• Tidak ada hasil yang ditemukan

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ALOR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Profil Umum Kabupaten Alor 1 Keadaan Fisik

4.1.2. Perkembangan kependudukan dan sosial ekonomi 1 Kependudukan

4.1.2.2. Sosial budaya

Perkembangan sosial budaya di kabupaten Alor keadaan Tahun 2003, yang diperlihatkan dari beberapa indikator pembangunan wilayah sebagai berikut :

a. Aspek pendidikan.

Produktivitas suatu wilayah sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia, khususnya aspek tingkatan pendidikan yang dicapai dari berbagai displin ilmu. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2003, tercatat 5 192 orang (4,04%) penduduk Alor berumur 10 tahun keatas, yang tidak atau belum pernah sekolah (tidak berijazah). Yang tidak atau belum tamat SD/MI (23,58 %) dan diantaranya sebanyak 6 262 orang (4,87%) adalah tidak mengenal huruf (tidak bisa baca dan tulis), tamat SD/MI (39,91%), tamat SMTP (18,59 %), tamat SMTA (11,9 %) dan yang tamat perguruan tinggi hanya (1,98 %). Perkembangan tingkatan pendidikan tersebut mengindikasikan bahwa kualitas

sumber daya pembangun wilayah di Alor masih sangat riskan. Secara rinci perkembangan penduduk berumur 10 tahun ke atas berdasarkan tingkatan Ijazah pendidikan yang dimiliki, terlihat pada Tabel 11 berikut:

Tabel 11 Perkembangan penduduk Alor berumur 10 tahun ke atas,

berdasarkan tingkatan Ijazah pendidikan yang dimiliki Tahun 2003. No Status pendidikan Jumlah penduduk (orang) Prosentase (%)

1 Tidak/belum sekolah 5 192 4.04

2 Tidak/belum tamat SD/MI 30 289 23.58

3 SD/MI 51 273 39.91 4 SMTP sederajat 23 888 18.59 5 SMU Sederajat 11 338 8.83 6 SMK sederajad 3 947 3.07 7 Diploma I-II 955 0.74 8 Diploma III 538 0.42 9 Universitas (S1+ S2) 1 050 0.82 Total Alor 128 470 100.00

Sumber : BPS, 2003 (Alor Dalam Angka, 2003)

Selain dari perkembangan penduduk berdasarkan tingkatan pendidikan yang dicapai, maka dapat ditunjukkan pula perkembangan jumlah murid, Guru dan rasio murid terhadap Guru antar tingkatan sekolah di Kabupaten Alor Tahun 2003, seperti pada Tabel 12.

Tabel 12 Perkembangan jumlah murid, Guru dan rasio murid terhadap Guru menurut tingkatan sekolah di Kabupaten Alor Tahun 2003.

No Tingkatan pendidikan SWP A SWP B SWPC Kabupaten

I Taman kanak –kanak (TK)

1 Murid 151 987 144 1 282 2 Guru 11 97 17 125 3 Rasio 13.73 10.18 8.47 10.26 II Sekolah Dasar 1 Murid 7 957 18 564 5 185 31 706 2 Guru 365 1086 319 1 770 3 Rasio 21.80 17.09 16.25 17.91

III Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP)

1 Murid 1 667 6 273 792 8 732

2 Guru 97 379 61 537

3 Rasio 17.19 16.55 12.98 16.26

IV Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA)

1 Murid 472 4 530 0 5 002

2 Guru 23 230 0 253

3 Rasio 20.52 19.70 0.00 19.77

b.Aspek kesehatan.

Aspek kesehatan merupakan salah satu indikator pembangunan wilayah yang mencerminkan tinggi rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) secara dinamik sebagaimana aspek pendidikan. Oleh karena produktivitas pembangunan wilayah yang selalu berkembang secara dinamik sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang sehat. Pada umumnya perkembangan pembangunan kesehatan yang ingin dicapai, ditentukan oleh beberapa indikator pembangunan kesehatan seperti yang tertera pada Tabel 13. Tabel 13 Perkembangan beberapa indikator pembangunan kesehatan antar

Satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 2003. Indikator Pembangunan Kesehatan

Wilayah Pembangunan

SWP A SWP B SWP C Kabupaten 1.Angka harapan hidup (%) 66.70 67.46 65.40 66.52 2.Angka Kelahiran Bayi/1000 kelahiran (%) 5.10 12.80 6.10 21.60 3.Angka Kematian Bayi/1000 kehamilan (%) 3.00 6.60 6.20 15.80 4.Angka kematian Ibu hamil/melahirkan/

1000 ibu hamil (%) 3.20 5.70 5.40 25.40

5.Gizi buruk/KEP Nyata (%) 4.00 3.10 2.60 3.23

6. Jumlah Dokter (orang) 2 13 7 22

7.Jumlah paramedis (orang) 17 62 19 98

8.Jumlah Bidan Desa (orang) 30 49 35 114

9. Pekarya (Orang) 12 36 14 62

10.Posyandu (Buah) 92 183 104 379

11.Aksektor KB Aktif (orang) 322 6255 570 7147 12.Cakupan air bersih/rumah tangga (%) 2.36 52.27 3.37 57.99 Sumber : Dinas Kesehatan , 2003 (Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Alor Tahun 2003).

Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata angka harapan hidup (AHH) masyarakat Kabupaten Alor berada dibawah 70 tahun, sementara angka kematian per seribu kehamilan ibu/kelahiran bayi mencapai 15.80 persen, sedangkan angka kematian ibu hamil per seribu ibu hamil mencapai 25.40 persen. Sedangkan Status gizi buruk (kronik energi protein/KEP nyata) rata-rata 3.2 persen, nilai KEP ini lebih baik dibanding Tahun 2002 mencapai 10 persen. Demikian pula cakupan air minum bersih rata-rata mencapai 57.99 persen dari total rumah tangga penduduk Alor (36 333 RT). Demikian pula penyediaan tenaga Dokter, Paramedis, dan Bidan masih sangat terbatas, belum mengimbangi jumlah fasilitas kesehatan yang telah dibangun. Sejumlah fasilitas kesehatan yang sudah dibangun seperti PUSTU dan Polindes banyak yang mubazir karena keterbatasan tenaga medis/bidan untuk ditempatkan disana.

c. Aspek Agama (Religion).

Pada umumnya terdapat lima (5) agama yang dianut penduduk Kabupaten Alor, yakni Islam, Kristen Khatolik, Kristen Protestan dan Hindu/Budha. Perkembangan masing-masing jumlah penganut agama antar satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor, diperlihatkan pada Tabel 14.

Tabel 14 Perkembangan jumlah penganut agama antar satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 2003.

SWP

Jumlah Penganut Agama (orang)

Islam K.Khatolik K.Protestan Hindu/Budha Total antar SWP

A 12202 661 24765 3 37631

B 24435 4591 74523 155 103704

C 36 1087 26494 9 27626

Kabupaten 36673 6339 125782 167 168961

Sumber : BPS, 2003 ( Alor Dalam Angka, 2003).

Tabel 14, memperlihatkan bahwa perkembangan jumlah penganut Agama di Kabupaten Alor, didominasi agama Kristen Protestan (74.44%), diikuti agama Islam (21.71%), agama Kristen Khatolik (3.75%) dan agama Hindu/Budha (0.10 %).

Dalam hubungannya dengan kerukunan hidup antar agama di Kabupaten Alor, kerukunannya masih sangat harmonis, belum ada intimidasi dari pihak agama manapun yang mencedrai kebebasan umat beragama untuk menjalankan ibadahnya masing-masing. Kekentalan hubungan kekeluargaan dalam menjalani silahturahmi antar umat beragama, baik pada peringatan hari- hari raya keagamaan, pembangunan tempat ibadah, MTQ, hubungan kawin– mawin, khitanan dan hubungan kekerabatan lainya merupakan potensi sosial yang masih sangat dihargai sampai saat ini. Namun demikian seiring dengan perkembangan global dan stabilitas politik Dalam Negeri yang labil, tidak menutup kemungkinan adanya infiltrasi kepentingan dan teroris, untuk mencedrai kerukunan kehidupan beragama di Kabupaten Alor yang selama ini terpelihara, bisa saja dapat terjadi, maka perlu diwaspadai, dengan upaya meningkatkan intensitas dialog antar umat beragama yang dinamik, merupakan solusi yang lebih humanis, dalam menjamin ketahanan wilayah yang lebih kondusif terhadap penyusupan konflik horisontal yang berdampak SARA.

Penduduk Kabupaten Alor memiliki keragaman suku asli (50 suku asli) dan kelompok suku pendatang dari luar Kabupaten Alor antara lain suku Cina, Bugis Makasar, Buton, Batak, Ambon, Padang, Jawa, Manado, Dayak, Bali, Bima , Flores, Sumba, Timor, Rote, Sabu, dll. Dalam hubungannya dengan interaksi sosial baik antar suku asli maupun suku pendatang, masih sangat harmonis karena ada keterikatan budaya dan fungsional yang mutualisme.

Dalam kaitannya dengan keterkaitan budaya, penduduk Alor sejak lama dalam menjalani kekerabatan sosial antar suku-suku asli maupun suku –suku tetangga di luar pulau Alor telah tertanam nilai-nilai kekerabatan sosial yang dikenal dengan “ hubungan bela “ dan “hubungan egalatarian” . Kedua nilai kekerabatan sosial tersebut, masih dijunjung tinggi sampai saat ini, sebagai salah satu modal sosial yang memiliki kekuatan dalam mempersatukan perbedaan suku, agama, adat-istiadat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Alor. Kemudian keterkaitan fungsional antara suku asli dan suku pendatang, yang masih terpelihara keharmonisan, karena suku asli memandang suku pendatang sebagai pembawa inovasi dan pasar input dan pasar output produk suku asli, yang masih berorientasi produk tradisional. Namun demikian kesenjangan pendapatan antar suku asli dan suku pendatang serta kebocoran wilayah yang tak terkendali, merupakan dilema yang perlu diwaspadai saat ini dan kedepan, sehingga selalu dalam keseimbangan. Dampak negatif lain yang sering timbul dari hubungan bela dan egalatarian yang tak terkendali adalah mengurasnya ekonomi penduduk (pemborosan) demi suatu prestise sosial merupakan salah satu lingkaran setan kemiskinan di Alor.

Kabupaten Alor yang terdiri atas keragaman suku asli, tidak terlepas dari keragaman ethnolinguistik (56 bahasa ibu) yang dikelompokan dalam 13 rumpun bahasa, yang satu sama lain sangat berbeda untuk dimengerti, sehingga dalam interaksi sosial antar penduduk di Kabupaten Alor selalu menggunakan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa komunikasi antar suku-suku di Alor. Selain keragaman ethnolinguistik, juga memiliki keragaman budaya, kurang lebih terdapat 37 jenis peninggalan benda-benda cagar budaya atau megalitik termasuk “Al’quran kuno” bertuliskan tangan yang masih dilestarikan dan sedang tersimpan dalam museum daerah. Disamping itu terdapat tari-tarian dan syair budaya, yang intinya sebagai media dalam menjamin kekerabatan atau interaksi sosial dalam keberagaman. Diantaranya tarian “lego-lego” dan untaian syair pemersatu “ Taramiti Tominuku (bersehati kita teguh, bersama kita bisa)”,

“Webuk wangkape (yang jauh/ berbeda diikat menjadi dekat/satu)”. Nilai-nilai budaya ini masih dihormati dalam kelembagaan adat, dan jauh lebih ampuh sebagai alat penyelesaian konflik konflik horisontal dan atau berbagai aspek pembangunan lainnya.

Seharusnya dalam kerangka otonomi daerah, nilai-nilai budaya ini haruslah mendapat tempat yang lebih strategis, untuk menjawab tantangan pembangunan wilayah, namun nilai – nilai budaya dan peran kelembagaan adat dan lembaga non formal lainnya belum diintigrasikan secara optimal dalam pengambilan kebijakan pembangunan wilayah. Seharusnya diperlukan suatu “regulasi “ yang mengintegrasikan peran kelembagaan adat dan nilai – nilai budaya sebagai suatu modal sosial yang menggerakan dan memberdayakan ekonomi penduduk dan aspek pembangunan lainnya untuk berkembang maju adalah suatu prestise sosial yang lebih humanis dan dinamis.