• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini menggunakan kerangka teori dan kerangka konsep dengan tujuan agar penelitian ini mempunyai dasar yang kokoh. Kerangka teori mempunyai peranan penting dalam hal melakukan penelitian kualitatif. Pengetahuan dasar yang kokoh dimaksud yaitu terkait dengan disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana narkotika.

Adapun variabel permasalahan yang akan dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini, antara lain: pengaturan pemidanaan oleh hakim terhadap tindak pidana narkotika;

analisis pertimbangan hukum majelis hakim dalam menjatuhkan putusan dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap dan Putusan No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap; dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas hakim dalam putusan tersebut. Untuk menjawab isu hukum tersebut, maka penelitian ini menggunakan beberapa teori hukum, yaitu: teori kepastian hukum; teori disparitas pemidanaan; dan teori penegakan hukum.

a. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum yang digunakan adalah adalah teori yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch. Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang berisi keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh berfungsi sebagi peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch, bahwa:

“Keadilan dan kepastian hukum merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dan ketertiban

suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan”.11

Menurut Gustav Radbruch memberi pendapat yang cukup mendasar mengenai kepastian hukum, ada 4 (empat) hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti yaitu dengan adanya keterangan. Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah berubah.12

Pemikiran hukum erat kaitannya dengan moral merupakan cara berpikir dalam aliran hukum alam. Dalam aliran hukum positif, hukum dan moral sama sekali tidak ada kaitannya.13 Hal ini dapat diamati dengan ciri-ciri pengertian positivisme hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh H.L.A Hart (1975: 287) antara lain:

1) “Hukum adalah perintah dari manusia (command of human being).

2) Tidak ada hubungan mutlak antara “Hukum/ law” dan “Moral”

sebagaimana yang berlaku/ ada dan hukum yang seharusnya.

3) Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum, pertama; mempunyai arti penting, kedua; harus dibedakan dari penyelidikan seperti 1) Historis mengenai sebab musabab dan sumber-sumber hukum; 2) Sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya; 3) Penyelidikan

11 Gustav Radbruch dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2002), hlm. 95.

12 A.W. Sanjaya, “Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia”, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember, 2015, hlm. 169-170.

13 Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, mengatakan bahwa filsafat positivisme hukum perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das ollen und sain). Lihat: Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 113.

hukum secara kritis atau penilaian, baik yang didasarkan moral, tujuan sosial, dan fungsi hukum.

4) Sistem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral.

5) Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan”.14 Demikian halnya John Austin, dengan konsepsinya dalam usaha mempositifkan moral sebagai hukum positif, hukum yang dibuat oleh manusia mengandung di dalamnya; suatu perintah, sanksi kewajiban, dan kedaulatan. Ketentuan yang tidak memenuhi ketiga unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai Positive Law, tetapi dapat disebut Positive Morality.15

Unsur perintah yang dimaksudkan Austin ini. Pertama; satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya. Kedua; pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah tersebut tidak dijalankan atau ditaati. Ketiga;

perintah itu adalah pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah. Keempat; hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat, siapa yang

14 Pendapat H.L.A. Hart dikutip oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 97-99.

15 Menurut John Austin, “Command are laws if two conditions are satisfied: firsts, they must be general; second, they must be commended by what exists in very political society, whatever its constitutional form, namely, a or a group of person who are in receipt of habitual obedience from most of the society…”. Dikutip dari David Dyzenhaus, Sophia Reibentanz Moreau dan Arthur Ripstein (Ed.), Law and Morality: Readings in Legal Philosophy, 3rd Edition, (Toronto: University of Toronto Press, 2007), hlm. 30-31.

berdaulat ini? yang berdaulat adalah “a souverign person atau soverign body persons”.16

Tokoh positivisme hukum selanjutnya adalah Hans Kelsen. Ada yang memasukan dalam aliran tersendiri sebagai “Aliran Hukum Murni”, pendapat tersebut tidak salah, karena memang Kelsen terkenal dengan “Pure of Law-nya” tetapi dari segi substansi pemikiran, Kelsen termasuk dalam aliran hukum positif. Esensi ajaran Kelsen dapat diidentifikasi sebagaimana yang ditulis oleh Friedman (1953: 113) antara lain:

1) “The aim of theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiplicify to unity.

2) Legal theory is science, not volition. It is knowledge of what the law is, not of the law not to be.

3) The law is normative not a natural science

4) Legal theory as a theory of norms is not concerned with the effectiveness of legal norm

5) A theory of law is formal, a theory of the way of ordering changing content in a specific way.

6) The relation of legal theory to a particular system of positive law is that or possible to actual law”.17

Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen perlu diperhatikan, yaitu:

1) “Ajaran tentang Hukum yang Bersifat Murni dan kedua yang berasal dari muridnya Adolf Merkl adalah Stufenbau des Recht yang mengutamakan tentang adanya hirearkis dari pada perundang-undangan. Dalam ajaran hukum murni Kelsen mengemukakan “bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, dan politis”

konsepsi hukum kelsen tersebut menunjukan bahwa ia ingin memisahkan hukum dengan “Etika” dan “Moral” sebagaimana yang diagung-agungkan oleg pemikir hukum alam seperti Cicero.

2) Ajaran Stufenbau des Recht dari Kelsen menghendaki suatu sistem hukum mesti tersusun secara hirearkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum

16 Lili Rasjid, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 42-44.

17 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, Cet. Ke-3, (Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2007).

tersebut bersumber pada ketentuan hukum yang lainnya lebih tinggi. Dalam Stufenbau des Recht norma tertinggi disebut “Ground Norm”. Norma tertinggi tersebut bersifat abstrak dan makin ke bawah semakin konkret”.18 Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan tersebut ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkret.

Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, sehingga pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, meskipun dunia ini runtuh namun hukum harus ditegakkan.

Inilah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan

dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.

Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.19

18 Ibid.

19 Dominikus Rato, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, (Surabaya:

Laksbang Justitia, 2010), hlm. 59.

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan tersebut menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.20

b. Teori Disparitas Pemidanaan

Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam alasan terjadi disparitas putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah teori disparitas pemidanaan yang dikemukakan Harkristuti Harkrisnowo.

Sebagaimana telah disebutkan dalam latar belakang bahwa dalam putusan perkara pidana dikenal adanya suatu kesenjangan dalam penjatuhan pidana yang lebih dikenal dengan disparitas. Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori, yaitu:

1) “Disparitas antara tindak pidana yang sama;

2) “Disparitas antara tindak pidana yang mempunyain tingkat keseriusan yang sama;

20 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 158.

3) Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim;

4) Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama”.21

Dalam penelitian ini, khusus membahas disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan, terdiri dari:

1) “Faktor intern;

2) Faktor pada undang-undang itu sendiri;

3) Faktor penafsiran;

4) Faktor politik; dan 5) Faktor sosial”.22

Disparitas putusan dalam hal penjatuhan pidana diperbolehkan menurut Pasal 12 huruf (a) KUHP yang menyatakan pidana penjara serendah-rendahnya 1 (satu) hari dan selama-lamanya seumur hidup. Disparitas pidana dapat diartikan sebagai penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifatnya berbahaya dapat diperbandingkan (offence of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.23

Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Sudarto mengatakan bahwa pedoman pemberian pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan

21 Harkristuti Harkrisnowo, Op.cit.

22 Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Datacom, 2002).

23 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005).

perbuatan yang didakwakan kepadanya. Pedoman pemberian pidana itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal-hal-hal-hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan memperhatikan hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Pendapat Sudarto ini dibenarkan pula oleh Muladi, karena masalahnya bukan menghilangkan disparitas secara mutlak, tetapi disparitas tersebut harus rasional.24

Dengan demikian, untuk mengkaji dan menganalisis disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda terhadap tindak pidana sama dianalisis berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi hakim tersebut.

c. Teori Penegakan Hukum

Menurut Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa:

“Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan bahwa penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. Keberhasilan penegakan hukum akan dipengaruhi oleh faktor-faktor, berikut diantaranya:

1) Faktor hukum itu sendiri;

2) Faktor penegak hukum;

3) Faktor sarana pendukung;

4) Faktor masyarakat;

5) Faktor kebudayaan”.25

Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan aspek-aspek tersebut secara stimulan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat karena merupakan

24 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 1981).

25 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 7.

esensi dari penegakan hukum sehingga proses penegakan hukum dan keadilan secara internal dapat diwujudkan secara nyata. Kelima faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut akan digunakan untuk mengkaji dan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Rantau Prapat.