BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakim merupakan organ pengadilan yang dianggap memahami hukum. Hakim diberikan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum berjalan dengan adil dan tidak berat sebelah/memihak. Hakim tidak hanya berperan sebagai corong undang-undang, tetapi hakim juga berperan sebagai penemu hukum (recht vinding), sesuai dengan nilai-nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat, terutama nilai-nilai-nilai-nilai Pancasila.1 Hakim beda dengan pejabat-pejabat lain, hakim mesti benar-benar menguasai hukum sesuai dengan sistem yang dianut di Negara Indonesia, dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.2
Kedudukan Hakim merupakan kedudukan kunci keberhasilan penegakan hukum yang menjadi tujuan utama kehidupan masyarakat di Negara Hukum.3 Hakim merupakan pejabat peradilan Negara yang diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili. Mengadili diartikan sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan perkara berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di dalam sidang pengadilan. Dalam memberikan keadilan hakim harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya
1 Dewi, E., “Peranan Hakim Dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia”, Jurnal Pranata Hukum, Vol. 5, No. 2, (2010).
2 Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman RI, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992).
3 Priyanto, A., “Citra Hakim dan Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, Jurnal Civics Media Kajian Kewarganegaraan, Vol. 2, No. 2, (2005), hlm. 1-10. DOI:
https://doi.org/10.21831/civics.v2i2.4374.
1
kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Selepas itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut dan oleh sebab itu hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat.
Terkadang polemik di dalam masyarakat timbul ketika hakim menjatuhkan pidana suatu putusan yang berbeda dalam tindak pidana yang sama (Disparitas Pidana).4
Disparitas Pidana (disparity of senlencing) adalah penerapan pidana yang berbeda dalam suatu tindak pidana yang sama. Dalam konteks ini, hakim sering kali memberikan putusan yang berbeda dalam suatu tindak pidana yang sama terutama dalam kasus tindak pidana narkotika. Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika), dalam tindak pidana narkotika perspektif subjeknya dibedakan menjadi dua, yaitu: pemakai atau pengedar. Dalam Pasal 103 UU Narkotika diatur tentang hal-hal yang membuat tersangka dapat diberikan rehabilitasi dan Pasal 129 UU Narkotika yang mengatur pidana penjara dan denda bagi pelaku tindak pidana narkotika. Hal-hal ini yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan.5
Dengan demikian, disparitas adalah kebebasan yang diberikan undang-undang kepada hakim untuk memutus perkara sesuai dengan ketentuan, walaupun putusan tersebut dapat saling berbeda antara suatu perkara dengan perkara yang lain. Dalam
4 Anjasmara Putra, A.A.N.R., dkk., “Disparitas Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Narkotika”, Jurnal Analogi Hukum, Vol. 2, No. 2, (2020), hlm. 129-135. Doi:
https://doi.org/10.22225/ah.2.2.1884.129-135.
5 Ibid.
perkara narkotika, hakim diberi kebebasan untuk memberikan perbedaan hukuman kepada pecandu atau korban narkotika untuk direhabilitasi atau tidak. Bisa saja dalam perkara yang satu terdakwa diperintahkan untuk direhabilitasi, tetapi dalam perkara yang lain tidak ada perintah rehabilitasi.
Disparitas mempunyai arti “perbedaan”. Definisi disparitas yang dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).6 Oleh karenanya, disparitas menjadi kebalikan dari asas hukum secara umum, yaitu: adanya persamaan di muka hukum (equality before the law).
Di bidang profesi hakim dalam menjatuhkan putusan, disparitas adalah kebebasan yang diberikan undang-undang kepada hakim untuk memutus perkara sesuai dengan ketentuan walaupun putusan tersebut bisa saling berbeda antara suatu perkara dengan perkara yang lain.7 Kebebasan diberikan kepada hakim karena fakta-fakta persidangan dari satu perkara berbeda dengan perkara yang lain.
Menurut Andrew Ashworth, dalam bukunya Sentencing and Criminal Justice, mengatakan: “disparitas putusan tidak dapat dilepaskan dari diskresi hakim menjatuhkan hukuman dalam suatu perkara pidana”.8 Di Indonesia, disparitas hukuman juga sering dihubungkan dengan independensi hakim. Guru Besar FH-UI, Harkristuti Harkrisnowo, menyatakan bahwa:
6 KBBI Online, “Disparitas”, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disparitas., diakses Sabtu, 06 Maret 2021.
7 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman beserta Penjelasannya.
8 Andrew Ashworth, Sentencing and Criminal Justice: 5th Edition, (New York: Cambridge University Press, 2005), hlm. 72.
“Terjadinya disparitas pidana dalam penegakkan hukum karena adanya realita disparitas pidana tersebut, tidak heran jika publik mempertanyakan apakah hakim/pengadilan telah benar-benar melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan? Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi disparitas pidana di persepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice). Sayangnya secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum.
Meskipun demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan”
pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim”.9 Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan.
Tetapi pada akhirnya hakimlah yang paling menentukan terjadinya disparitas.
Misalnya, ada dua orang yang melakukan tindakan pencurian dengan cara yang sama dan akibat yang hampir sama. Meskipun hakim sama-sama menggunakan Pasal 362 KUHP, bisa jadi hukuman yang dijatuhkan berbeda. Disparitas putusan hakim ini terjadi juga pada perkara tindak pidana narkotika. Jika terdakwa terbukti bersalah, pada peraturan perundang-undangan telah diatur, patokan hakim untuk memberikan hukuman penjara selama di antara paling singkat atau paling lama.
Sebagai contoh, dapat diperhatikan sanksi pidana yang disebut dalam Pasal 111 ayat (1) UU Narkotika:
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah)”.
9 Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Pidato, pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 12.
Dari ketentuan sanksi tersebut, hakim memiliki kekebasan untuk menjatuhkan hukuman di antara 4 - 12 tahun dan pidana denda antara Rp. 800 juta – Rp 8 miliar.
Contoh lain, soal pecandu narkotika. Putusan hakimlah yang menentukan apakah yang bersangkutan (dalam hal ini Pecandu Narkotika) menjalani rehabilitasi, atau tidak, berdasarkan pada terbukti atau tidaknya tindak pidana yang dilakukan. Artinya, ada proses pemeriksaan di pengadilan terlebih dahulu, sebelum adanya putusan hakim yang menentukan seseorang direhabilitasi atau tidak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU Narkotika:
(1) “Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika, dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
Penjelasan:
“Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan”.
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
Penjelasan:
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata menetapkan bagi Pecandu Narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa Pecandu Narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman”.
Fakta-fakta persidangan dapat membuktikan, pelaku tindak pidana selain sebagai pelaku tindak pidana, bisa juga sebagai korban. Misalnya, pelaku tertangkap menghisap ganja karena ikut-ikutan dengan teman-temannya. Sehingga, terdakwa masih dimungkinkan hidup normal dalam kehidupan masyakarakat. Dalam perkara seperti ini, hakim diberi kebebasan untuk memberikan perbedaan hukuman kepada pecandu atau korban narkotika untuk direhabilitasi, atau tidak.
Jadi, disparitas tersebut diberikan kala menjatuhkan pidana. Bisa saja dalam perkara yang satu terdakwa diperintahkan untuk direhabilitasi, tetapi dalam perkara yang lain tidak ada perintah rehabilitasi. Ketentuan soal pemberian rehabilitasi terdapat dalam Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional No. 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (selanjutnya disebut
“Peraturan BNN No. 11/2014”). Pada praktiknya, dalam memutuskan memberikan rehabilitasi atau tidak, majelis hakim memberikannya dengan sangat ketat atau selektif.
Dalam penelitian ini fokus kepada disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana narkotika di wilayah hukum Labuhan Batu. Studi kasus yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu:
1. Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap., tertanggal 23 Mei 2019 An. Terdakwa Musa Dayan Hasibuan alias Musa.
2. Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 629/Pid.Sus/2020/PN.Rap., tertanggal 07 Oktober 2020 An. Terdakwa Muhammad Husin alias Husin.
Pada kedua kasus tersebut, kedua terdakwa sama-sama dituntut dengan Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika, akan tetapi terdapat perbedaan tuntutan hukuman penjara, yaitu: terhadap Terdakwa Musa dituntut 8 (delapan) tahun, sedangkan Terdakwa Husin dituntut 6 (enam) tahun. Terhadap tuntutan denda, juga sama, yaitu sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Adapun perbedaan (disparitas) amar putusan kedua contoh kasus tersebut di atas, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1
Disparitas Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Narkotika Putusan PN.Rap No. 159/Pid.Sus/
Pasal digunakan Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika
Pidana Penjara 3 (tiga) tahun 5 (lima) tahun
Denda Rp. 1.000.000.000,- Rp. 1.000.000.000,-
Subsidair 3 (tiga) bulan 3 (tiga) bulan
Barang Bukti 1) 1 (satu) bungkus plastik klip berisi Narkotika jenis Sabu berat 0,14 gr netto 2) 1 (satu) unit handphone merk Nokia 3) 2 (dua) bungkus plastik klip berisi Narkotika jenis Sabu berat 1,16 gr netto 4) 3 (tiga) buah bong terbuat dari botol kaca dikemas dengan pipet
5) 1 (satu) unit handphone merk Samsung
6) 1 (satu) buah timbangan elektrik
1) 1 (satu) bungkus plastik klip tembus pandang berisi Narkotika jenis Sabu berat 0,20 gr netto
2) 1 (satu) bungkus plastik klip tembus pandang berisi Narkotika jenis Sabu berat 0,44 gr netto
3) 1 (satu) buah kotak rokok merk Ziga
Sumber : Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap., tertanggal 23 Mei 2019 An. Terdakwa Musa Dayan Hasibuan alias Musa dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 629/Pid.Sus/2020/PN.Rap., tertanggal 07 Oktober 2020 An.
Terdakwa Muhammad Husin alias Husin.
Berdasarkan data tabel di atas, terdapat disparitas putusan hakim dalam mengadili tindak pidana narkotika di wilayah hukum Labuhan Batu yang termasuk
yurisdiksi Pengadilan Negeri Rantau Prapat. Disparitas tersebut dapat dilihat pada pidana yang dijatuhkan hakim yaitu pidana penjara, Perkara No. 159 dijatuhi pidana penjara 5 (lima) tahun, sedangkan Perkara No. 629 dijatuhi pidana penjara 3 (tiga) tahun. Padahal, barang bukti yang ada merupakan narkotika jenis shabu yang siap edar.
Penuntut Umum dalam kedua perkara tersebut, telah tepat dan benar memasukkan Pasal 114 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika sebagai dakwaannya.10
Permasalahan pokok dalam penelitian ini, kondisi yang sangat memprihatinkan dan menuntut semua pihak, khususnya Aparat Penegak Hukum untuk meningkatkan pengertian, pemahaman, dan keterampilan dalam profesinya, sehingga dapat melaksanakan tugas dengan adil dan sebaik-baiknya. Dalam penyelenggaraannya, pengadilan harus menggunakan ukuran yang sudah diterima oleh pranata hukum pidana, yaitu asas legalitas. Asas legalitas menjamin masyarakat, dalam konteks ini terdakwa atau terpidana guna menghindari kesewenang-wenangan hakim dalam menetapkan perbuatan yang dapat dikategorikan dalam suatu rumusan delik.
Adanya disparitas pidana dalam suatu sistem peradilan pidana akan menyebabkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan semakin melemah dan akan menimbulkan stigma terhadap keberlangsungan hukum di Indonesia. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penelitian berjudul: “Disparitas Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri
10 Pidana penjara dalam Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika adalah minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 12 (dua belas) tahun.
Rantauprapat (Studi Kasus: Putusan No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap dan Putusan No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap)”, layak untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut.
B. Rumusan Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?
2. Bagaimana analisis hukum pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap. dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap?
3. Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap perkara tindak pidana narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap. dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis pengaturan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis analisis hukum pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap. dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap.
3. Untuk mengkaji dan menganalisis faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap perkara tindak pidana narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap. dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu:
1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan dalam hal kajian ilmu hukum, khususnya hukum pidana dalam hal penegakan hukum tindak pidana narkotika oleh Aparat Penegak Hukum.
2. Secara Praktis, terdiri dari :
a. Sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi para akademisi dan masyarakat untuk melakukan penelitian lanjutan;
b. Sebagai bahan masukan bagi penegak hukum, khususnya Hakim Pengadilan Negeri Rantau Prapat dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan terhadap perkara tindak pidana narkotika.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan khususnya pada lingkungan Perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian dengan judul
“Disparitas Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum Pengadilan Negeeri Rantauprapat (Studi Kasus: Putusan No.
159/Pid.Sus/2019/PN.Rap dan Putusan No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap)” tidak pernah dilakukan. Namun, dalam rumusan masalah yang berbeda ditemukan beberapa penelitian, sebagai berikut:
Tabel 2 Penelitian Terdahulu
No. Judul Penelitian Permasalahan Nama Mahasiswa
1. Tesis berjudul :
- Faktor yang melatarbelakangi anak memakai narkoba;
- Politik kriminal (criminal policy) yang selama ini dilakukan di Kota Medan terhadap anak pemakai narkoba;
- Politik kriminal di masa yang akan datang terhadap anak pemakai narkoba di Kota Medan.
Novalina Krisnawati
- Pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam putusan pengadilan;
- Faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam perkara tindak pidana narkotika yang dijatuhkan oleh hakim;
- Upaya meminimalisir terjadinya disparitas pidana dalam perkara-perkara tindak pidana narkotika.
- Disparitas penjatuhan pidana oleh hakim terhadap kasus-kasus narkotika.
- Faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pemidanaan.
- Dampak disparitas putusan hakim.
Ivan Kusuma Yuda
- Sanksi tindakan yang dapat dikenakan kepada seluruh anak-anak yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana psikotropika;
- Pertimbangan hukum dalam menjatuhkan sanksi tindakan terhadap pecandu dan pelaku anak tindak pidana psikotropika sebagai sarana alternatif
- Sanksi tindakan sebagai alternatif penanggulangan
- Pengaturan diversi dapat diterapkan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
- Apakah penerapan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika telah sesuai dengan tujuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Indonesia, atau tidak;
- Kebijakan hukum pidana Indonesia terkait dengan penerapan penjatuhan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di Polsek Sunggal dikaitkan sebagai upaya penanggulangan
- Penyelidikan & penyidikan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika yang masih di bawah umur berdasarkan UU SPPA;
- Penerapan UU SPPA dalam penyelidikan &
penyidikan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di Dit.Resnarkoba Polda Sumut;
- Kendala hukum & upaya hukum yang dihadapi Dit.Resnarkoba Polda Sumut dalam penerapan UU SPPA terkait dengan penyelidikan dan penyidikan terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Dit.Resnarkoba Polda Sumut.
Sumber : Repository Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Repository Perpustakaan Universitas Negeri dan Swasta di Indonesia, http://repository.usu.ac.id., diakses Rabu, 16 Juni 2021.
Penulisan penelitian ini memiliki rumusan masalah dan tujuan penelitian yang berbeda. Begitu juga dengan kajiannya, mengenai disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana narkotika dengan studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat mengenai tindak pidana narkotika. Oleh karenanya, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah berupa isi dan contoh-contoh kasus yang dipaparkan.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini menggunakan kerangka teori dan kerangka konsep dengan tujuan agar penelitian ini mempunyai dasar yang kokoh. Kerangka teori mempunyai peranan penting dalam hal melakukan penelitian kualitatif. Pengetahuan dasar yang kokoh dimaksud yaitu terkait dengan disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana narkotika.
Adapun variabel permasalahan yang akan dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini, antara lain: pengaturan pemidanaan oleh hakim terhadap tindak pidana narkotika;
analisis pertimbangan hukum majelis hakim dalam menjatuhkan putusan dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap dan Putusan No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap; dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas hakim dalam putusan tersebut. Untuk menjawab isu hukum tersebut, maka penelitian ini menggunakan beberapa teori hukum, yaitu: teori kepastian hukum; teori disparitas pemidanaan; dan teori penegakan hukum.
a. Teori Kepastian Hukum
Teori kepastian hukum yang digunakan adalah adalah teori yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch. Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang berisi keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh berfungsi sebagi peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch, bahwa:
“Keadilan dan kepastian hukum merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dan ketertiban
suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan”.11
Menurut Gustav Radbruch memberi pendapat yang cukup mendasar mengenai kepastian hukum, ada 4 (empat) hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti yaitu dengan adanya keterangan. Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah berubah.12
Pemikiran hukum erat kaitannya dengan moral merupakan cara berpikir dalam aliran hukum alam. Dalam aliran hukum positif, hukum dan moral sama sekali tidak ada kaitannya.13 Hal ini dapat diamati dengan ciri-ciri pengertian positivisme hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh H.L.A Hart (1975: 287) antara lain:
1) “Hukum adalah perintah dari manusia (command of human being).
2) Tidak ada hubungan mutlak antara “Hukum/ law” dan “Moral”
sebagaimana yang berlaku/ ada dan hukum yang seharusnya.
3) Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum, pertama; mempunyai arti penting, kedua; harus dibedakan dari penyelidikan seperti 1) Historis mengenai sebab musabab dan sumber-sumber hukum; 2) Sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya; 3) Penyelidikan
11 Gustav Radbruch dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2002), hlm. 95.
12 A.W. Sanjaya, “Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia”, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember, 2015, hlm. 169-170.
13 Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, mengatakan bahwa filsafat positivisme hukum perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das ollen und sain). Lihat: Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 113.
hukum secara kritis atau penilaian, baik yang didasarkan moral, tujuan sosial, dan fungsi hukum.
4) Sistem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral.
5) Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan”.14 Demikian halnya John Austin, dengan konsepsinya dalam usaha mempositifkan moral sebagai hukum positif, hukum yang dibuat oleh manusia mengandung di dalamnya; suatu perintah, sanksi kewajiban, dan kedaulatan. Ketentuan yang tidak memenuhi ketiga unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai Positive Law, tetapi dapat disebut Positive Morality.15
Unsur perintah yang dimaksudkan Austin ini. Pertama; satu pihak menghendaki
Unsur perintah yang dimaksudkan Austin ini. Pertama; satu pihak menghendaki