BAB II : PENGATURAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU
C. Kepastian Hukum Dalam Pengaturan Pemidanaan Terhadap
2009 tentang Narkotika
Narkotika sejatinya hanya diperuntukan sebagai pengobatan, jenis narkotika pertama yang digunakan adalah opium. Pada bidang pengobatan dan kesehatan, narkotika cukup diperlukan ketersediaannya, akan tetapi apabila disalahgunakan akan menimbulkan dampak yang berbahaya, sehingga harus dilakukan pengawasan dan pengendalian yang ketat. Saat ini, perkembangan narkotika semakin pesat dan tidak lagi untuk kepentingan pelayanan kesehatan tetapi untuk memperoleh keuntungan secara besar dengan cara perdagangan narkotika secara ilegal ke berbagai negara.
Perkembangan narkotika yang pesat telah membuat warga dunia resah karena akibat negatif yang ditimbulkan dari penyalahgunaan narkotika bagi kehidupan.
Penyalahgunaan narkotika tersebut telah menyebar keseluruh negara termasuk Indonesia.133
133 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika oleh Anak, Cet. ke-1, (Malang: UMM Press, 2009), hlm. 3.
Penyalahgunaan obat-obat terlarang di Indonesia, seperti: narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya telah berkembang dan menjadikan Indonesia sebagai negara darurat narkoba. Penyalahgunaan narkotika di Indonesia telah sampai pada titik yang sangat memprihatinkan dan membahayakan dengan sasaran yang telah menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari survei yang telah dilakukan pada tingkat dunia oleh World Drug Report UNODC Tahun 2020, tercatat sekitar 269 juta orang di dunia menyalahgunakan narkoba (penelitian tahun 2018.
Jumlah tersebut 30% lebih banyak dari tahun 2009 dengan jumlah pecandu narkoba tercatat lebih dari 35 juta orang.134 Sedangkan, menurut data dari penelitian Badan Narkotika Nasional RI sepanjang tahun 2017. Berdasarkan survei tersebut, terdapat 3.376.115 orang pada kelompok usia 10-59 tahun, jumlah tersebut merupakan julah penyalahguna narkoba sepanjang tahun 2017.135
Pengaturan mengenai Narkotika sendiri dalam sejarah hanya terdapat dalam Verdovende Middelen Ordonnantie (Staatsblad No. 278 jo No. 536).136 Aturan ini dianggap tidak dapat mengikuti perkembangan lalu lintas dan alat-alat transportasi yang mendorong terjadinya kegiatan penyebaran dan pemasokan narkotika ke Indonesia. Oleh karena itu berdasarkan Resolusi The United Nations Economic and
134 Website Resmi BNN RI, “Press Release Akhir Tahun 2020: Sikap BNN Tegas, Wujudkan Indonesia Bebas dari Narkoba”, https://bnn.go.id/press-release-akhir-tahun-2020/., diakses Kamis, 17 Juni 2021.
135 Pusat Penelitian Data dan Informasi Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba di 34 Provinsi Tahun 2017, Laporan Tahunan (Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2017), hlm. 28.
136 Siswanto Sunarso, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009) (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 11.
Social Council, No. 1474 (XLVIII) tanggal 24 Maret 1970, Konferensi PBB tentang
Adopsi Protokol Psikotropika dilaksanakan sehingga menghasilkan Convention on Psychotropic Substances 1971.137 Berdasarkan hasil konvensi tersebut, pemerintah
Indonesia mengsahkan Convention on Psychotropic Substances 1971 dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1996 dengan reservation.138 Seiring perkembangannya, peraturan mengenai narkotika telah mengalami beberapa perubahan. Peraturan mengenai narkotika saat ini ialah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pasal 1 angka 1 UU Narkotika menyatakan bahwa Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam beberapa golongan seperti yang terdapat dalam lampiran UU Narkotika. Pada konsideran UU Narkotika menyatakan bahwa narkotika di satu sisi ialah obat atau bahan yang bermanfaat dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan jika disalahgunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat.
Pada kasus-kasus narkotika, terdapat beberapa pasal yang sering digunakan untuk menjerat pelaku, adalah Pasal 112, Pasal 114, dan Pasal 127 UU Narkotika.
Ketiga pasal tersebut, terdapat dua pasal yang multitafsir dan ketidakjelasan rumusan yaitu: Pasal 112 dan Pasal 127 UU Narkotika. Pasal multitafsir tersebut akan
137 Ibid.
138 Ibid.
mengakibatkan para pelaku kejahatan narkotika (pengedar) akan berlindung seolah-olah dirinya korban kejahatan narkotika. Hal tersebut akan berdampak pada penjatuhan hukuman dengan hukuman yang singkat sehingga menimbulkan ketidakadilan pada proses pelaksanaannya.
Seperti contoh kasus pada Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat No.
159/Pid.Sus/2019/PN.Rap. Pada kasus ini terdakwa didakwa sebagai pelaku atau pengedar narkotika, begitu juga Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa adalah pengedar narkotika. Kasus tersebut dengan terdakwa bernama Musa.
Terdakwa oleh Penuntut Umum didakwa dengan dakwaan pertama Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika dan/atau dakwaan kedua yaitu Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika. Pada kasus ini, terdakwa terbukti menguasai dan memiliki Narkotika Golongan 1 Bukan Tanaman sebanyak 3 (tiga) paket sabu dengan berat total 2,3 gram netto. Dari penemuan barang bukti tersebut seharusnya terdakwa dijerat Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika. Majelis Hakim sepakat dengan Penuntut Umum menjatuhkan putusan dengan menyatakan bahwa terdakwa merupakan pengedar narkotika, sehingga terdakwa dijatuhi sanksi pidana 3 (tiga) tahun penjara. Adapun tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam Perkara No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap., adalah dakwaan kedua Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun. Denda sebesar Rp. 1 miliar.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat No.
629/Pid.Sus/2020/PN.Rap., tertanggal 07 Oktober 2020 An. Terdakwa Husin.
Terdakwa juga didakwa dengan Pasal 114 ayat (1) (Dakwaan Kesatu) dan Pasal 112
ayat (1) UU Narkotika (Dakwaan Kedua). Tuntutan Penuntut Umum adalah dakwaan kedua Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika dengan pidana penjara 6 (enam) tahun dan denda Rp. 1 miliar. Majelis Hakim sependapat dengan Penuntut Umum bahwasanya terdakwa adalah sebagai pengedar, akan tetapi sanksi pidana penjara yang dijatuhkan tidak sama dengan perkara sebelumnya. Pada Perkara No. 629/Pid.Sus/2020/PN.Rap., terdakwa Husin dihukum pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda Rp. 1 miliar.
Adapun yang membuat perbedaan pidana penjara tersebut, sebagai berikut:
1. dari sisi substansi hukum adalah pidana penjara yang diancamkan kepada terdakwa dalam Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika yaitu minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 12 (dua belas) tahun. Denda minimal Rp. 800 juta dan maksimal Rp. 8 miliar.
2. dari sisi struktur hukum, hakim berdasarkan kewenangan yang ada padanya, bebas menjatuhkan hukuman kepada terdakwa diantara sanksi pidana yang telah membatasinya. Artinya, berdasarkan kacamata kepastian hukum, setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum mengedarkan narkotika golongan 1 bukan tanaman, dapat dijatuhi sanksi pidana berdasarkan Pasal 112 ayat (1).
3. dari sisi budaya hukum, terdapat stigma yang berkembang di dalam masyarakat, bahwasanya penegakan hukum di Indonesia sudah mengalami kebobrokan sehingga setiap orang sebagai terdakwa selalu berusaha untuk
‘menyuap’ aparat penegak hukum untuk meringankan putusannya. Selain dari sisi terdakwa, begitu juga dengan aparat penegak hukumnya yang selalu membuka pembicaraan ‘mengurus tuntutan dan putusan’.
BAB III
ANALISIS HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM PUTUSAN PN. RANTAU PRAPAT NO. 159/PID.SUS/2019/PN.RAP.,
DAN PUTUSAN PN. RANTAU PRAPAT NO. 626/PID.SUS/2020/PN.RAP
A. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika
Adapun kasus narkotika yang diangkat dalam penelitian ini adalah Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap., dan Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan tersebut, perlu terlebih dahulu mengetahui dakwaan dan tuntutan, yang diajukan terhadap terdakwa, sebagai berikut:
1. Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat No.
159/Pid.Sus/2019/PN.Rap.
a. Kronologis Kasus
Terdakwa Musa pada hari Sabtu, tanggal 01 Desember 2018, sekitar pukul 01.45 Wib, di sebuah cangkruk yang terletak di Santiara Desa Damuli Pekan Kecamatan Kualuh Selatan Kabupaten Labuhanbatu Utara. Kejadiannya berawal ketika terdakwa datang ke rumah Sdr. Kasim (DPO) dengan tujuan untuk membeli narkotika jenis sabu. Selanjutnya Sdr. Kasim (DPO) memberikan 1 (satu) bungkus plastik klip narkotika jenis sabu kepada terdakwa. Kemudian terdakwa mengeluarkan 3 (tiga) buah bong/alat hisap sabu yang dibawanya dari rumah.
Terdakwa bersama-sama dengan Sdr. Kasimi (DPO) memasukkan narkotika jenis sabu ke dalam kaca pirex lalu membakarnya dengan menggunakan korek api gas
88
lalu terdakwa dan Sdr. Kasim (DPO) menghisapnya secara bergantian. Tidak berapa lama kemudian datang 2 (dua) orang anggota Polisi ke cangkruk tersebut. Melihat hal tersebut, kemudian Sdr. Kasim (DPO) melarikan diri keluar dari cangkruk, sedangkan terdakwa berhasil ditangkap.
Setelah berhasil menangkap terdakwa lalu dilakukan penggeledahan dan ditemukan barang bukti berupa 1 (satu) bungkus plastik klip berisi narkotika jenis sabu seberat 0,14 gr netto, 1 (satu) unit handphone merk nokia, 2 (dua) bungkus plastik klip berisi narkotika jenis sabu seberat 1,16 gr netto, 3 (tiga) buah bong terbuat dari botol kaca dikemas dengan pipet, 1 (satu) unit handphone merk samsung, dan 1 (satu) buah timbangan elektrik. Terdakwa tidak ada memiliki izin dari pihak berwenang untuk menggunakan narkotika jenis sabu tersebut. Narkotika jenis sabu yang ditemukan dari terdakwa adalah positif mengandung metamfetamine dan termasuk Narkotika Golongan I No. Urut 61 Lampiran I UU Narkotika sebagaimana Berita Acara Analisis Laboratorium Barang Bukti Narkotika Cabang Medan.
b. Dakwaan
Berdasarkan kronologis kasus tersebut, Terdakwa Musa didakwa dengan dakwaan alternatif, terdiri dari:
1) Dakwaan Kesatu: Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika, yaitu:
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
2) Dakwaan Kedua: Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika, yaitu:
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.
c. Tuntutan
Adapun tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa Musa adalah sebagaimana tertuang dalam Surat Tuntutan Kejaksaan Negeri Labuhan Batu No. Reg.
Perk. PDM-83/Euh.2/RP-RAP/02/2019, yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) “Menyatakan Terdakwa Musa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I, bukan tanaman”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan kedua Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika;
2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Musa berupa pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan agar terdakwa tetap ditahan dan denda senilai Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan penjara.
3) Menyatakan, barang bukti, berupa:
a) 1 (satu) bungkus plastik klip berisi narkotika jenis sabu seberat 0,14 gr netto;
b) 1 (satu) unit handphone merk Nokia;
c) 2 (dua) bungkus plastik klip berisi Narkotika jenis sabu seberat 1,16 gr netto;
d) 3 (tiga) buah bong terbuat dari botol kaca dikemas dengan pipet;
e) 1 (satu) unit handphone merk Samsung;
f) 1 (satu) buah timbangan elektrik;
4) Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah)”.
Dengan demikian, Penuntut Umum lebih memilih dakwaan kedua berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan bahwasanya terdakwa dijebak oleh seorang pengedar narkotika untuk bersama-sama menggunakan sabu-sabu, kemudian tanpa diduga didatangi oleh Petugas Polri untuk melakukan penangkapan. Logikanya, darimana Petugas Polri mengetahui bahwasanya Terdakwa Musa dan Sdr. Kasim (DPO) sedang menghisap sabu-sabu di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Kecurigaan timbul, sebab Sdr. Kasim dinyatakan Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Penyidik Polres Labuhanbatu.
Adapun ancaman pidana yang diancamkan kepada terdakwa adalah pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda Rp. 1 miliar subsidair 6 (enam) bulan penjara.
Ancaman pidana penjara tersebut sangat tidak berdasar hukum, namun situasi dan kondisi di lapangan telah dikondisikan sedemikian rupa agar Terdakwa Musa menjadi terdakwa sendiri tanpa Sdr. Kasim yang dimasukkan ke dalam DPO.
d. Pertimbangan Hukum
Terdakwa yang didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang berbentuk alternatif, sehingga majelis hakim memperhatikan fakta-fakta hukum yang terungkap di depan persidangan memilih langsung Dakwaan Alternatif Kedua sebagaimana diatur Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika, yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Setiap Orang;
2. Tanpa Hak atau Melawan Hukum;
3. Memiliki, Menyimpan, Menguasai atau Menyediakan;
4. Narkotika Golongan I Bukan Tanaman.
Ad.1) Unsur “Setiap Orang”
Menurut Buku II Mahkamah Agung RI tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Edisi Revisi Tahun 1997, kata “setiap orang” identik dengan kata
“barangsiapa” atau “hij” sebagai siapa saja yang harus dijadikan terdakwa atau dader atau setiap orang sebagai subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban) yang dapat dimintai pertanggungjawaban dalam segala tindakannya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dengan dihadapkannya Terdakwa Musa oleh Penuntut Umum di depan persidangan dengan identitas selengkapnya di atas sebagaimana termuat dalam surat dakwaan penuntut umum dan diakui pula oleh terdakwa sebagai dirinya sendiri yang diajukan dalam perkara ini. Berdasarkan pemeriksaan persidangan terdakwa sehat jasmani dan rohaninya serta dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka dengan demikian unsur “setiap orang”
telah terpenuhi pada diri terdakwa.
Ad.2) Unsur “Tanpa Hak atau Melawan Hukum”
Pengeertian “tanpa hak atau melawan hukum” adalah perbuatan secara bersama-sama menguasai suatu benda yang bertentangan dengan sifat dan hak yang dimiliki atas benda tersebut. Dengan kata lain, kepemilikan benda tersebut tanpa adanya izin dari yang berhak atau berwenang dalam hal ini Menteri Kesehatan RI sebagaimana yang diatur undang-undang.
Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika menyebutkan Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika
menyebutkan dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk Reagensia Diagnostik, serta Reagensia Laboratorium setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri atas Rekomendasi kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, diketahui bahwa Terdakwa Musa ditangkap oleh Saksi RJS dan Saksi S yang merupakan Anggota Polri pada hari Sabtu, tanggal 01 Desember 2018, sekira pukul 01.45 Wib di Santiara Desa Damuli Pekan Kec. Kualuh Selatan, Kab. Labuhanbatu Utara karena melakukan tindak pidana narkotika jenis sabu dengan barang bukti yang ditemukan dari terdakwa, berupa: 1 (satu) bungkus plastik klip berisi narkotika jenis sabu seberat 0,14 gr netto, 1 (satu) unit handphone merk Nokia, 2 (dua) bungkus plastik klip berisi narkotika jenis sabu seberat 1,16 gr netto, 3 (tiga) buah bong terbuat dari botol kaca dikemas dengan pipet, 1 (satu) unit handphone merk Samsung, dan 1 (satu) buah timbangan elektrik.
Terdakwa mengakui narkotika jenis sabu-sabu tersebut adalah milik Sdr. Kasim (DPO) dengan tujuan terdakwa untuk dijual agar mendapatkan keuntungan dan bukan untuk ilmu pengetahuan dan oleh karena itu majelis hakim berkesimpulan unsur ini telah terpenuhi.
Ad.3) Unsur “Memiliki, Menyimpan, Menguasai atau Menyediakan”
Pengertian unsur “memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan” adalah alternatif sifatnya. Artinya, bahwa perbuatan terdakwa tidak harus memenuhi semua elemen dari unsur tersebut, tetapi apabila salah satu elemen unsur tersebut terpenuhi
oleh perbuatan terdakwa, maka telah cukup untuk dinyatakan bahwa perbuatan terdakwa memenuhi unsur ketiga tersebut.
Memiliki adalah berarti kepunyaan (mempunyai hak), menyimpan maksudnya adalah menaruh di tempat yang aman supaya jangan rusak, hilang, dan sebagainya, menguasai adalah berkuasa atas sesuatu, sedangkan menyediakan maksudnya adalah mempersiapkan segala sesuatu.
Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, yaitu bahwasanya terdakwa ditangkap pada hari Sabtu, tanggal 01 Desember 2018, sekira pukul 01.45 Wib di Santiara Desa Damuli Pekan Kecamatan Kualuh Selatan Kabupaten Labuhanbatu Utara. Setelah mendapat informasi dari masyarakat, Saksi RJS dan Saksi S pada hari Sabtu, tanggal 01 Desember 2018 sekira pukul 01.45 Wib, tiba di Santiara Desa Damuli Pekan, Kec.
Kualuh Selatan, Kab. Labuhanbatu Utara. Lalu Saksi RJS dan Saksi S melihat 2 (dua) orang laki-laki dengan ciri-ciri seperti yang diinformasikan masyarakat sedang duduk di atas tikar di dalam pondok (cangkruk). Kemudian saat Saksi RJS dan Saksi S mendekati laki-laki tersebut dan langsung melakukan penangkapan dan hanya berhasil menangkap laki-laki yang mengaku bernama Musa, sedangkan teman terdakwa bernama Kasim (DPO) berhasil melarikan diri lalu dari terdakwa ditemukan barang bukti berupa 1 (satu) bungkus plastik klip berisi narkotika jenis sabu seberat 0,14 gr netto, 1 (satu) unit handphone merk nokia, 2 (dua) bungkus plastik klip berisi narkotika jenis sabu seberat 1,16 gr netto, 3 (tiga) buah bong terbuat dari botol kaca dikemas dengan pipet, 1 (satu) unit handphone merk Samsung, dan 1 (satu) buah timbangan elektrik dan dari hasil interogasi lisan bahwasanya terdakwa mengakui narkotika jenis
sabu tersebut adalah milik Kasim (DPO). Selanjutnya, terdakwa beserta barang bukti dibawa ke Kantor Kepolisian setempat untuk proses hukum lebih lanjut.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut dan dikaitkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di depan persidangan, maka majelis hakim berpendapat bahwasanya adapun yang menjadi wujud dari perbuatan terdakwa adalah memiliki narkotika jenis sabu dimana pada saat penangkapan terdakwa ditemukan barang bukti, berupa: 1 (satu) bungkus plastik klip berisi narkotika jenis sabu seberat 0,14 gr netto, 2 (dua) bungkus plastik klip berisi narkotika jenis sabu seberat 1,16 gr netto dan setelah diinterogasi terdakwa mengakui menguasai narkotika jenis sabu tersebut. Dengan demikian, majelis berkesimpulan unsur “memiliki” telah terbukti dalam perbuatan yang dilakukan terdakwa.
Ad.4) Unsur “Narkotika Golongan I Bukan Tanaman”
Mengenai pengertian narkotika ada disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Narkotika, yang berbunyi:
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU Narkotika”.
Pada saat terdakwa ditangkap, ditemukan barang bukti berupa: 1 (satu) bungkus plastik klip berisi narkotika jenis sabu seberat 0,14 gr netto, 2 (dua) bungkus plastik klip berisi narkotika jenis sabu seberat 1,16 gr netto adalah milik Sdr. Kasim (DPO).
Narkotika jenis sabu-sabu yang ditemukan dari terdakwa tersebut adalah positif mengandung metamfetamine dan termasuk Narkotika Golongan I No. Urut 61
Lampiran I UU Narkotika sebagaimana Berita Acara Analisa Laboratorium Barang Bukti Narkotika pada Labfor Bareskrim Polri Cabang Medan No. Lab.
14669/NNF/2018 An. Musa yang dibuat oleh pemeriksa Zulni Erma, Hendri D.
Ginting, S.T., yang diketahui oleh Dra. Melta Tarigan, M.Si., selaku Waka Laboratorium Forensik Cabang Medan.
Berdasarkan Berita Acara Penimbangan Barang Bukti dari PT. Pegadaian (Persero) Rantauprapat No. 1063/12.10102/2018, tertanggal 03 Desember 2018 menerangkan barang bukti yang disita dari Terdakwa Musa, berupa: 1 (satu) bungkus plastik klip berisi narkotika jenis sabu seberat 0,44 gr bruto dan nettonya seberat 0,14 gr, 2 (dua) bungkus plastik klip berisi narkotika jenis sabu seberat 1,76 gr bruto, dengan nettonya seberat 1,16 gr. Berdasarkan Berita Acara Analisis Laboratorium Barang Bukti Narkotika/Psikotropika, barang bukti yang ditemukan adalah positif mengandung metamfetamine dan terdaftar dalam Golongan I No. Urut 61 Lampiran UU Narkotika. Barang bukti tersebut adalah milik Kasim (DPO) dan narkotika jenis sabu tersebut bukan berbentuk tanaman yaitu sesuatu yang ditanam yang dapat hidup tumbuh berkembang sehingga termasuk ke dalam pengertian bukan tanaman. Dengan demikian majelis hakim berkesimpulan bahwa “Narkotika Golongan I Bukan Tanaman” telah terpenuhi.
Dikarenakan semua unsur dari Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika telah terpenuhi, maka terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Alternatif Kedua.
Dalam persidangan, majelis hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan/atau alasan pemaaf, maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dikarenakan terdakwa telah dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana, maka berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, terdakwa haruslah dijatuhi pidana, namun mengenai lamanya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, majelis hakim tidak sependapat dengan Penuntut Umum yang menuntut terdakwa dengan pidana penjara 8 (delapan) tahun penjara, akan tetapi majelis hakim mempunyai pendapat sendiri mengenai lamanya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, agar pidana yang akan dijatuhkan kelak memenuhi rasa keadilan, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
Adapun konsep tujuan pemidanaan menurut Muladi terdapat teori tujuan pemidanaan integratif. Berangkat dari asumsi dasar bahwasanya tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang menimbulkan kerusakan individual dan masyarakat.
Tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana,139 maka diharapkan pemidanaan yang dijatuhkan hakim mengandung unsur-unsur yang bersifat:
1) “Kemanusiaan dalam artian bahwa pemidanaan yang dijatuhkan hakim tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat pelaku;
2) Edukatif dalam artian bahwa pemidanaan tersebut, mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dengan menyebabkan
139 Muladi dalam Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus, (Bandung:
Alumni, 2012), hlm. 70.
pelaku mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan;
3) Keadilan dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil, baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat”.140
Dalam penegakan hukum dan keadilan, integritas moral (akhlakul karimah) dari para hakim sangat mutlak diperlukan, dan menurut Paul Scholten: “Bahwa keputusan hakim bukan saja berdasarkan pada suatu ketentuan yuridis (legalitas) semata, akan tetapi juga suatu keputusan berdasarkan hati nurani”.141 Jadi, kesemuanya itu menunjuk kepada pendapat bahwasanya keputusan hakim bukanlah semata-mata soal teknis formalitas belaka, akan tetapi juga sangat erat bertalian dengan moral dan kesusilaan, serta rasa keadilan.
Majelis hakim dalam hal ini memiliki pendapat yang senada dengan pendapat para sarjana tersebut, dimana pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa haruslah memenuhi unsur moral dan kesusilaan, serta rasa keadilan secara moral (moral justice), baik bagi terdakwa ataupun bagi masyarakat, dan majelis hakim memandang bahwa tuntutan dari penuntut umum adalah terlalu berat dan tidak sesuai dengan rasa keadilan,
Majelis hakim dalam hal ini memiliki pendapat yang senada dengan pendapat para sarjana tersebut, dimana pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa haruslah memenuhi unsur moral dan kesusilaan, serta rasa keadilan secara moral (moral justice), baik bagi terdakwa ataupun bagi masyarakat, dan majelis hakim memandang bahwa tuntutan dari penuntut umum adalah terlalu berat dan tidak sesuai dengan rasa keadilan,