• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka teori kesenjangan dan keberimbangan pembangunan antar wilayah

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ALOR

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian dan Deskrips

2.1.2. Kerangka teori kesenjangan dan keberimbangan pembangunan antar wilayah

a. Urgensi keberimbangan pembangunan wilayah.

Menurut Rustiadi et al. (2003 ) bahwa setiap pemerintah baik di negara berkembang (developing countries) maupun belum berkembang (less developed

countries) selalu berusaha untuk meningkatkan keterkaitan yang simetris antar

wilayah dan mengurangi kesenjangan karena beberapa alasan, antara lain: (1) Untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap; (2) Untuk mengembangkan ekonomi secara cepat; (3) Untuk mengoptimalkan pengembangan kapasitas dan mengkonservasi sumber daya; (4) Untuk meningkatkan lapangan kerja;(5) Untuk mengurangi beban sektor pertanian; (6) Untuk mendorong desentralisasi; (7) Untuk menghindari konflik lepas kendali dan instabilitas politik disintegratif; (8) Untuk meningkatkan Ketahanan Nasional.

Menurut Hill (1996) yang diacu Hadi (2001), isu pemerataan pembangunan wilayah sangat penting dengan beberapa alasan pokok: (1) terdapat ketimpangan antar wilayah dalam berbagai aspek seperti pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk, potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia; (2) alasan politis dalam bentuk permasalahan etnis yang mendiami wilayah yang tersebar, dimana isu ketidakmerataan distribusi sumberdaya alam daerah yang harus diserahkan seluruhnya kepada pusat dan bukannya kepada daerah penghasil itu sendiri; dan (3) permasalahan dinamika spasial yang terjadi di daerah-daerah, yaitu sebagai suatu warisan historis dengan adanya ketidakseimbangan yang mencolok antara Jawa dan luar Jawa.

b. Teori Ketidakseimbangan Pertumbuhan Wilayah.

Menurut Tamenggung (1997) bahwa Teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah muncul terutama sebagai reaksi terhadap konsep kestabilan dan keseimbangan pertumbuhan dari teori Neoklasik. Tesis utama dari teori ini adalah bahwa kekuatan pasar sendiri tidak dapat menghilangkan perbedaan- perbedaan antar wilayah dalam suatu negara; bahkan sebaliknya kekuatan- kekuatan ini cenderung akan menciptakan dan bahkan memperburuk perbedaan-perbedaan itu.

Dalam kritiknya terhadap teori keseimbangan pertumbuhan, Myrdal (1975) berpendapat bahwa perubahan-perubahan dalam suatu sistem sosial tidak diikuti oleh penggantian perubahan-perubahan pada arah yang berlawanan. Beranjak dari pendapat ini, ia mengembangkan teori penyebab kumulatif dan berputarnya proses sosial untuk menjelaskan ketimpangan internasional dan antar wilayah. Menurut Myrdal, terdapat dua kekuatan yang

bekerja dalam proses pertumbuhan ekonomi, efek balik negatif (backwash effect)

dan efek penyebaran (spread effect). Kedua kekuatan itu digunakan untuk menunjukkan konsekuensi spasial dari pertumbuhan ekonomi terpusat baik negatif maupun positif.Kekuatan efek penyebaran mencakup penyebaran pasar hasil produksi bagi wilayah belum berkembang, penyebaran inovasi dan teknologi; sedangkan kekuatan efek balik negatif biasanya melampaui efek penyebaran dengan ketidakseimbangan aliran modal dan tenaga kerja dari wilayah tidak berkembang ke wilayah berkembang. Jadi, interaksi antar wilayah pada sistem pasar bebas cenderung memperburuk kinerja ekonomi wilayah yang belum berkembang. Menurut Myrdal, kondisi ini memberikan pengesahan terhadap intervensi mekanisme pasar untuk mengatasi efek balik negatif yang akan menimbulkan kesenjangan wilayah.

Teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah lebih jauh dikembangkan oleh Kaldor (1970) dan berdasarkan pandangan Kaldor teori ini diperjelas oleh Dixon dan Thirwall (1975). Menurut Kaldor, pertumbuhan output wilayah ditentukan oleh adanya peningkatan skala pengembalian, terutama dalam kegiatan manufaktur. Hal ini berarti bahwa wilayah dengan kegiatan utama sektor industri pengolahan akan mendapat keuntungan produktivitas yang lebih besar dibandingkan wilayah yang bergantung pada sektor primer, sehingga dapat disimpulkan bahwa wilayah dengan sektor industri akan tumbuh lebih cepat dibandingkan wilayah yang bergantung pada sektor primer. Dixon dan Thirwall mengembangkan teori Kaldor dengan menekankan dampak proses penyebab kumulatif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Pertumbuhan output wilayah menentukan tingkat perubahan teknologi dan pertumbuhan rasio modal dan tenaga kerja. Kedua faktor ini lebih l a n j u t akan menentukan pertumbuhan dan tingkat produktivitas wilayah. Pertumbuhan ekspor suatu wilayah bergantung pada daya saing relatif terhadap wilayah lainnya; dengan kata lain, pertumbuhan wilayah bergantung pada produktivitas wilayah itu sendiri, dan hal ini berarti bahwa suatu peningkatan produktivitas akan mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat ekspor suatu wilayah. Pada masalah ini, proses penyebab kumulatif pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara menyeluruh, karena pertumbuhan ekspor wilayah menentukan pertumbuhan output wilayah. Keterkaitan antara pertumbuhan output wilayah dan pertumbuhan produktivitas juga dikenal sebagai efek Verdoorn.

Teori pertumbuhan yang tidak seimbang menggambarkan bahwa pada saat suatu wilayah mencapai manfaat pertumbuhan, manfaat itu akan terus dipertahankan melalui efek Verdoorn. Semakin sering suatu wilayah memproduksi barang-barang dengan elastisitas permintaan yang tinggi terhadap pasar-pasar ekspor, semakin cepat tingkat pertumbuhan produktivitas sehingga wilayah lain akan menemukan kesulitan untuk menahan persaingan terhadap wilayah itu.

Hirchman (1958) dan Myrdal (1957) yang diacu Alonso (1979) menemukan mode - model polarisasi spatial ekonomi yang mirip sekali di dalam proses perkembangan. Pada tahap-tahap permulaan perkembangan, keuntungan terletak pada pusat-pusat yang sudah maju, yang menikmati fasilitas yang lebih lengkap, keuntungan-keuntungan ekstern, kekuatan politik, preferensi wilayah dari pada pembuat keputusan, masuknya unsur-unsur yang lebih bersemangat dan terpelajar dari daerah-daerah yang masih terbelakang, mengalirnya dana yang berasal dari tanah yang kaya di daerah pedalaman ke pasar-pasar uang di kota-kota, serta berbagai macam faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan polarisasi, yakni konsentrasi di kota- kota besar dan bertambah besarnya perbedaan pendapatan antara daerah- daerah. Akan tetapi setelah melewati titik tertentu efek-efek penurunan (tricle down effect) tertentu akan kelihatan.

Di lain sisi meningkatnya jumlah penduduk yang melek huruf, peluasan pelaksanaan birokrasi, meningkatnya pengetahuan pada daerah-daerah terbelakang, pembukaan jaringan-jaringan angkutan untuk mencapai daerah- daerah terbelakang, dapat membuka akses pasar bagi pusat-pusat yang sudah maju juga memberikan kemungkinan bagi terbukanya daerah-daerah itu bagi kegiatan-kegiatan yang produktif, pendidikan yang merata dan standardisasi seluruh segi kehidupan akan membawah integrasi pada ekonomi wilayah (space

economy) dan dengan mengusahakan berbagai eksternalitas menjadi hampir

sama untuk semua daerah, peluang-peluang yang terletak lebih jauh akan semakin berarti dan semakin penting bagi pembangunan.

Demikianlah dalam pandangan ini pada tahap-tahap permulaan perkembangan, terjadi kesenjangan yang makin meningkat antar daerah yang sudah maju dengan daerah yang masih terbelakang, akan tetapi kemudian terdapat kecenderungan kearah pemerataan pendapatan pada waktu perekonomian mulai memasuki tahap pendewasaan. Myrdal lebih pesemis dari

pada Hischman dalam hal konfergensi akhir (eventual convergence)” ini dan menghentikan analisisnya dengan apa yang disebutnya Lingkaran setan

backwash effects yang dapat disamakan dengan polarisasi Hirschman.

Pandangan Hirschman dan Myrdal diperkuat dengan penemuan Williamson (1965) bahwa: (1) disparitas regional lebih besar di negara-negara berkembang dan lebih kecil di negara-negara maju; (2) disparitas ini makin lama makin meningkat di negara-negara berkembang, sebaliknya akan menurun di negara- negara maju, penemuan ini benar-benar menunjukkan bahwa ketidak merataan regional jika digambarkan dalam kaitannya dengan perkembangan ekonomi akan menghasilkan kurva berbentuk lonceng yang beberapa titik puncaknya dicapai pada saat peralihan dari tahap lepas landas menuju tahap pendewasaan.

c. Faktor-faktor penyebab Kesenjangan Pembangunan.

Sebagaimana pada uraian di atas bahwa kesenjangan antar daerah dalam suatu perekonomian nasional maupun regional merupakan fenomena dunia. Hal ini terjadi pada semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah struktur sosial ekonomi dan distribusi spasial dari sumberdaya bawaan. Pada umumnya kesenjangan antar daerah lebih tajam terjadi pada negara sedang berkembang karena kekakuan sosial ekonomi (social economic rigidities) dan imobilitas faktor (factor immobilities). Dalam mengatasi masalah kesenjangan tersebut, hampir semua negara berusaha menerapkan kebijakan khusus untuk pembangunan daerah terbelakang (Uppal dan Handoko 1986 yang diacu Budiharsono 1996). Namun yang terjadi di Indonesia, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata disisi lain telah menimbulkan kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup melebar.

Sehubungan dengan itu, Hanafiah (1988) menyatakan bahwa secara alami tingkat pembangunan di berbagai wilayah dalam suatu daerah atau negara adalah tidak sama. Dengan demikian, dalam suatu wilayah tertentu dapat diidentifikasikan adanya wilayah yang kaya, maju, dinamis, dan berkembang serta wilayah yang miskin, tradisional, statis, dan terbelakang. Wilayah yang kaya adalah wilayah yang mempunyai sumberdaya alam melimpah dan diikuti oleh kegiatan manusia yang tinggi sehingga berkembang menjadi wilayah yang maju. Sedangkan wilayah yang miskin adalah wilayah yang mempunyai sumberdaya alam yang terbatas dan kegiatan penduduk yang masih rendah sehingga wilayah tersebut lambat berkembang atau wilayah tersebut belum berkembang akibat sumberdaya alamnya yang belum dieksploitasi secara optimal

dan berkelanjutan. Akibat adanya perbedaan tingkat perkembangan wilayah dan tingkat pembangunan dalam suatu wilayah atau daerah tertentu maka terjadi jurang kesejehteraan masyarakat antara wilayah kaya dan wilayah miskin. Apabila tidak ada campur tangan pemerintah secara aktif, keadaan tersebut akan bertambah buruk bagi corak pembangunan selanjutnya. Campur tangan pemerintah yang efektif akan mengatasi kekurangan penyediaan modal dan kapasitas teknologi di wilayah pendukung dalam proses pertumbuhan (Gerschenkron 1962).

Hadi (2001), juga menandaskan bahwa pertimbangan pemerataan dan keberlanjutan pembangunan antar wilayah, sering menjadi masalah yang belum dapat di atasi secara baik sampai saat ini. Apabila hal ini tidak diperhatikan maka daerah terbelakang tetap tertinggal dan yang sudah berkembang melaju lebih berkembang.

Secara umum penyebab terjadinya kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah antara lain faktor geografi, sejarah, politik, kebijakan pemerintah, administrasi , sosial dan ekonomi ( Murty 2000; Rustiadi et al . 2004 ).

Secara geografis, pada suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi perbedaan spasial baik jumlah maupun mutu sumberdaya mineral, sumberdaya pertanian, topografi, iklim, curah hujan dan sebagainya. Apabila wilayah tersebut memiliki kondisi geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan lebih berkembang.

Faktor sejarah memberikan inspirasi bahwa tingkat perkembangan suatu masyarakat dalam suatu wilayah cenderung tergantung pada apa yang telah dilakukan pada masa yang lalu. Bentuk organisasi/kelembagaan dan kehidupan perekonomian pada masa yang lalu merupakan penyebab yang cukup penting, terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. Sebagai contoh sistem feodalistik atau sistem kolonial cenderung tidak memberikan iklim yang bisa memacu prestasi dan kerja keras; contoh lain adanya budaya-budaya paternalistik dan egalatarian, dilain sisi dapat menguatkan social capital, tetapi dalam kenyataannya cenderung melemahkan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. Oleh karenanya perlu sistem yang dapat menciptakan kebebasan atau menekan tekanan psikis untuk bekerja dan berusaha yang dapat mendorong orang untuk berkembang lebih cepat.

Faktor instabilitas politik sangat mempengaruhi proses perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Politik yang tidak stabil akan menyebabkan

ketidakpastian atau keraguan orang atau investor untuk mengembangkan usaha atau menanamkan modal disuatu wilayah, sehingga wilayah tersebut tidak akan mengalami pertumbuhan. Bahkan seringkali terjadi pelarian modal keluar wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah lain yang kondisinya relatif lebih stabil (Rustiadi et al, 2004).

Lebih lanjut Rustiadi et al. (2004) menyatakan bahwa kesenjangan yang terjadi sebagai akibat kebijakan pemerintah, diantaranya adalah kebijakan pembangunan nasional masa lalu yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan membangun pusat-pusat pertumbuhan telah menimbulkan kesenjangan pembangunan yang luar biasa. Tricle down effect yang diharapkan bisa terjadi, dalam kenyataannya malah digantikan oleh backwash effect (pengurasan sumberdaya berlebihan) dari wilayah belakang (hinterland). Di katakan pula bahwa dalam era desentralisasi dan otonomi daerah kesenjangan pembangunan bisa terjadi, jika kebijakan pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang besar, kemudian menetapkan retribusi daerah yang tinggi bisa saja berdampak terhadap insentif permintaan yang rendah terhadap produksi rakyat. Melakukan eksplorasi sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan, keterkaitan antar sektor dan wilayah sering menjadi dilema., dan lain sebagainya.

Rustiadi et al. (2004) menyatakan pula bahwa kesenjangan pembangunan yang terjadi sebagai akibat dari faktor administrasi, sering terjadi pada wilayah- wilayah dengan sumberdaya manusia yang menjalankan fungsi administrator tersinyalir kurang jujur, kurang terpelajar, kurang terlatih dengan sistem administrasi yang kurang efisien. Sehingga pelayanan publik dalam bentuk perizinan usaha dll, menjadi rumit dan berbelit. Wilayah yang demikian dipastikan tidak memiliki insentif untuk kegiatan investasi dan pertumbuhan wilayah menjadi stagnan.

Selanjutnya kesenjangan pembangunan yang terjadi sebagai akibat dari faktor sosial, sering terjadi pada wilayah-wilayah yang masih tertinggal atau terisolasi dan yang masih kental dengan kehidupan atau kepercayaan- kepercayaan primitif, kepercayaan-kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang sangat kontra produktif terhadap perkembangan ekonomi. Ciri sosial budaya masyarakat seperti itu umumnya tidak memiliki institusi dan prilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian. Sebaliknya wilayah dengan masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan prilaku yang

kondusif untuk berkembang. Mereka percaya pada agama, tradisi, nilai-nilai sosial yang lebih mendorong tumbuh dan berkembangnya intelektualisme, profesionalisme, moralitas dan social cohesiveness bagi “kemajuan untuk semua” (Rustiadi et al. 2004)

Rustiadi et al. (2004) juga menyatakan bahwa kesenjangan pembangunan yang terjadi sebagai akibat dari faktor ekonomi, antara lain mencakup :

(1) Perbedaan kuantitas dan kualitas faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, tenaga kerja, modal , teknologi, infrastruktur, organisasi dan perusahaan. (2) Proses akumulasi dari berbagai faktor seperti lingkaran setan kemiskinan

(Comulative causation of poverty propensity). Ada dua tipe lingkaran setan

kemiskinan di wilayah-wilayah tertinggal. Pertama, sumberdaya terbatas dan ketertinggalan masyarakat menjadi sebab dan akibat dari kemiskinan.

Kedua, kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidupnya rendah,

efisiensi rendah, produktivitas rendah, pendapatan rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, pengangguran meningkat dan pada akhirnya masyarakat menjadi semakin tertinggal.

(3) Pengaruh pasar bebas yang berpengaruh pada spread effect dan backwash

effect. Pengaruh atau kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-

faktor ekonomi (tenaga kerja, modal, perusahaan) dan aktivitas ekonomi (industri, perdagangan, perbankan dan asuransi) yang dalam ekonomi maju memberikan hasil (return) yang lebih besar cenderung terkonsentrasi di wilayah-wilayah berkembang (maju). Perkembangan wilayah-wilayah ini ternyata terjadi karena penyerapan sumberdaya dari wilayah-wilayah sekitarnya (backwash effect). Spread effect yang diharapkan terjadi, ternyata lebih lemah dibanding dengan backwash effect . Sebagai akibatnya wilayah- wilayah atau kawasan yang beruntung akan semakin berkembang sedangkan wilayah-wilayah atau kawasan yang kurang beruntung akan semakin tertinggal.

(4) Terjadi distorsi pasar seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya

d. Penataan Ruang.

Berbicara menyangkut kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah pembangunan, tidak akan bisa terlepas dari kebijaksanaan penataan ruang karena penataan ruang merupakan salah satu bagian dari perencaan pembangunan wilayah, dimana kedudukannya adalah sebagai induk dari

semua proses perencanaan pembangunan wilayah. Penataan ruang merupakan bagian dari proses menciptakan keseimbangan antar wilayah sebagai wujud dari pembangunan yang berkeadilan. Penataan ruang mengisyaratkan, bagaimana membangun struktur keterkaitan pembangunan sektor dan wilayah yang seimbang dan berkeadilan, mencegah terjadinya kesenjangan pembangunan yang rawan menimbulkan berbagai konflik dan atau mengurangi kesenjangan tingkat pertumbuhan antar wilayah.

Undang-Undang No. 24 1992 Tentang Penataan Ruang menegaskan bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Akan tetapi Ruang yang merupakan bagian dari alam tersebut dapat pula menimbulkan suatu pertentangan jika tidak diatur dan direncanakan dengan baik dalam penggunaan dan pengendaliannya. Oleh karena itu perlunya suatu perencanaan “tata ruang” yang lebih komprehensif dan akomodatif terhadap semua kepentingan yang berspektif efisien, adil dan keberlanjutan. Dalam hal ini sejalan dengan apa yang diulas oleh Rustiadi et al. (2003) bahwa di masa sekarang dan akan datang diperlukan suatu pendekatan baru penataan ruang yang berbasis pada hal- hal berikut: (1) sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; (2) menciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah; (3) menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan berkelanjutan); dan (4) disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun.

Untuk melakukan suatu perencanaan tata ruang yang berbasis pada paradigma baru sebagaimana yang di ungkapkan diatas, tentunya diperlukan suatu kajian yang mendalam terhadap pola dan struktur tata ruang suatu wilayah yang sudah ada, karena pada umumnya suatu perencanaan wilayah yang di lakukan sebelum era otonomi daerah, dapat diprediksi banyak kekurangannya baik dari sisi proses perencanaan maupun pada implementasi dan pengendaliannya.

Menurut Rustiadi, et al (2003) bahwa setidaknya terdapat dua unsur penataan ruang, yakni unsur pertama terkait dengan proses penataan fisik ruang

dan unsur kedua adalah unsur institusional/kelembagaan penataan ruang (non fisik). Dimana unsur non fisik mencakup aspek-aspek organisasi penataan ruang dan aspek-aspek mengenai Aturan-aturan main penataan ruang. Sedangkan unsur fisik penataan ruang mencakup: (1) penataan pemanfaatan ruang; (2) penataan struktur/hirarki pusat-pusat wilayah aktivitas sosial ekonomi; (3) pengembangan jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas; dan (4) pengembangan infrastruktur.

Pada umumnya proses perencanaan tata ruang hanya di lihat sebagai suatu kegiatan pembagian zonasi (pengaturan penggunaan lahan) dan dianggap sebagai perencanaan fisik yang paling utama dalam proses penataan ruang, namun sekarang ini semakin disadari bahwa penataan penggunaan lahan (tata guna tanah) tanpa kelengkapan penataan unsur-unsur esensial lainnya, tidak akan pernah efektif, karena penatagunaan lahan tidak bersifat independent dari perencanaan struktur hirarki pusat-pusat pelayanan, struktur jaringan jalan dan perencanaan infrastruktur lainnya yang menyeluruh, termasuk unsur-unsur kelembagaan yang berperan (Rustiadi et al. 2003).

Rustiadi et al. (2003) menyatakan pula bahwa penataan struktur hirarki sebenarnya penting sebagai upaya meningkatkan fungsi dan peran wilayah- wilayah pusat pertumbuhan agar lebih berkembang sesuai potensi yang dimilikinya sekaligus dapat memberikan manfaat sosial (social benefit) yang optimal. Tetapi konsentrasi spatial (Aglomerasi) jika tidak diimbangi dengan implementasi perencanaan yang baik maka akan terjadi ketimpangan pertumbuhan wilayah karena perbedaan economic rent antara lokasi yang satu dengan lokasi yang lain. Di lain sisi suatu aktivitas pusat ekonomi tidak akan memberikan economic rent, apabila tidak diimbangi dengan pembentukan jaringan keterkaitan (linkage) antara pusat-pusat aktivitas yang dapat memfasilitasi ”aliran barang, jasa dan informasi”. Demikian pula pengembangan infrastruktur yang mencirikan suatu aktivitas ekonomi wilayah dapat bertumbuh dan berkembang.

e. Teori Pusat Pertumbuhan

Salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan aspek tata ruang adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan. Konsep ini didasarkan kepada 2 (dua) hipotesa dasar, yaitu: (1) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dimulai dan mencapai puncaknya pada sejumlah pusat-pusat tertentu; (2) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dijalarkan (disebarkan) di pusat-pusat pertumbuhan ini,

secara nasional melalui hirarkhi kota-kota secara regional dari pusat-pusat perkotaan

(urban centre) ke daerah belakang (hinterland) masing-masing .

Gagasan konsep tersebut pertama kali dikemukakan oleh Walter Christaler (1933) yang kemudian dikenal sebagai teori tempat sentral (Central Theory) yang selanjutnya dikembangkan oleh Losh, Berry dan Garrison (Hanafiah 1985, Pradhan 2003). Menurut teori ini pertumbuhan dari suatu kota merupakan akibat penyediaan barang dan jasa pada daerah belakangnya. Dengan kata lain, pertumbuhan daerah perkotaan adalah fungsi dari penduduk dan tingkat pendapatan daerah belakangnya, sedangkan laju peningkatan pertumbuhannya tergantung pada laju peningkatan permintaan dari daerah belakang atas barang dan jasa atau pelayanan perkotaan (Richardson, 1969 yang diacu Sitohang, 1991).

Pusat-pusat pertumbuhan tersebut berdasarkan studi di India telah dimodifikasikan dan dapat dibedakan atas: (1) pusat pelayanan pada tingkat lokal; (2) titik pertumbuhan pada tingkat sub-wilayah; (3) pusat pertumbuhan pada tingkat wilayah; (4) kutub pertumbuhan pada tingkat nasional.

Pusat suatu wilayah juga merupakan pusat barang dan jasa yang secara terperinci dinyatakan sebagai pusat perdagangan, perbankan, organisasi perusahaan, jasa profesional, jasa administrasi, pelayanan pendidikan dan hiburan bagi daerah hinterland. Permintaan antar hinterland sangat bervariasi dan berbanding terbalik dengan jarak dari pusat pertumbuhan karena adanya perbedaan dalam biaya transportasi. Dari uraian tersebut, terlihat bahwa jarak merupakan faktor kunci bagi Teori Christaler. Jarak didefinisikan sebagai maksimum jarak yang ingin ditempuh oleh seseorang untuk membeli barang tertentu yang ditawarkan pada suatu tempat.

Model teori pusat pertumbuhan yang dinyatakan oleh Christaler ini dapat digunakan jika memenuhi asumsi-asumsi berikut: (1) populasi penduduk tersebar di suatu wilayah secara homogen; (2) pusat menyediakan barang-barang dan jasa-jasa untuk hinterland-hinterland-nya, sehingga jika terdapat dua tempat sentral yang mampu menyediakan pelayanan yang sama akan mempunyai hinterland dengan ukuran yang sama pula; (3) pusat mempunyai pola memaksimumkan lokasi spasialnya (misalnya: dalam penggunaan lahan); (4) pusat membentuk suatu hirarkhi.

Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa fasilitas pelayanan dalam aspek tata ruang, kualitas dan jumlahnya berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sehingga dapat diidentifikasi, bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat ini ditentukan oleh derajad penyediaan fasilitas pelayanan yang tersedia. Ketersediaan fasilitas pelayanan pada gilirannya juga akan mendorong aktivitas

ekonomi yang makin maju. Sebagaimana dikemukakan oleh Hanafiah (1985), bahwa sistem pusat-pusat pertumbuhan sebagai salah satu implementasi pembangunan wilayah akan menciptakan perubahan-perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat, yaitu menurut suatu hirarkhi yang akan menciptakan suatu struktur dan organisasi tata ruang baru bagi kegiatan manusia.

Selanjutnya dalam menelaah pembangunan wilayah terutama dengan pendekatan pusat pertumbuhan dan wilayah pendukungnya, perlu diketahui hubungan