• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI RANTAUPRAPAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI RANTAUPRAPAT"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM

PENGADILAN NEGERI RANTAUPRAPAT

(Studi Kasus Putusan No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap dan Putusan No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap)

TESIS

OLEH:

FRENGKY MANURUNG 197005016/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM

PENGADILAN NEGERI RANTAUPRAPAT

(Studi Kasus Putusan No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap dan Putusan No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap)

TESIS

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi (S2) Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

FRENGKY MANURUNG 197005016/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)
(4)

Telah diuji pada

Tanggal : ____ Juli 2021

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., MS.

Anggota : 1. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., MS.

2. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.

3. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum.

4. Dr. Marlina, S.H., M.Hum.

(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Penelitian ini fokus kepada disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Rantauprapat. Studi kasus yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu: 1) Putusan PN.Rantauprapat No.

159/Pid.Sus/2019/PN.Rap., An. Terdakwa “Musa”; 2) Putusan PN.Rantauprapat No.

629/Pid.Sus/2020/PN.Rap., An. Terdakwa “Husin”. Kedua terdakwa sama-sama dituntut dengan Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika, akan tetapi terdapat perbedaan tuntutan hukuman penjara, yaitu: terhadap Terdakwa Musa dituntut 8 tahun, sedangkan Terdakwa Husin dituntut 6 tahun. Terhadap tuntutan denda, juga sama, yaitu sebesar Rp. 1.000.000.000,-. Permasalahan dalam penelitian ini: 1) Pengaturan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika menurut UU Narkotika; 2) Analisis hukum pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap kedua putusan pengadilan tersebut; dan 3) Faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap kedua putusan tersebut.

Metode penelitian ini, jenisnya penelitian hukum normatif, bersifat deskriptif.

Pendekatan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Data bersumber dari data sekunder, putusan didapat dari Kepaniteraan Pengadilan Negeri Rantauprapat. Teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan dan lapangan dengan alat studi dokumen dan wawancara. Analisis data menggunakan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Pengaturan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan UU Narkotika dapat memperburuk keadaan bagi pelaku penyalahguna narkotika. Sebab, Pasal 112 dan Pasal 114 dapat dikenakan kepada pelaku penyalahguna narkotika, sebaliknya Pasal 127 yang seharusnya dikenakan bagi pengguna dapat pula dikenakan kepada pengedar ataupun bandar narkotika; 2) Kedua putusan yang diangkat sebagai contoh kasus, berdasarkan teori disparitas pemidanaan sebenarnya secara hukum telah disidangkan, diproses dengan cara-cara yang berdasar hukum. Akan tetapi, hasilnya tidak memenuhi rasa keadilan yang berkembang di masyarakat; 3) Faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap perkara tindak pidana narkotika yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu: a) Faktor hukum, terdapat multitafsir dalam Pasal 112 dan Pasal 127 UU Narkotika; b) Faktor aparat penegak hukum, terdapat kewenangan diskresi hakim untuk menggunakan kewenangannya menemukan kebenaran sejati yang tidak digunakan oleh hakim pemutus;

c) Faktor budaya hukum, terdapat budaya suap dan damai ditempat, serta pengurusan tuntutan dan putusan dengan hukuman yang lebih ringan. Direkomendasikan kepada: 1) Pemerintah RI, sebaiknya segera melakukan revisi UU Narkotika terhadap Pasal 112 dan/atau Pasal 114 serta Pasal 127; 2) Hakim yang menyidangkan perkara, sebaiknya menggali fakta-fakta hukum yang lebih dalam agar menemukan kebenaran sejati dalam perkara yang disidangkan; dan 3) Stakeholders, sebaiknya bersama-sama membuat

“dekriminalisasi” terhadap tindak pidana pengguna narkotika dengan mengalihkannya kepada proses hukum administratif atau pelayanan kesehatan.

Kata Kunci: Disparitas; Putusan; Narkotika; Pengadilan Rantauprapat.

(8)

ABSTRACT

This study focuses on the disparity of judges' decisions on narcotics crimes in the jurisdiction of the Rantauprapat District Court. The case studies adopted in this study are: 1) PN. Rantauprapat Decision No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap., An.

Defendant “Musa”; 2) PN Rantauprapat Decision No. 629/Pid.Sus/2020/PN.Rap., An.

Defendant "Husin". The two defendants were both charged with Article 112 paragraph (1) of the Narcotics Law, but there were differences in the demands for prison sentences, namely: Defendant Musa was charged with 8 years, while Defendant Husin was sentenced to 6 years. The demands for fines are also the same, namely Rp.

1,000,000,000,-. The problems in this study: 1) The regulation of punishment for narcotics criminals according to the Narcotics Law; 2) Legal analysis of judges' considerations in making decisions on the two court decisions, and 3) Factors causing the disparity of judges' decisions to the two decisions.

This research method, the type is normative legal research, is descriptive. The approach uses a statutory approach. The data comes from secondary data, the decision is obtained from the Registrar of the Rantauprapat District Court. Data collection techniques are literature and field studies using document studies and interviews. Data analysis using qualitative.

The results of the study show that: 1) Criminalization arrangements for narcotics criminals based on the Narcotics Law can worsen the situation for narcotics abusers. Because, Article 112 and Article 114 can be imposed on narcotics abusers, on the contrary Article 127 which should be imposed on users can also be imposed on narcotics dealers or dealers; 2) The two decisions that are appointed as examples of cases, based on the theory of criminal disparity, have actually been legally tried, processed in ways that are based on law. However, the results do not meet the growing sense of justice in society; 3) The factors causing the disparity of judges' decisions on narcotics crime cases raised in this study, namely: a) Legal factors, there are multiple interpretations in Article 112 and Article 127 of the Narcotics Law; b) The factor of law enforcement officers, there is a judge's discretionary authority to use his authority to find the true truth that is not used by the deciding judge; c) Legal culture factors, there is a culture of bribery and peace in place, as well as processing demands and decisions with lighter penalties. It is recommended to: 1) The Government of the Republic of Indonesia, should immediately revise the Narcotics Law against Article 112 and/or Article 114 and Article 127; 2) The judge who hears the case should dig deeper into the legal facts to find the true truth in the case being tried; 3) Stakeholders, should jointly make "decriminalization" of criminal acts of narcotics users by diverting them to administrative legal processes or health services.

Keywords: Disparity; Decision; Narcotics; Rantauprapat Court.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada Penulis sehingga masih diberikan kesehatan, hikmat, kebijaksanaan dan kesempatan, serta kemudahan dalam mengerjakan penelitian ini.

Pada penelitian ini, penulis dengan ketulusan hati, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si., sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara periode 2016 – 2021.

3. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum (S2) dan Doktor Ilmu Hukum (S3) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

5. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., MS., sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Penguji yang telah memberikan segala kemudahan kepada penulis untuk secepatnya menyelesaikan studi di kampus.

6. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., MS., sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan dorongan, arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis untuk secepatnya menyelesaikan studi di kampus.

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., sebagai Anggota Komisi Penguji yang telah memberikan masukan yang membangun demi penyempurnaan penelitian ini.

8. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., sebagai Anggota Komisi Penguji yang telah memberikan masukan dalam penelitian yang penulis lakukan.

(10)

9. Terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam kepada ayahanda, Lissius Manurung, dan ibunda, Kornelia Sitorus yang telah mendidik penulis hingga sampai kepada jenjang pendidikan tinggi.

Terima kasih kepada isteri tercinta, Rosdiana Oktafia Hutagaol, S.H., dan anak- anakku, Felicia Immanuela Manurung, Frichilla Immanuela Manurung, Frichelsy Immanuela Manurung, dan Felixio Immanuel Manurung, yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan penelitian ini dan juga dengan setia menemani belajar hingga larut malam demi mencapai cita-cita.

Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku seperjuangan yang sudah membantu selama penyelesaian penelitian ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu.

Terakhir ucapan terima kasih kepada Para Dosen dan Para Pegawai Sekretariat Program Studi (S2) Magister Ilmu Hukum FH-USU yang telah memberikan bantuan selama ini kepada penulis selama menyelesaikan studi.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.-

Medan, Juli 2021 Hormat Saya,

Penulis,

FRENGKY MANURUNG NIM. 197005016/HK

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. DATA PRIBADI

NAMA : FRENGKY MANURUNG

TMPT /TGL LAHIR : MEDAN / 25/02/1982

ALAMAT : JALAN ABDUL SANI

MUTHALIB PERUM.

GRIYA SAPTA MARGA BLOK A-10 LK. 21, KEL.

TERJUN, KEC. MEDAN MARELAN

KOTA MEDAN – SUMATERA UTARA

JABATAN : KASI PENGELOLAAN BARANG BUKTI DAN

BARANG RAMPASAN PADA KEJARI NATUNA DI RANAI

INSTANSI : KEJAKSAAN RI

AGAMA : KRISTEN PROTESTAN

NAMA AYAH : LISSIUS MANURUNG NAMA IBU : KORNELIA SITORUS

ISTERI : ROSDIANA OKTAFIA HUTAGAOL, S.H.

ANAK : 1. FELICIA IMMANUELA MANURUNG

2. FRICHILLA IMMANUELA MANURUNG 3. FRICHELSY IMMANUELA MANURUNG 4. FELIXIO IMMANUEL MANURUNG SUKU / BANGSA : BATAK / INDONESIA

E-MAIL : [email protected] II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

1. PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH UMUM

a. SD : (1996) SD NEGERI WONOCOLO III – SIDOARJO b. SMP : (1999) SLTP KATOLIK ST. YUSTINUS DE

YACOBIS – KRIAN

c. SMA : (2002) SMU KATOLIK SANTO YUSUP KARANGPILANG - SURABAYA

2. PENDIDIKAN TINGGI

a. S1 : (2008) SARJANA HUKUM, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BHAYANGKARA, SURABAYA – JAWA TIMUR

b. S2 : (2021) MAGISTER HUKUM, PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN

(12)

III. RIWAYAT PENDIDIKAN JAKSA

1. DIKLAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TEKNIS ADMINISTRASI KEJAKSAAN DI PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEJAKSAAN AGUNG RI TAHUN 2009;

2. DIKLAT PRAJABATAN DI BADAN DIKLAT PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2009;

3. SEMINAR NASIONAL PENGGUNAAN KEUANGAN DAERAH UNTUK PENYELENGGARAAN KEGIATAN OLAHRAGA TAHUN 2009;

4. PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN JAKSA (PPPJ) ANGKATAN LXXIII GELOMBANG I TAHUN 2016 DI BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016;

5. IN HOUSE TRAINING : PENINGKATAN KAPASITAS JAKSA DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2018

6. SOSIALISASI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA SECARA TERPADU BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI (SPPT-TI) TAHUN 2019;

7. IN HOUSE TRAINING : PENINGKATAN KAPASITAS PENUNTUT UMUM DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA TERKAIT SATWA LIAR TAHUN 2019;

8. IN HOUSE TRAINING PENINGKATAN KAPASITAS JAKSA DALAM PENANGANAN BARANG BUKTI / ALAT BUKTI ELEKTRONIK TAHUN 2019

9. DIKLAT PENGELOLAAN BENDA SITAAN DAN BARANG RAMPASAN TAHUN 2021.

IV. RIWAYAT KEPANGKATAN DAN GOLONGAN 1. YUANA WIRA TU, GOLONGAN III/A TAHUN 2008;

2. MUDA WIRA TU, GOLONGAN III/B TAHUN 2013;

3. AJUN JAKSA, GOLONGAN III/B TAHUN 2016;

4. JAKSA PRATAMA, GOLONGAN III/C TAHUN 2018;

5. JAKSA MUDA, GOLONGAN III/D TAHUN 2021.

V. RIWAYAT PENUGASAN

1. CPNS DI KEJAKSAAN NEGERI MEDAN TAHUN 2008;

2. PNS DI KEJAKSAAN NEGERI MEDAN TAHUN 2010;

3. JAKSA FUNGSIONAL PADA KEJAKSAAN NEGERI TANJUNG BALAI ASAHAN DI TANJUNG BALAI ASAHAN TAHUN 2016;

4. KEPALA SEKSI TINDAK PIDANA UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI LABUHAN BATU DI RANTAU PRAPAT TAHUN 2018;

5. KEPALA SEKSI PENGELOLAAN BARANG BUKTI DAN BARANG RAMPASAN PADA KEJAKSAAN NEGERI NATUNA DI RANAI TAHUN 2020.

(13)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

a. Teori Kepastian Hukum ... 13

b. Teori Disparitas Pemidanaan ... 18

c. Teori Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 20

2. Kerangka Konsep ... 21

G. Metode Penelitian ... 24

1. Jenis Penelitian ... 24

2. Sifat Penelitian ... 25

3. Pendekatan Penelitian ... 26

4. Sumber Data ... 27

5. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 29

6. Analisis Data ... 30

BAB II : PENGATURAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG- UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA 31

A. Pidana dan Pemidanaan ... 31

1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan ... 31

2. Sistem Pidana dan Pemidanaan ... 35

3. Tujuan Pemidanaan ... 49

a. Aliran Klasik ... 51

b. Aliran Modern ... 52

c. Aliran Neo-Klasik ... 54

1) Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Retributive / Vergeldings Theorie) ... 56

(14)

2) Teori Relatif atau Teori Tujuan (Utilitarian /

Doeltheorien) ... 58

a. Prevensi Umum (General Preventie) ... 59

b. Prevensi Khusus (Speciale Preventie) ... 60

3) Teori Gabungan (Verenigings Theorien) ... 61

B. Pengaturan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ... 65

1. Dasar Hukum Tindak Pidana Narkotika ... 65

2. Jenis Narkotika Yang Sering Disalahgunakan ... 66

3. Pelaku Tindak Pidana Narkotika ... 72

a. Penanam ... 72

b. Pengedar ... 73

c. Produsen ... 74

d. Pengguna ... 75

e. Prekursor Narkotika ... 76

4. Pembatasan Penyimpanan Narkotika ... 77

5. Pengobatan dan Rehabilitasi ... 77

6. Kewenangan BNN dan Penyelidikan ... 78

7. Putusan Rehabilitasi Bagi Para Pecandu Narkotika ... 79

8. Peran Serta Masyarakat ... 80

9. Ketentuan Pidana ... 80

C. Kepastian Hukum Dalam Pengaturan Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ... 83

BAB III : ANALISIS HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM PUTUSAN PN. RANTAU PRAPAT NO. 159/PID.SUS/2019/PN.RAP., DAN PUTUSAN PN. RANTAU PRAPAT NO. 626/PID.SUS/2020/PN.RAP ... 88

A. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika ... 88

1. Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap. ... 88

a. Kronologis Kasus ... 88

b. Dakwaan ... 89

c. Tuntutan ... 90

d. Pertimbangan Hukum ... 91

e. Amar Putusan ... 102

2. Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap. ... 103

a. Kronologis Kasus ... 103

(15)

b. Dakwaan ... 104

c. Tuntutan ... 105

d. Pertimbangan Hukum ... 106

e. Amar Putusan ... 114

B. Analisis Hukum Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika ... 114

1. Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap., An. Musa ... 114

2. Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap., An. Husin ... 117

BAB IV : DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI RANTAUPRAPAT ... 121

A. Disparitas Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Narkotika Dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat .. 121

B. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Putusan Hakim Terhadap Perkara Tindak Pidana Narkotika di Pengadilan Negeri Rantauprapat ... 122

1. Faktor Hukum ... 122

2. Faktor Aparat Penegak Hukum ... 127

3. Faktor Budaya Hukum ... 132

C. Analisis Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Putusan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika di Pengadilan Negeri Rantauprapat ... 133

1. Analisis Hukum Terhadap Multitafsir Pasal 112 dan Pasal 127 UU Narkotika ... 133

2. Kewenangan Diskresi Hakim ... 139

3. Budaya Hukum Terhadap Budaya Suap dan Damai Ditempat ... 143

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 148

A. Kesimpulan ... 148

B. Saran ... 149

DAFTAR PUSTAKA ... 152

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hakim merupakan organ pengadilan yang dianggap memahami hukum. Hakim diberikan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum berjalan dengan adil dan tidak berat sebelah/memihak. Hakim tidak hanya berperan sebagai corong undang-undang, tetapi hakim juga berperan sebagai penemu hukum (recht vinding), sesuai dengan nilai- nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat, terutama nilai-nilai Pancasila.1 Hakim beda dengan pejabat-pejabat lain, hakim mesti benar-benar menguasai hukum sesuai dengan sistem yang dianut di Negara Indonesia, dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.2

Kedudukan Hakim merupakan kedudukan kunci keberhasilan penegakan hukum yang menjadi tujuan utama kehidupan masyarakat di Negara Hukum.3 Hakim merupakan pejabat peradilan Negara yang diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili. Mengadili diartikan sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan perkara berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di dalam sidang pengadilan. Dalam memberikan keadilan hakim harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya

1 Dewi, E., “Peranan Hakim Dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia”, Jurnal Pranata Hukum, Vol. 5, No. 2, (2010).

2 Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman RI, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992).

3 Priyanto, A., “Citra Hakim dan Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, Jurnal Civics Media Kajian Kewarganegaraan, Vol. 2, No. 2, (2005), hlm. 1-10. DOI:

https://doi.org/10.21831/civics.v2i2.4374.

1

(17)

kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Selepas itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut dan oleh sebab itu hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat.

Terkadang polemik di dalam masyarakat timbul ketika hakim menjatuhkan pidana suatu putusan yang berbeda dalam tindak pidana yang sama (Disparitas Pidana).4

Disparitas Pidana (disparity of senlencing) adalah penerapan pidana yang berbeda dalam suatu tindak pidana yang sama. Dalam konteks ini, hakim sering kali memberikan putusan yang berbeda dalam suatu tindak pidana yang sama terutama dalam kasus tindak pidana narkotika. Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika), dalam tindak pidana narkotika perspektif subjeknya dibedakan menjadi dua, yaitu: pemakai atau pengedar. Dalam Pasal 103 UU Narkotika diatur tentang hal-hal yang membuat tersangka dapat diberikan rehabilitasi dan Pasal 129 UU Narkotika yang mengatur pidana penjara dan denda bagi pelaku tindak pidana narkotika. Hal-hal ini yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan.5

Dengan demikian, disparitas adalah kebebasan yang diberikan undang-undang kepada hakim untuk memutus perkara sesuai dengan ketentuan, walaupun putusan tersebut dapat saling berbeda antara suatu perkara dengan perkara yang lain. Dalam

4 Anjasmara Putra, A.A.N.R., dkk., “Disparitas Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Narkotika”, Jurnal Analogi Hukum, Vol. 2, No. 2, (2020), hlm. 129-135. Doi:

https://doi.org/10.22225/ah.2.2.1884.129-135.

5 Ibid.

(18)

perkara narkotika, hakim diberi kebebasan untuk memberikan perbedaan hukuman kepada pecandu atau korban narkotika untuk direhabilitasi atau tidak. Bisa saja dalam perkara yang satu terdakwa diperintahkan untuk direhabilitasi, tetapi dalam perkara yang lain tidak ada perintah rehabilitasi.

Disparitas mempunyai arti “perbedaan”. Definisi disparitas yang dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).6 Oleh karenanya, disparitas menjadi kebalikan dari asas hukum secara umum, yaitu: adanya persamaan di muka hukum (equality before the law).

Di bidang profesi hakim dalam menjatuhkan putusan, disparitas adalah kebebasan yang diberikan undang-undang kepada hakim untuk memutus perkara sesuai dengan ketentuan walaupun putusan tersebut bisa saling berbeda antara suatu perkara dengan perkara yang lain.7 Kebebasan diberikan kepada hakim karena fakta- fakta persidangan dari satu perkara berbeda dengan perkara yang lain.

Menurut Andrew Ashworth, dalam bukunya Sentencing and Criminal Justice, mengatakan: “disparitas putusan tidak dapat dilepaskan dari diskresi hakim menjatuhkan hukuman dalam suatu perkara pidana”.8 Di Indonesia, disparitas hukuman juga sering dihubungkan dengan independensi hakim. Guru Besar FH-UI, Harkristuti Harkrisnowo, menyatakan bahwa:

6 KBBI Online, “Disparitas”, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disparitas., diakses Sabtu, 06 Maret 2021.

7 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman beserta Penjelasannya.

8 Andrew Ashworth, Sentencing and Criminal Justice: 5th Edition, (New York: Cambridge University Press, 2005), hlm. 72.

(19)

“Terjadinya disparitas pidana dalam penegakkan hukum karena adanya realita disparitas pidana tersebut, tidak heran jika publik mempertanyakan apakah hakim/pengadilan telah benar-benar melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan? Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi disparitas pidana di persepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice). Sayangnya secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum.

Meskipun demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan”

pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim”.9 Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan.

Tetapi pada akhirnya hakimlah yang paling menentukan terjadinya disparitas.

Misalnya, ada dua orang yang melakukan tindakan pencurian dengan cara yang sama dan akibat yang hampir sama. Meskipun hakim sama-sama menggunakan Pasal 362 KUHP, bisa jadi hukuman yang dijatuhkan berbeda. Disparitas putusan hakim ini terjadi juga pada perkara tindak pidana narkotika. Jika terdakwa terbukti bersalah, pada peraturan perundang-undangan telah diatur, patokan hakim untuk memberikan hukuman penjara selama di antara paling singkat atau paling lama.

Sebagai contoh, dapat diperhatikan sanksi pidana yang disebut dalam Pasal 111 ayat (1) UU Narkotika:

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah)”.

9 Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Pidato, pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 12.

(20)

Dari ketentuan sanksi tersebut, hakim memiliki kekebasan untuk menjatuhkan hukuman di antara 4 - 12 tahun dan pidana denda antara Rp. 800 juta – Rp 8 miliar.

Contoh lain, soal pecandu narkotika. Putusan hakimlah yang menentukan apakah yang bersangkutan (dalam hal ini Pecandu Narkotika) menjalani rehabilitasi, atau tidak, berdasarkan pada terbukti atau tidaknya tindak pidana yang dilakukan. Artinya, ada proses pemeriksaan di pengadilan terlebih dahulu, sebelum adanya putusan hakim yang menentukan seseorang direhabilitasi atau tidak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU Narkotika:

(1) “Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika, dapat:

a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

Penjelasan:

“Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan”.

b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.

Penjelasan:

Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata menetapkan bagi Pecandu Narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa Pecandu Narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan.

(21)

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman”.

Fakta-fakta persidangan dapat membuktikan, pelaku tindak pidana selain sebagai pelaku tindak pidana, bisa juga sebagai korban. Misalnya, pelaku tertangkap menghisap ganja karena ikut-ikutan dengan teman-temannya. Sehingga, terdakwa masih dimungkinkan hidup normal dalam kehidupan masyakarakat. Dalam perkara seperti ini, hakim diberi kebebasan untuk memberikan perbedaan hukuman kepada pecandu atau korban narkotika untuk direhabilitasi, atau tidak.

Jadi, disparitas tersebut diberikan kala menjatuhkan pidana. Bisa saja dalam perkara yang satu terdakwa diperintahkan untuk direhabilitasi, tetapi dalam perkara yang lain tidak ada perintah rehabilitasi. Ketentuan soal pemberian rehabilitasi terdapat dalam Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional No. 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (selanjutnya disebut

“Peraturan BNN No. 11/2014”). Pada praktiknya, dalam memutuskan memberikan rehabilitasi atau tidak, majelis hakim memberikannya dengan sangat ketat atau selektif.

Dalam penelitian ini fokus kepada disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana narkotika di wilayah hukum Labuhan Batu. Studi kasus yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu:

1. Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap., tertanggal 23 Mei 2019 An. Terdakwa Musa Dayan Hasibuan alias Musa.

(22)

2. Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 629/Pid.Sus/2020/PN.Rap., tertanggal 07 Oktober 2020 An. Terdakwa Muhammad Husin alias Husin.

Pada kedua kasus tersebut, kedua terdakwa sama-sama dituntut dengan Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika, akan tetapi terdapat perbedaan tuntutan hukuman penjara, yaitu: terhadap Terdakwa Musa dituntut 8 (delapan) tahun, sedangkan Terdakwa Husin dituntut 6 (enam) tahun. Terhadap tuntutan denda, juga sama, yaitu sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Adapun perbedaan (disparitas) amar putusan kedua contoh kasus tersebut di atas, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1

Disparitas Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Narkotika Putusan PN.Rap No. 159/Pid.Sus/

2019/PN.Rap., tgl. 23/05/2019 An.

Terdakwa Musa

Putusan PN.Rap No. 629/Pid.Sus/

2020/PN.Rap., tgl. 07/10/2020 An.

Terdakwa Husin

Pasal digunakan Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika

Pidana Penjara 3 (tiga) tahun 5 (lima) tahun

Denda Rp. 1.000.000.000,- Rp. 1.000.000.000,-

Subsidair 3 (tiga) bulan 3 (tiga) bulan

Barang Bukti 1) 1 (satu) bungkus plastik klip berisi Narkotika jenis Sabu berat 0,14 gr netto 2) 1 (satu) unit handphone merk Nokia 3) 2 (dua) bungkus plastik klip berisi Narkotika jenis Sabu berat 1,16 gr netto 4) 3 (tiga) buah bong terbuat dari botol kaca dikemas dengan pipet

5) 1 (satu) unit handphone merk Samsung

6) 1 (satu) buah timbangan elektrik

1) 1 (satu) bungkus plastik klip tembus pandang berisi Narkotika jenis Sabu berat 0,20 gr netto

2) 1 (satu) bungkus plastik klip tembus pandang berisi Narkotika jenis Sabu berat 0,44 gr netto

3) 1 (satu) buah kotak rokok merk Ziga

Sumber : Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap., tertanggal 23 Mei 2019 An. Terdakwa Musa Dayan Hasibuan alias Musa dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 629/Pid.Sus/2020/PN.Rap., tertanggal 07 Oktober 2020 An.

Terdakwa Muhammad Husin alias Husin.

Berdasarkan data tabel di atas, terdapat disparitas putusan hakim dalam mengadili tindak pidana narkotika di wilayah hukum Labuhan Batu yang termasuk

(23)

yurisdiksi Pengadilan Negeri Rantau Prapat. Disparitas tersebut dapat dilihat pada pidana yang dijatuhkan hakim yaitu pidana penjara, Perkara No. 159 dijatuhi pidana penjara 5 (lima) tahun, sedangkan Perkara No. 629 dijatuhi pidana penjara 3 (tiga) tahun. Padahal, barang bukti yang ada merupakan narkotika jenis shabu yang siap edar.

Penuntut Umum dalam kedua perkara tersebut, telah tepat dan benar memasukkan Pasal 114 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika sebagai dakwaannya.10

Permasalahan pokok dalam penelitian ini, kondisi yang sangat memprihatinkan dan menuntut semua pihak, khususnya Aparat Penegak Hukum untuk meningkatkan pengertian, pemahaman, dan keterampilan dalam profesinya, sehingga dapat melaksanakan tugas dengan adil dan sebaik-baiknya. Dalam penyelenggaraannya, pengadilan harus menggunakan ukuran yang sudah diterima oleh pranata hukum pidana, yaitu asas legalitas. Asas legalitas menjamin masyarakat, dalam konteks ini terdakwa atau terpidana guna menghindari kesewenang-wenangan hakim dalam menetapkan perbuatan yang dapat dikategorikan dalam suatu rumusan delik.

Adanya disparitas pidana dalam suatu sistem peradilan pidana akan menyebabkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan semakin melemah dan akan menimbulkan stigma terhadap keberlangsungan hukum di Indonesia. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penelitian berjudul: “Disparitas Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri

10 Pidana penjara dalam Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika adalah minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 12 (dua belas) tahun.

(24)

Rantauprapat (Studi Kasus: Putusan No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap dan Putusan No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap)”, layak untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut.

B. Rumusan Permasalahan

Adapun permasalahan yang akan dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini, dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?

2. Bagaimana analisis hukum pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap. dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap?

3. Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap perkara tindak pidana narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap. dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji dan menganalisis pengaturan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

(25)

2. Untuk mengkaji dan menganalisis analisis hukum pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap. dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap.

3. Untuk mengkaji dan menganalisis faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap perkara tindak pidana narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap. dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu:

1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan dalam hal kajian ilmu hukum, khususnya hukum pidana dalam hal penegakan hukum tindak pidana narkotika oleh Aparat Penegak Hukum.

2. Secara Praktis, terdiri dari :

a. Sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi para akademisi dan masyarakat untuk melakukan penelitian lanjutan;

b. Sebagai bahan masukan bagi penegak hukum, khususnya Hakim Pengadilan Negeri Rantau Prapat dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan terhadap perkara tindak pidana narkotika.

(26)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan khususnya pada lingkungan Perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian dengan judul

“Disparitas Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum Pengadilan Negeeri Rantauprapat (Studi Kasus: Putusan No.

159/Pid.Sus/2019/PN.Rap dan Putusan No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap)” tidak pernah dilakukan. Namun, dalam rumusan masalah yang berbeda ditemukan beberapa penelitian, sebagai berikut:

Tabel 2 Penelitian Terdahulu

No. Judul Penelitian Permasalahan Nama Mahasiswa

1. Tesis berjudul :

KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY)

TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOBA DI KOTA MEDAN Lulus pada 03 Juni 2009

- Faktor yang melatarbelakangi anak memakai narkoba;

- Politik kriminal (criminal policy) yang selama ini dilakukan di Kota Medan terhadap anak pemakai narkoba;

- Politik kriminal di masa yang akan datang terhadap anak pemakai narkoba di Kota Medan.

Novalina Krisnawati Manurung 067005019/HK

2. Tesis berjudul :

DISPARITAS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA Lulus pada 2014

- Pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam putusan pengadilan;

- Faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam perkara tindak pidana narkotika yang dijatuhkan oleh hakim;

- Upaya meminimalisir terjadinya disparitas pidana dalam perkara-perkara tindak pidana narkotika.

Devy Iryanthy Hasibuan/

Prodi. Magister Ilmu Hukum FH-USU,

Medan

3. Tesis berjudul : DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA Lulus pada 2015

- Disparitas penjatuhan pidana oleh hakim terhadap kasus-kasus narkotika.

- Faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pemidanaan.

- Dampak disparitas putusan hakim.

Ivan Kusuma Yuda Prodi. Magister Hukum FH-Unair,

Surabaya

4. Tesis berjudul :

SANKSI TINDAKAN SEBAGAI SARANA ALTERNATIF PENANGGULANGAN KEJAHATAN PSIKOTROPIKA BAGI PECANDU DAN PELAKU ANAK DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA Lulus pada 2015

- Sanksi tindakan yang dapat dikenakan kepada seluruh anak-anak yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana psikotropika;

- Pertimbangan hukum dalam menjatuhkan sanksi tindakan terhadap pecandu dan pelaku anak tindak pidana psikotropika sebagai sarana alternatif dalam penanggulangan kejahatan psikoropika;

Anggoro Wicaksono

Prodi. Magister Ilmu Hukum FH-USU,

Medan

(27)

- Sanksi tindakan sebagai alternatif penanggulangan tindak pidana psikotropika dalam perspektif kebijakan hukum pidana.

5. Tesis berjudul : PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA

NARKOTIKA DI POLSEK SUNGGAL

Lulus pada 2019

- Pengaturan diversi dapat diterapkan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika menurut Undang- Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;

- Apakah penerapan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika telah sesuai dengan tujuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Indonesia, atau tidak;

- Kebijakan hukum pidana Indonesia terkait dengan penerapan penjatuhan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di Polsek Sunggal dikaitkan sebagai upaya penanggulangan kejahatan narkotika.

Daniel S. Marunduri

Prodi. Magister Ilmu Hukum FH-USU,

Medan

6. Tesis berjudul:

PENYELIDIKAN &

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA

NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 20212 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI PADA DIT.RESNARKOBA POLDA SUMUT)

Lulus pada 2020

- Penyelidikan & penyidikan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika yang masih di bawah umur berdasarkan UU SPPA;

- Penerapan UU SPPA dalam penyelidikan &

penyidikan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika di Dit.Resnarkoba Polda Sumut;

- Kendala hukum & upaya hukum yang dihadapi Dit.Resnarkoba Polda Sumut dalam penerapan UU SPPA terkait dengan penyelidikan dan penyidikan terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Dit.Resnarkoba Polda Sumut.

Hady Saputra Siagian/

Prodi. Magister Hukum FH-USU,

Medan

Sumber : Repository Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Repository Perpustakaan Universitas Negeri dan Swasta di Indonesia, http://repository.usu.ac.id., diakses Rabu, 16 Juni 2021.

Penulisan penelitian ini memiliki rumusan masalah dan tujuan penelitian yang berbeda. Begitu juga dengan kajiannya, mengenai disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana narkotika dengan studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat mengenai tindak pidana narkotika. Oleh karenanya, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah berupa isi dan contoh-contoh kasus yang dipaparkan.

F. Kerangka Teori dan Konsep

(28)

1. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini menggunakan kerangka teori dan kerangka konsep dengan tujuan agar penelitian ini mempunyai dasar yang kokoh. Kerangka teori mempunyai peranan penting dalam hal melakukan penelitian kualitatif. Pengetahuan dasar yang kokoh dimaksud yaitu terkait dengan disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana narkotika.

Adapun variabel permasalahan yang akan dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini, antara lain: pengaturan pemidanaan oleh hakim terhadap tindak pidana narkotika;

analisis pertimbangan hukum majelis hakim dalam menjatuhkan putusan dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat No. 159/Pid.Sus/2019/PN.Rap dan Putusan No. 626/Pid.Sus/2020/PN.Rap; dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas hakim dalam putusan tersebut. Untuk menjawab isu hukum tersebut, maka penelitian ini menggunakan beberapa teori hukum, yaitu: teori kepastian hukum; teori disparitas pemidanaan; dan teori penegakan hukum.

a. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum yang digunakan adalah adalah teori yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch. Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang berisi keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh berfungsi sebagi peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch, bahwa:

“Keadilan dan kepastian hukum merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dan ketertiban

(29)

suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan”.11

Menurut Gustav Radbruch memberi pendapat yang cukup mendasar mengenai kepastian hukum, ada 4 (empat) hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti yaitu dengan adanya keterangan. Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah berubah.12

Pemikiran hukum erat kaitannya dengan moral merupakan cara berpikir dalam aliran hukum alam. Dalam aliran hukum positif, hukum dan moral sama sekali tidak ada kaitannya.13 Hal ini dapat diamati dengan ciri-ciri pengertian positivisme hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh H.L.A Hart (1975: 287) antara lain:

1) “Hukum adalah perintah dari manusia (command of human being).

2) Tidak ada hubungan mutlak antara “Hukum/ law” dan “Moral”

sebagaimana yang berlaku/ ada dan hukum yang seharusnya.

3) Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum, pertama; mempunyai arti penting, kedua; harus dibedakan dari penyelidikan seperti 1) Historis mengenai sebab musabab dan sumber-sumber hukum; 2) Sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya; 3) Penyelidikan

11 Gustav Radbruch dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2002), hlm. 95.

12 A.W. Sanjaya, “Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia”, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember, 2015, hlm. 169-170.

13 Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, mengatakan bahwa filsafat positivisme hukum perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das ollen und sain). Lihat: Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 113.

(30)

hukum secara kritis atau penilaian, baik yang didasarkan moral, tujuan sosial, dan fungsi hukum.

4) Sistem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral.

5) Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan”.14 Demikian halnya John Austin, dengan konsepsinya dalam usaha mempositifkan moral sebagai hukum positif, hukum yang dibuat oleh manusia mengandung di dalamnya; suatu perintah, sanksi kewajiban, dan kedaulatan. Ketentuan yang tidak memenuhi ketiga unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai Positive Law, tetapi dapat disebut Positive Morality.15

Unsur perintah yang dimaksudkan Austin ini. Pertama; satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya. Kedua; pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah tersebut tidak dijalankan atau ditaati. Ketiga;

perintah itu adalah pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah. Keempat; hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat, siapa yang

14 Pendapat H.L.A. Hart dikutip oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 97-99.

15 Menurut John Austin, “Command are laws if two conditions are satisfied: firsts, they must be general; second, they must be commended by what exists in very political society, whatever its constitutional form, namely, a or a group of person who are in receipt of habitual obedience from most of the society…”. Dikutip dari David Dyzenhaus, Sophia Reibentanz Moreau dan Arthur Ripstein (Ed.), Law and Morality: Readings in Legal Philosophy, 3rd Edition, (Toronto: University of Toronto Press, 2007), hlm. 30-31.

(31)

berdaulat ini? yang berdaulat adalah “a souverign person atau soverign body persons”.16

Tokoh positivisme hukum selanjutnya adalah Hans Kelsen. Ada yang memasukan dalam aliran tersendiri sebagai “Aliran Hukum Murni”, pendapat tersebut tidak salah, karena memang Kelsen terkenal dengan “Pure of Law-nya” tetapi dari segi substansi pemikiran, Kelsen termasuk dalam aliran hukum positif. Esensi ajaran Kelsen dapat diidentifikasi sebagaimana yang ditulis oleh Friedman (1953: 113) antara lain:

1) “The aim of theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiplicify to unity.

2) Legal theory is science, not volition. It is knowledge of what the law is, not of the law not to be.

3) The law is normative not a natural science

4) Legal theory as a theory of norms is not concerned with the effectiveness of legal norm

5) A theory of law is formal, a theory of the way of ordering changing content in a specific way.

6) The relation of legal theory to a particular system of positive law is that or possible to actual law”.17

Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen perlu diperhatikan, yaitu:

1) “Ajaran tentang Hukum yang Bersifat Murni dan kedua yang berasal dari muridnya Adolf Merkl adalah Stufenbau des Recht yang mengutamakan tentang adanya hirearkis dari pada perundang-undangan. Dalam ajaran hukum murni Kelsen mengemukakan “bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, dan politis”

konsepsi hukum kelsen tersebut menunjukan bahwa ia ingin memisahkan hukum dengan “Etika” dan “Moral” sebagaimana yang diagung-agungkan oleg pemikir hukum alam seperti Cicero.

2) Ajaran Stufenbau des Recht dari Kelsen menghendaki suatu sistem hukum mesti tersusun secara hirearkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum

16 Lili Rasjid, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 42-44.

17 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, Cet. Ke-3, (Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2007).

(32)

tersebut bersumber pada ketentuan hukum yang lainnya lebih tinggi. Dalam Stufenbau des Recht norma tertinggi disebut “Ground Norm”. Norma tertinggi tersebut bersifat abstrak dan makin ke bawah semakin konkret”.18 Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan tersebut ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkret.

Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, sehingga pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, meskipun dunia ini runtuh namun hukum harus ditegakkan.

Inilah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan

dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.

Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.19

18 Ibid.

19 Dominikus Rato, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, (Surabaya:

Laksbang Justitia, 2010), hlm. 59.

(33)

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan tersebut menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.20

b. Teori Disparitas Pemidanaan

Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam alasan terjadi disparitas putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah teori disparitas pemidanaan yang dikemukakan Harkristuti Harkrisnowo.

Sebagaimana telah disebutkan dalam latar belakang bahwa dalam putusan perkara pidana dikenal adanya suatu kesenjangan dalam penjatuhan pidana yang lebih dikenal dengan disparitas. Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori, yaitu:

1) “Disparitas antara tindak pidana yang sama;

2) “Disparitas antara tindak pidana yang mempunyain tingkat keseriusan yang sama;

20 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 158.

(34)

3) Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim;

4) Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama”.21

Dalam penelitian ini, khusus membahas disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan, terdiri dari:

1) “Faktor intern;

2) Faktor pada undang-undang itu sendiri;

3) Faktor penafsiran;

4) Faktor politik; dan 5) Faktor sosial”.22

Disparitas putusan dalam hal penjatuhan pidana diperbolehkan menurut Pasal 12 huruf (a) KUHP yang menyatakan pidana penjara serendah-rendahnya 1 (satu) hari dan selama-lamanya seumur hidup. Disparitas pidana dapat diartikan sebagai penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifatnya berbahaya dapat diperbandingkan (offence of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.23

Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Sudarto mengatakan bahwa pedoman pemberian pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan

21 Harkristuti Harkrisnowo, Op.cit.

22 Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Datacom, 2002).

23 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005).

(35)

perbuatan yang didakwakan kepadanya. Pedoman pemberian pidana itu memuat hal- hal yang bersifat objektif mengenai hal-hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan memperhatikan hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Pendapat Sudarto ini dibenarkan pula oleh Muladi, karena masalahnya bukan menghilangkan disparitas secara mutlak, tetapi disparitas tersebut harus rasional.24

Dengan demikian, untuk mengkaji dan menganalisis disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda terhadap tindak pidana sama dianalisis berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi hakim tersebut.

c. Teori Penegakan Hukum

Menurut Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa:

“Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan bahwa penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. Keberhasilan penegakan hukum akan dipengaruhi oleh faktor-faktor, berikut diantaranya:

1) Faktor hukum itu sendiri;

2) Faktor penegak hukum;

3) Faktor sarana pendukung;

4) Faktor masyarakat;

5) Faktor kebudayaan”.25

Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan aspek-aspek tersebut secara stimulan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat karena merupakan

24 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 1981).

25 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 7.

(36)

esensi dari penegakan hukum sehingga proses penegakan hukum dan keadilan secara internal dapat diwujudkan secara nyata. Kelima faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut akan digunakan untuk mengkaji dan menganalisis faktor- faktor penyebab terjadinya disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Rantau Prapat.

2. Kerangka Konsep

Kerangka konsep digunakan untuk menghindari kesalahan dalam memaknai konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini. Adapun konsep-konsep tersebut diberikan definisi operasional, sebagai berikut:

a. Disparitas adalah Disparitas Pidana (disparity of senlencing) adalah penerapan pidana yang berbeda dalam suatu tindak pidana yang sama. Dalam konteks ini, hakim sering kali memberikan putusan yang berbeda dalam suatu tindak pidana yang sama terutama dalam kasus tindak pidana narkotika.26

b. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini.27 Dalam proses pengambilan putusan oleh majelis hakim diatur dalam Pasal 182 ayat (3) s.d. (7) KUHAP yaitu sebagai berikut :

26 Anjasmara Putra, A.A.N.R., dkk., Op.cit.

27 Pasal 1 angka 11 Jo. Pasal 195 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana.

(37)

(1) “Hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil putusan, dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan ruangan sidang;

(2) Musyawarah tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan disidang;

(3) Dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan di mulai dari hakim termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasannya;

(4) Pada asanya putusan majelis hakim merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut :

a. Putusan diambil dengan suara terbanyak

b. Jika dengan suara terbanyak juga tidak dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang menguntungkan bagi terdakwa;

(5) Pelaksanaan pengambilan putusan dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut bersifat rahasia”.

Syarat utama bagi keputusan hakim adalah keputusan yang harus beralasan sehingga dapat dipertanggungjawabkan, bukan saja kepada yang berkepentingan langsung, yaitu penuntut umum dan terdakwa, tetapi juga terhadap masyarakat umumnya. Dengan keputusannya hakim harus menunjukkan bahwa ia tidak mengambil keputusan dengan sewenang-wenang, bahwa peradilan yang ditugaskan kepadanya sebagai anggota dari kekuasaan kehakiman selalu dijunjung tinggi dan dipelihara sebaik-baiknya sehingga kepercayaan masyarakat akan penyelenggaraan peradilan layak dan tidak sia- sia.28

28 M.H. Tirtaamidjaja, Kedudukan Jaksa dan Acara Pemeriksaan Perkara Pidana dan Perdata, (Jakarta: Djambatan, 1996), hlm. 70.

(38)

c. Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan. Di Indonesia, hakim adalah Pejabat Negara. Sesuai Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Hakim terdiri atas Hakim di Mahkamah Agung RI dan peradilan dibawahnya serta Hakim di Mahkamah Konstitusi”.29 Dalam penelitian ini, yang dimaksud hakim adalah hakim sebagai bawahan Mahkamah Agung RI.

d. Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya ia menyatakan menurut wujudnya atau sifatnya, tindak pidana itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana, apabila perbuatan itu: melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana, pelakunya diancam dengan pidana.30 e. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu perbuatan yang diancam oleh sanksi

pidana yang terdapat pada Bab XV Pasal 111 s.d. Pasal 148 UU Narkotika terhadap pelaku yang menyalahgunakan zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif

29 Lihat: Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

30 Moeljatno dalam S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan, Cet.

ke-3, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 208.

(39)

pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.31

f. Wilayah Hukum Labuhan Batu adalah termasuk ke dalam yurisdiksi Pengadilan Negeri Rantau Prapat yang berkedudukan di Jalan SM. Raja No. 58, Rantau Prapat, Sumatera Utara. Pengadilan Negeri Rantau Prapat sebagai yurisdiksi wilayah hukum Kabupaten Labuhan Batu, sebab ibukotanya terdapat di Kota Rantauprapat. Wilayah Rantauprapat terbagi menjadi 2 (dua) kecamatan dan 19 (sembilan belas) kelurahan dalam Kabupaten Labuhanbatu.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum sebagai suatu proses yang menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu hukum yang dihadapi.32 Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.33

31 Lihat: Ketentuan Sanksi Pidana dalam UU Narkotika.

32 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 38.

33 Johnny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: BayuMedia Publishing, 2005), hlm. 47.

(40)

Penelitian mengenai disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana narkotika ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu menitikberatkan kepada asas-asas hukum dan sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang permasalahan yang diteliti, apakah telah sejalan dengan undang-undang, atau tidak.

2. Sifat Penelitian

Penelitian menurut sifatnya ada 3 (tiga), yaitu34 :

a. “Penelitian eksploratif, merupakan penelitian yang dilakukan apabila suatu gejala yang akan diselidiki masih kurang sekali bahkan tidak ada;

b. Penelitian deskriptif, merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya;

c. Penelitian eksplanatoris, merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk menguji hasil hipotesa-hipotesa tertentu”.

Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan- ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aktivitas hukum.35

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi

34 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3, (Jakarta : UI Press, 2007), hlm.

10.

35 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 22.

Gambar

Tabel 2  Penelitian Terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

Perbuatan para pengguna atau pecandu yang menguasai memiliki narkotika untuk tujuan dikonsumsi atau dipakai sendiri tidak akan terlepas dari jeratan Pasal 112 tersebut,

narkotika. d) Hukuman yang adil terhadap orang yang melakukan tindak pidana narkotika. e) Perbandingan hukum Islam dan hukum Positif dalam kasus pengedar.. narkotika

Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang Dalam putusan ini, perbuatan terdakwa didakwa melanggar pasal 36 ayat 3 Undang-Undang No.7 Tahun 2011 tentang

Dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa, Majelis hakim memiliki banyak pertimbangan, mulai dari tuntutan umum, terpenuhinya unsur-unsur sesuai dengan

Pertimbangan Hakim pada kasus Nomor: 587/Pid.Sus/2018/PN Jmb hakim menjatuhkan pidana penjara tersebut sudah tepat karena terdakwa merupakan pelaku bukan korban

Menyatakan Terdakwa PUJI WIJAYANTO, SH, MH telah terbukti secara dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “penyalahguna Narkotika Golongan I untuk diri sendiri”;..

Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) penjatuhan putusan pemidanaan kepada terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jiak pengadilan berpendapat dan menilai

Berkenaan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut agar dijatuhkan pidana terhadap Terdakwa Muhammad Jauhari alias Jol Bin Abdul Manaf berupa pidana penjara selama 4 Empat