• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. KERANGKA PEMIKIRAN

2.3 Kerangka pemikiran teoritis

Perdagangan antar negara atau perdagangan internasional sudah ada sejak dahulu namun dalam jumlah dan ruang lingkup yang terbatas, dimana pemenuhan kebutuhan yang tidak dapat diproduksi dalam negeri masing-masing negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut dipenuhi dengan cara barter. Pada awalnya perdagangan internasional merupakan pertukaran atau perdagangan tenaga kerja dengan barang dan jasa lainnya, yang selanjutnya diikuti perdagangan barang dan jasa sekarang dengan kompensasi barang dan jasa di kemudian hari. Akhirnya berkembang hingga pertukaran antarnegara dengan aset-aset yang mengandung risiko, seperti saham, valuta asing yang saling menguntungkan kedua belah pihak bahkan semua negara yang terkait didalamnya. Hal tersebut memungkinkan setiap negara melakukan diversivikasi atau penganekaragaman kegiatan perdagangan yang dapat meningkatkan pendapatan mereka melalui perluasan komoditi ekspor dan memperbesar penerimaan devisa.

Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya taraf kehidupan yang bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi menyebabkan peningkatan kebutuhan masyarakat. Maka perdagangan internasional menjadi

suatu hal yang penting. Pada saat ini tidak ada satu negara pun yang berada dalam kondisi autarki, yaitu negara yang terisolasi, tanpa mempunyai hubungan ekonomi.

Terdapat beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan internasional diantaranya dikarenakan perbedaan permintaan dan penawaran antar negara juga turut menyebabkan terjadinya perdagangan internasional. Perbedaan ini terjadi karena : (a) tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan komoditi yang diperdagangkan, karena faktor-faktor alam negara tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis dan kandungan buminya dan (b) perbedaan pada kemampuan suatu negara dalam menyerap komoditi tertentu pada tingkat yang lebih efisien.

Menurut teori Heckscher – Ohlin terdapat perbedaan opportunity cost suatu produk antar satu negara dengan negara lain yang disebabkan karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi yang dimiliki masing-masing negara. Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak dan murah dalam produksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barangnya. Keadaan sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu apabila negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka dan mahal dalam produksinya (Hady dalam Octrianto, 2006).

Perdagangan internasional antar dua negara yang terjadi akibat dari perbedaan permintaan dan penawaran dapat dilihat pada Gambar 2. 1 yang mengambarkan perdagangan antara Negara P dan Negara Q. DP dan SP adalah

kurva penawaran untuk Negara P dan DQ dan SQ adalah kurva penawaran untuk Negara Q.

Pada kondisi dimana kedua negara tidak dalam perdagangan, produksi dan konsumsi Negara P untuk suatu komoditi (misalnya tekstil) berada pada keseimbangan di titik A, berdasarkan harga relatif sebesar P1. Pada Negara Q produksi dan konsumsinya terjadi pada titik keseimbangan A

dengan tingkat harga P3. Kondisi ini dengan asumsi bahwa harga domestik di Negara P lebih rendah dibandingkan dengan harga di Negara Q (P1<P3).

Panel A Panel B Panel C

Negara P Negara Q

Px/Py Px/Py Px/Py SQ A’’ P3 P3 Ekspor S A’ Sp E* B’ E’ P2 B E B* P1 D Impor A A* DQ Dp 0 X 0 X 0 X Gambar 2.1 Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional Sumber : Salvatore (1997)

Apabila kondisi harga di atas P1, maka Negara P akan memasok atau memproduksi komoditi tekstil lebih banyak daripada tingkat permintaan (konsumsi) domestik sehingga akan menyebabkan kelebihan penawaran (excess supply) di negara P. Kelebihan produksi itu selanjutnya akan diekspor ke Negara Q. Di lain pihak jika harga yang berlaku lebih kecil dari P3, maka Negara Q akan mengalami peningkatan permintaan (karena konsumen akan meminta lebih banyak pada tingkat harga yang relatif murah), sehingga tingkat permintaannya

lebih tinggi daripada produksi domestiknya. Hal ini akan mendorong Negara Q untuk mengimpor kekurangan kebutuhannya atas komoditi tekstil tersebut dari Negara yang mengalami kelebihan produksi komoditi tekstil yaitu Negara P.

Berdasarkan harga relatif P1, kuantitas komoditi tekstil yang ditawarkan akan sama dengan kuantitas yang diminta. Pada saat berlangsungnya perdagangan internasional antara Negara P dan Q tingkat harga berada di titik P2 dan mengambil asumsi bahwa tidak ada biaya transportasi dalam proses perdagangan tersebut, maka Negara P akan mengekspor hasil kelebihan produksinya yang ditunjukkan oleh garis BE. Sementara itu karena tingkat harga yang berlaku di pasar internasional lebih rendah dibandingkan dengan tingkat harga domestik Negara Q, maka Negara Q akan mengimpor kekurangan produksinya sebesar garis B’E’. Hubungan penawaran dan permintaan kedua negara tersebut pada tingkat harga P2 akan menyebabkan terjadinya keseimbangan internasional di titik E* (Panel B). Kurva S dan D pada panel B menunjukkan tinkat penawaran dan permintaan yang terjadi dalam perdagangan internasional. Pada tingkat keseimbangan, kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh Negara P sama dengan yang diminta oleh Negara Q (BE = B’E’).

2.3.2 Teori Penawaran Ekspor

Penawaran suatu komoditi merupakan jumlah komoditi yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi adalah harga komoditi yang bersangkutan, harga faktor produksi, tingkat teknologi, pajak dan subsidi (Lipsey et al., 1995).

Ekspor suatu komoditi selain untuk memenuhi permintaan dalam negeri, penawaran suatu komoditas juga dimaksudkan untuk memenuhi permintaan masyarakat luar negeri. Penawaran ekspor suatu komoditi dari suatu negara merupakan selisih antara penawaran domestik dengan permintaan domestik. Di lain pihak, negara lain membutuhkan komoditi tersebut sebagai akibat dari kelebihan permintaan di negara tersebut. Berdasarkan uraian tersebut maka teori penawaran ekspor bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor suatu negara.

Secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut :

SXt = Qt – Ct + St-1 ... (2.1) Dimana : SXt = Jumlah ekspor komoditi periode waktu t

Qt = Jumlah produksi domestik periode waktu t Ct = Jumlah konsumsi domestik periode waktu t St-1 = Stok periode waktu sebelumnya (t-1)

Dari persamaan 2.1 dapat terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor pada dasarnya terdiri dari faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, konsumsi dan stok.

2.3.3 Teori permintaan Ekspor

Permintaan ekspor suatu komoditi merupakan hubungan yang menyeluruh antara kuantitas komoditi yang akan dibeli konsumen selama periode tertentu pada suatu tingkat harga. Permintaan pasar suatu komoditi merupakan penjumlahan secara horizontal dari permintaan-permintaan individu suatu komoditi (Lipsey et al., 1995).

Dilihat dari segi permintaan, kegiatan ekspor diasumsikan sebagai fungsi permintaan pasar internasional terhadap suatu komoditi yang dihasilkan oleh suatu negara. Permintan ekspor adalah permintaan pasar internasional/negara tertentu terhadap suatu komoditi. Teori permintaan ekspor bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor suatu negara.

Sebagai sebuah permintaan, ekspor suatu negara dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya harga domestik negara tujuan ekspor (HDIt), harga impor negara tujuan (HIt), pendapatan perkapita penduduk negara tujuan ekspor (YPIt) dan selera masyarakat negara tujuan (CPIt). Secara keseluruhan fungsi permintaan ekspor suatu komoditi dapat dirumuskan sebagai berikut :

PXt = f (HDIt , HIt , YPIt , CPIt) ... (2.2)

2.3.4 Teori Keunggulan Kompetitif Negara

Konsep ini dikembangkan oleh Michael E. Porter dalam bukunya yang berjudul Competitif Advantage of Nations. Menurut Porter, terdapat empat atribut yang dapat membentuk lingkaran dimana perusahaan-perusahaan lokal berkompetisi sedemikian rupa sehingga mendorong terciptanya keunggulan kompetitif. Keempat atrIbut tersebut yaitu, kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung serta strategi perusahaan, struktur dan persaingan. Keempat atribut tersebut saling berhubungan sehingga Porter menggambarkannya dalam sebuah diamond, atau lebih dikenal dengan Porter’s Diamond. Proses penentuan daya saing (secara kompetitif) nasional dalam pembangunan ekonomi di suatu negara yang digambarkan dalam Porter’s Diamond seperti pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Porter’s Diamond Sumber : Porter (1995)

1. Kondisi faktor, yaitu posisi negara dalam faktor poduksi, seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur, perlu untuk bersaing dalam suatu industri tertentu. Titik awal pada negara berkembang yaitu memiliki ketergantungan yang tinggi pada ketersediaan upah rendah dan tenaga kerja tidak terampil, kemudian kurangnya kapital. Hampir semua teknologi dipasok dan dikendalikan secara eksternal, serta belum berkembangnya infrastruktur, pasar modal, dan sistem pendidikan membuat produktivitas negra menjadi rendah. Dengan adanya persaingan faktor produksi dalam suatu industri maka negara berkembang dapat membangun ekonomi yang sukses.

2. Kondisi Permintaan, yaitu sifat dari permintaan pasar asal untuk barang dan jasa industri. Titik awal pada negara berkembang dapat terlihat dari produk yang terdiferensiasi adalah menjadi andalan ekspor utama, demand Kondisi faktor

Strategi perusahaan, Strukrur, dan

Persaingan

Industri Terkait dan Industri pendukung

Kondisi permintaan

lokal yang tidak canggih (informasi terbatas, seleksi yang terbatas, fokus terhadap harga), rancangan produk dan jasa bersifat imitasi atau lisensi dari luar, rendahnya standar produk, terjadi permintaan lokal yang tinggi. 3. Industri terkait dan industri pendukung. Keberadaan atau ketiadaan

industri pemasok dan industri terkait lainnya di negara tersebut yang secara internasional bersifat kompetitif. Titik awal pada negara berkembang dapat dilihat dari industrinya yang berorientasi pada ekspor yang terisolasi, industri pendukung langka dan tidak kompetitif, mesin-mesin canggih dan peralatan yang modern didapat dari impor.

4. Strategi Perusahaan, struktur, dan persaingan. Kondisi dalam negara yang mengatur bagaimana perusahaan diciptakan, diatur, dan dikelola, sebagaimana juga sifat dari persaingan domestik.

2.3.5 Teori Revalead Comparatif Advantage (RCA)

Revalead Comparatif Advantage (RCA) atau keunggulan komparatif yang

terungkap, merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif di suatu wilayah (negara, propinsi dan lain-lain) yang cukup sering digunakan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Ballasa pada tahun 1965, yang menganggap bahwa keunggulan komparatif suatu negara direfleksikan atau terungkap dalam ekspornya (Syahresmita dalam Pramudito, 2004).

Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap

total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia.

Rumus RCA adalah sebagai berikut : Xij / Xit

RCA = ... (2.3) Wj / Wt

dimana : Xij = Nilai ekspor komoditi i dari negara j Xit = Nilai total ekspor (komoditi i dan lainnya) negara j

Wj = Nilai ekspor dunia komoditi i Wt = Nilai total ekspor dunia

Penelitian ini mengukur daya saing TPT Indonesia dan Cina di pasar Amerika Serikat. Variabel yang digunakan adalah kinerja ekspor TPT Indonesia ke Amerika Serikat terhadap total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat yang selanjutnya dibandingkan dengan pangsa nilai ekspor TPT dunia terhadap total nilai ekspor dunia. Dalam penelitian ini rumusnya menjadi:

Xij / Xj

RCA = ... (2.4) Wic / Wc

dimana : Xij = Nilai ekspor komoditi tekstil dari Indonesia ke Amerika

...Serikat

Xj = Nilai total ekspor negara Indonesia ke Amerika Serikat Xic = Nilai ekspor komoditi tekstil dunia ke Amerika Serikat Xc = Nilai total ekspor dunia ke Amerika Serikat

Setiap metode tentunya ada keunggulan dan kelemahannya, sama halnya dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA). Keunggulan metode ini

adalah mengurangi dampak pengaruh campur tangan pemerintah sehingga kita dapat melihat keunggulan komparatif yang jelas suatu produk dari waktu ke waktu. Sedangkan kelemahannya yaitu :

1. Asumsi bahwa suatu negara dianggap mengekspor semua komoditi.

2. Indeks RCA tidak dapat menjelaskan apakah pola perdagangan yang sedang berlangsung tersebut sudah optimal.

3. Tidak dapat mendeteksi dan memprediksi produk - produk yang berpotensi di masa yang akan datang.

4. Keunggulan komparatif tercermin dari hasil perhitungan ini bisa jadi bukan merupakan keunggulan komparatif yang sesungguhnya, namun bisa saja akibat adanya kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan perdagangan, seperti nilai tukar yang dibuat under value, proteksi ekspor dan sebagainya.

2.3.6 Teori Constant Market Share (CMS)

Pendekatan Constant Market Share (CMS) digunakan untuk mengukur dinamika tingkat daya saing suatu industri dari suatu negara. Penggunaan pendekatan ini didasarkan pada pemahaman bahwa laju pertumbuhan ekspor suatu negara bisa lebih kecil, sama, atau lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekspor rata-rata dunia.

Jadi dalam analisis CMS, lambat atau tingginya laju pertumbuhan ekspor suatu negara dibandingkan laju pertumbuhan standar (rata-rata dunia) diuraikan menjadi tiga faktor, yakni komposisi komoditi ekspor, pertumbuhan impor dan daya saing. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

Efek Pertumbuhan impor :

mX

ijk1

...

(2.5)

Dimana m = Persentase peningkatan impor umum di negara k

Xijk1 = Ekspor komoditi i dari negara j ke negara k tahun ke-(t-1) Efek Komposisi komoditi ekspor :

{(m

i

- m)X

ijk1

} ...

(2.6) Dimana m = Persentase peningkatan impor umum di ngara j

mi = Persentase peningkatan impor komoditi i di negara k Xijk1 = Ekspor komoditi i dari negara j ke negara k tahun ke-(t-1) Efek Daya saing :

{X

ij2

– X

ij1

– m

i

X

ijk1

} ...

(2.7)

Dimana mi = Persentase peningkatan impor komoditi i di negara j Xijk1 = Ekspor komoditi i dari negara j ke negara k tahun ke-(t-1) Xijk2 = Ekspor komoditi i dari negara j ke negara k tahun ke-(t)

2.3.7 Teori Vector Error Correction Model (VECM)

Vector Error Correction model (VECM) adalah restricted Vector Autoregrerssion (VAR) yang terkointegrasi. VECM didesain untuk data time series non stasioner yang berkointegrasi dengan faktornya yang dikenal sebagai error correction term, mengingat bahwa keseimbangan jangka panjang diperbaiki secara perlahan melalui beberapa tahap jangka pendek (www.eviews.com). Studi yang sering dilakukan oleh Maysami dan Sim Koh dalam Octrianto (2006), VECM dapat digunakan sebagai model equilibrium jangka pendek dan jangka

panjang untuk menganalisis hubungan dinamis antar variabel-variabel independen (variabel bebas) dengan variabel dependen (varabel tak bebas).

Sebagai contoh, jika terdapat sistem dengan dua variabel yang memiliki satu persamaan kointegrasi dan tidak memiliki faktor lag difference, maka persamaan kointegrasinya :

y

2,t = β

y

1,t ... (2.8) maka VECM adalah sebagai berikut :

Δ

y

1,t =

γ

1

(y

2,t-1- β

y

1,t-1

)

+

ε

1

,

t ... (2.9) Δ

y

2,t =

γ

2

(y

2,t-1- β

y

1,t-1

)

+

ε

2

,

t ... (2.10) Pada model yang sederhana tersebut, variabel yang terletak di sisi kanan adalah error corection term. Pada keseimbangan jangka panjang, faktor ini akan bernilai nol. Namun jika y1 dan y2 mengalami deviasi dari keseimbangan jangka panjang pada periode sebelumnya, maka error corection term tidak akan bernilai nol dan setiap variabel akan menyesuaikan sehingga terdapat keseimbangan. Koefisien

γ

1 dan

γ

2 mengukur kecepatan penyesuaian.

2.3.8 Teori Kointegrasi

Pada umumnya analisis time series yang digunakan adalah analisis regresi, dimana variabel-variabel yang tidak stationer tidak dimasukkan dalam model analisis. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi spurios regresssion yang akan menimbulkan R² tinggi dan DW rendah yang berati terdapat korelasi serial pada galat, sehingga asumsi antar galat saling bebas tidak terpenuhi dan bahkan

mungkin model yang dihasilkan tidak mempunyai arti berdasarkan teori ekonomi. (Granger dan Newbol dalam Nurmakiahepi, 2005).

Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang (long-term relationship) antara variabel-variabel yang tidak stationer. Kointegrasi berarti walaupun secara individual tidak stationer, kombinasi linear antara variabel tersebut dapat menjadi stationer. Konsep kointegrasi diperkenalkan oleh Engle-Granger dalam Octrianto, 2006. Analisis formulanya dimulai dengan mendasarkan pada himpunan peubah (variabel) ekonomi yang berada pada keseimbangan jangka panjang.

Ada empat hal penting yang harus diperhatikan mengenai kointegrasi, yaitu :

1. Kointegrasi adalah kombinasi linear dari variabel-variabel yang tidak stasioner. Secara teoritis, sangat tidak mungkin terdapat hubungan jangka panjang yang non linear di antara variabel-variabel yang terintegrasi. 2. Dari definisi Engle-Granger, kointegrasi merujuk pada variabel yang

terintegrasi pada ordo yang sama. Umumnya variabel-variabel I(d) tidak berkointegrasi. Ketidakhadiran kointegrasi mengindikasikan bahwa tidak terdapat keseimbangan jangka panjang antar variabel.

3. Jika Xt ada sebanyak n komponen yang tidak stasioner, maka terdapat paling banyak n-1 vektor kointegrasi tak bebas yang linear.

4. Umumnya literatur-literatur mengenai kointegrasi hanya memfokuskan pada kasus-kasus dimana setiap variabel hanya memiliki satu unit root. Hal ini dikarenakan pada umumnya analisis regresi atau time series hanya

diaplikasikan ketika variabel-variabel adalah I(0). Di lain pihak, hanya ada beberapa variabel ekonomi yang terintegrasi. Umumnya kointegrasi merujuk pada kasus dimana variabel-variabelnya adalah CI (1,1).

Ada beberapa cara untuk melakukan uji kointegrasi, diantaranya adalah Eangle-Granger Cointegration Test, Johansen Cointegration Test dan Cointegrating Regresion Durbin-Watson (CRDW) Test.

Menurut Enders (2004), metodologi Engle-Granger memiliki beberapa kelemahan, yaitu :

1. Tidak memiliki prosedur sistematis untuk mengestimasi vektor kointegrasi berganda (multiple cointegration) secara terpisah.

2. Prosedur estimasi Engle-Granger terdiri atas dua tahap yang saling berkaitan. Tahap pertama adalah menghasilkan residual (

ε^

t

)

. Tahap

kedua adalah mengestimasi regresi dalam bentuk Δ

ε^

t

=

a 1

ε^

t-1. Akibatnya, koefisien a 1 diperoleh dengan cara mengestimasi regresi dengan menggunakan residual dari regresi lainnya. Hal ini mengakibatkan error yang dihasilkan pada tahap pertama dilanjutkan pada tahap kedua.