• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU

A. Pidana dan Pemidanaan

3. Tujuan Pemidanaan

Sebagaimana telah diuraikan dalam sub-bab sebelumnya bahwa sistem pemidanaan pada hakikatnya adalah rangkaian kebijakan proses operasionalisasi/

fungsionalisasi/konkretisasi pidana, dengan melibatkan beberapa kewenangan yang saling terkait satu sama lainnya. Sehubungan dengan hal itu dikatakan oleh Muladi,

“dalam istilah sistem yang dikaitkan dengan sistem pemidanaan seharusnya sudah terkandung tujuan-tujuan yang jelas dari sistem, di samping karakteristik yang lain seperti keterpaduan/sinkronisasi (integration and coordination)”.74 Yang dimaksud tujuan dalam hal ini, adalah “keadaan yang secara tegas dinyatakan dan dirumuskan secara resmi sebagai tujuan pemidanaan yang kemudian diperjuangkan untuk dicapai melalui operasionalisasi/fungsionalisasi pidana”.75

Masalah tujuan pemidanaan ini merupakan bagian yang sangat mendasar dalam kehidupan hukum pidana di Indonesia bahkan di seluruh negara. Hal ini disebabkan perkembangan peradaban suatu bangsa antara lain juga ditentukan oleh sejauh manakah perlakuan bangsa yanag bersangkutan terhadap terpidananya. Dengan kata lain tujuan pemidanaan merupakan pencerminan dari falsafah suatu bangsa.76 Lebih lanjut dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, perumusan tujuan operasional ini dimaksud untuk dapat mengetahui atau mengukur sejauh mana sarana yang berupa

74 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op.cit., hlm. 2.

75 Menurut Roeslan Saleh, tujuan pada hakekatnya adalah keadaan yang diperjuangkan untuk dapat dicapai. Baik itu dirumuskan terlebih dahulu secara resmi, tetapi dapat pula langsung diperjuangkan secara tidak resmi dan tanpa dinyatakan secara tegas. Lihat: Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Op.cit., hlm. 27.

76 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 90.

pidana atau tindakan yang telah ditetapkan dapat secara efektif mencapai tujuan. Di samping itu, hal ini juga penting bagi tahap-tahap berikutnya, yaitu: “tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana. Tujuan pemidanaan inilah yang mengikat atau menjalin setiap tahap pemidanaan menjadi suatu jalinan mata rantai dalam satu kebulatan sistem yang rasional”.77

Atau menurut istilah Muladi, adanya tujuan:

“Dapat berfungsi menciptakan sinkronisasi (keserempakan dan keselarasan) yang dapat bersifat fisik maupun kultural. Sinkronisasi fisik berupa sinkronisasi struktural (structural syncronization), dan dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural, keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana (the administration of justice) dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi substansial, maka keserempakan ini mengandung makna baik vertikal maupun horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, sedangkan sinkronisasi kultural (cultural synchronization) mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana”.78

Sementara tujuan yang telah disepakati selama ini masih bersifat umum (makro) sebagai tujuan politik/kebijakan kriminal, yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kebahagian warga masyarakat/penduduk (happiness of the citizens), kehidupan yang sehat dan menyegarkan (a wholesome and cultural living), kesejahteraan masyarakat (social welfare) atau untuk mencapai keseimbangan (equality). Sedangkan tujuan operasional yang ingin dicapai dengan pidana dan hukum pidana belum pernah dinyatakan dan dirumuskan secara formal dalam undang-undang,

77 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.cit., hlm. 95.

78 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op.cit., hlm. 1-2.

sehingga tujuan yang dijadikan tolok ukur dasar pembenar pemidanaan lebih bersifat teoritis.

Dari kajian yang dilakukan oleh para sarjana dapat dikatakan bahwa:

“Perkembangan teori pemidanaan cenderung beranjak dari prinsip menghukum yang berorientasi ke belakang (backward-looking) ke arah gagasan/ide membina yang berorientasi ke depan (foward-looking)”.79 Menurut Roeslan Saleh, “Pergeseran orientasi pemidanaan disebabkan oleh karena hukum pidana berfungsi dalam masyarakat. Hukum pidana mencerminkan gambaran masanya dan bergantung pada pemikiran-pemikiran yang hidup dalam masyarakat”.80 Untuk memahami pergeseran orientasi pemidanaan yang terjadi dalam hukum pidana, berikut ini akan dikemukakan secara singkat berbagai aliran yang berkembang dalam hukum pidana yang melandasi adanya pergeseran tersebut.

a. Aliran Klasik

Aliran ini merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan penguasa (ancient regime) pada abad ke-XVIII di Perancis yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidakadilan. Adapun beberapa ciri khas yang terdapat pada aliran ini, di antaranya:

1) “Menghendaki hukum pidana tertulis yang tersusun sistematik dan menjamin adanya kepastian hukum;

79 Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Op.cit., hlm. 16. Lihat juga: Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.cit., hlm. 73.

Selanjutnya lihat : S.R. Sianturi dan Mompang L. Panggabean, Hukum Penitesia di Indonesia, (Jakarta:

Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1996), hlm. 166. Bandingkan dengan: Tongat, Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Malang: UMM Press, 2004), hlm. 61.

80 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Op.cit., hlm. 2.

2) Membatasi kebebasan hakim dalam menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan, sehingga dikenal sistem definite sentence yang sangat kaku/rigit;

3) Menganut pandangan indeterminisme yang berarti bahwa setiap orang/individu bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukan (kebebasan kehendak manusia);

4) Perumusan undang-undang bersifat melawan hukum, merupakan titik sentral. Tindakan/perbuatan disini bersifat absrak dan dilihat secara yuridik belaka, terlepas dari pelakunya, sehingga mengabaikan individualisasi dalam penerapan pidana.Karenanya dapat disebut Hukum Pidana Tindakan (Daad-Strafrecht):

5) Berpatokan kepada justice model, sebab sangat memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat, sehingga tidak menilai keadaan diri pribadi pelaku;

6) Pidana bersifat pembalasan (punishment should fit the crime) dan dilaksanakan dalam equal justice;

7) Dengan perhatian terhadap hak asasi manusia yang demikian, aliran ini mengutamakan perlindungan/jaminan terhadap kepentingan individu (yang sudah banyak dikorbankan)”.81

b. Aliran Modern

Aliran ini timbul pada abad ke-XIX dan dikenal sebagai Aliran Positif, karena dalam mencari kausa (sebab) kejahatan dipergunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh ia masih dapat diperbaiki. Adapun beberapa ciri aliran ini ialah:

1) “Dipengaruhi oleh perkembangan ilmu-ilmu kemasyarakatan seperti sosiolagi, antropologi dan kriminologi;

2) Mengakui bahwa perbuatan seseorang dipengaruhi watak dan pribadinya, faktor-faktor biologis maupun lingkungan kemasyarakatannya (sosiologis);

3) Berpandangan determinisme karena manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan kehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga tidak dapat dipersalahkan ataudipertanggungjawabkan;

4) Memberikan keleluasaan bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana (indeterminate sentence), sebab bertolak dari pandangan punishment should fit the criminal;

81 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.cit., hlm. 25-26. Lihat juga: S.R. Sianturi dan Mompang L. Panggabean, Op.cit., hlm. 14.

5) Menolak adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif.

Pertanggungjawaban seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pelaku (etat dangereux);

6) Bentuk pertanggungjawaban kepada si pelaku lebih bersifat tindakan untuk perlindungan masyarakat. Kalau toh pidana digunakan istilah pidana, maka harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Jadi aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi si pelaku”.82

Setelah Perang Dunia II Aliran Modern berkembang menjadi Aliran Social Defence (Gerakan Perlindungan Masyarakat) dengan pelopor Filippo Gramatica dan Marc Ancel. Selanjutnya aliran ini terbagi menjadi dua kelompok setelah diadakan The Second International Social Defence pada tahun 1949, yaitu kelompok/konsepsi

radikal (ekstrim) dan moderat (reformist).

a) Konsepsi Radikal (ekstrim)

Tokohnya adalah Fillipo Gramatica, salah satu tulisannya yang mengandung kontraversi berjudul la lotta contra pena (The fight against punishment). Ia berpandangan bahwa hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang, menghapus konsep pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan menggantinya dengan pandangan tentang anti sosial. Tujuan dari Hukum perlindungan sosial ialah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Pada prinsipnya ia menolak konsepsi mengenau pidana, penjahat dan pidana.83

b) Konsepsi Moderat (reformist)

82 Ibid., hlm. 32.

83 Ibid., hlm. 35-36.

Konsepsi ini dipelopori oleh Marc Ancel, dengan menamakan alirannya Defence Social Nouvelle (New Social Defence) dengan pokok-pokok pemikiran

sebagai berikut:

(a) “Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumuan yang tepat mengenai hukum pidana, karena itu sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus tetap dipertahankan, namun tidak digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial;

(b) Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial (a human and social problem) yang tidak begitu saja mudah dipaksa untuk dimasukkan ke dalam perumusan suatu perundang-undangan;

(c) Kebijaksanaan pidana bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban pribadi (individual responsibility) yang menjadi kekuatan penggerak utama dari proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban pribadi ini menekankan pada kewajiban moral individu ke arah timbulnya moralitas sosial”.84 c. Aliran Neo Klasik

Pengaruh perkembangan kesadaran hukum masyarakat mengakibatkan Aliran Klasik yang rigit mulai ditinggalkan dengan timbulnya Aliran Neo Klasik. Aliran ini menitikberatkan pada pengimbalan/pembalasan terhadap kesalahan si pelaku. Dalam pemidanaan memberikan kewenangan kepada hakim untuk menetapkan pidana penjara antara minimum dan maksimum yang telah ditetapkan (the indefinite sentence). Aliran Neo Klasik dipandang ileh pelbagai negara sangat manusiawi dan menggambarkan perimbangan kepentingan secara proporsional.

Ciri-ciri pokok aliran ini adalah:

1) “Modifikasi doktrin kebebasan kehendak atas dasar usia, patologi dan lingkungan;

84 Ibid., hlm. 36-38. Lihat juga: S.R. Sianturi dan Mompang L. Panggabean, Op.cit., hlm. 20.

2) Asas pengimbalan / pembalasan (vergelding) dari kesalahan si pelaku.

Pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai suatu hasil / tujuan yang bermanfaat melainkan setimpal dengana beratnya kesalahan yang dilakukan. Oleh karena itu aliran ini disebut sebagai Daad-dader Strafrecht;

3) Menggalakkan kesaksian ahli (expert testimony);

4) Pengembangan hal-hal yang meringankan dan memperberat pemidanaan;

5) Pengembangan twintrack-system / double track system / zweispurig keit /

“sistem dua-jalur”. yakni pidana dan tindakan;

6) Perpaduan antara Justice Model dan perlindungan terhadap hak-hak terdakwa-terpidana termasuk pengembangan non-institusional treatment (Tokyo Rules) dan dekriminalisasi serta depenalisasi”.85

Memang keberadaan aliran-aliran dalam ilmu hukum pidana itu tidak bermaksud mencari dasar hukum atau pembenar dari pidana, tetapi harus diakui bahwa pertentangan paham aliran-aliran tersebut telah mempunyai pengaruh secara praktis, baik di dalam pemilihan dari sarana-sarana pemidanaan maupun di dalam pengaturan dan penerapannya; atau menurut istilah Muladi dan Barda Nawawi, bermaksud

“memperoleh suatu sistem hukum pidana yang praktis dan bermanfaat”.86 Sementara itu pada tataran teoritis mengenai pemidanaan Muladi dan Barda Nawawi Arief menulis, bahwa secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni :

a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorie);

b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorien).

85 Ibid., hlm. 26-27. Lihat juga: Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op.cit., hlm.

52. Selanjutnya lihat: Mompang L. Panggabean, Pokok-Pokok Hukum Penitensier di Indonesia, (Jakarta:

UKI Press, 2005), hlm. 39-40.

86 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.cit., hlm. 25.

Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan seperti disebut di atas, ada teori ketiga yang disebut “teori gabungan (verenegings theorien)”.87 Selanjutnya di bawah ini akan dikemukakan beberapa prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan oleh teori-teori tentang pemidanaan tersebut, antara lain :