• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaan Usahatani Kedelai BJA di Desa Labuhan Ratu Enam Proses Kegiatan Usahatani Kedelai BJA

Proses kegiatan usahatani kedelai BJA dilakukan dengan melakukan serangkaian aktivitas, diantaranya adalah persiapan lahan, pemberian kapur dan herbisida, penanaman, pemupukan, pengairan, pemeliharaan terhadap OPT, panen, dan pengeringan. Dalam hal ini juga akan dijelaskan bagaimana perbedaan­perbedaan dalam tahapan usahatani yang dilakukan oleh kelompok petani kedelai BJA dengan kategori implementasi tinggi, dan kelompok petani kedelai BJA dengan kategori implementasi rendah.

1. Persiapan Lahan

Berbeda dengan pengolahan tanah yang biasa dilakukan oleh petani yaitu membersihkan lahan dari rumput, gulma, dan sisa tanaman sebelumnya kemudian mencangkul petakan tanah, persiapan lahan dalam usahatani kedeai BJA dilakukan tanpa mencangkul lahan. Bahkan pada beberapa petakan lahan, sisa tanaman sebelumnya juga dibiarkan membiarkan membusuk agar menambah kandungan hara alami. Pengolahan tanah tidak dilakukan pada petakan yang akan ditanam agar pirit tidak terangkat ke atas dan agar tanah tempat yang akan

41 ditanam tidak menjadi keras. Tahapan selanjutnya adalah membentuk bedengan dengan lebar 4 meter dan panjang menyesuaikan dengan panjang lahan pada petakan lahan, dan pada kedua sisi bedengan dibuat saluran selebar 30 cm dengan kedalaman 25 cm. Saluran dibuat dengan bajak kerbau atau tenaga kerja manusia dua kali dengan arah yang berlawanan. Baik petani kedelai BJA dengan implementasi rendah maupun tinggi melakukan tahapan ini. Gambar 11 memperlihatkan proses penyiapan lahan yang dilakukan oleh petani kedelai BJA.

Gambar 11Pembuatan saluran air pada bedengan lahan kedelai BJA 2. Pemberian Kapur dan Herbisida

Tahap selanjutnya adalah Penyemprotan lahan dengan herbisida. Fungsi pemberian herbisida adalah untuk menekan atau memberantas gulma (tumbuhan yang menyebabkan penurunan hasil). Jenis herbisida yang digunakan adalah herbisida pratumbuh (preemergece herbicide),yaitu pestisida yang disebarkan pada lahan setelah diolah namun sebelum benih benih ditebar. Biasanya pestisida jenis ini bersifat nonselektif (membunuh semua jenis tumbuhan yang ada). Pemberian herbisida dibiarkan selama 2 minggu. Setelah itu, setiap 1 ha lahan disebarkan kapur sebanyak 1 ton ke seluruh permukaannya. Pemberian kapur bertujuan untuk meningkatkan pH tanah, karena pH tanah yang rendah (asam) mengganggu pertumbuhan tanaman, terutama untuk lahan pasang surut yang cenderung memiliki pH tanah yang rendah (asam) akibat oksidasi pirit (FeS2). Pemberian kapur dan herbisida dilakukan oleh semua petani yang masuk kategori implementasi BJA tinggi maupun yang rendah.

3. Penanaman

Biji kedelai disiapkan sebelum menanam, dengan diberi inokulan Rhizobium sp. sebanyak 5 gram/kg benih, dan Carbosulfan 15 gram/kg benih. Hanya beberapa petani saja yang melakukan prosedur ini. Kemudian, lahan diberi lubang untuk memudahkan penanaman. Sesuai anjuran, Kedelai ditanam dengan jarak tanam (40x12.5) cm, dan setiap lubang ditanami 2 biji. Namun pada praktiknya, hanya sebagian petani saja yang menanam dengan jarak tanam (40x12.5) cm. Beberapa orang petani merubah jarak tanam menjadi (40x15) cm, (40x25) cm, dan (40x30) cm. Hal ini dilakukan oleh petani karena menurut mereka jarak tanam tersebut terlalu rapat sehingga mereka membuat jarak tanam lebih jauh. Cara yang dilakukan oleh petani dalam mengisi biji ke dalam lubang tanam juga sangat beragam metodenya. Sebagian besar petani kedelai BJA kategori implementasi tinggi mengisi lubang tanam dengan metode tandur dengan

42

mengisi setiap lubang tanam lebih dari 2 biji. Mereka mengisi setiap lubang dengan 3­4 biji benih kedelai. Beberapa petani kedelai BJA kategori implementasi rendah justru menggunakan metode menebar benih, walaupun beberapa diantara mereka menanam dengan metode tandur (mengisi lubang tanam dengan benih). 4. Pemupukan

Pemupukan dibagi menjadi dua tahap utama, yaitu pemupukan pada tahap awal, dan pemupukan pada tahap lanjutan. Pemupukan tahap awal dilakukan sebelum penanaman biji kedelai, sedangkan penanaman lanjutan dilakukan setelah tumbuh daun pada tanaman kedelai. Pemupukan tahap awal dilakukan dengan memberikan pupuk SP 36 sebanyak 200 kg dan KCL sebanyak 100 kg yang dicampur dan disebar ke lahan seluas 1 ha pada kedalaman 10 cm. Pemupukan dibiarkan selama 1 minggu. Pemupukan tahap lanjutan dilakukan sejak minggu ke­3 (daun tanaman mulai tumbuh), hingga minggu ke­6. Pemupukan tahap lanjutan dilakukan dengan cara menyemprot tanaman dengan urea 10 gram/liter air dengan volume semprot 400 liter air urea/ha.

5. Pengairan

Pengairan merupakan salah satu aktivitas kunci dalam usahatani kedelai BJA. Pengairan dalam teknik BJA adalah dengan memberikan air secara terus menerus sejak mulai tanam hingga menjelang panen dengan mengisi air setinggi 10 cm dari dasar saluran atau 15 cm dari permukaan tanah bedengan. Membuat air tetap jenuh pada saluran sangat penting agar untuk mengatasi masalah pirit (FeS2) terutama pada lahan pasang surut yang memiliki kandungan pirit tinggi.

Beberapa lahan petani kedelai BJA di Desa Labuhan Ratu Enam memiliki sirkulasi air yang bagus sehingga air cukup melimpah dan pengaturan untuk mendapatkan lahan yang jenuh air hanya dengan melakukan pengecekan setiap pagi dan petang. Sejumlah kecil petani kedelai BJA kategori implementasi tinggi yang lokasi lahannya agak tinggi harus menggunakan pompa untuk mengkondisikan lahannya jenuh air. Pada kondisi ini petani yang menggunakan pompa menghabiskan biaya usahatani yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang pengairan lahannya tanpa menggunakan pompa.

Gambar 12Kondisi jenuh air pada lahan kedelai BJA

Petani kedelai BJA kategori tinggi rata­rata melakukan pengairan 3­4 hari sekali sejak tanam hingga panen (total frekuensi pengairan 25­30 kali). Sebagian

43 petani juga memiliki kontur tanah yang tidak rata (miring). Hal tersebut menyebabkan sebagian lahannya terendam jika air sedang pasang. Petani kedelai BJA kategori implementasi rendah hanya melakukan pengairan sekali di awal, atau 2­3 kali sejak tanam hingga panen. Gambar 12 memperlihatkan kondisi saluran air yang jenuh air.

6. Pemeliharaan terhadap OPT

Pemeliharaan terhadap OPT dilakukan karena kedelai termasuk salah satu tanaman yang rentan terhadap serangan OPT. Pada usia 75 hari MST, kedelai petani beberapa orang petani yang berlokasi di satu hamparan terserang hama tikus. Tikus menyerang tanaman pada bagian polong buahnya. Serangan hama tikus jika dibiarkan akan menjadi sangat masif dan sulit dibasmi. Sebelumnya, saat kedelai berusia 5 minggu MST, kedelai terserang hama belalang dan ulat grayak. Hama belalang menyerang bagian daun dan batang, sedangkan hama ulat menyerang daun. Akibatnya, daun tampak berlubang dan akan menggangu proses fotosintesis. Gambar dalam Lampiran 1 menunjukkan tanaman kedelai yang berlubang dan lama kelamaan menjadi kuning dan kering akibat hama belalang dan ulat grayak.

7. Panen

Kedelai BJA di lahan pasang surut biasanya 10­15 hari lebih lambat dibandingkan budidaya kering. Kedelai dipanen apabila 80 persen polong telah berwarna coklat. Kedelai yang siap panen diperlihatkan pada Lampiran 1. Panen dilakukan dengan sabit, dikeringkan di bawah sinar matahari, dan dirontokkan dengan mesin perontok (thresher). Mesin perontok kedelai tersedia di desa tersebut dan digunakan dengan sistem sewa harian. Masa panen kedelai BJA di Desa Labuhan Ratu Enam bertepatan pada masuknya musim hujan. Bahkan pada beberapa lahan petani yang kontur lahannya tidak rata (miring), pada saat hujan permukaan air meluap sehingga mengakibatkan sebagian lahan terendam air. Oleh karena itu, untuk menghindari risiko kebusukan, petani tersebut memanen kedelai saat polong muda yang kemudian dijual sebagai camilan.

Produktivitas kedelai BJA kategori implementasi tinggi yang dipanen polong tua cukup baik, yaitu berkisar antara 3.12 ton/ha ­ 4.2 ton/ha. Sedangkan pada kategori implementasi tinggi panen polong muda sulit diamati produktivitasnya karena kedelai yang dihasilkan tidak menghasilkan bobot kering sehingga sulit dipadankan. Produktivitas kedelai BJA kategori implementasi rendah berkisar antara 1.2 ton/ha ­ 2.1 ton/ha.

Proses pascapanen kedelai BJA di Desa Labuhan Ratu Enam, terutama pada proses pengeringan, cukup terkendala karena bertepatan dengan musim hujan di daerah tersebut. Biasanya biji kedelai mengering dalam waktu 4­5 hari penjemuran di bawah sinar matahari. Namun karena sinar matahari kurang optimal saat musim penghujan, waktu pengeringan yang dibutuhkan menjadi 2 kali lipat dari biasanya. Selain itu, akibat penjemuran yang kurang optimal sebagian biji kedelai menjadi hitam dan keriput. Untuk menyiasatinya, beberapa petani melakukan sortasi untuk memisahkan kedelai menjadi kedelai mutu baik dan kedelai mutu rendah. Aktivitas sortasi kedelai ditunjukkan dalam gambar pada Lampiran 1. Kedelai mutu baik dijual kepada industri tahu tempe sebagai bahan baku pembuatan tahu tempe, sedangkan kedelai mutu rendah yang

44

kualitasnya kurang baik (hitam dan keriput) dijual untuk campuran bahan baku pakan ternak.

Penggunaan Sarana Produksi Budidaya Kedelai BJA

Sarana produksi yang digunakan dalam usahatani kedelai BJA diantaranya adalah lahan, benih, pupuk kimia, obat­obatan, tenaga kerja, dan peralatan usahatani. Penggunaan input secara terperinci dijelaskan dibawah ini.

1. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan untuk usahatani kedelai BJA cukup beragam dalam hal luasan maupun kepemilikan. Luasan lahan yang digunakan petani untuk usahatani kedelai BJA berkisar antara 0.25 ha – 2.5 ha. Dilihat dari skala usahatani, dapat dikatakan bahwa setengah dari petani kedelai BJA masih skala kecil karena penggunaan lahannya masih kurang dari 0.5 ha, dan setengah lainnya masuk ke skala menengah, karena penggunaan lahannya lebih dari 0.5 ha. Kepemilikan atau hak guna lahan tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu milik petani sendiri, sewa lahan dan sistem bagi hasil. Sebagian besar lahan tersebut merupakan milik petani sendiri, beberapa orang petani menyewa lahan, sedangkan sebagian kecil lainnya bagi hasil dengan persentase tertentu antara penggarap dan pemilik lahan. Seluruh lahan petani ditanami kedelai BJA secara monokultur

2. Penggunaan Benih

Penggunaan varietas benih yang disarankan adalah varientas lokal unggulan, baik kedelai biji kecil maupun kedelai biji besar. Beberapa contohnya, kedelai biji kecil yang disarankan adalah varietas Tanggamus, sedangkan varietas biji besar yang disarankan adalah Anjasmoro. Varietas yang digunakan oleh petani kedelai BJA di Desa Labuhan Ratu Enam adalah Tanggamus. Penggunaan benih tentunya dipengaruhi dengan isian benih yang digunakan, jarak tanam, dan metode menanam. Dalam paket teknologi kedelai BJA yang disarankan, penanaman dilakukan dengan mengisi setiap lubang tanam dengan 2 biji kedelai. Namun dalam praktiknya, petani mengisi setiap lubang tanam 3­4 biji, sehingga membutuhkan jumlah benih yang lebih banyak. Sebaliknya, dalam hal jarak tanam, petani memperlebar jarak tanam dari jarak yang disarankan. Petani dengan kategori implementasi rendah menanam dengan metode sebar benih. Hal tersebut mempengaruhi penggunaan benih oleh petani. Rata­rata petani kategori implementasi tinggi menggunakan 48.15 kg/ha sedangkan petani kategori implementasi rendah rata­rata penggunaan benih sebesar 33.33 kg/ha. Daya tumbuh benih kedelai sangat cepat menurun, karena itu disarankan untuk menggunakan benih yang diperoleh dari hasil panen 2­3 bulan sebelumnya. Petani menggunakan benih secara jabalsim dari hasil panen kedelai dari lokasi lain seharga Rp 12 000 per kg.

3. Penggunaan Pupuk Kimia

Pupuk kimia yang digunakan oleh petani dalam usatahani kedelai BJA diantaranya adalah pupuk Urea, KCl, dan SP­36. Diantara sepuluh orang petani yang melakukan budidaya kedelai jenuh air, tujuh diantaranya menggunakan ketiga jenis pupuk tersebut, sedangkan tiga lainnya hanya menggunakan pupuk

45 KCl dan SP­36.Ketiga pupuk tersebut didapatkan petani dari kios pupuk dengan harga relatif lebih terjangkau dibandingkan pupuk majemuk.

Rata­rata penggunaan pupuk dalam usahatani kedelai BJA yang dilakukan oleh petani di Desa Labuhan Ratu Enam diperlihatkan dalam Tabel 10. Penggunaan ketiga jenis pupuk tersebut oleh petani kedelai BJA implementasi tinggi sudah sesuai dengan anjuran dalam paket teknologi budidaya kedelai jenuh air. Penggunaan pupuk SP­36 dan KCL sebagai pupuk dalam pemupukan tahap awal pada petani kategori implementasi tinggi sebanyak 169.23 kg/ha dan 76.92 kg/ha, sedangkan pada petani implementasi BJA rendah sebanyak 253.33 kg/ha dan 100.00 kg/ha. Secara rata­rata penggunaan kedua jenis pupuk tersebut lebih tinggi pada petani kategori implementasi BJA rendah dibandingkan petani kategori implementasi tinggi. Hal tersebut diduga karena luasan lahan yang digunakan oleh petani kategori BJA rendah sangat kecil, yaitu dengan rata­rata 0.25 ha sehingga membuat pemborosan penggunaan input. Sebaliknya, penggunaan rata­rata per hektar pupuk SP­36 dan pupuk KCl pada pemupukan awal petani BJA kategori implementasi tinggi relatif lebih sedikit karena rata­rata luasan lahan yang digunakan petani cukup luas, yaitu 0.93 ha.

Sementara itu, pada tahap pemupukan lanjutan dengan penggunaan pupuk urea, petani BJA implementasi tinggi rata­rata per hektar menghabiskan 30.92 kg, sedangkan petani BJA implementasi rendah rata­rata per hektar menghabiskan 2.67 kg. Jumlah penggunaan pupuk urea yang sangat kecil tersebut dikarenakan petani kedelai BJA implementasi rendah tidak melakukan pemupukan lanjutan sesuai anjuran (hanya melakukan 1­2 kali pemupukan selama tanam), sementara petani kedelai BJA implementasi tinggi telah melakukan pemupukan lanjutan sesuai anjuran.

Tabel 10 Rata­rata kebutuhan fisik pupuk sebagai input produksi usahatani kedelai jenuh air di Desa Labuhan Ratu Enam musim tanam 2014 Komponen Produksi Satuan Tingkat Implementasi Paket Teknologi BJA Tinggi Rendah

Pupuk SP­36 kg/ha 169.23 253.33

Pupuk KCl kg/ha 76.92 100.00

Pupuk urea kg/ha 30.92 2.67

Sumber: Data Primer (2015)

4. Penggunaan Obat-obatan

Obat­obatan yang digunakan disesuaikan dengan serangan OPT yang muncul. Obat­obatan yang digunakan dalam budidaya kedelai BJA diantaranya adalah Curakcon, Metindo, Dusban, Reagent, dan Prepaton. Diantara merek tersebut, merek Curakcron dan Dusban adalah merek yang paling banyak digunakan. Serangan ulat grayak dan belalang muncul saat mulai muncul polong biji. Untuk memberantas OPT ulat grayak dan belalang, petani menggunakan jenis pestisida cair tersebut yang dicampurkan dengan air. Volume semprot biasanya mengikuti ukuran tangki hand sprayer yang dimiliki petani. Penggunaan pestisida cair dalam budidaya kedelai BJA pada kategori implementasi tinggi sebanyak 3.15 l/ha, sedangkan pada implementasi rendah mencapai 5.33 l/ha. Seperti halnya pada penggunaan pupuk kimia, besarnya volume penggunaan pestisida cair yang

46

lebih tinggi pada implementasi BJA rendah diduga karena luasan lahan yang sangat kecil, yaitu dengan rata­rata 0.25 ha sehingga luasan persil yang kecil tersebut membuat pemborosan penggunaan input.

5. Penggunaan Tenaga Kerja

Usahatani kedelai BJA di Desa Labuhan Ratu Enam masih berskala kecil, sehingga cenderung bersifat labor intensive yang ditandai dengan tenaga kerja manusia dalam seluruh rangkaian aktivitas usatahani kedelai BJA, mulai dari pengolahan lahan, pemanenan, pengeringan, hingga sortasi. Tenaga kerja yang digunakan berasal dari tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). TKDK antara lain bapak, ibu, dan anak, yang curahan tenaga kerjanya tidak diupah langsung dari hasil usahatani. Tenaga kerja luar keluarga adalah tenaga kerja yang dipekerjakan dan diupah atas curahan tenaga kerjanya. Standar lama waktu bekerja harian petani dalam 1 HOK adalah 8 jam. Buruh tani dan petani di Desa Labuhan Ratu Enam setiap hari umumnya bekerja selama 8 jam. Namun pada aktivitas­aktivitas tertentu, misalnya penyiangan atau pengairan, hanya bekerja selama 5 jam. Sistem pembayaran upah dilakukan secara tunai, dan tidak dibedakan jumlahnya antara tenaga kerja laki­laki atau perempuan. Jika bekerja selama 8 jam, petani akan diberi upah Rp 50 000 ­ Rp 60 000, sedangkan jika bekerja selama 5 jam akan diberi upah Rp 25 000. Sebagian besar buruh tani dalam usahatani kedelai BJA adalah perempuan, yang merupakan masyarakat sekitar Desa Labuhan Ratu Enam.

Berdasarkan beberapa perbedaan aktivitas kerja (mulai dari menanam hingga panen) pada kedua kategori implementasi (rendah dan tinggi), akan mengakibatkan curahan tenaga kerja pada kedua kategori tersebut berbeda. Selain itu, faktor waktu panen (saat polong muda atau polong tua) juga akan mempengaruhi curahan tenaga kerja yang dibutuhkan. Aktivitas yang tidak dilakukan oleh petani kedelai BJA kategori implementasi rendah dibandingkan petani kedelai BJA kategori implementasi tinggi adalah pengairan secara terus menerus. Aktivitas yang tidak dilakukan oleh petani yang panen polong muda dibandingkan petani panen polong tua (baik kategori implementasi rendah maupun tinggi) adalah pengeringan dan sortasi.

Penggunaan rata­rata tenaga kerja dalam usahatani kedelai BJA kategori implementasi tinggi yang panen polong tua adalah 196.38 HOK/ha (TKLK) dan 391.25 HOK/ha (TKDK). Penggunaan rata­rata tenaga kerja dalam usahatani kedelai BJA kategori implementasi tinggi yang panen polong muda adalah 170 HOK/ha (TKLK) dan 234.40 HOK/ha (TKDK). Penggunaan rata­rata tenaga kerja dalam usahatani kedelai BJA kategori implementasi rendah yang panen polong tua adalah 199.26 HOK/ha (TKLK) dan 314 HOK/ha (TKDK). Secara keseluruhan, curahan tenaga kerja terbesar adalah pada usahatani kedelai BJA kategori implementasi tinggi yang panen polong tua, yaitu dengan total tenaga kerja 587.63 HOK/ha. Besarnya angka tersebut juga karena panen yang masuk dalam musim hujan sehingga membutuhkan tenaga dan waktu yang lebih pada pengeringan, bahkan aktivitas sortasi yang tidak dibutuhkan saat panen pada musim panas harus dilakukan untuk meningkatkan nilai jual hasil panen. Proporsi TKDK lebih besar daripada TKLK pada semua kategori. Hal tersebut menunjukkan bahwa partisipasi petani dan anggota keluarga petani dalam melakukan kegiatan usahatani masih sangat besar.

47

6. Penggunaan Peralatan Usahatani

Beberapa peralatan yang dibutuhkan dalam usahatani kedelai BJA adalah cangkul, hand sprayer, sabit, dan pompa air. Cangkul digunakan petani untuk mengolah tanah, membuat saluran air, dan untuk pembumbunan. Sabit digunakan petani untuk menyiangi rumput, gulma, dan digunakan untuk menebas tanaman yang akan dipanen. Hand sprayer digunakan untuk melakukan penyemprotan pupuk maupun pestisida. Hampir semua petani memiliki ketiga peralatan tersebut. Rata­rata jumlah kepemilikan tiga peralatan utama tersebut oleh petani adalah 2 cangkul, 2 sabit, dan 1 hand sprayer. Sebagian besar petani memiliki hand sprayer dengan kapasitas 14 liter. Peralatan lain yang digunakan oleh beberapa petani kedelai BJA adalah pompa air. Walaupun pada lahan pasang surut ketersediaan air relatif tinggi, pompa air digunakan oleh sebagian petani yang permukaan lahannya lebih tinggi untuk mengkondisikan jenuh air pada lahan. Petani menyewa pompa setiap kali akan mengisi air. Oleh karena itu, biaya penyusutan pada kondisi ekstrim memperhitungkan komponen pompa air. Secara terperinci, besarnya penyusutan peralatan disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11 Nilai penyusutan peralatan usahatani kedelai jenuh air di Desa Labuhan Ratu Enam pada musim tanam tahun 2014

Jenis

Peralatan Jml Satuan (Rp)Harga Per Total Biaya (Rp)

Umur Teknis (Tahun) Penyusutan per Tahun (Rp/th) Penyusutan per Periode Tanam (Rp/periode) Cangkul 2 41 633.33 69 388.89 3 23129.63 7709.88 Sabit 2 24 250.00 37 722.22 3 12574.07 4191.36 Hand Sprayer 1 395 727.27 483 666.67 5 96733.33 32244.44 Pompa Air 1 2 850 000.00 2 850 000.00 8 356250.00 118750.00 Total Penyusutan 488687.04 162895.68

Sumber: Data Primer (2015)

Petani membeli cangkul dengan harga rata­rata sebesar Rp 41 633.33 per unit, rata­rata harga sabit adalah Rp 24 250.00 per unit, rata­rata harga hand sprayer adalah Rp 395 727.27 per unit, sedangkan rata­rata harga pompa adalah Rp 2 850 000.00. Umur teknis cangkul rata­rata adalah 3 tahun, sabit 3 tahun, dan hand sprayer dapat bertahan selama 5 tahun. Umur teknis pompa adalah 8 tahun. Rata­rata penyusutan peralatan usahatani yang digunakan per tahunnya adalah Rp 488 687.04. Jika diasumsikan dalam satu tahun petani 3 kali menanam, maka penyusutan per periode tanam adalah Rp 162 895.68.

Proses Pengambilan Keputusan adopsi inovasiBudidaya Kedelai Jenuh Air di Desa Labuhan Ratu Enam

Jaringan Komunikasi dalam Difusi Inovasi Kedelai BJA

Komunikasi dalam proses difusi adalah upaya mempertukarkan ide baru (inovasi) oleh seseorang atau unit tertentu yang telah mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam menggunakan inovasi tersebut (innovator) kepada

48

seseorang atau unit lain yang belum memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai inovasi itu (potential adopter) melalui saluran komunikasi tertentu. Saluran komunikasi tersebut dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: 1) saluran media massa (mass media channel); dan 2) saluran antarpribadi (interpersonal channel). Media massa dapat berupa radio, televisi, surat kabar, dan lain­lain. Kelebihan media massa adalah dapat menjangkau audiens yang banyak dengan cepat dari satu sumber. Sedangkan saluran antarpribadi melibatkan upaya pertukaran informasi tatap muka antara dua atau lebih individu (Rogers 1983).

Sebagai salah satu area pilot project program difusi inovasi budidaya kedelai jenuh air, berbagai kegiatan telah dilakukan untuk menyebarkan informasi dan memberikan pengenalan kepada petani di Desa Labuhan Ratu Enam tentang urgensi, kinerja teknologi BJA, unsur­unsur dalam paket teknologi BJA, dan praktik lapang budidaya jenuh air secara langsung.

Saluran komunikasi yang digunakan adalah komunikasi antarpribadi. Pada tahap awal pengenalan, inventor langsung turun ke lapang untuk memberikan penjelasan dan pengetahuan mengenai inovasi budidaya kedelai jenuh air melalui diskusi klasikal, sekaligus praktik lapang tentang budidaya kedelai jenuh air di lahan petani. Pada tahap selanjutnya, tim peneliti mengutus satu orang pendamping lapang untuk menjadi agen pembaharu (change agent) yang bertugas untuk: (1) mendiagnosis masalah dan merencanakan tindakan perubahan, (2) mengadakan hubungan dengan masyarakat untuk perubahan, (3) membangkitkan kebutuhan dan motivasi berubah pada diri adopter, (4) memelihara program pembaharuan dan mencegahnya dari kemacetan.

Dari proses komunikasi yang dilakukan, sebagian besar responden (68 persen) di Desa Labuhan Ratu Enam mendapatkan informasi dan pengenalan tentang budidaya kedelai jenuh air dari tim peneliti IPB, sedangkan sebanyak 24 persen mendapatkan informasi pengenalan budidaya kedelai jenuh air dari ketua kelompok tani atau anggota kelompok tani (sebagai opinion leader), dan 8 persen lainnya melalui PPL. Berdasarkan pengamatan peneliti, terdapat dua orang yang menjadi opinion leader. Opinion leader tersebut memberi pengaruh terhadap perilaku anggota dalam kelompok taninya. Dalam proses difusi inovasi ini, 1 orang opinion leader mengajak 2 orang rekannya, sedangkan 1 orang opinion

Dokumen terkait