• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PERTANGGUNGJAWABAN PPAT DAN PARA PIHAK

B. Bentuk Pertanggungjawaban PPAT Terhadap Akta Yang

2. Pertanggungjawaban PPAT Secara Perdata

Pertanggungjawaban PPAT terkait kesengajaan, kealpaan dan/atau kelalaiannya dalam pembuatan akta jual beli yang menyimpang dari syarat formil dan syarat materil tata cara pembuatan akta PPAT, tidak saja dapat dikenakan sanksi administratif tapi juga tidak menutup kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh para pihak yang merasa dirugikan.

Berkaitan dengan kesalahan (beroepsfout) dari PPAT, maka harus ditelaah mengenai bentuk dari kesalahan tersebut, yakni apakah kesalahan tersebut merupakan wanprestasi ataukah perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Pendapat yang umum dianut bahwa, wanprestasi terjadi apabila didahului dengan adanya perjanjian, sedangkan jika tidak ada kaitannya dengan perjanjian maka bentuk pelanggarannya disebut perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige daad.

Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifikaskan sebagai melanggar hukum, diperlukan 4 syarat:

a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

b. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;

c. Bertentangan dengan kesusilaan;

d. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.76

Untuk adanya suatu perbuatan melanggar hukum tidak disyaratkan adanya keempat kriteria itu secara kumulatif, namun terpenuhinya salah satu kriteria secara alternatif, sudah cukup terpenuhi pula syarat untuk suatu perbuatan melanggar hukum. Sanksi perdata dijatuhkan kepada PPAT atas perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), yakni perbuatan yang menimbulkan kerugian, dan secara normatif perbuatan tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Menurut Roscoe Pound, hukum melihat ada tiga pertanggungjawaban atas delik yaitu:

a. Pertanggungjawaban atas perugian yang disengaja;

b. Pertanggungjawaban atas perugian karena kealpaan dan tidak disengaja;

c. Pertanggungjawaban dalam perkara tertentu atas perugian yang dilakukan karena kelalaian serta tidak disengaja.77

Berkaitan dengan pembuatan akta PPAT yang mengalami cacat hukum, yang banyak ditemukan adalah PPAT yang bersangkutan kurang begitu memperhatikan dan menerapkan secara konsisten aturan-aturan yang ada dan sebaliknya sangat jarang ditemukan adanya unsur kesengajaan untuk merugikan para pihak atau pihak ketiga. Apabila dalam pelaksanaan tugas dan jabatan PPAT

76 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta:Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003), hal. 117.

77 Roscoe Pound, Loc.cit.

berkaitan dengan kewajiban seorang PPAT untuk mewujudkan akta otentik yang berkekuatan pembuktian sempurna, mengandung cacat hukum, yang kemudian oleh suatu putusan pengadilan dinyatakan tidak otentik karena syarat-syarat formil dan materil dari prosedur pembuatan akta PPAT tidak dipenuhi, sehingga menjadi akta dibawah tangan atau bahkan dinyatakan batal, atau menjadi batal demi hukum, dan mengakibatkan suatu kerugian, maka terhadap kejadian tersebut menjadi bertentangan dengan kewajiban hukum bagi PPAT, dan PPAT tersebut bertanggung jawab atas kerugian itu.

Ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian. Sedangkan bentuk ganti rugi yang dikenal dalam hukum perdata ada 2 (dua) macam, yaitu :78

a. Ganti rugi umum, yaitu ganti rugi yang berlaku untuk semua kasus karenaperbuatan melawan hukum berupa biaya, rugi dan bunga. Ganti rugi secara umum diatur dalam Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252KUHPerdata.

b. Ganti rugi khusus yang hanya dapat timbul dari perikatan-perikatan tertentu.

Pada perbuatan melanggar hukum bentuk ganti rugi berbeda dengan ganti rugi atas wanprestasi, dan terbuka kemungkinan ganti rugi dalam bentuk lain selain sejumlah uang. Mengenai penggantian kerugian dalam bentuk lain dapat

78 Munir Fuady II, Op.cit, hal.134.

dilihat dalam pertimbangan dari sebuah Hoge Raad, yang selengkapnya dirumuskan:79

Pelaku perbuatan melanggar hukum dapat dihukum untuk membayar sejumlah uang selaku pengganti kerugian yang ditimbulkannya kepada pihak yang dirugikannya, tetapi kalau pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi dalam bentuk lain, dan hakim menganggap sebagai bentuk ganti rugi yang sesuai, maka pelaku tersebut dapat dihukum untuk melakukan prestasi yang lain demi kepentingan pihak yang dirugikan yang cocok untuk menghapuskan kerugian yang diderita.

Penentuan bahwa akta tersebut terdegradasi menjadi akta dibawah tangan maupun dinyatakan batal dan/atau batal demi hukum, dan menjadi suatu delik perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian, harus didasari dengan adanya suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga apabila ada pihak-pihak yang menuduh atau menilai, bahwa akta PPAT tersebut palsu atau tidak benar karena telah terjadi penyimpangan terhadap syarat materil dan formil dari prosedur pembuatan akta PPAT (aspek formal), maka pihak tersebut harus membuktikan tuduhan atau penilaian sendiri melalui proses hukum gugatan perdata.

2. Pertanggungjawaban PPAT Secara Pidana

Penjatuhan sanksi pidana terhadap PPAT dapat dilakukan sepanjang seorang PPAT telah membuat surat palsu atau memalsukan akta dengan kualifikasi sebagai suatu tindak pidana. Hal ini sejalan dengan pandangan Hans Kelsen bahwa konsep yang berhubungan dengan kewajiban hukum adalah konseptanggung jawab hukum, yaitu seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau orang tersebut memikul tanggung jawab

79 J.H. Nieuwenhuis, Op.Cit, hal. 134

hukum.80 Syarat materiil dan syarat formil dari prosedur pembuatan akta PPAT merupakan aspek-aspek formal yang harus dilalui dalam pembuatan akta jual beli tanah berkaitan dengan tugas jabatan PPAT.

Penyimpangan terhadap syarat materiil dan formil dari prosedur pembuatan akta PPAT harus dilihat berdasarkan batasan-batasan dari aspek formal tersebut yang mana telah ditentukan oleh peraturan perundangundangan yang terkait dengan ke-PPAT-an. Artinya apabila seorang PPAT melakukan pelanggaran dari aspek-aspek formal, maka sanksi yang dapat dijatuhi adalah sanksi perdata dan sanksi administratif tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi kode etik IPPAT, sehingga pengkualifikasian pelanggaran aspek formal tersebut sebagai suatu tindak pidana merupakan suatu tindakan tanpa dasar hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Habib Adjie sebagaimana Penulis sadur dengan metode penalaran analogi, mengemukakan bahwa aspek-aspek formal dari suatu akta PPAT dapat dijadikan dasar atau batasan untuk mempidanakan PPAT, jika:81

a. Aspek-aspek formal tersebut terbukti secara sengaja (dengan penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan oleh PPAT yang bersangkutan) bahwa akta yang dibuatnya dijadikan suatu alat melakukan suatu tindak pidana;

80 Kelsen, Hans, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum Dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa oleh Soemardi, (BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007), hal. 81.

81 Habib Adjie I, Op. Cit, hal. 124.

b. PPAT secara sadar dan sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak yang bersangkutan melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap PPAT dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya disamping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam peraturan perundang-undangan terkait ke-PPATan, Kode Etik IPPAT juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Menurut Habib Adjie, adapun perkara pidana yang berkaitan dengan aspek formal akta Notaris/PPAT dalam pembuatan akta otentik adalah sebagai berikut:82

1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP);

2. Melakukan pemalsuan terhadap akta otentik (Pasal 264 KUHP);

3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP);

4. Melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan (Pasal 55 Jo.

Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP);

5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) Jo.

Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP).

Pengertian kesengajaan (dolus) menurut hukum pidana merupakan perbuatan yang diisyafi, dimengerti dan diketahui sebagai demikian, sehingga tidak ada unsur salah sangka atau salah paham.83 Sedangkan kealpaan (culpa) adalah perbuatan yang terjadinya karena sama sekali tidak terpikirkannya akan adanya akibat itu atau oleh karena tidak memperhatikannya, dan ini disebabkan kurang hati-hati, dan perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajibannya.84

82 Habib Adjie I, Op. cit, hal. 76

83Moeljatno, Op.cit, hal. 166.

84 Roeslan Saleh, Op. cit, hal 125.

Moeljatno berpendapat bahwa kesengajaan (dolus) menurut hukum pidana merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan atau kelalaian (culpa) adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya adalah sama dengan kesengajaan, hanya berbeda gradasinya saja.85

Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa kesengajaan adalah penting sekali di dalam hukum pidana, karena sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak, karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.86

Adapun beberapa contoh kasus dari perbuatan yang termasuk kualifikasi tindak pidana dari seorang PPAT, antara lain:87

a. Perbuatan seseorang membuat seorang Notaris/PPAT, mencantumkan suatu keterangan didalam akta perjanjian yang dibuat dihadapannya tentang terjadinya suatu perjanjian jual beli tanah berikut rumah yang berdiri diatasnya dengan hak untuk membeli kembali, padahal yang terjadi antara para pihak ialah suatu perjanjian hutang-piutang.

b. Perbuatan seseorang membuat seorang Notaris/PPAT mencantumkan didalam akta jual beli yang dibuat dihadapannya suatu perjanjian jual beli atas sebidang tanah berikut rumah yang berdiri diatasnya dengan harga Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah), padahal yang sebenarnya terjadi bukanlah suatu perjanjian jual beli tanah berikut rumah, melainkan hanya maksud salah satu pihak untuk membuat tanah berikut rumah tersebut seolah-olah telah dibeli oleh pihak lain dengan maksud untuk menyelamatkan tanah berikut rumah tersebut dari kemungkinan dimintakan sita jaminan kepada Pengadilan Negeri oleh pihak ketiga yang mempunyai piutang kepada pemilik tanah dan rumah tersebut.

85Moeljatno, Op.cit, hal. 199

86 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT. Refika Aditama,2003), hal. 65-66.

87Sjaifurrachman, Op. cit, hal. 219-220.

c. Perbuatan seseorang membuat seorang PPAT mencantumkan suatu keterangan tentang telah dilakukannya suatu jual beli tanah seluas 3 hektar antara orang tersebut dengan orang lain dengan harga sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), padahal tanah tersebut telah dijual dengan harga Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Pada contoh pertama dan kedua perbuatan hukum para pihak untuk melakukan perjanjian jual beli hak atas tanah berikut rumah kiranya sudah jelas bahwa akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT mempunyai fungsi untuk membuktikan kebenaran telah dilakukannya suatu perjanjian jual beli dengan hak untuk membeli kembali atas sebidang tanah berikut sebuah rumah yang berdiri diatas tanah tersebut, akan tetapi karena yang sebenarnya terjadi antara para pihak ialah suatu perjanjian hutang piutang, maka keterangan yang diberikan oleh pelaku itu sudah jelas merupakan suatu keterangan palsu.

Demikian pula pada contoh ketiga, suatu akta jual beli yang dibuat dihadapan seorang Notaris/PPAT itu bukan hanya mempunyai kegunaan untuk membuktikan bahwa pihak-pihak tertentu telah memberikan keteranganketerangan tertentu dihadapan Notaris/PPAT, melainkan juga bahwa mereka itu telah mengadakan suatu perikatan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang merumuskan: “jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Akan tetapi akta jual beli tersebut juga membuktikan tentang besarnya nilai jual beli atau transaksi, sehingga akta Notaris/PPAT juga mempunyai kegunaan untuk membuktikan kebenaran dari nilai jual beli yang telah dikemukakan oleh para pihak, sehingga pada kasus

contoh ketiga diatas pelakunya dikenai ancaman yang tertuang pada Pasal 266 ayat (1) KUHP.

Pelanggaran terhadap Pasal 266 ayat (1) KUHP hanya dapat disangkakan kepada Notaris/PPAT manakala Notaris/PPAT mengetahui bahwa keterangan yang diminta para pihak untuk dimasukkan dalam akta tidak benar atau seolaholah keterangannya sesuai dengan kebenaran, dan jika karenanya dapat menimbulkan kerugian, tetapi Notaris/PPAT tetap bersedia membuatkan akta tersebut, maka Notaris/PPAT dalam hal ini dapat dijerat telah melakukan kejahatan Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 56 ayat (1) KUHP, dengan ancaman maksimal pidananya yang dapat dijatuhkan untuk perbuatan membantu kejahatan Pasal 266 ayat (1) KUHP dikurangi sepertiganya Pasal 57 ayat (1) KUHP.

C. Keabsahan dan Otentisitas Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai akta otentik memiliki 2 (dua) fungsi yaitu :

1. Sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun dan;

2. Sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Fungsi akta PPAT sebagai alat bukti menjadi sangat penting dalam membuktikan akan suatu perbuatan hukum yang menjadi dasar timbulnya hak atau perikatan hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang

lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

Di dalam Pasal 1866 KUHPerdata pun menyebutkan bahwa alat-alat bukti yang dapat dipergunakan dalam perkara perdata terdiri dari:

1. Bukti tulisan;

2. Bukti dengan saksi-saksi;

3. Persangkaan-persangkaan;

4. Sumpah;

5. Pengakuan.

Sesuai dengan fungsi pembuktian dalam perkara perdata, akta-akta otentik yang dibuat dihadapan PPAT termasuk dalam lingkup bukti tulisan yang dimaksud dalam Pasal 1866 KUHPerdatatersebut. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bukti tulisan dapat dibedakan dalam 3 (tiga) macam:

yaitu bukti tulisan lainnya, bukti tulisan otentik dan bukti tulisan di bawah tangan.

Pembedaan bukti tulisan dalam 3 (tiga) macam ini, disimpulkan dari beberapa Pasal dari KUHPerdata yaitu:

1) Pasal 1874 ayat (1) yang menyatakan bahwa sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

2) Pasal 1869 yang menyatakan bahwa suatu akta yang dibuat dihadapan Pejabat Umum yang tidak berwenang atau cacat dari segi bentuknya tidak berlaku sebagai akta otentik, namun mempunyai kekuatan bukti sebagai akta di bawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak.

3) Pasal 1867 yang menyatakan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.

Menurut Pasal 1874 KUH.Perdata, yang dimaksud dengan bukti tulisan lain adalah surat-surat, register-register, surat-surat rumah tangga dan lain-lainnya,

yang dibuat bukan dengan tujuan sebagai alat bukti di muka pengadilan dan tidak harus ada tanda tangannya.

Bukti tulisan di bawah tangan atau otentik mengharuskan adanya tanda tangan dan sengaja dibuat sebagai alat bukti di muka pengadilan serta memuat peristiwa-peristiwa hukum yang menimbulkan hak dan perikatan.Bukti tulisan di bawah tangan (akta di bawah tangan) dan bukti tulisan otentik (akta otentik) berbeda dengan bukti tulisan lainnya yang tidak mengharuskan adanya tandatangan. Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu seperti jual beli, tukar menukar, hibah dan lainnya termasuk dalam lingkup perjanjian timbal balik, yang keabsahannya bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh badan Pertanahan Nasional.

Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah berasal dari Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, sehingga kewenangan Pejabat pembuat Akta tanah dapat dilihat dari 2 (dua) sumber yaitu:

1. Di bidang hukum perdata untuk membuat akta-akta tanah seperti jual beli, tukar menukar, hibah, dan lain-lainnya.

2. Di bidang hukum administrasi, dalam menjalankan sebagian kegiatan pendaftaran tanah yang menjadi tugas pokok Pemerintah.

Keharusan akta-akta jual beli, Tukar menukar, Hibah dan lainnya yang obyeknya hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun dibuat di hadapan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah) bukanlah merupakan syarat mutlak keabsahan suatu perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta itu, namun akta Pejabat Pembuat Akta Tanah hanyalah sebagai dasar pendaftaran peralihan hak dan pembebanan hak, hal ini dapat dibuktikan dari beberapa ketentuan yaitu:

a. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, menegaskan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

b. Penjelasan Pasal 45 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menegaskan bahwa Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan alat untuk membuktikan telah dilakukannya suatu perbuatan hukum. Oleh karena itu apabila perbuatan hukum itu batal atau dibatalkan. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bersangkutan tidak berfungsi lagi sebagai bukti perbuatan hukum tersebut.

Dalam Pasal itu apabila suatu perbuatan hukum dibatalkan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan sedangkan perbuatan hukum itu sudah didaftar di kantor pertanahan, maka pendaftaran tidak dapat dibatalkan. Perubahan data pendaftaran tanah menurut pembatalan perbuatan hukum itu harus didasarkan pada alat bukti lain, misalnya putusan pengadilan atau Akta PPAT mengenai perbuatan hukum yang baru.Penjelasan Pasal 45 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah telah menegaskan bahwa perubahan data pendaftaran tanah hanya dapat diubah melalui Putusan Pengadilan

atau dengan Akta PPAT, sehingga dengan demikian jelas Akta PPAT sebagai syarat dasar pendaftaran peralihan hak dan atau pembebanan hak atas tanah.

Yurisprudensi Indonesia melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1082K/SIP/1973 telah memuat suatu kaedah hukum yang menegaskan bahwa pembuatan akta di hadapan PPAT bukan merupakan syarat mutlak untuk sahnya jual beli. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah hanya merupakan ketentuan administratif saja yaitu khusus untuk pendaftaran pemindahan hak.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Presiden Republik Indonesia, Pasal 1 butir 1 telah memberikan kedudukan bagi PPAT sebagai Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun. Berkaitan dengan Pejabat Umum dan otentisitas suatu akta, harus bersumber pada Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang di tempat dimana akta itu dibuatnya.

Otentisitas Akta PPAT diatur dan ditetapkan oleh Menteri sekarang Badan Pertanahan Nasional, hal ini ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa Akta PPAT dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Menteri (baca Badan Pertanahan Nasional) dan dalam penjelasannya ditegaskan untuk memenuhi syarat otentiknya suatu akta maka Akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh Menteri (baca Badan

Pertanahan Nasional). Bentuk akta PPAT telah diatur lebih lanjut dalam Perka BPN No. 8 Tahun 2012 (contohnya terdapat pada lampiran peraturan tersebut).

D. Kewajiban Notaris/PPAT dalam Pembacaan Akta Otentik

Pembacaan akta merupakan bagian dari “verlijden” sebagaimana tercantum dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yang mempunyai arti menyusun, membacakan dan menandatangani akta.88 Kewajiban PPAT dalam membacakan akta terdapat dalam Pasal 22 PP No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sedangkan untuk Notaris diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJNNo. 2 Tahun 2014.

Pembacaan akta yang dirumuskan dalam pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN No. 2 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa dalam menjalankan jabatannya Notaris berkewajiban membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris.

Kemudian UUJN mengatur bahwa kewajiban pembacaan akta oleh Notaris dapat dikecualikan apabila penghadap menghendaki tidak mau dibacakan, karena telah membaca sendiri dan mengetahui serta memahami isi akta. Hal ini diatur dalam pasal 16 ayat (7) UUJN yang berbunyi:

Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

88 G.H.S.Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris,(Jakarta: Erlangga, 1982),hal.32.

Kemudian dalam pasal 16 ayat (9) ditentukan bahwa jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada pasal 16 ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.

Pembacaan akta merupakan bagian terpenting dalam proses pembuatan akta Notaris/PPAT. Notaris/PPAT mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam akta sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta tersebut, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta Notaris/PPAT yang akan ditandatanganinya.

Sejalan dengan hal tersebut diatas, Tan Thong Kie memberikan pendapatnya tentang manfaat pembacaan akta, diantaranya:89

1. Pada saat-saat terakhir dalam proses meresmikan (verlijden) akta,

1. Pada saat-saat terakhir dalam proses meresmikan (verlijden) akta,