• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN USAHA GARAM DI KABUPATEN PAMEKASAN

Produksi 15 Hari Proses 0 Panen ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9 Minggu 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Bulan 1 2 3 4 5 Produksi 10 Hari Proses 0 Panen ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Minggu 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Bulan 1 2 3 4 5 Produksi 7 Hari Proses 0 Panen ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Minggu 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Bulan 1 2 3 4 5

Jumlah produksi garam tentu dipengaruhi oleh banyaknya proses pemanenan garam. Semakin tinggi jumlah pemanenan, semakin tinggi pula jumlah produksi garam yang dihasilkan. Rata-rata produksi garam dalam sekali panen adalah 6 ton per hektar. Rata-rata musim garam adalah bulan Juni hingga November atau sekitar lima bulan. Dalam satu musim, garam yang biasa dipanen dalam waktu 15 hari akan melakukan pemanenan sebanyak sembilan kali, sehingga lahan garam tersebut dapat menghasilkan rata-rata jumlah garam sebesar 54 ton per hektar.

50

Produksi garam ini pada umumnya memiliki proporsi KP 1 yang lebih tinggi daripada KP 2 dan KP 3. Untuk garam yang biasa dipanen setiap jangka waktu 10 hari, maka jumlah pemanenan garam dalam satu musim dapat dilakukan sebanyak 13 kali. Dengan demikian, rata-rata produksi garam yang dapat dihasilkan dalam satu musim adalah 78 ton per hektar. Terakhir, untuk garam yang biasa dipanen dalam setiap 7 hari, jumlah pemanenan yang dapat dilakukan adalah 18 kali. Rata- rata total produksi garam yang dapat dihasilkan dalam satu musim adalah 108 ton per hektar. Jumlah produksi garam yang dihasilkan dalam satu musim tentu memengaruhi penerimaan atas penjualan garam. Semakin tinggi jumlah garam yang dihasilkan, semakin tinggi pula tingkat penerimaannya. Harga garam turut memengaruhi penerimaan atas penjualan garam. Harga garam tertinggi dimiliki oleh garam KP 1, kemudian KP 2, dan terendah adalah garam KP 3. Semakin tinggi proporsi garam KP 1 maka dapat meningkatkan penerimaan atas penjualan garam. Keputusan dan pengetahuan petani penggarap akan menentukan jumlah produksi garam yang akan dihasilkannya dan dapat pula menentukan keuntungan yang akan diterimanya. Oleh karena itu, faktor pengetahuan dan pengalaman bertani turut memengaruhi kesuksesan dalam menjalankan usaha garam rakyat.

Profil Usaha Garam Kabupaten Pamekasan

Usaha garam rakyat merupakan salah satu usaha yang turut diperhitungkan di Kabupaten Pamekasan. Meskipun usaha garam tidak turut berkontribusi terhadap Penerimaan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pamekasan, namun usaha tersebut mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang tinggi. Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam usaha ini mencapai angka hingga 2.860 orang dengan jumlah usaha yang berkembang adalah 627 unit dan 15 sentra yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Pamekasan. Hal ini membuat usaha garam rakyat berada pada posisi tiga besar sebagai sentra usaha atau sentra bisnis di Kabupaten Pamekasan (BPS Kabupaten Pamekasan 2016).

Luas Lahan

Luas lahan garam yang terdapat di Kabupaten Pamekasan mencapai angka 2.036,37 hektar. Luasan lahan garam tersebut tersebar di tiga kecamatan produsen garam, yakni Kecamatan Tlanakan, Kecamatan Pademawu, dan Kecamatan Galis. Data mengenai luas lahan garam di Kabupaten Pamekasan disajikan dalam Tabel 7.

Berdasarkan penguasaan, lahan garam terbagi menjadi dua tipe lahan garam, yakni lahan garam perusahaan dan lahan garam rakyat. Lahan garam perusahaan merupakan lahan garam yang diusahakan untuk produksi garam dan dimiliki secara legal oleh perusahaan garam. Lahan garam rakyat adalah lahan garam yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat. Berdasarkan data dari Sekdakab Kabupaten Pamekasan (2015), luas lahan garam rakyat terluas di Kabupaten

Pamekasan terdapat di Kecamatan Galis, yakni seluas 1.261,93 hektar atau mencapai angka 61,97 persen dari total luas lahan garam Kabupaten Pamekasan. Lahan garam tersempit di Kabupaten Pamekasan terletak di Kecamatan Tlanakan, hanya seluas 9,64 hektar atau sekitar 0,47 persen dari total luas lahan garam Kabupaten Pamekasan. Lahan garam perusahaan terluas di Kabupaten Pamekasan berada di Kecamatan Galis, yakni seluas 804,70 hektar atau sekitar 63,77 persen dari total luas lahan garam perusahaan Kabupaten Pamekasan. Lahan garam rakyat terluas di Kabupaten Pamekasan terletak di Kecamatan Pademawu, yakni sekitar 445,98 hektar atau mencapai 58,31 persen dari total luas lahan garam rakyat Kabupaten Pamekasan.

Tabel 7 Gambaran Usaha Garam Kabupaten Pamekasan

Kecamatan Luas Lahan Garam (Ha)

Rakyat % Perusahaan % Keseluruhan %

Galis 457,23 36,23 804,70 63,77 1.261,93 61,97

Pademawu 445,98 58,31 318,90 41,69 764,88 37,56

Tlanakan 0,00 100,00 9,64 0,00 9,64 0,47

Total 2.036,37 100,00

Kecamatan Produksi Garam (Ton)

Rakyat % Perusahaan % Keseluruhan %

Galis 43.018 60,43 28.174 39,57 71.192 54,66

Pademawu 44.422 77,65 12.785 22,35 57.207 43,92

Tlanakan 1.843 100,00 0 0,00 1.843 1,42

Total 130.242 100,00

Kecamatan Produktivitas (Ton/Ha)

Rakyat Perusahaan Rata-rata

Galis 93,05 35,01 56,04

Pademawu 99,37 40,09 74,66

Tlanakan 192,80 0,00 192,80

Keseluruhan 97,18 36,45 63,68

Sumber : Sekdakab Pamekasan 2015 Produksi

Produksi garam Kabupaten Pamekasan tahun 2014 mencapai angka 130.242 ton. Produksi garam juga terbagi menjadi garam produksi rakyat dan garam produksi perusahaan. Garam produksi rakyat merupakan garam yang dihasilkan dari lahan garam rakyat, sedangkan garam produksi perusahaan merupakan garam yang dihasilkan dari lahan garam perusahaan. Berdasarkan Tabel 6, produksi garam terbesar Kabupaten Pamekasan adalah Kecamatan Galis yang menghasilkan garam sebanyak 71.192 ton atau sekitar 54,66 persen dari total produksi garam Kabupaten Pamekasan. Kecamatan yang menghasilkan garam rakyat terbanyak adalah Kecamatan Pademawu dengan produksi mencapai 44.422 ton atau sekitar 77,65 persen dari total produksi garam rakyat Kabupaten Pamekasan. Kecamatan dengan

52

predikat produsen garam perusahaan terbesar di Kabupaten Pamekasan adalah Kecamatan Galis dengan produksi sebesar 28.174 ton atau sekitar 39,57 persen terhadap total produksi garam perusahaan Kabupaten Pamekasan. Informasi ini disajikan secara lengkap dalam Tabel 7.

Produktivitas

Rata-rata produktivitas usaha garam Kabupaten Pamekasan pada tahun 2014 adalah 63,68 ton per hektar. Rata-rata produktivitas usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan tahun 2014 adalah 97,18 ton per hektar dan angka ini mengalami peningkatan pada tahun 2015 menjadi 135,00 ton per hektar (Sekdakab 2016). Rata-rata produktivitas usaha garam perusahaan tahun 2014 Kabupaten Pamekasan adalah 36,45 ton per hektar. Produktivitas usaha garam rakyat Kabupaten Pamekasan terbesar dicapai oleh Kecamatan Tlanakan. Produktivitas usaha garam perusahaan Kabupaten Pamekasan terbesar dicapai oleh Kecamatan Pademawu. Data mengenai produktivitas usaha garam disajikan lengkap dalam Tabel 7.

Kondisi Sosial-Ekonomi Petani Garam Kabupaten Pamekasan

Petani garam di Kabupaten Pamekasan memiliki karakteristik tersendiri yang tentunya berbeda dengan petani lainnya yang bergerak dalam sektor pertanian. Petani garam yang pada umumnya tinggal di daerah pesisir dan pantai memiliki ciri khas. Kehidupan sosial dan ekonomi petani garam menjadi menarik untuk dikaji, terlebih masyarakat yang tinggal di daerah pesisir dan pantai memiliki adat dan budaya yang berbeda dengan petani lainnya.

Rata-rata usia petani garam di Kabupaten Pamekasan berada dalam usia produktif, yakni dalam range 15 hingga 50 tahun. Usia ini diyakini bahwa petani garam memiliki kemampuan fisik dan mental yang baik. Sekitar 74,77 persen petani garam Kabupaten Pamekasan berada dalam range usia produktif tersebut (Sekdakab Pamekasan 2015). Petani garam yang memiliki usia lebih dari 50 tahun dan atau kurang dari 15 tahun berjumlah 25,30 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa petani garam di Kabupaten Pamekasan adalah personal yang memiliki kematangan dalam segi teknis, kemampuan mental, dan fisik.

Pendidikan terakhir yang dimiliki petani garam Kabupaten Pamekasan pada umumnya hanya setingkat Sekolah Dasar. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kemampuan mengolah infromasi mengenai usaha garam dan pengambilan keputusan. Sejumlah 75,21 persen petani garam Kabupaten Pamekasan hanya memiliki pendidikan terakhir setingkat Sekolah Dasar. Sejumlah 25,91 persen petani garam Kabupaten Pamekasan memiliki pendidikan terkahir menegah hingga sarjana. Petani garam Kabupaten Pamekasan yang tidak menuntaskan pendidikan dasar sejumlah 1,59 persen (Sekdakab Pamekasan 2015). Tingkat pendidikan terkahir dapat menggambarkan kualitas petani garam di Kabupaten Pamekasan. Masih rendahnya tingkat pendidikan petani garam mengindikasikan bahwa petani garam di Kabupaten Pamekasan belum mampu melakukan inovasi, upaya

peningkatan penambahan nilai (value added) masih rendah, dan berdampak pada tingkat kesejahteraan yang masih rendah.

Motif usaha petani garam di Kabupaten Pmekasan menggambarkan latar belakang petani garam dalam melakukan usaha garam. Sebesar 62,95 persen petani garam menjalankan usaha garam secara turun-temurun. Petani garam yang menjalankan usaha garam dengan motif bisnis sebesar 32,87 persen dan sisanya, sebesar 4,18 persen petani garam menjalankan usaha garam dengan motif tidak memiliki kerja lain (Sekdakab Pamekasan 2015). Tingginya petani garam yang bermotif turun-temurun dipengaruhi oleh kondisi dan pandangan dari lingkungan sekitar dan lingkungan keluarga petani garam.

Usaha garam membutuhkan modal yang relatif cukup besar, terlebih untuk biaya pra-panen yang membutuhkan tenaga kerja luar keluarga yang cukup besar jumlahnya. Hal ini membuat petani garam harus memiliki ketersediaan modal yang besar. Pada umumnya petani garam mengandalkan pinjaman untuk mengatasi masalah keterbatasan modal. Sumber pembiayaan yang sering dimanfaatkan oleh petani garam di Kabupaten Pamekasan adalah tengkulak dan bank. Namun, tidak sedikit yang mengandalkan modal sendiri (swadaya) dalam menjalankan usaha garam. Sebesar 64,14 persen petani garam menjalankan usaha garam dengan biaya swadaya. Sejumlah 29,68 persen petani garam masih bergantung kepada tengkulak sebagai sumber pinjaman dan sisanya, sebesar 6,18 persen petani garam memanfaatkan jasa peminjaman bank dalam menyediakan modal usaha garam (Sekdakab Pamekasan 2015). Angka pinjaman kepada tengkulak masih dapat dikatakan relatif cukup besar. Hal ini disebabkan pinjaman dari tengkulak tidak memberikan kesulitasn dalam hal administrasi. Kelemahan dari pinjaman tengkulak ini adalah tingginya suku bunga yang harus ditanggung oleh petani garam di Kabupaten Pamekasan.

Jumlah Petani Garam di Kabupaten Pamekasan

Informasi mengenai jumlah petani garam yang tercatat di Kabupaten Pamekasan sebenarnya sangat terbatas. Hal ini disebabkan oleh usaha garam rakyat yang bersifat musiman. Etrkadang terdapat sejumlah petani garam ‘musiman’ atau ‘dadakan’. Petani garam jenis ini biasanya muncul karena adanya permintaan tenaga kerja yang berlebih (excess demand) dalam tenaga kerja usaha garam. Petani garam ini bisanya hanya bersifat sementara dan tidak sepenuhnya bekerja sebagai petani garam. Jadi, mata pencaharian sebagai petani garam hanya berlaku untuk musim garam saja.

Petani garam yang benar-benar tercatat dalam database Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pamekasan adalah petani garam yang menerima dana bantuan Program Usaha Garam Rakyat (PUGAR). Berdasarkan data dan informasi yang disampikan oleh Sekdakab Pamekasan (2016) jumlah petani garam secara kesuliruhan adalah sejumlah 1.463 orang. Petani garam ini terbagi menjadi tiga kelompok, yakni petani garam yang berperan sebagai pemilik lahan, petani garam

54

yang lahannya adalah lahan sewa, dan petani garam yang berpartisipasi dalam sistem bagi hasil atau dikenal dengan istilah mantong. Jumlah petani garam berdasarkan kecamatan di Kabupaten Pamekasan disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8 Jumlah Petani Garam Per Kecamatan di Kabupaten Pamekasan Tahun 2015

No Kecamatan

Jumlah Petani Garam (Orang) Pemilik Lahan % Petani Sewa % Petani Penggarap % 1. Galis 81 40,30 172 74,46 542 52,57 2. Pademawu 118 58,71 59 25,54 470 45,59 3. Tlanakan 2 0,99 0 0,00 19 1,84 Kab. Pamekasan 201 100,00 231 100,00 1.031 100,00 Sumber : Sekdakab 2016

Kecamatan Galis merupakan kecamatan dengan jumlah petani sewa dan petani penggarap tertinggi di Kabupaten Pamekasan. Hal ini disebabkan karena Kecamatan Galis merupakan kecamatan dengan luas lahan garam perusahaan tertinggi. Tidak salah jika petani garam yang banyak dijumpai di kecamatan ini adalah petani sewa dan petani penggarap. Kecamatan Pademawu memiliki jumlah pemilik lahan tertinggi di Kabupaten Pamekasan. Pemilik lahan yang dimaksud adalah petani garam yang memiliki lahan garam dan terkadang juga menjadi petani garam secara langsung. Pemilik lahan tentunya juga membutuhkan petani penggarap dalam mengelola lahan garam yang dimilikinya. Tingginya jumlah pemilik lahan di kecamatan ini diduga disebabkan oleh luas lahan garam dikuasai secara langsung oleh rakyat, atau lahan garam rakyat. Jumlah petani penggarap antara Kecamatan Galis dan Kecamatan Pademawu tidak berselisih jauh, yakni hanya sekitar 6,98 persen saja.

Jumlah pemilik lahan yang terdapat di Kabupaten Pamekasan adalah sejumlah 201 orang saja atau hanya 13,74 persen. Jumlah ini bahkan tidak mencapai angka 15 persen dari total petani garam keseluruhan di Kabupaten Pamekasan. Jumlah petani sewa adalah 231 orang atau sekitar 15,79 persen dari total petani garam keseluruhan di Kabupaten Pamekasan. Jumlah petani penggarap atau dikenal dengan istilah mantong adalah 1.031 orang atau mencapai angka 70,47 persen dari total petani garam keseluruhan di Kabupaten Pamekasan. Jumlah ini menunjukkan fakta bahwa memang pada umumnya usaha garam di Kabupaten Pamekasan dijalankan dengan sistem bagi hasil. Hal ini telah sesuai dengan hasil temuan penelitian dari Apriliani (2013) dan Nurdiani ( (2013). Banyaknya petani penggarap dalam usaha garam rakyat dapat menyebabkan ketimpangan dan keridakadilan antara pemilik lahan dan petani penggarap itu sendiri. Petani penggarap yang jumlahnya mencapai ribuan orang hanya bisa saja dipekerjakan oleh pemilik lahan yang berjumlah ratusan orang. Berdasarkan perhitungan, seorang pemilik lahan dapat memerkerjakan petani penggarap sejumlah 5 hingga 6 orang. Hal ini dapat mnyebabkan pemilik lahan melakukan tindakan monopoli terhadap petani

penggarap. Temuan ini sesuai dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Ray (1999) dan Roy et al. (2001) yang menyatakan bahwa dalam suatu sistem bagi hasil usaha pertanian, pemilik tanah terkadang sengaja memonopoli petani penggarapnya. Hal ini sangat disayangkan, terlebih petani penggarap memiliki keterbatasan lahan dan modal produksi lainnya. Sehingga tepat bila Marshall (1920) menyebut bahwa sistem bagi hasil adalah sistem pertanian kuno yang inefisien.

Karakteristik Responden Petani Penggarap

Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejumlah 115 orang. Jumlah pemilik lahan adalah 22 orang atau sekitar 19,13 persen dan petani penggarap sejumlah 93 orang atau 80,87 persen. Petani penggarap yang tergabung dalam pola bagi dua sejumlah 13 orang atau 13,98 persen dan sisanya, yakni 80 orang atau 86,02 persen adalah petani penggarap yang tergabung dalam pola bagi tiga. Karakteristik yang dijelaskan dalam sub-bab kali ini adalah mengenai usia, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, produktivitas, dan besarnya pinjaman yang diterima oleh petani penggarap. Secara keseluruhan infromasi mengenai karakteristik responden petani penggarap disajikan dala Tabel 9.

Usia

Usia responden berada dalam rentang 21 hingga 56 tahun. Rata-rata usia responden adalah 37 tahun. Jumlah petani penggarap pola bagi dua yang usianya berada dalam range 15-50 tahun adalah 92,31 persen. Nilai ini tidak juah berbeda dengan jumlah petani pola bagi tiga yang mencapai angka 98,75 persen. Jumlah petani pola bagi dua yang usianya berada dalam range 51-60 tahun masing-masing hanya satu orang saja. Persentase antara pola bagi dua dan pola bagi tiga masing- masing adalah 7,69 persen dan 1,25 persen. Sedangkan petani penggarap yang usianya <15 tahun atau >60 tahun berjumlah nol. Artinya, baik pola bagi dua maupun pola bgai tiga tidak memiliki responden yang usianya berada dalam range

tersebut. Kesimpulan yang dapat diambil adalah hampir seluruh petani penggarap responden, baik pola bgai dua maupun pola bagi tiga, berada dalam kategori usia produktif, yakni kisaran usia 15 hingga 50 tahun. Fakta ini sesuai dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Apriliana (2013), Nurdiani (2013), dan Jamil (2014). Responden yang digunakan dalam penelitian tersebut merupakan usia produktif dan mencapai lebih dari 50 persen responden secara keseluruhan.

Usia petani penggarap tentu berpengaruh terhadap prouktivitas yang dihasilkan. Usia yang produktif akan menghasilkan produktivitas yang tinggi pula. Rata-rata produktivitas petani penggarap mencapai angka 86,79 ton per hektar dengan produktivitas minimum adalah 60,00 ton per hektar dan maksimal 125,00 ton per hektar. Nilai produktivitas lahan garam di Kabupaten Pamekasan tahun 2015 adalah 135,00 ton per hektar (Sekdakab Pamekasan 2016).

56

Tabel 9 Karakteristik Responden Petani Penggarap

Karakteristik

Pola Bagi Dua Pola Bagi Tiga Jumlah (Orang) % Jumlah (Orang) % Usia 15-50 Tahun 12 92,31 79 98,75 51-60 Tahun 1 7,69 1 1,25 <15 atau > 60 Tahun 0 0,00 0 0,00 Total 13 100,00 80 100,00 Rata-rata (Tahun) 37,17

Tingkat Pendidikan Terakhir

Tidak Sekolah 1 7,70 13 16,25 Sekolah Dasar 6 46,15 49 61,25 Menengah-Sarjana 6 46,15 18 22,50 Total 13 100,00 80 100,00 Pengalaman Bertani < 5 Tahun 2 15,38 5 6,25 5-15 Tahun 7 53,85 53 66,25 > 15 Tahun 4 30,77 22 27,50 Total 13 100,00 80 100,00 Rata-rata (Tahun) 12,26 Besarnya Pinjaman (Rp) < Rp 3 juta 12 92,31 15 18,75 Rp 3 juta – Rp 6 juta 1 7,69 57 71,25 > Rp 6 juta 0 0,00 8 10,00 Total 13 100,00 80 100,00 Rata-rata (Rp/Orang) 3.753.763

Luas Lahan Garam (Ha)

≤1,00 13 100,00 54 67,50 1,01 – 2,00 0 0,00 25 31,25 >2,00 0 0,00 1 1,25 Total 13 100,00 80 100,00 Rata-rata (Ha/Orang) 1,29 1,08 Rata-rataTotal (Ha/Orang) 1,25 Produktivitas (Ton/Ha) Minimum 65,00 60,00 Maksimum 110,00 125,00 Rata-rata 81,77 87,60

Tingkat Pendidikan Terakhir

Petani penggarap responden untuk pola bagi dua pada umumnya adalah petani yang telah lulus Sekolah Dasar bahkan mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Menengah dan Sarjana. Berbeda dengan petani penggarap responden pola bagi tiga yang pada umumnya hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar saja. Jumlah responden yang menuntaskan pendidikan hingga Sekolah Dasar mencapai 61,25 persen. Sisanya adalah 16,25 persen untuk yang tidak sekolah dan sebesar 22,50 persen untuk kelompok petani penggarap pola bagi tiga yang mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Menegah dan Sarjana. Berdasarkan hasil tersebut, tingkat pendidikan petani

penggarap responden pola bagi dua lebih baik daripada petani penggarap responden pola bagi tiga. Hal ini dapat disebabkan karena dalam pola bagi dua, pemilik lahan terkadang mencari petani penggarap yang sekiranya mampu mengatur lahan dan memliki kemampuan yang baik dalam mengelola lahan garam yang mudah bocor. Salah satu karakteristik petani penggarap yang dicari adalah petani penggarap yang memiliki pendidikan yang tinggi. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa petani penggarap responden masih memiliki pendidikan yang relatif rendah. Hasil ini telah sesuai dengan kajian usaha garam yang dilakukan oleh Apriliana (2013) dan Jamil (2014). Sekitar 30 hingga 50 persen petani garam responden dalam penelitian mereka memiliki pendidikan yang tidak sekolah dan hanya tamatan Sekolah Dasar saja. Hal ini sangat disayangkan karena pendidikan akan berpengaruh terhadap kemampuan menerima informasi, teknologi, dan pengambilan keputusan. Namun, seiring dengan pengalaman bertani, pendidikan ini dapat didukung dengan pengalaman bertani yang dimiliki.

Pengalaman Bertani

Pengalaman bertani memengaruhi skill dan perilaku dalam membuat keputusan usaha garam yang dijalankan. Responden yang memiliki pengalaman bertani tidak lebih dari lima tahun (<5 tahun) untuk pola bagi dua adalah 15,38 persen sedangkan untuk pola bagi tiga hanya sekitar 6,25 persen. Petani penggarap responden yang pengalaman bertaninya berada dalam range 5-15 tahun adalah 53,85 persen untuk pola bagi dua dan 66,25 persen untuk pola bagi tiga. Petani penggarap responden pola bagi dua yang memiliki pengalaman bertani >15 tahun sejumlah 30,77 persen sedangkan untuk pola bagi tiga adalah 27,50 persen. Hasil perbandingan kedua pola ini adalah baik pola bagi dua maupun pola bagi tiga, petani penggarap respndennya pada umumnya berada dalam range pengalaman bertani 5-15 tahun. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa pada umumnya responden memiliki pengalaman bertani yang relatif lama. Hal ini memengaruhi pada skill dalam memroduksi garam dan perilaku pengambilan keputusan usaha garam. Hasil kajian ini telah sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Apriliana (2013) dan Nurdiani (2013) yang menyimpulkan bahwa petani garam responden memiliki pengalaman bertani yang relatif cukup lama. Pengalaman bertani petani garam responden mereka umumnya berada dalam kisaran 6-15 tahun dan 10-50 tahun. Pengalaman bertani yang cukup lama dapat membantu kekurangan petani penggarap yang tingkat pendidikannya relatif masih rendah. Pengalaman bertani akan berdampak terhadap kemampuan mengelola usaha garam yang baik.

Besarnya Pinjaman

Usaha garam rakyat dapat dikategorikan sebagai usaha yang padat modal. Artinya, usaha tersebut membutuhkan modal yang cukup tinggi dalam menjalankannya. Usaha garam rakyat biasanya membutuhkan modal yang besar untuk biaya input variabel yang mana digunakan untuk membayar upah tenaga

58

kerja ketika pasca-panen. Kelebihan sistem bagi hasil adalah adanya modal produksi yang bersifat pinjaman dengan tanpa suku bunga. Hal ini menjadi daya tarik petani penggarap untuk berpartisipasi dalam suatu pola bagi hasil. Rata-rata besar pinjaman yang diperoleh oleh responden adalah sebesar Rp 3.753.763 per orang. Besar pinjaman yang diperoleh berada dalam kisaran Rp 1.200.000 hingga Rp 10.000.000. Petani penggarap responden pola bagi dua pada umumnya menerima pinjaman kurang dari Rp 3.000.000 yakni mencapai angka 92,31 persen. Sedangkan petani penggarap pola bagi tiga dalam kategori ini sekitar 18,75 persen. Petani penggarap pola bagi tiga yang menerima pinjaman kisaran Rp 3.000.000 hingga Rp 6.000.000 mencapai angka 71,25 persen sedangkan untuk pola bagi dua hanya satu orang saja. Untuk kategori besar pinjaman lebih dari Rp 6.000.000 tidak ada satu orang pun yang menerima pinjaman tersebut dalam pola bagi dua dan hanya sekitar 10 persen saja petani pola bagi tiga yang menerima pinjaman sebesar itu.

Berdasarkan hasil perbandingan di atas, pada umumnya petani penggarap responden pola bagi dua menerima pinjaman di bawah rata-rata pinjaman, yakni berada dalam range pinjaman <Rp 3.000.000. Berbeda dengan petani penggarap pola bagi tiga yang mana umumnya telah menerima pinjaman di atas rata-rata pinjaman yang berada dalam range Rp 3.000.000 – Rp 6.000.000. Hal ini disebabkan karena biasanya petani pola bagi tiga mengerjakan luas lahan yang garam yang lebih besar daripada petani penggarap pola bagi dua. Luas lahan semakin tinggi, maka biaya yang harus dikeluarkan juga semikain tinggi, sehingga petani penggarap harusnya menerima pinjaman yang lebih tinggi pula.

Hal ini sangat disayangkan karena petani penggarap yang tergabung dalam pola bagi dua sebenarnya menanggung beban biaya yang lebih besar jika luas lahan garam yang digarap adalah sama. Petani pola bagi dua harus menanggung biaya tambahan perbaikan lahan secara penuh karena lahan garam yang digarapnya bersifat mudah bocor. Pemilik lahan harusnya memperhatikan biaya tersebut terhadap petani pola bagi dua. Meskipun bagian yang diterima oleh petani pola bagi dua lebih besar, namun mereka harus menanggung biaya tambahan yang sebenarnya nilainya juga relatif besar. Pemilik lahan sebaiknya mempertimbangkan hal tersebut dalam memberikan pinjaman kepada petani penggarap pola bagi dua yang akan bekerjasama dengannya.