• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENYEBAB AKTA JUAL BELI TANAH DAN RUMAH

B. Peralihan Hak Atas Tanah dan Rumah Melalui Jual Beli

3. Penyimpangan Terhadap Syarat Formil

Syarat formil dalam jualbeli tanah adalah berkaitan dengan pembuktian dalam jual beli tanah. Menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24/1997 pelaksanaan syarat formil dilakukan oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).

Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT, akta tersebut sebagai syarat untuk melakukan pendaftaran tanah di kantor Pertanahan. Penyimpangan yang berhubungan dengan syarat formil antara lain:

a. PPAT tidak membacakan isi akta jual beli secara terperinci, namun hanya menerangkan para pihak tentang perbuatan hukum dalam akta tersebut.

Dalam menjalankan prakteknya sehari-hari, seringkali PPAT tidak membacakan isi akta jual beli dihadapan para pihak, namun PPAT hanya memberi keterangan mengenai fungsi dari akta jual beli. Sebagian PPAT menganggap tidak dibacakannya secara menyeluruh isi akta pasal demi pasal dikarenakan ada sebagian kliennya telah mengerti dan memahami tentang perbuatan hukum yang dilakukannya dalam akta jual beli tersebut, serta ada juga yang menganggap tidak harus dibacakan secara menyeluruh namun kepada para pihak hanya diberitahukan tentang hak, kewajiban dan akibat hukum dari masing-masing pihak.

Kewajiban PPAT membacakan isi akta diatur dalam Pasal 101 ayat 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yaitu:

“PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku”.

b. Pada saat penandatanganan akta jual beli belum membayar pajak.

Sebelum penandatanganan akta jual beli, para pihak telah menyerahkan dokumen yang diperlukan sebagai syarat untuk proses pembuatan akta jualbeli dan balik nama pada Kantor Pertanahan. Syarat-syarat tersebut harus diserahkan sebelum penandatanganan akta jual beli akan dilakukan.

Namun dalam prakteknya, seringkali terjadi sebelum dilakukan penandatanganan akta jual beli salah satu syarat tidak terpenuhi oleh para pihak, yaitu pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan daripengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bagi penjual dan pembayaranPajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi pihak.

c. Penandatanganan akta jual beli tidak dihadapan PPAT.

Dalam prakteknya seringkali terjadi penandatanganan akta dilakukan oleh pegawai PPAT, hal ini dikarenakan kesibukan dari PPAT sehingga pada

saat penandatanganan tidak berada di kantor dan selanjutnya menitipkan kepada pegawainya untuk menandatangani akta jual belinya.

d. Sertipikat belum diperiksa kesesuaiannya dengan buku tanah di Kantor Pertanahan pada saat akta jual beli ditandatangani.

Pemeriksaan sertipikat di Kantor Pertanahan bergantung pada diketemukan atau tidaknya buku tanah dengan segera. Bila buku tanah ditemukan berarti pemeriksaan kesesuaian sertipikat dengan daftar-daftar yang ada dalam buku tanah bisa segera dilakukan. Namun apabila buku tanah belum dapat diketemukan, pemeriksaan atas kesesuaian sertipikat dengan daftar-daftar yang ada dalam buku tanah belum bisa dilakukan.

Kewajiban untuk memeriksa kesesuaian sertipikat harus dilakukan oleh PPAT sebelum akta jual beli ditandatangai, hal ini sebagaimana ketentuandalam Pasal 97 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, menyatakan bahwa: “sebelum pembuatan akta jual beli dilaksanakan PPAT berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan terhadap kesuaian sertipikat yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di kantor pertanahan setempat”. Menurut Boedi Harsono, PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan. Antara lain mencocokkan data yang

terdapat dalam sertipikat dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.69

e. Pembuatan Akta Jual Beli dilakukan di luar wilayah daerah kerja PPAT.

PPAT dalam melakukan pembuatan akta harus melakukan di kantornya dengan dihadiri oleh para pihak atau kuasanya. Penandatanganan akta PPAT dimungkinkan untuk dilakukan di luar kantor PPAT apabila salah satu pihak tidak dapat hadir di kantor PPAT.

Namun dalam prakteknya, seringkali PPAT mendatangani kliennya yang bertempat tinggal diluar wilayah kerjanya untuk menandatangani akte jualbeli. Alasan dilakukannya penandatanganan akta jual beli tersebut, dikarenakan kliennya tersebut telah kenal dengan PPAT dan juga kliennyaadalah langganan tetap dari PPAT tersebut.

f. Nilai harga transaksi dalam akta jual beli berbeda dengan yang sebenarnya.

Dalam pembuatan akta jual beli biasanya dicantumkan nilai transaksinya lebih kecil dari nilai transaksi yang sebenarnya, hal tersebut dilakukan untuk mengurangi jumlah kewajiban pembayaran pajak BPHTB dan PPH. Biasanya nilai transaksi yang dimuat dalam akta jual beli adalah diambil berdasarkan dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bukan dari harga transaksi, sehingga pajak yang harus dibayar lebih kecil dibandingkan apabila dibayar berdasarkan nilai transaksi yang sebenarnya.

69 Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 507.

D. Penyebab Akta Jual Beli Beli Tanah dan Rumah No. 29 Tahun 2010 Dikategorikan Mengandung Cacat Yuridis

Sebelum terbitnya akta jual beli tanah dan rumah No. 29 Tahun 2010 ada perbuatan hukum lainyang terlebih dahulu dibuat oleh para pihak yaitu Surat Kuasa. Akan tetapi kemudian diketahui Surat Kuasa tersebut mengandung cacat yuridis yaitu adanya keterangan palsu (tandatangan palsu) yang diberikan oleh para pihak.Adanya keterangan palsu tersebut kemudian menyebabkan akta jual beli tanah dan rumah dikategorikan mengandung cacat yuridis. Selain itu Helmina Sitinjak menyatakan bahwa dia tidak pernah menerima uang sejumlah Rp.280.000.000,- (duaratus delapan puluh juta rupiah) sebagai hasil penjualan dari tanah dan rumah yang tertulis dalam akta jual beli No. 29 Tahun 2010 tersebut.

- Surat Kuasa yang mengandung keterangan palsu

Berdasarkan salinan putusan pengadilan No.2333 K/Pdt/2015 diuraikan bahwa sebelum terbitnya akta jual beli tanah dan rumah No. 29 Tahun 2010 yang dibuat dihadapan Lindawati Girsang terlebih dahulu terbit Surat Kuasa nomor 06 tanggal 10 Maret 2010 yang di buat dihadapan Notaris Hasan Basri oleh Helmina Sitinjak beserta ahli waris (palsu) dan Rudi Simangungsong dimana isinya menyatakan bahwa Helmina Sitinjak dan ahli waris lainnya sebagai pemberi kuasa menjual dan Rudi Simangungsong sebagai penerima kuasa menjual. Tetapi menurut keterangan ahli waris (asli) lainnya mereka tidak pernah bersepakat untuk menyetujui dan menandatangani Surat Kuasa tersebut.

Menurut hukum waris perbuatan hukum yang dilakukan atas tanah warisan yang belum dibagi haruslah melibatkan seluruh ahli waris. Dalam perkara ini telihat bahwa terbitnya Surat Kuasa tanpa adanya persetujuan dari

seluruh ahli waris hal ini berarti Surat Kuasa tersebut mengandung cacat yuridis.

Surat kuasa tersebut telah melanggar syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata).

Kuasa atau Lastgeving merupakan suatu persetujuan (overenkomst) dimana ada suatu pihak memberi kuasa atau kekuasaan (macht) kepada orang lain (lasthebber) untuk bertindak atau melakukan perbuatan hukum atas nama pemberi kuasa (lastgever). Berkaitan dengan konsep kuasa, pengaturannya dapat dijumpai pada Pasal 1792 KUH. Perdata terkait pemberian kuasa: “suatu persetujuan seseorang sebagai pemberi kuasa dengan orang lain sebagai penerima kuasa guna melakukan suatu perbuatan/tindakan untuk dapat “atas nama “si pemberi kuasa”.

Dengan demikian, berdasarkan pada ketentuan Pasal 1792 KUHPerdata tersebut maka sifat dari pemberian kuasa adalah “mewakilkan” atau “perwakilan”.

“Mewakilkan” disini maksudnya pemberi kuasa mewakilkan kepada si penerima kuasa untuk mengurus dan melaksanakan kepentingan si pemberi kuasa. Adapun arti kata “atas nama” yang dimaksud pasal ini adalah si penerima kuasa berbuat atau bertindak mewakili si pemberi kuasa.70 Dalam setiap pemberian kuasa, pada umumnya sekaligus sebagai penyerahaan perwakilan kepada penerima kuasa, sehingga dalam hal ini si penerima kuasa langsung berkedudukan sebagai wakil dari pemberi kuasa.71 Dengan demikian, pada pemberian kuasa ini terjadi 2 (dua) hal yang bersamaan72, yaitu:

70 M.Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal.

306.

71Ibid.

72 Hartono Soerjopratikno, Perwakilan Berdasarkan Kehendak, (Yogyakarta: Seksi Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, 1982), hal.67.

a. adanya pernyataan kehendak dari kedua belah pihak bahwa yang satu memberikan perintah dan yang lain menerima perintah itu; dan

b. adanya pernyataan sepihak dari pemberi perintah (kuasa) bahwa ia menghendaki agar diwakili oleh si penerima perintah.

Dalam cara pemberian dan penerimaan kuasa dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain dengan akta otentik (Notarieel) yang dibuat oleh Notaris, akta bawah tangan (Onderhands geschrift), surat biasa dan atau dengan lisan.73 Surat Kuasa Menjual dapat terbit tanpa terlebih dahulu adanya akta pengikatan jual beli. Kuasa semacam ini merupakan kuasa murni untuk menjual yang klausul-klausul di dalamnya berbeda dengan kuasa menjual yang didahului dengan pengikatan jual beli. Kuasa ini murni dibuat dengan maksud dan tujuan untuk menjual saja kepada pihak lainnya. Kuasa seperti ini disebutkan penerima kuasa wajib menyerahkan hasil penjualannya kepada pemberi kuasa, kuasa ini bukan tindak lanjut dari pengikatan jual beli, kuasa semacam ini dapat dicabut kembali. Karena kuasa seperti ini masuk kedalam kategori kuasa yang digunakan untuk memindahtangankan benda yang sejatinya hanya dapat dilakukan oleh pemiliknya saja.74

Berdasarkan uraian diatas penggunaan Surat Kuasa untuk melakukan jual beli tanah dan rumah adalah sah apabila seluruh ahli waris bersepakat dan menandatanganinya. Akan tetapi Surat Kuasa Nomor 06 tanggal 10 Maret 2010 tidak semua ahli waris yang sah hadir dan menandatangani akta tersebut, kecuali Helmina Sitinjak. Berdasarkan hal tersebut Surat Kuasa dan akta jual beli tanah tidak sah dan batal demi hukum. Menurut Pasal 1471 KUHPerdata "Jual beli

73 Komar Andasasmita, Notaris II, (Bandung:Sumur,1982), hal.453.

74 Habib Adjie, Pengikatan Jual Beli dan Kuasa untuk Menjual (untuk tanah) dan Kuasa Menjual Tanpa Diawali Dengan Pengikatan Jual Beli, https:// www.facebook.com/habib.adjie?

fref=nf, diakses pada tanggal 16 Juni 2017.

barang orang lain adalah batal, dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika si pembeli tidak mengetahui barang itu kepunyaan orang lain”.

Berdasarkan salinan putusan pengadilan juga diuraikan bahwa selain adanya pemalsuan tanda tangan, tidak ada pembacaan Surat Kuasa hal ini dibuktikan dengan adanya keputusan Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Medan dimana Notaris Hasan Basri Ruslan telah dinyatakan bersalah yakni tidak melaksanakan kewajibannya untuk membacakan akta dihadapan para pihak sebelum ditandatangani Surat Kuasa No.06 tanggal 10 Maret 2010 tersebut. Akta yang dibacakan oleh Notaris dihadapan para pihak dan juga para saksi merupakan legalitas kewenangan notaris sebagai pejabat publik dalam membuat akta otentik yang wajib dilakukan karena merupakan salah satu cara memberikan kepastian hukum kepada masyarakat ketika masyarakat membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik dan merupakan perlindungan bagi Notaris akan tuntutan di suatu hari nanti. Jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.75

Membacakan akta sampai pada penandatanganan adalah satu kesatuan dari peresmian akta (verlijden) di mana sebelum akta tersebut di tandatangani terlebih dahulu akta tersebut dibacakan di depan para pihak yang bersangkutan guna menyampaikan kebenaran isi akta dengan keinginan para pihak kemudian akta

75 Pasal 16 ayat 7 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 tahun 2014

tersebut ditandatangani, tentunya di hadapan para pihak dan dua (2) orang saksi.

Apabila ketentuan pembacaan akta dalam pasal 16 ayat (1) huruf m dan 16 ayat (7) tidak dipenuhi, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan (pasal 16 ayat (9) UUJN). Hal tersebut merupakan sanksi perdata terhadap akta yang telah dibuat oleh Notaris.

Degradasi akta otentik menjadi akta dibawah tangan seperti yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (9) UUJN tentu dapat menimbulkan kerugian terhadap masyarakat pengguna jasa Notaris.

- Harga tanah dalam akta jual beli tidak sesuai

Berdasarkan salinan putusan pengadilan diuraikan dalam akta jual beli bahwa tanah tersebut telah dibeli oleh Rudi Simangungsong sebesar Rp.280.000.000,-(Dua ratus delapan puluh juta rupiah) sedangkan menurut pengakuan Helmina Sitinjak bahwa dia tidak pernah menandatangani kuitansi atau bukti lainnya yang menyatakan telah menerima uang dari Rudi Simangungsong sebesar itu. Helmina Sitinjak hanya mendapatkan uang pinjaman dari Rudi Simangungsong sebesar Rp.90.000.000,- (Sembilan puluh juta rupiah). Helmina Sitinjak harus dapat membuktikan bahwa dia tidak pernah menerima uang sebesar Rp.280.000.000,-(duaratus delapan puluh juta rupiah) dan apabila hal ini terbukti berarti telah ada pemalsuan materiil dari harga jual beli No. 29 Tahun 2010 dan pemilik tanah warisan dapat meminta hakim untuk membatalkan akta jual beli tersebut. Selain itu pihak yang telah memberikan keterangan palsu mengenai harga jual beli tanah dan rumah tersebut dapat diancam dengan Pasal 266 ayat (1) KUHP.

Pelanggaran terhadap Pasal 266 ayat (1) KUHP juga dapat disangkakan kepada PPAT manakala PPAT mengetahui bahwa keterangan yang diminta para pihak untuk dimasukkan dalam akta tidak benar atau seolah olah keterangannya sesuai dengan kebenaran dan PPAT tetap bersedia membuatkan akta tersebut, maka PPAT dalam hal ini dapat dijerat telah melakukan kejahatan Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 56 ayat (1) KUHP, dengan ancaman maksimal pidananya yang dapat dijatuhkan untuk perbuatan membantu kejahatan Pasal 266 ayat (1) KUHP dikurangi sepertiganya Pasal 57 ayat (1) KUHP.

Untuk dapat membuktikan adanya tandatangan palsu atas Surat Kuasa, ahli waris yang merasa dirugikan semestinya terlebih dahulu melapor ke kepolisian. Oleh kepolisian akan ditinjaklanjuti dengan meneliti bukti-bukti yang berhubungan dengan pemalsuan tandatangan tersebut. Berdasarkan bukti dari kepolisian tersebut ahli waris dapat mengajukan gugatan secara pidana. Setelah mendapat keputusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap dan menyatakan bahwa benar telah terjadi pemalsuan tandatangan, selanjutnya ahli waris dapat mengajukan gugatan secara perdata untuk membatalkan Surat Kuasa dan Akta jual beli tersebut.

A. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban PPAT 1. Tugas PPAT

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Presiden Republik Indonesia Pasal 2 bahwa tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan memuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu, mengenai hak atas tanah Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh peraturan hukum itu.

Perbuatan hukum yang dimaksud meliputi:

a) Jual beli,

b) Tukar menukar, c) Hibah,

d) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), e) Pembagian hak bersama,

f) Pemberian Hak Bangunan/ Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, g) Pemberian Hak Tanggungan,

h) Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.

2. Wewenang PPAT

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Presiden Republik Indonesia menyatakan bahwa:

“Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana telah disebutkan di atas, mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus penunjukannya”.

Sehubungan dengan tugas dan wewenang PPAT membantu Kepala Kantor pertanahan dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data tanah, dan sesuai dengan jabatan PPAT sebagai Pejabat Umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik.Akta PPAT dibuat sebagai tanda bukti yang berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan menghindarkan sengketa.Oleh karena itu pembuatan akta harus sedemikian rupa, artinya jangan memuat hal-hal yang tidak jelas agar tidak menimbulkan sengketa dikemudian hari.

Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menegaskan bahwa PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas satuan Rumah Susun yang terletak di wilayah kerjanya.Pengecualian dari Pasal 4 ayat (1) ditentukan dalam ayat (2), yaitu untuk akta tukar menukar, akta pemasukan dalam perusahaan (inbreng) dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seseorang PPAT, dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum.

Pasal 3 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, menyatakan kewenangan PPAT adalah:

Ayat (1) menyatakan “PPAT mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atassatuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya”.

Ayat (2) menyatakan “PPAT Sementara mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dengan daerah kerja di dalamwilayah kerja jabatannya”.

Ayat (3) menyatakan “PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya”.

3. Kewajiban PPAT

Kewajiban PPAT sebagaimana yang diatur dalamPasal 15 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah:

(1) PPAT dan PPAT Sementara sebelum menjalankan jabatannya wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) PPAT Khusus dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT.

(3) PPAT yang tempat kedudukan/daerah kerjanya disesuaikan karena pemekaran wilayah kabupaten/kota atau provinsi sebagaimana dirnaksud dalarn Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT untuk melaksanakan tugasnya di tempat kedudukan/daerah kerjanya yang baru.

Kewajiban lain yang harus dilaksanakan oleh PPAT,ditentukandalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2016 yaitu:

(1) Dalam waktu 60 (enam puluh) hari setelah pengambilan sumpah jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, PPAT wajib:

a. menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf, dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Bupati/Walikota, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan; dan b. melaksanakan jabatannya secara nyata.

(la) PPAT yang merangkap jabatan sebagai Notaris, harus berkantor yang sama dengan tempat kedudukan Notaris.

(2) PPAT wajib memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 21 Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 yaitu:

(3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli sebanyak 2 (dua)lembar, yaitu:

(a) Lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpanoleh PPAT yangbersangkutan.

(b) Lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau satuan rumah susun yang menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta, yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa membebankan hak tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan akta pemberian hak tanggungan, dan kepada pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya.

Berdasarkan Pasal 26 Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Presiden Republik Indonesia ditegaskan bahwa PPAT harusmembuat satu daftar untuk semua akta yang dibuatnya. Buku daftar akta PPAT diisi setiap akhir hari kerja dengan garis tinta yang diparaf oleh PPAT yang bersangkutan. Setiap lembar akta PPAT asli yang disimpan oleh PPAT harus dijilid sebulan sekali dan setiap jilid terdiri dari 50 lembar akta dengan jilid terakhir dalam setiap bulan memuat lembar-lembar akta

sisanya.Pada sampul buku akta asli penjilidan akta-akta itu dicantumkan daftar akta didalamnya yang memuat nomor akta, tanggal pembuatan akta dan jenis akta.

PPAT berkewajiban mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang diambil dari buku daftarakta PPAT kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantorkantorlain sesuai ketentuan Undang-Undang atau PeraturanPemerintah yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. PPAT harus dapat melaksanakan tugas yang diembannya dengan sebaik-baiknya. Karena dalam Pasal 62 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah telah ditetapkan sanksi bagi PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan yang berlaku serta petunjuk dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.

Sanksi yang dikenakan berupa tindakan administratif, berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti rugi oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan tersebut.

Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang PendaftaranTanah menegaskan bahwa :

Ayat (1) menyebutkan;

“selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggalditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar’.

Ayat (2) menyebutkan;

“PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak yang bersangkutan”.

Hal tersebut jelas bahwa kewajiban yang harusdilaksanakan oleh PPAT dan tidak boleh dilalaikan guna membantu kelancaran proses pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan.

B. Bentuk PertanggungJawaban PPAT Terhadap Akta yang Dibuatnya Seorang PPAT dalam menjalankan tugas dan kewenangan jabatannya khususnya berkaitan dengan tata cara pembuatan akta PPAT adakalanya melakukan kesalahan, dan kesalahan tersebut bisa saja menyangkut persyaratan sahnya perjanjian jualbeli, formil maupun materiil, misalnya: kesalahan mengenai

B. Bentuk PertanggungJawaban PPAT Terhadap Akta yang Dibuatnya Seorang PPAT dalam menjalankan tugas dan kewenangan jabatannya khususnya berkaitan dengan tata cara pembuatan akta PPAT adakalanya melakukan kesalahan, dan kesalahan tersebut bisa saja menyangkut persyaratan sahnya perjanjian jualbeli, formil maupun materiil, misalnya: kesalahan mengenai