• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Pemikiran Teoritis Budidaya Jenuh Air

Teknik budidaya jenuh air tanaman kedelai terdiri dari serangkaian aktivitas yang meliputi penyiapan benih, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, hingga panen. Menurut Ghulamahdi (2014), keberhasilan budidaya kedelai jenuh air harus memperhatikan tiga faktor kunci berikut ini:

15 1. Kriteria lokasi yang tepat

Lahan pasang surut yang digunakan sebaiknya yang mendapatkan hempasan sungai. Sehingga kadar salinitasnya aman bagi pertumbuhan tanaman. Sistem tata air harus searah, sehingga pirit yang terbentuk tidak mengendap pada lahan, melainkan terbawa aliran air. Sistem tata air mikro dan mikro lahan juga perlu diperhatikan.

2. Waktu tanam yang tepat

Periode waktu yang paling baik menanam kedelai di lahan pasang surut adalah April­Agustus. Pada periode tersebut, ketersediaan cukup tinggi sehingga salinitas rendah. Waktu panen pada musim kering tersebut juga memudahkan pengeringan biji kedelai pascapanen.

3. Implementasi SOP secara konsisten, yang terdiri dari:

a. Penyiapan benih: memilih benih lokal unggul yang telah teruji untuk budidaya jenuh air di lahan pasang surut, yaitu varietas Tanggamus dan Anjasmoro (kedelai kuning), serta varietas lokal Malang dan Cikuray (kedelai hitam).

b. Persiapan lahan: budidaya jenuh air dimulai dengan membuat saluran selebar 30 cm dengan kedalaman 25 cm, lebar bedengan 4 m, saluran dibuat dengan bajak kerbau atau tenaga kerja manusia dua kali dengan arah yang berlawanan. Pengolahan tanah tidak dilakukan pada petakan yang akan ditanam agar pirit tidak terangkat ke atas dan agar tanah tempat yang akan ditanam tidak menjadi keras.

c. Penyemprotan lahan dengan herbisida dan dibiarkan selama 2 minggu. Setelah itu, kapur sebanyak 1 ton, SP 36 sebanyak 200 kg, dan KCL sebanyak 100 kg dicampur dan disebar ke lahan seluas 1 ha pada kedalaman 10 cm. Pemupukan dibiarkan selama 1 minggu. Setelahnya, dilakukan penanaman biji kedelai.

d. Penanaman: sebelum ditanam, biji kedelai diberi inokulan Rhizobium sp. sebanyak 5 gram/kg benih, dan Carbosulfan 15 gram/kg benih. Jarak tanam (40x12.5) cm, setiap lubang ditanami 2 biji.

e. Pengairan: air diberikan setinggi 10 cm dari dasar saluran atau 15 cm dari permukaan tanah bedengan. Jenuh air dilakukan sejak tanam sampai panen.

f. Pemeliharaan: pada minggu ke­3, minggu ke­4, minggu ke­5, dan minggu ke­6, tanaman disemprot urea 10 gram/liter air dengan volume semprot 400 liter air urea/ha. Amati serangan ulat. Jika mulai muncul, semprot insektisida agar polong berisi banyak. Pengisian polong kedelai dapat mencapai 80­120 polong/tanaman dengan populasi tanaman sebanyak 400 000 tanaman/ha.

g. Panen: kedelai pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut biasanya 10­15 hari lebih lambat dibandingkan budidaya kering. Kedelai dipanen apabila 80 persen polong telah berwarna coklat. Panen dilakukan dengan sabit dan dirontokkan dengan mesin perontok. Produktivitas kedelai kuning Tanggamus dapat mencapai 4.63 ton/ha dan kedelai hitam lokal Malang dapat mencapai 4.0 ton/ha.

h. Penyimpanan benih: dilakukan dalam kantong plastik, agar mempunyai daya tumbuh yang tinggi ketika ditanam karena dalam keadaan segar. Benih yang dihasilkan, sebagian dijual ke pengrajin tempe tahu dan

16

sebagian lain digunakan untuk benih. Kadar air benih pada awal penyimpanan sebesar 10%.

Konsistensi yang rendah terhadap SOP budidaya kedelai jenuh air dapat meningkatkan produksi per satuan lahan secara signifikan.

Klasifikasi Lahan Pasang Surut

Berdasarkan intensitas dan tinggi air pada kondisi pasang maksimum dan pasang minimum (Widjaja et al. 1992 dalam Adisarwanto dan Wudianto 2002) lahan pasang surut digolongkan menjadi empat kategori yaitu tipe A, B, C, dan D.

Gambar 5 Klasifikasi lahan pasang surut

Sumber:Widjajaet al. (1992)dalam Adisarwanto dan Wudianto 2002)

Lahan pasang surut tipe A yaitu lahan yang terus tergenang air. Lahan pasang surut tipe B yaitu lahan yang hanya kadang­kadang saja tergenang air. Lahan tipe B ini mengandung kadar pirit yang tinggi. Lahan pasang surut tipe C memiliki kedalaman muka air 50 cm dibawah permukaan tanah, sedangkan lahan pasang surut tipe D memiliki kedalaman muka air lebih dari 50 cm dibawah permukaan tanah. Berdasarkan keempat kategori lahan pasang surut, tipe lahan yang paling baik untuk budidaya kedelai adalah Tipe C, karena ketersediaan airnya cukup, tetapi tidak terkena luapan banjir. Klasifikasi tipe lahan pasang surut diilustrasikan dalam Gambar 3.

Teori Inovasi

Rogers dan Shoemaker (1971) mengartikan inovasi sebagai suatu praktik, ide, atau objek yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh seseorang (individu). Lebih lanjut Lionberger dan Gwin dalam Mardikanto (1988) menekankan bahwa inovasi tidak hanya dirasakan oleh seseorang atau individu, tetapi juga menjadi sesuatu yang dinilai baru oleh sekelompok masyarakat dalam lokalitas tertentu.

Mardikanto (1988) memaparkan bahwa pengertian baru tersebut mengandung makna bukan sekedar baru diketahui dalam artian pikiran (kognitif), akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas dalam artian sikap (attitude), dan baru dalam untuk dilaksanakan atau digunakan. Oleh karena itu, pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada pengertian benda atau hasil barang produksi, tetapi mencakup ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, atau gerak­gerakan menuju pada proses perubahan dalam kehidupan masyarakat.

17 Difusi Inovasi

Menurut Rogers (1983), difusi inovasi didefinisikan sebagai suatu proses dikomunikasikannya inovasi kepada petani dalam suatu sistem sosial tertentu, melalui saluran tertentu, dalam suatu dimensi waktu tertentu pula. Difusi inovasi merupakan salah satu bentuk proses komunikasi antara pihak pengirim dan penerima informasi, sehingga dicapai pengertian yang sama mengenai informasi yang dikomunikasikan. Informasi yang dikomunikasikan mengacu kepada adanya pemikiran baru yaitu inovasi sendiri.Romable (1984) dalam Aritonang (2013) menyatakan bahwa difusi inovasi dapat dipandang sebagai proses komunikasi khusus. Pada difusi inovasi, sumber pesan dapat berupa penemu, penyuluh pertanian dan pemimpin kelompok/masyarakat.

Proses Pengambilan Keputusan adopsi inovasi

Pandangan tradisional yang dikenal sebagai proses adopsi, pertama kali dipostulatkan oleh komite the North-Central Rural Sociology Subcommitee for the Study of Farm Practice pada tahun 1955. Menurut kesepakatan komite tersebut, seorang individu yang belajar menggunakan sebuah inovasi (teknologi baru) mengalami perkembangan mental yang disebut proses adopsi. Berdasarkan proses adopsi tersebut, setiap individu mengalami lima tahapan yaitu: (1) awareness (menjadi sadar), (2) interest (menaruh minat), (3) evaluation (menilai), (4) trial (mencoba) dan (5) adoption (mengadopsi) (Mugniesyah 2006).

Sejalan dengan hal tersebut, Mardikanto (1988) menyatakan bahwa adopsi diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik berupa pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan sumber informasi, baik media cetak maupun interpersonal.

Teori pengambilan keputusan yang dikemukakan Rogers dan Shoemaker (1971), merupakan kritik atas pandangan tradisional, yaitu proses adopsi. Kritiknya terhadap teori proses adopsi sedikitnya disebabkan oleh dua alasan, yaitu: (1) teori konvensional terlalu sederhana karena proses pengambilan keputusan hanya berakhir pada tahapan adopsi, padahal adopsi dapat berakhir pada keputusan menerima atau menolak, dan (2) teori konvensional menggambarkan bahwa proses pengambilan keputusan merupakan perilaku yang acak dan tidak berurutan pada setiap tahapannya.

Teori tersebutkemudian disempurnakan oleh Rogers (1983), yang mengemukakan bahwa proses pengambilan keputusan adopsi inovasi merupakan sebuah proses mental dimana seorang individu melalui serangkaian tahapan­ tahapan yang dimulai dari mengetahui suatu inovasi sampai pada pengambilan keputusan untuk menerima atau me nolak dan dilanjutkan dengan mengukuhkan keputusan yang telah diambilnya tersebut. Rogers (1983) menyatakan bahwa tahapan umum yang dilalui dalam proses pengambilan keputusan ada lima, yaitu: (1) tahap pengenalan, (2) tahap persuasi, (3) tahap pengambilan keputusan, (4) tahap implementasi, dan (5) tahap konfirmasi. Model proses pengambilan keputusan adopsi inovasi tersebut selengkapnya diuraikan dalam Gambar 4.

Tahap pertama adalah tahap pengenalan. Tahap ini dimulai ketika individu mulai mengenal adanya inovasi dan memperoleh beberapa pengertian tentang bagaimana fungsi inovasi tersebut.

Tahap kedua adalah tahap persuasi yaitu ketika individu membentuk sikap suka atau tidak suka terhadap inovasi.Jika aktivitas mental pada tahap pengenalan

18

hanya bersifat kognitif (pengetahuan), maka pada tahapan persuasi aspek perilaku yang utama adalah aspek afektif (perasaan), sehingga individu bertindak secara psikologi terhadap inovasi. Dalam mengembangkan sikap suka atau tidak suka terhadap inovasi, individu dapat menerapkan inovasi tersebut secara mental dengan membandingkannya pada kondisi yang dia hadapi sekarang dan dengan antisipasi ke masa depan sebelum individu mengambil keputusan untuk mencoba mengadopsi atau menolak inovasi.

Selanjutnya, adalah tahap keputusan. Pada tahap ini individu akan melakukan aktivitas yang akan membawa mereka sampai pada keputusan memilih untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Inovasi yang mudah dicoba dalam skala kecil dan mudah diamati hasilnya akan memotivasi individu untuk memutuskan menerapkan inovasi tersebut. Oleh karena itu, metode untuk memfasilitasi individu untuk menggunakan inovasi melalui pembagian sampel, insentif, atau hadiah akan mempercepat keputusan adopsi.

Tahap keempat, implementasi. Individu melaksanakan keputusan inovasi yang diambilnya dalam kehidupan nyata. Jika seorang petani telah memutuskan untuk mengadopsi inovasi maka dia akan menggunakannya dalam usahataninya. Dan sebaliknya, jika menolak, individu akan meneruskan cara­cara sebelumnya.

Konfirmasi adalah pengukuhan, dimana individu mencari penguatan atas keputusan inovasi yang telah dibuatnya. Akan tetapi individu dapat mengubah keputusannya yang terdahulu, jika diperkenalkan pada informasi yang bertentangan dengan inovasi yang telah diadopsi atau ditolak sebelumnya.

Karakteristik Inovasi

Terdapat lima ciri atau karakteristik inovasi yang mendasari persepsi individu terhadap inovasi menurut Rogers (1983), yaitu:

a. Keuntungan Relatif (Relative Advantages): adalah derajat dimana suatu inovasi dipandang jauh lebih baik dibanding gagasan atau teknologi yang

Saluran Komunikasi Persepsi terhadap Ciri-ciri Inovasi Konfirmasi Implementasi Keputusan Persuasi Pengenalan Karakteristik Pengambilan Keputusan 1. Karakteristik sosial ekonomi 2. Variabel kepribadian 3. Perilaku komunikasi Kondisi Sebelumnya 1. Praktik terdahulu 2. Masalah kebutuhan yang dirasakan 3. Keinovativan 4. Norma­norma sistem sosial 1.Keuntungan relatif 2.Kompatibilitas 3.Kompleksitas 4.Kemungkinan dicoba 5.Kemungkinan diamati Adopsi Menolak Melanjutkan adopsi Mengadopsi kemudian Berhenti mengadopsi Tetap menolak

Gambar 6 Model proses pengambilan keputusan inovasi Sumber: Rogers, EM (1983)

19 sebelumnya. Derajat keuntungan relatif ini sering dilihat dari segi ekonomis (lebih rendahnya biaya produksi, lebih rendahnya risiko yang harus ditanggung, efisiensi dalam kesegeraan waktu dalam memperoleh keuntungan), aspek sosial budaya, kepercayaan, serta prestise.

b. Kesesuaian (Compatibility):adalah derajat dimana suatu inovasi dipandang sesuai dan konsisten dengan nilai­nilai sosial budaya yang ada, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan penerima terhadap inovasi. c. Kerumitan (Complexity):adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap

relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan. Beberapa inovasi bermakna sederhana bagi orang­orang tertentu namun juga dapat bermakna sulit bagi sebagian yang lain. Semakin rumit inovasi bagi seorang individu, akan semakin sulit inovasi itu diterima oleh orang yang bersangkutan.

d. Kemungkinan Dicoba (Triability): adalah suatu derajat dimana suatu inovasi dapat dicobakan dalam skala kecil. Hal ini karena dimungkinkan karena inovasi yang dapat dicoba dalam skala kecil akan menurunkan risiko bagi penerimanya dibandingkan dengan mencoba dalam skala lebih luas. Semakin tinggi tingkat kemungkinan dicoba suatu inovasi sebagaimana diterima oleh anggota­anggota suatu sistem sosial semakin tinggi laju inovasi tersebut.

e. Kemungkinan Diamati (Observability): adalah derajat dimana hasil­hasil penerapan suatu inovasi dapat dilihat dan diamati perbedaan hasilnya dibandingkan dengan teknologi yang sebelumnya oleh orang lain. Semakin besar kemungkinan suatu inovasi untuk dapat dilihat atau diamati hasilnya, maka semakin percaya sistem sosial semakin tinggi laju inovasi tersebut.

Konsep Usahatani

Soekartawi (1986), mendefinisikan usahatani sebagai cara­cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal, waktu, dan pengelolaan) yang terbatas untuk mencapai tujuannya. Adapun tujuan usahatani menurut Soekartawi (1986) adalah memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Konsep memaksimumkan keuntungan adalah bagaimana mengalokasikan sumberdaya dengan jumlah tertentu seefisien mungkin untuk mendapatkan keuntungan maksimum. Sedangkan konsep meminimumkan biaya yaitu bagaimana menekan biaya sekecil­kecilnya untuk mencapai tingkat produksi tertentu.Pengelolaan usahatani yang efisien akan mendatangkan pendapatan yang positif atau suatu keuntungan, usahatani yang tidak efisien akan mendatangkan suatu kerugian. Usahatani yang efisien adalah usahatani yang produktivitasnya tinggi. Hal ini bisa dicapai jika manajemen pertaniannya baik. Soekartawi mengelompokkan modal menjadi dua golongan, yaitu:

1. Barang yang tidak habis dalam sekali produksi misal peralatan pertanian, bangunan, yang dihitung biaya perawatan dan penyusutan selama 1 tahun 2. Barang yang langsung habis dalam proses produksi seperti bibit, pupuk,

obatobatan dan sebagainya

Sedangkan menurut Suratiyah (2006), ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor­faktor produksi barupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik­baiknya. Usahatani pada hakikatnya adalah perusahaan,

20

maka seorang petani atau produsen sebelum mengelola usahataninya akan mempertimbangkan antara biaya dan pendapatan, dengan cara mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien, guna memperoleh keuntangan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dengan sebaik­baiknya, dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input).

Konsep Biaya

Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu (Mulyadi 1993). Biaya usahatani adalah nilai semua input yang habis terpakai dalam proses produksi.

Dalam analisis usahatani dikenal pengklasifikasian biaya menjadi biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai adalah pengeluaran yang harus dibayar dengan uang, seperti membeli pupuk kimia, benih, pestisida dan perlengkapan pembenihan, upah tenaga kerja/buruh tani, dan lain sebagainya. Biaya yang diperhitungkan yang sebenarnya dikeluarkan sebagai korbanan dalam aktivitas usahatani, namun seringkali tidak diperhitungkan oleh petani karena tidak dibayar secara tunai. Biaya diperhitungkan, diantaranya adalah biaya sewa pada lahan pribadi, biaya penyusutan faktor produksi, bunga modal, dan lain sebagainya.

Penerimaan Usahatani

Brown dan Maxwell (1979) mengemukakan bahwa setiap usahatani membutuhkan input untuk menghasilkan output, sehingga produksi yang dihasilkan akan dinilai secara ekonomi berdasarkan biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh. Pendapatan usahatani diperoleh dari selisih antara keduanya.

Penerimaan adalah nilai produk total dalam jangka waktu tertentu baik yang dipasarkan maupun tidak (Soekartawi 1995). Penerimaan juga dapat didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan. Penerimaan usahatani yaitu penerimaan dari semua sumber usahatani meliputi nilai jual hasil, penambahan jumlah inventaris, nilai produk yang dikonsumsi petani dan keluarganya. Penerimaan usahatani merupakan nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, atau dengan kata lain merupakan penerimaan adalah hasil perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual produk.

Pendapatan Usahatani

Menurut Soekartawi (1995), berdasarkan sumbernya, pendapatan rumah tangga petani bersumber dari dalam usahatani dan perdapatan dari luar usahatani. Pendapatan dari dalam usahatani meliputi pendapatan dari tanaman yang diusahakan oleh petani. Sedangkan dari luar usahatani bersumber dari pendapatan selain usahatani yang diusahakan. Selisih antara penerimaan dan pengeluaran usahatani disebut pendapatan usahatani (net farm income). Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor­faktor produksi. Maka petani harus berusaha meningkatkan hasil­hasil

21 produksi agar memperoleh peningkatan pendapatan dengan memaksimalkan faktor­faktor input yang mempengaruhi.

Sedangkan menurut Hadisapoetro (1973) dalam Suratiyah (2006), untuk memperhitungkan pendapatan usahatani, bebrapa komponen yang diperlukan adalah sebagai berikut:

1. Pendapatan kotor atau penerimaan

Adalah seluruh pendapatan yang diperoleh dari usahatani selama satu periode, diperhitungkan dari hasil penjualan (jumlah produksi) dikalikan dengan harga per satuan.

2. Biaya alat­alat luar

Merupakan semua yang dipergunakan untuk menghasilkan pendapatan kotor kecuali upah tenaga keluarga, bunga seluruh aktiva yang dipergunakan dan biaya untuk kegiatan si pengusaha sendiri. Biaya = biaya saprodi + biaya tenaga kerja luar + biaya lain­lain berupa pajak (PBB), iuran air, penyusutan alat.

3. Biaya mengusahakan

Merupakan biaya alat­alat luar ditambah upah tenaga kerja keluarga sendiri yang diperhitungkan berdasarkan upah umumnya.

4. Biaya menghasilkan

Merupakan biaya mengusahakan ditambah bunga dari aktiva yang dipergunakan dalam usahatani.

5. Pendapatan bersih

Adalah selisih antara pendapatan kotor dengan biaya mengusahakan. 6. Pendapatan petani

Meliputi upah tenaga kerja keluarga sendiri, upah petani sebagai manajer, bunga modal sendiri, dan keuntungan. Atau pendapatan kotor dikurangi biaya alat­alat luar dan bunga modal luar.

7. Pendapatan tenaga keluarga

Merupakan selisih dari pendapatan petani dikurangi dengan bunga modal sendiri.

8. Keuntungan atau kerugian petani

Merupakan selisih dari pendapatan petani dikurangi dengan upah keluarga dan bunga modal sendiri.

Teori Fungsi Produksi

Menurut Pyndick dan Rubinfeld (2001), hubungan antara input dan output sebagai dan output dalam proses produksi digambarkan oleh fungsi produksi. Suatu fungsi produksi menunjukkan Q (output) yang dihasilkan oleh produsen untuk setiap kombinasi masukan tertentu. Untuk menyederhanakan, diasumsikan bahwa ada dua input yang digunakan, yaitu tenaga kerja (labor) L, dan modal (capital) K.

Terdapat perbedaan perilaku antara jangka panjang dan jangka pendek dalam konsep produksi. Jangka pendek (short run) SR, adalah saat dimana semua factor produksi yang sifatnya tetap berapapun jumlah output yang dihasilkan. Misalnya, pada tahap awal produksi, hanya diperlukan satu mesin. Seiring peningkatan output pada jumlah tertentu, hanya diperlukan penambahan tenaga kerja (jam atau orang). sedangkan jangka panjang (long run) LR, adalah saat dimana semua faktor produksi sifatnya variabel (dapat berubah) seiring dengan

22

jumlah output yang dihasilkan. Dikotomi SR dan LR ini penting untuk memahami efisiensi biaya pada analisis maksimisasi profit. Fleksibilitas dalam LR akan memberikan keuntungan bagi produsen dalam bentuk efisiensi dibandingkan situasi yang sama pada SR. Dengan demikian, fungsi produksi digambarkan dalam Gambar 5 dan dapat ditulis dengan persamaan:

Gambar 7 Kurva fungsi produksi

Dalam melihat hubungan antara input dan output, umumnya dikenal dua ukuran produktivitas, yaitu AP (Average Product)dan MP (Marginal Product). Dengan mengasumsikan kondisi jangka pendek dan K konstan atau modal bersifat tetap, persamaan AP dan MP dinyatakan sebagai berikut:

1. Average product (AP)

Adalah ukuran rata­rata output per unit input.

2. Marginal Product (MP)

Adalah ukuran perubahan output dari perubahan per unit input

MP akan memotong AP pada titik tertinggi AP, karena saat nilai marjinal lebih tinggi dari nilai rata­ratanya, maka nilai rata­rata berikutnya akan lebih tinggi, dan sebaliknya. Kondisi AP = MP di titik tertinggi AP saat slope AP 0

L

 

 .

23

The Law of Deminishing Marginal Return dan Pengaruh Perubahan Teknologi terhadap Kurva Fungsi Produksi

The Law of Deminishing Marginal Return (Hukum Hasil Semakin Berkurang) menyatakan bahwa jika penggunaan input yang meningkat dengan mengasumsikan input lainnya tetap, pada suatu titik akan dicapai setiap penambahan tersebut akan menghasilkan tambahan keluaran yang akhirnya akan menurun.

The law of diminishing return berlaku untuk teknologi produksi tertentu. Namun, penemuan dan perbaikan teknologi memungkinkan seluruh kurva dalam Gambar 7 Bergeser keatas, sehingga lebih banyak output yang diproduksi dengan input yang sama. Gambar 7 Menunjukkan hal ini. Mula­mula kurva produksi digambarkan dengan kurva O1. Kemudian, dengan adanya perbaikan teknologi memungkinkan kurva bergeser keatas menjadi kurva O2, kemudian O3.

Misalnya, dalam sebuah kurun waktu tertentu dalam proses produksi tenaga kerja ditingkatkan, juga dengan perbaikan teknologi. Peningkatan teknologi ini termasuk penggunaan benih unggul, penggunaan formula pupuk tertentu yang efektif, penggunaan peralatan pertanian yang lebih baik, atau manajemen teknologi budidaya tertentu yang lebih baik. Maka output berubah dari A (dengan penggunaan input 6 pada kurva O1), menjadi B (dengan penggunaan input 7 pada kurva O2), kemudian menjadi C (dengan output 8 pada kurva O3)

Gambar 9 Perubahan kurva fungsi produksi akibat perubahan teknologi Kerangka Pemikiran Operasional

Salah satu tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis dinamika sosial inovasi budidaya jenuh air sebagai salah satu alternatif bagi petani untuk meningkatkan pendapatan usahatani tanaman kedelai. Untuk menjawab tujuan tersebut, konsep dan teori proses pengambilan keputusan adopsi inovasi Rogers digunakan sebagai pendekatan utama. Teknologi budidaya kedelai jenuh air mulai didifusikan kepada petani kedelai di Desa Labuhan Ratu Enam, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur sejak pertengahan tahun 2013. Karena proses pengambilan inovasi merupakan proses mental yang terjadi pada diri individu ketika dihadapkan pada sebuah hal baru (inovasi), maka menganalisis

24

proses pengambilan keputusan adopsi inovasi teknologi budidaya kedelai jenuh air oleh petani adopter potensial merupakan topik yang menarik untuk dikaji.

Terdapat lima tahap dalam proses pengambilan keputusan adopsi inovasi BJA yang akan dievaluasi, yaitu proses pengenalan (Y1), persuasi (Y2), keputusan (Y3), implementasi (Y4), dan konfirmasi (Y5). Pada tahap pengenalan (Y1), terdapat dua aspek yang mempengaruhinya, yaitu prior condition (kondisi sebelumnya) dan karakteristik pengambil keputusan. Empat variabel dalam prior condition tidak dilibatkan dalam analisis. Sedangkan pada karakteristik pengambil keputusan, digunakan beberapa variabel, yaitu tingkat pendidikan formal (X3), tingkat pendidikan nonformal (X4), tingkat motivasi (X5) dan tingkat pengalaman berusahatani (X6). Mengacu pada paradigma pengambilan keputusan adopsi inovasi yang digunakan, diduga proses pengenalan berhubungan dengan prior condition dan karakteristik pengambil keputusan yang telah disebutkan.

Tahap kedua dalam proses pengambilan keputusan adopsi inovasi adalah tahap persuasi. Pada tahap ini, persuasi yang menggambarkan preferensi calon adopter dipengaruhi oleh persepsi adopter potensial terhadap karakteristik inovasi. Terdapat empat variabel pada faktor persepsi petani tentang karakteristik inovasi BJA yang diduga memengaruhi tahap persuasi (Y2), yaitu meliputi kesesuaian (X8), kerumitan (X9), kemungkinan dicoba (X10), dan kemungkinan diamati (X11). Aspek keuntungan relatif kedelai BJA tidak dilibatkan dalam analisis hubungan terhadap tahap persuasi karena dalam bagian analisis usahatani dalam penelitian ini akan tergambar bagaimana keuntungan relatif dari inovasi BJA ini secara ekonomi. Adopter potensial yang telah melewati tahap persuasi

Dokumen terkait