarap. Pada umumnya, pemodal tidak menerapkan suku bunga atas pinjamannya. Hanya saja, petani penggarap memiliki kewajiban untuk menjual kepada pemilik lahan dengan harga yang lebih murah, petani penggarap diwajibkan menjual seluruh outputnya kepada pemodal, atau bahkan menerapkan sistem keduanya (Basu 1997). Hal ini menjadi sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai sistem bagi hasil yang tetap lestari dalam usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan. Lebih lanjut, perlu dikaji pola bagi hasil manakah yang lebih memberikan keadilan kepada petani penggarap dan pemilik lahan.

Sistem bagi hasil tentu tidak dapat dipisahkan dengan bagian bagi hasil yang akan diterima oleh kedua belah pihak. Bagian bagi hasil ini tentu akan memengaruhi pendapatan yang akan diterima baik pemilik lahan maupun petani penggarap. Adanya faktor sosial, seperti faktor kekeluargaan, diduga berpengaruh nyata terhadap penentuan bagian bagi hasil (Sadoulet et al. 1997). Faktor kekeluargaan dalam sistem bagi hasil ternyata memengaruhi efisiensi produksi. Faktor lain apakah yang memengaruhi besarnya bagi hasil? Bagaimana dampak atau pengaruh bagian bagi hasil terhadap hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak rasanya juga menarik untuk diteliti lebih lanjut. Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan dalam penelitian ini adalah :

(1) Bagaimana mekanisme pelaksanaan sistem bagi hasil yang selama ini dijalankan dalam usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan?

(2) Bagaimana besarnya pinjaman dan biaya pinjaman yang selama ini ditanggung oleh petani penggarap dalam sistem bagi hasil usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan?

(3) Bagaimana tingkat keuntungan yang diterima oleh masing-masing pihak antar pola usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan?

(4) Bagaimana tingkat partisipasi petani garam terhadap sistem bagi hasil dalam usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

(1) Mengidentifikasi perbedaan mekanisme pelaksanaan sistem bagi hasil yang selama ini dijalankan dalam usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan. (2) Mengestimasi besarnya pinjaman dan biaya pinjaman yang selama ini

(22)

8

(3) Mengestimasi tingkat keuntungan yang diterima oleh masing-masing pihak antar pola usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan.

(4) Menganalisis tingkat partisipasi petani garam terhadap sistem bagi hasil dalam usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan.

Ruang Lingkup dan Batasan Penilitian

Penelitian ini hanya berfokus pada usaha garam yang dijalankan oleh rakyat. Usaha garam rakyat pada umumnya sangat bergantung pada sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil diindikasikan kurang memberikan keadilan kepada petani penggarap. Dengan menggunakan beberapa indikator, penelitian diharapkan dapat membuktikan bahwa memang terdapat ketidakadilan di dalam pola bagi hasil usaha garam rakyat yang selama ini dijalankan di Kabupaten Pamekasan.

Penelitian ini menggunakan dua kelompok utama responden, yakni petani garam rakyat yang berpartisipasi dalam sistem bagi hasil. Petani penggarap yang menjadi responden merupakan penerima dana bantuan Program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) Kabupaten Pamekasan. Hal ini didasarkan untuk mempermudah menentukan sampling frame dari responden petani penggarap. Responden selanjutnya adalah pemilik lahan. Pemilik lahan merupakan pemodal. Pemilik lahan juga terkadang hanya sebagai pihak ketiga dan menjadi perantara antara pemodal dan petani penggarap. Dalam kasus ini, pemilik lahan tidak memiliki modal yang cukup untuk membiayai lahan yang dimilikinya.

(23)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Bagi Hasil di Indonesia

Bagi hasil dalam pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil terhadap dua unsur produksi, yaitu modal dan kerja, dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto tanah tersebut dan pula dalam bentuk natura sesuai dengan perkembangan usaha tani (Jenny 1913 dalam Scheltema 1985). Dalam pengertian lainnya disampaikan bahwa bagi hasil merupakan suatu perjanjian, dimana pemilik tanah mewajibkan keluarga buruh tani menggarap sebidang tanah yang merupakan kesatuan usaha selama waktu yang ditentukan dalam kontrak dengan memberikan bagian tertentu dari hasil bruto kepada penggarap sebagai upah (Dietzel 1884 dalam Scheltema 1985).

Pengertian bagi hasil lainnya menyatakan bahwa bagi hasil menunjukkan hubungan antara pemilik sebidang tanah atau orang lain yang berhak menggunakannya, dengan penggarap. Merupakan suatu bentuk usaha, dimana pemungutan bunga (rentetrekker) tidak mengeksploitasi sasaran usaha dengan kerja sendiri atau sebagai pengusaha yang memimpin semua fungsi perusahaan (Kobler 1928 dalam Scheltema 1985). Definisi lainnya mengatakan bahwa bagi hasil atau bagi sewa ialah bentuk penggunaan, dimana menyewakan suatu usahatani atau bidang tanah turut mendapat bagian dari penghasilan bruto menurut perbandingan tertentu dan tetap memegang sendiri pimpinan dan pengawasan usaha itu. Pada umumnya, pemilik lahan juga menyediakan sebagian inventarisnya untuk dipergunakan. Secara keseluruhan, terdapat empat hal pokok yang penting dalam bagi hasil, yakni:

(1) Tidak ada hubungan hukum di dalam bagi hasil, (2) Terdapat pembagian hasil produksi yang seimbang, (3) Pembagian yang diterima berdasarkan hasil produksi, dan (4) Semua pekerjaan dilakukan oleh penggarap bagi hasil.

Sebenarnya apakah penyebab terjadinya bagi hasil dalam pertanian? Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat banyak faktor yang menyebabkan bagi hasil terjadi di daerah pedesaan. Scheltema (1985) menyebutkan bahwa terdapat tiga penyebab terjadinya bagi hasil, yakni (1) adanya pengakuan terhadap hak atas tanah karena letaknya di luar kota, (2) adanya hubungan perhambaan, dan (3) adanya sistem bawon atau adanya asas saling bantu antar masyarakat.

(24)

10

memengaruhi perjanjian bagi hasil dilaksanakan, yakni:

(1) Tidak ada waktu, hal ini dikarenakan pemilik tanah terkadang bukanlah petani tulen dan mempunyai pekerjaan utama di luar pertanian.

(2) Tidak cukup tenaga, pada umumnya pemilik tanah mempunyai lahan pertanian yang cukup luas sehingga tidak mampu untuk mengerjakan semua lahannya.

(3) Faktor kemanusiaan, hal ini berkaitan dengan adanya keinginan untuk memberikan kesempatan kerja kepada orang lain yang tidak memiliki tanah garapan sendiri sehingga timbul rasa saling tolong menolong.

(4) Faktor ekonomi, hal ini lebih disebabkan karena terdapat beberapa kondisi dimana pemilik tidak memiliki modal yang cukup untuk menggarap semua lahan sawahnya sehingga melakukan bagi hasil pertanian.

Bagi hasil memiliki banyak istilah. Hampir setiap daerah memiliki istilah masing-masing untuk menunjukkan bagi hasil. Seperti istilah maro atau maron

untuk daerah Jawa, Sulawesi, Sumatera, paroan untuk daerah Madura, dan masih banyak lagi istilah lainnya. Istilah bagi hasil juga terkadang dibedakan berdasarkan polanya, yakni pola bagi dua, bagi tiga, bagi empat, bagi lima, bahkan bagi sepuluh. Perbedaan pola ini didasarkan pada bagian bagi hasil yang akan diterima oleh pihak-pihak yang terlibat dalam bagi hasil itu sendiri.

Pola bagi dua atau dikenal dengan istilah mardua, paro dua, seperdua, merupakan pola bagi hasil yang paling sederhana. Pihak yang terlibat dalam pola ini hanya ada dua, yakni pemodal dan petani penggarapnya. Masing-masing pihak akan memperoleh bagian output atau hasil produksi dengan perbandingan 1:1. Pola bagi tiga atau dikenal dengan istilah martiga, martelu, paroh tello’, partelon, merupakan pola bagi hasil dimana masing-masing pihak mendapat bagian output atau hasil produksi sebesar 1:2. Dalam pola ini, terkadang ada pihak ketiga, selain pemodal dan petani penggarapnya. Misalnya ada pihak ketiga dalam pola ini adalah koperasi. Namun, pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat pola bagi tiga adalah pemodal dan petani penggarapnya. Pemodal biasanya menerima bagian sebesar

sedangkan petani penggarapnya memperoleh bagian sebesar saja.

Pola bagi empat, pola bagi lima, dan pola bagi sepuluh memiliki istilah daerah yang beragam pula, seperti mrempat, prapat, mrapat, marlima, merlima,

persepuluh, dan masih banyak istilah daerah lainnya. Masing-masing pola bagi hasil tersebut biasanya terdapat lebih dari dua pihak sehingga output atau hasil produksi harus dibagi lebih banyak lagi karena setiap pihak seharusnya menerima bagian yang sama. Pi (2003) menyimpulkan bahwa pola bagi hasil yang memberikan keadilan pada kedua belah pihak adalah pola bagi dua dengan tetap memberlakukan hak dan kewajiban yang seimbang.

(25)

terdapat ketidaksempurnaan pasar (Key et al. 1999). Bagian modal ini bergantung dengan luas lahan yang akan digarap oleh petani dan tingkat kedekatan (faktor sosial) dengan pemodalnya (Sadoulet et al.1997, Bandhari 2007, dan Pi 2013). Modal ini kemudian digunakan sebagai biaya operasional dalam melakukan kegiatan produksi.

Pemodal atau pemilik lahan pada umumnya tidak memberlakukan bunga atas pinjaman yang diberikannya. Hanya saja, petani penggarap diwajibkan untuk menjual hasil produksinya kepada pemodal. Artinya, dalam pinjaman ini, bagian tingkat suku bunga yang diambil oleh pemodal bisa dilakukan dengan cara yang tidak langsung. Jika bagi pemodal atau pemilik lahan keuntungan ini dianggap sebagai suku bunga, maka bagi petani penggarap, keuntungan ini justru menjadi biaya modal pinjaman. Biaya modal pinjaman (cost of fund) merupakan biaya yang dibayarkan oleh petani penggarap kepada pemodal untuk memperoleh modal pinjaman. Seperti yang disampaikan dalam Anggraini (2015) bahwa suku bunga dalam dunia pertanian dikenal dengan istilah biaya modal pinjaman (cost of fund). Beberapa penelitian mengenai besarnya biaya modal pinjaman menunjukkan bahwa nilai dari biaya yang dikeluarkan oleh petani penggarap relatif besar. Meskipun pemodal tidak memberlakukan suku bunga atas pinjaman yang diberikannya, namun jika nilai dari biaya ini besar, maka dapat dipastikan bahwa sebenarnya petani penggarap dirugikan. Bahkan jika dibandingkan dengan suku bunga perbankan, nilai biaya modal pinjaman jauh lebih besar (Basu 1997).

Petani penggarap sebenarnya sadar bahwa mereka dirugikan secara tidak langsung. Hanya saja, petani penggarap memiliki pendapat bahwa cara-cara di atas merupakan hal yang wajar. Hal ini disebabkan karena petani penggarap merasa dirinya masih sangat membutuhkan pemodal agar dirinya tidak menganggur saat musim produksi. Sebagaimana kita ketahui bahwa saat musim produksi akan terjadi kelebihan suplai tenaga kerja sehingga terkadang ada persaingan antar tenaga kerja. Hal ini menjadi menarik mengenai penentuan suku bunga yang diberlakukan oleh pemodal kepada petani penggarapnya melalui pinjaman modal yang diberikannya.

Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960

(26)

12

Perjanjian bagi hasil pertanian menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang ini disebut penggarap berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak. Pemilik ialah orang atau badan hukum yang berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah dan petani ialah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian.

Tanah ialah tanah yang biasanya dipergunakan untuk penanaman bahan makanan sedangkan hasil tanah ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap, setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan panen. Dari uraian dan pengertian di atas telah jelas siapa pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil. Berdasarkan pasal 3 UU No. 2 tahun 1960, bentuk perjanjian bagi hasil seharusnya berupa perjanjian tertulis antara dua pihak yang terlibat dan dopersaksikan oleh Kepala Daerah setempat. Waktu yang digunakan dalam perjanjian bagi hasil juga diatur dalam Pasal 4 bahwa lamanya perjanjian adalah kurangnyal tiga tahun untuk sawah dan sekurang-kurangnya lima tahun untuk tanah kering. Aturan lainnya dinyatakan dalam Pasal 2 bahwa tanah yang diperbolehkan untuk digarap oleh penggarap adalah tidak lebih dari sekitar tiga hektar.

Bagian atau imbangan bagi hasil yang akan diterima oleh pemilik dan penggarap dijelaskan dalam Pasal 7 yang menyatakan bahwa besarnya bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantara Tingkat II ditetapkan oleh Bupati atau Kepala Daerah Swatantra Tingkat II yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat. Kewajiban pemilik dan penggarap juga disebutkan dalam Pasal 8. Secara umum, undang-undang ini telah mencakup hampir seluruh bagian dalam perjanjian bagi hasil.

Pelaksanaan di lapangan sebenarnya masih jauh dari kata sesuai dengan apa yang telah disampaikan dan diatur dalam undang-undang tersebut. Penelitian mengenai pelaksanaan perjanjian sistem bagi hasil telah banyak dilakukan dan hasil penelitian menyebutkan bahwa hampir seluruh responden menyatakan kurang atau bahkan tidak paham dengan perjanjian sistem bagi hasil menurut perundang-undangan (Erviana 2005). Dewi (2011) menyatakan bahwa responden di tempat penelitian yang dilakukannya menyatakan bahwa pelaksanaan perjanjian bagi hasil masih sepenuhnya belum terlaksana. Berikut beberapa penyebab mengapa pelaksanaan perjanjian bagi hasil ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan berdasarkan penelitian yang dilakukan Hermawan (2012).

(27)

Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian kepada masyarakat.

(2) Faktor masyarakat, dimana masyarakat di desa penelitian telah merasa cukup apabila mengikuti adat kebiasaan tentang perjanjian bagi hasil yang selama ini mereka lakukan.

Tabel 2 Matriks Perbandingan Hak dan Kewajiban Pemilik Tanah dan Penggarap

No. Pemilik Tanah Penggarap

Temuan di Lapang

(a) Menerima hasil panen sesuai dengan imbangan yang telah ditentukan

(28)

14

Negara (2013) menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan lainnya mengenai belum terlaksananya perjanjian bagi hasil di daerah penelitiannya. (1) Masyarakat tidak mengetahui adanya ketentuan bagi hasil pertanian yang

diatur dalam undang-undang tersebut karena tidak adanya sosialisasi dari perangkat desa maupun dinas yang terkait.

(2) Kurangnya wawasan dari masyarakat karena rendahnya tingkat pendidikan. (3) Adanya kebiasaan buruk dari masyarakat yang menyepelekan setiap

peraturan yang berhubungan dengan pertanian.

(4) Masih kuatnya sistem kekeluargaan di Desa Bumen, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, sehingga mengesampingkan bentuk perjanjian tertulis dan hanya berdasarkan pada kepercayaan terhadap seseorang.

Selanjutnya, masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil tentu memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan korbanan yang telah dilakukannya. Dewi (2011) menyatakan bahwa hak dan kewajiban yang ada di tempat penelitiannya telah sesuai dengan peraturan tersebut. Pun demikian hasil penelitian yang dilakukan oleh Erviana (2003) yang menemukan bahwa hak dan kewajiban pemilik tanah dan penggarap di tempat penelitiannya tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan dalam perundang-undangan tersebut. Perbandingan hak dan kewajiban berdasarkan UU No. 2 tahun 1960 dan hasil temuan di lapang disajikan dalam Tabel 2.

Kajian Ekonomi Bagi Hasil

Usahatani yang dilakukan oleh petani di daerah pedesaan pada umumnya dilakukan dengan sistem bagi hasil. Hal ini dikarenakan keterbatasan kepemilikan lahan oleh petani. Seperti yang telah disampaikan dalam beberapa penelitian mengenai sistem bagi hasil bahwa perjanjian dan cara ini telah ada sejak lama. Kemudian, pemerintah mengeluarkan peraturan, yakni Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960, yang sekiranya dapat memberikan tiga hal penting bagi pihak-pihak yang terlibat dalam bagi hasil, yakni (1) pembagian hasil tanah yang seimbang, (2) hak dan kewajiban yang sesuai dengan korbanan yang telah dilakukan, dan (3) kejelasan dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak. Namun, kajian yang telah banyak dilakukan hingga saat ini menyimpulkan bahwa perjanjian bagi hasil ternyata belum memberikan keadilan dan lebih banyak memberikan keuntungan kepada pemilik lahan daripada kepada penggarap.

(29)

dalam bagi hasil. Terlebih dalam pelaksanaannya di lapangan, tentu bagi hasil memiliki pola yang beragam, seperti pola bagi dua, bagi tiga, bagi empat, atau bahkan bagi lima.

Lantas, bagaimanakah pola bagi hasil jika dikaji dalam ekonomi produksi. Basis yang digunakan oleh Debertin (1986) menjelaskan bahwa terdapat dua kemungkinan dalam bagi hasil atau sistem sewa. Kemungkinan pertama adalah sistem bagi hasil yang tanpa bagi biaya dan kemungkinan yang kedua adalah bagi hasil dengan bagi biaya. Hasil kajian dan beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat tujuan berbeda antara pemodal atau pemilik lahan dan petani penggarapnya. Hasil kajian menyimpulkan bahwa pemodal atau pemilik lahan memiliki tujuan untuk memaksimalkan output atau hasil produksi sedangkan petani penggarap memiliki tujuan memaksimalkan keuntungan (profit).

Analisis Pendapatan Usahatani

Usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Suatu usahatani dikatakan efektif jika petani atau produsen mampu mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki sebaik-baiknya dan dikatakan efisien jika pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan hasil produksi (output) yang melebihi masukan (input) (Soekartawi 1986).

Salah satu indikator keberhasilan dalam melakukan suatu usahatani adalah adanya peningkatan pendapatan petani. Analisis pendapatan usahatani membutuhkan dua keterangan pokok, yakni keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran selama usahatani tersebut dijalankan dalam waktu yang tidak dapat ditetapkan. Sebenarnya, tidak hanya istilah pengeluaran dan pendapatan saja, terdapat beberapa istilah yang sering digunakan dalam analisis pendapatan usahatani. Soekartawi (1986) menjelaskan penggunaan beberapa istilah tersebut, antara lain :

(1) Penerimaan usahatani adalah ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usahatani. Istilah lain dari istilah ini adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Istilah ini mencakup penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai.

(2) Penerimaan tunai atau penerimaan usahatani adalah nilai uang yang diterima dari usahatani yang berbentuk benda.

(30)

16

pembayaran dalam bentuk benda.

(4) Biaya total usahatani adalah semua input yang habis terpakai atau dikeluarkan selama kegiatan produksi. Biaya usahatani total mencakup biaya tunai dan biaya tidak tunai.

(5) Biaya tunai merupakan pengeluaran berdasarkan nilai uang sehingga seluruh keluaran untuk keperluan usahatani dibayar dalam bentuk tidak termasuk dalam pengeluaran tunai.

(6) Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah nilai semua input yang digunakan namun tidak dalam bentuk uang, misalnya nilai barang dan jasa untuk keperluan usahatani yang dibayar dengan benda atau kredit.

(7) Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya usahatani. Istilah ini digunakan untuk mengukur imbalan yang diperoleh petani dari penggunaan faktor-faktor produksi.

Analisis pendapatan usahatani memiliki dua tujuan utama, yakni ( 1) menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan usahatani dan ( 2) menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan yang telah atau akan dilakukan (Soeharjo dan Patong 1973). Petani yang melakukan suatu kegiatan usahatani dapat dikatakan mendapatkan keuntungan jika selisih antara penerimaan dengan pengeluaran bernilai positif. Begitu pula sebaliknya, petani tersebit memperoleh kerugian jika selisih antara penerimaan dengan pengeluaran bernilai negatif.

Usaha Garam Rakyat

Usaha garam rakyat telah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu, tepatnya sejak abad XVI Masehi. Berawal dari kisah pembuatan garam di pulau Madura, usaha penggaraman ini terus berkembang hingga ke seluruh nusantara. Sejak dahulu Pulau Madura merupakan sentra produksi garam nasional dan bahkan hingga saat ini sebutan sebagai Pulau Garam tersebut tidak mampu menghilang karena memang potensi alamnya yang mendukung (Efendy et al. 2012).

(31)

melakukan usaha garam rakyat. Sesuai dengan yang disampaikan oleh Koirala et al. (2016) bahwa masalah keterbatasan dan kepemilikan lahan merupakan dua dari sekian masalah dalam usahatani.

Tidak dapat dihindari dari fakta bahwa kebutuhan garam nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Secara garis besar, kebutuhan garam nasional terbagi menjadi dua, yakni kebutuhan garam untuk konsumsi dan garam industri. Peningkatan kebutuhan garam nasional disebabkan karena adanya peningkatan jumlah penduduk, peningkatan skala usaha dan jumlah industri yang berkembang di tingkat nasional (Efendy et al. 2012). Padahal, luas lahan garam nasional tidak mengalami peningkatan.

Solusi yang diberikan oleh pemerintah untuk mengatasi kekurangan garam adalah dengan melakukan impor garam. Sebenarnya, impor yang dilakukan oleh pemerintah lebih diperuntukkan dalam pemenuhan kebutuhan industri. Hal ini disebabkan karena garam produksi garam dalam negeri kurang mampu memenuhi standar garam yang dibutuhkan industri. Kekurangan garam untuk kebutuhan konsumsi, pemerintah memilih untuk memeberikan bantuan kepada petani dan pelaku usaha garam rakyat, yakni Program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR). Program PUGAR telah dijalankan sejak tahun 2011 di bawah pengawasan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Program ini bertujuan untuk meningkatakan produksi garam sehingga Indonesia mampu melakukan swasembada garam. Terbukti, pada tahun 2012 Indonesia mampu melakukan swasembada garam konsumsi (Jamil 2014).

Kegiatan produksi garam dapat dilakukan dengan berbagai metode. Secara umum, metode yang sering dan masih digunakan hingga saat ini terdapat tiga metode, yakni metode portugis, metode maduris, dan metode campuran. Sudarsono (2003) dalam Jamil (2014) menyatakan bahwa ketiga metode tersebut sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia. Ketiga metode ini masih sangat bergantung pada cahaya matahari. Penjelasan mengenai masing-masing metode disampaikan dalam penjelasan berikut.

(1) Metode Portugis

Metode ini pada umumnya digunakan ketika penyediaan air (volume dan konsentrasinya) memadai dan iklim (musim kemarau) pada daerah tersebut cukup panjang (di atas lima bulan) serta relatif tidak ada gangguan hujan. Pada metode ini, garam yang dihasilkan kualitasnya pada umumnya sangat baik.

(2) Metode Maduris

(32)

18

(3) Metode Campuran

Metode ini adalah gabungan/campuran dari dua metode Portugis dan Maduris yang dilaksanakan apabila iklim (musim kemarau) tidak menentu kadang-kadang cerah adan kadang-kadang ada gangguan hujan. Pada metode ini, garam yang dihasilkan kualitasnya pada umumnya kurang baik. Dalam melakukan produksi garam, dibutuhkan skill yang memadai terlebih bagi para petani penggarapnya. Di samping itu, untuk menghasilkan produksi garam yang berkualitas dan memiliki produktivitas yang tinggi dibutuhkan perencanaan produksi yang tertata meliputi: (1) penataan lahan, (2) penentuan awal kegiatan, dan (3) kesesuaian metode dengan tujuan (Efendy et al. 2012). Oleh karena itu, skill dan pengalaman bertani menjadi hal penting dalam produksi garam rakyat.

Setelah mengetahui metode yang sering digunakan dalam produksi garam, perlu diketahui pula mengenai produk garam itu sendiri. Garam merupakan benda padat putih dengan rasa asin yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Klorida (>80 persen) serta senyawa Magnesium Klorida, Magnesium Sulfat dan Kalsium Klorida. Garam mempunyai karakteristik higroskopis atau mudah menyerap air, bulky sendity (tingkat kepadatan) sebesar 0,8 – 0,9 dan titik lebur pada tingkat suhu 8.010C. Sumber garam umumnya berasal dari alam diantaranya dari air laut, air danau asin, deposit dalam tanah, tambang garam, dan sumber air dalam tanah (Burhanuddin 2001 dalam Jamil 2014). Bahan baku pembuatan garam di Indonesia sebagian besar berasal dari air laut melalui proses penguapan pada meja-meja garam oleh petani.

Produk garam yang dihasilkan oleh petani garam dan perusahaan garam sangat beragam. Pada umumnya, terdapat tiga kualitas dalam produksi garam, yakni Kualitas Produksi (KP) 1, Kualitas Produksi (KP) 2, dan Kualitas Produksi (KP) 3. KP yang dimaksud adalah kualitas produksi. Menurut Kementerian Perdagangan (2011), mutu atau kualitas garam rakyat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Kualitas Produksi (KP) 1 yaitu kualitas produksi garam terbaik yang

memenuhi syarat untuk bahan industri dan konsumsi. Secara fisik berwarna putih dan bersih. Sedangkan komposisi kimiawinya adalah NaCl 94,70 % , CaCl2 0,72 % , SaSO4 0,41 % , MgSO4 0,04 % , H2O 0,63 %.

(2) Kualitas Produksi (KP) 2 yaitu kualitas produksi garam di bawah KP 1. Secara fisik, KP 2 memiliki warna agak kecokelatan akibat sedikit tercampur dengan tanah saat pemanenan. Untuk memenuhi standar sebagai bahan baku industri, garam KP 2 harus dikurangi kadar berbagai zat yang dikandungnya.

(33)

Seiring dengan waktu, kualitas garam nasional juga mengalami perubahan. Kualitas garam yang diproduksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni jenis dan kualitas lahan garam, metode produksi, teknologi produksi, dan ketersediaan infrastruktur pendukung produksi garam. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menyatakan bahwa kualitas garam rakyat bersifat fluktuatif. Artinya, dari tahun ke tahun kualitas garam rakyat yang diproduksi sangat beragam. Hal ini dikarenakan masih sangat bergantung pada faktor-faktor seperti yang telah disebutkan di atas. Data mengenai perkembangan kualitas garam disampaikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Perkembangan Kualitas Garam Rakyat 2004-2009

No. Kualitas Jumlah Kualitas Tahun (%) 2004 2005 2006 2007 2008 2009

1. Kualitas Produksi 1 15 20 25 30 46 50

2. Kualitas Produksi 2 35 40 45 50 44 42

3. Kualitas Produksi 3 50 40 30 20 10 8

Sumber : KKP RI 2010

(34)

20

Biaya Modal Pinjaman (Cost of Fund)

Menjalankan suatu usahatani tidak dapat terlepas dengan faktor produksi, salah satunya adalah modal. Modal produksi terbagi menjadi dua berdasarkan sumbernya, yakni modal sendiri dan modal pinjaman (kredit). Usahatani yang dijalankan oleh petani miskin pada umumnya tidak terlepas dengan pinjaman (kredit) yang diberikan oleh pemodal atau pemilik lahan. Pinjaman (kredit) juga bisa diberikan oleh sumber lainnya, misalnya lembaga keuangan (microfinance), baik yang formal maupun informal. Lembaga keuangan formal dan informal didasarkan pada legalitas atau ada-tidaknya status hukum lembaga keuangan yang mereka jalankan. Suatu lembaga keuangan formal dikatakan lembaga keuangan formal jika memiliki status hukum yang jelas. Suatu lembaga keuangan informal dikatakan lembaga keuangan informal jika lembaga keuangan tersebut tidak atau belum memiliki status hukum yang jelas.

Dalam memberikan pinjaman (kredit) kepada debitur, tentu mereka (kreditur) mengharapkan keuntungan atas pinjaman yang diberikan. Keuntungan yang diperoleh ini dapat diartikan sebagai suku bunga. Menurut beberapa pakar ekonomi, suku bunga merupakan biaya imbangan (opportunity cost) dari pinjaman yang diberikan. Suku bunga dapat mencerminkan berapa keuntungan yang diperoleh jika uang tersebut digunakan untuk kegiatan lainnya (Mankiw 2007). Mubyarto (1989) menjelaskan jika pemilik tanah karena sumbangannya menerima ganti rugi atau balas jasa berupa sewa tanah, maka pemilik modal menerima bunga modal atau rente yang biasanya diukur dalam persen dari modal pokok untuk satu kesatuan waktu tertentu. Suku bunga kredit merupakan suku bunga yang diberlakukan untuk dalam pinjaman (kredit).

Menurut Sukirno (2010), bunga merupakan harga yang dibayar untuk memakai uang atau modal pihak lain yang pemakaiannya dikorbankan oleh pemilik uang tersebut sampai waktu yang akan datang. Selain membayar bunga, peminjam juga membayar segala pengeluaran yang berhubungan dengan serah terima uang pinjaman tersebut. Besarnya bunga yang harus dibayar menunjukkan besarnya nilai waktu uang. Bunga biasanya dihitung berdasarkan persentase dari modal yang dipinjam dan dihitung per lamanya pinjaman. Penjelasan yang disebutkan dalam Anggraini (2015) bahwa bunga dalam sektor pertanian dikenal dengan istilah cost of fund.

Kadarsan (1995) menjelaskan bahwa biaya modal pinjaman juga dikenal dengan istilah ongkos modal atau bisa juga disebut sebagai borrowing cost (Adams

(35)
(36)

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teori

Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian berisi landasan teori yang menjadi dasar dalam menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang diuraikan meliputi teori analisis usahatani, teori bagi hasil tanpa dan dengan bagi biaya, dan analisis biaya modal pinjaman (cost of fund). Kerangka pemikiran teori ini dijadikan dasar dalam penentuan metode yang digunakan dalam penelitian ini.

Analisis Usahatani

Suatu usahatani dapat dikatakan mencapai kondisi yang memaksimumkan keuntungan jika fisrt order condition (FOC) dan second order condition (SOC) nya terpenuhi (Debertin 1986). Asumsikan, harga otput adalah sebesar Py, maka penerimaan yang diperoleh oleh petani adalah:

�� = . � ...(1.a) Bila komuditi yang dihasilkan lebih dari satu jenis, maka persamaan (1.a) menjadi:

�� = ∑ � . ��... (1.b) Biaya yang dikeluarkan dalam usahatani terbagi menajdi dua, yakni biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel (variabel cost) adalah seluruh biaya yang dikeluarkan yang bagiannya sesuai dengan tingkat atau level output yang diproduksi. Artinya, biaya total variabel akan meningkat seiring dengan jumlah output yang diproduksi. Biaya tetap adalah biaya yang harus dikeluarkan meskipun kegiatan produksi tidak dilaksanakan oleh petani. Artinya, total biaya tetap tidak dipengaruhi oleh jumlah output yang diproduksi (Debertin 1986). Secara keseluruhan, biaya usahatani memenuhi persamaan (2), yakni:

�� = ��� + ���...(2) Sehingga, keuntungan yang diterima dalam usahatani memenuhi persamaan (3) berikut:

� = �� − ��...(3) Usahatani yang dijalankan petani dikatakan berada dalam keuntungan, jika turunan pertama (FOC) dari fungsi keuntungan sama dengan nol (0). Sehingga, persamaan di atas akan menghasilkan kondisi yang memaksimumkan keuntungan jika:

�= ...(4.a) −

(37)

� = �...(5.b) Kondisi ini belum tercapai jika SOC-nya belum terpenuhi. Usahatani akan mencapai kondisi yang memaksimumkan keuntungan jika turunan kedua (SOC) dari fungsi keuntungan bernilai negatif, sesuai dengan persamaan berikut:

� − � < ...(6)

Dimana :

TR = Besar penerimaan (total revenue)dalam usahatani (Rupiah)

TC = Total biaya yang dikeluarkan (total cost)dalam usahatani (Rupiah) TFC = Total biaya tetap yang dikeluarkan (total fixed cost) dalam usahatani

(Rupiah)

TVC = Total biaya input variabel yang dikeluarkan dalam usahatani (total variable cost) (Rupiah)

MC = Biaya marjinal (marginal cost)

MR = Penerimaan marjinal (marginal revenue) Py = Harga output (Rupiah per unit)

Pyi = Harga output dari komuditi ke-i (Rupiah per unit) Y = Output produksi (unit atau ton)

Yi = Output produksi komuditi ke-i (unit atau ton)

π = Besar keuntungan yang diterima dari usahatani (Rupiah)

Teori Bagi Hasil Tanpa Bagi Biaya

Bagi hasil adalah sebuah metode atau cara dimana pemilik lahan atau tanah memberikan hak kepada penggarap untuk mengusahakannya. Kemudian, pemilik lahan dan penggarap menerima hasil tanah atau hasil lahan sesuai dengan bagian bagi hasil atau imbangan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Bagian bagi hasil atau imbangan pada umumnya adalah bagi dua, bagi tiga, bagi empat, atau bagi lima. Pada kondisi ini, pemilik lahan tidak ikut menanggung biaya produksi. Artinya, biaya produksi ditanggung seluruhnya oleh penggarap. Kemudian, pemilik lahan menerima bagian sebesar k dan penggarap menerima bagian sebesar (1-k). Kondisi antara kedua pihak ini akan dijelaskan sebagai berikut. Tabel 4 menjelaskan struktur bagi hasil tanpa bagi biaya dalam usahatani.

Tabel 4 Matriks Struktur Bagi Hasil Tanpa Bagi Biaya

Sumber : Debertin 1986

Struktur Pemilik Lahan Petani Penggarap

Biaya (TC) 0 1

(38)

24

Pemilik Lahan

Asumsikan bagian bagi hasil yang diterima oleh petani penggarap (k) adalah sebesar ¼, sehingga pemilik lahan menerima bagian bagi hasil (1 - ¼) = ¾. Input yang digunakan dalam produksi ini hanya dua, yakni modal (K) dan tenaga kerja (L). Pemilik lahan tidak menanggung biaya produksi, sehingga

�� = ...(7) Kegiatan produksi yang dilakukan memenuhi persamaan:

� = � , ...(8) Diketahui harga input adalah PK dan PL untuk harga input kapital dan tenaga kerja. Harga output diketahui sebesar Py. Sehingga penerimaan yang diterima pemilik lahan adalah :

�� = − . � ...(9.a)

�� = − [ . � , ]...(9.b)

�� = [ . � , ]...(9.c) Sehingga, pendapatan atau keuntungan yang diterima pemilik lahan adalah

� = �� − ��...(3)

� , = [ . � , ] − ...(10.a)

= Py . fK = 0 ...(10.b)

= Py . fL = 0 ...(10.c) Persamaan (10.b) dan (10.c) dibandingkan, sehingga menghasilkan persamaan (11) berikut:

Py . fK = Py . fL = 0 ...(11.a)

fK = fL = 0 ...(11.b)

MPPK = MPPL = 0 ...(11.c) Persamaan (11.c) menunjukkan bahwa tujuan utama pemilik lahan adalah memasimumkan output atau mengoptimalkan penggunaan input produksi. Berdasarkan konsep produksi, ketika Marginal Physical Product bernilai sama dengan nol (MPP = 0) menunjukkan bahwa produksi total yang dihasilkan mencapai titik maksiumum. MPP merupakan tambahan output atas tambahan pengguanaan input satu satuan. Secara matematis, MPP adalah turunan pertama (first oreder) dari fungsi produksi total. Jika turunan pertama suatu fungsi bernilai sama dengan nol, maka fungsi tersebut mencapai titik maksimumnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa jika MPPL = MPPK = 0, maka fungsi produksi total berada dalam kondisi titik maksimumnya, sehingga terbukti bahwa pemilik lahan bertujuan untuk memaksimumkan output (Debertin 1986).

Petani Penggarap

(39)

yang digunakan dalam produksi ini hanya dua, yakni modal (K) dan tenaga kerja (L). Diketahui harga input adalah PK dan Pl untuk harga input kapital dan tenaga kerja. Petani penggarap menanggung seluruh biaya produksi, sehingga

TC = PK . K + PL . L...(12) Kegiatan produksi yang dilakukan memenuhi persamaan (8):

� = � , ...(8) Harga output diketahui sebesar Py. Sehingga penerimaan yang diterima petani penggarap adalah:

�� = . . � ...(13.a)

�� = [ . � , ]...(13.b) Sehingga, pendapatan atau keuntungan yang diterima petani penggarap adalah:

� = �� − ��...(3)

� , = [ . � , − . + . ...(14.a)

π

= Py . fK– PK = 0 ...(14.b)

Py . fK = PK ...(14.c)

π

= Py . fL– PL = 0 ...(14.d)

Py . fL = PL ...(14.e) Persamaan (14.c) dan (14.e) dibandingkan, sehingga menghasilkan persamaan (15) berikut:

� .

� . = ...(15.a) = ...(15.b)

PP

Gambar

Tabel 2 Matriks Perbandingan Hak dan Kewajiban Pemilik Tanah dan
Tabel 4 Matriks Struktur Bagi Hasil Tanpa Bagi Biaya
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian
Tabel 7 Gambaran Usaha Garam Kabupaten Pamekasan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai daerah perbatasan banyak masalah hukum yang masayarakat Provinsi Kepulauan Riau hadapi terkait kewarganegaraan ganda terbatas, banyaknya anak yang lahir dari hasil

Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh I Ketut Sujana (2009) menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu partisipasi anggaran dan komitmen organisasi tidak berpengaruh

(delapan) sektor yang berspesialisasi lebih cepat atau Pj &gt; 0, yakni: sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas dan air minum, sektor

Beberapa rencana kegiatan disesuaikan dengan jenis luaran pendampingan penyusunan perdes sebagai upaya penguatan kapasitas desa tangguh bencana sesuai dengan

Pada tahun 2000 Kepala Negara dari seluruh dunia atas studi dan kesimpulan PBB sepakat untuk mengarahkan dan mengukur pembangunan berbasis manusia dan masyarakat dalam

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan tarik dan struktur mikro pada hasil pengelasan FCAW pada material baja karbon rendah ST 41 dengan menggunakan

Pasien dengan Atresia Bilier dapat dibagi menjadi 2 kelompok yakni, Atresia Bilier terisolasi (Tipe perinatal) yang terjadi pada 65-60% pasien, namun menurut Hassan

Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah