• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan hak penguasaan kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakannya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang merupakan tanggungjawab negara. Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, tetapi negara memberikan wewenang kepada pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban negara untuk:12

1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

2. Menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan.

3. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan.

4. Mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.

12

Lihat, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.

Pengertian dikuasai bukan berarti dimiliki, melainkan suatu pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang dalam hukum publik. Oleh karena itu, hak negara dalam bidang kehutanan adalah berwenang untuk menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan negara. Kewenangan lainnya adalah menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan.

Perbuatan-perbuatan menyangkut pemanfaatan dan pengelolaan hutan dalam rangka pembangunan harus memperhatikan fungsi kelestarian hutan secara berkelanjutan (sustainable) dengan memperhatikan peran serta masyarakat dalam pengelolaannya.13 Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang kehutanan adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan dan lingkungan hidup secara lestari.14 Hal ini berarti bahwa diperlukan adanya

13

Peran serta masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 68 ayat (1) dan (2) Undang- Undang Kehutanan, yang berbunyi:

”(1).Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. (2). Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:

a. Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan.

c. Memberikan informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan. d. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung

atau tidak langsung.”

14

Lihat, Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa pelestarian lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Lihat juga Pasal 1 angka 3 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke

penyerasian antara lingkungan hidup dengan pembangunan bukan hal yang mudah, sehingga perlu dilaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan.15 Menurut Koesnadi Hardjasoemantri arti pentingnya pelestarian lingkungan hidup secara berkelanjutan sebagai berikut:16

“Lingkungan hidup dengan sumber-sumber dayanya adalah kekayaan bersama yang dapat digunakan setiap orang yang harus dijaga untuk kepentingan masyarakat dan untuk generasi mendatang. Perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alamnya dengan demikian mempunyai tujuan ganda yaitu melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhannya dan melayani kepentingan-kepentingan individu”

Pelestarian hutan tidak bisa dilepaskan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang lingkungan sumber daya alam non hayati, sumber daya alam buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 UUPLH. Pasal 14 ayat (1) UUPLH, menyatakan bahwa:

”Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”

dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

15

Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran dan atau

Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum

Pidana/Lingkungan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Sabtu 20 Desember 2003, hlm. 5

16

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjahmada University

Menurut Pasal 14 ayat (1) di atas, dalam rangka pelestarian hutan terhadap pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 UUK harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:17

1. Pelestarian fungsi lingkungan hidup, yaitu rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya dukung yang dimaksud adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk lain, sedangkan yang dimaksud daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

2. Baku mutu lingkungan hidup, yaitu ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemaran yang tenggang keberadaannya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

3. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, yaitu ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup.

Menyangkut penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan kehutanan tentunya tidak dapat dipisahkan dari pemenuhan asas legalitas untuk meminta

17

Lihat, Pasal 23 UUK yang menyatakan bahwa pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Sedangkan Pasal 21 huruf b UUK berbunyi sebagai berikut: ”pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan”.

pertanggungjawaban pelaku, pemenuhan asas legalitas dimulai melalui kriminalisai kejahatan kehutanan sebagai tindak pidana. Asas ini mempunyai arti bahwa suatu perbuatan merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undang-undang (“nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”

artinya tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu). Dipergunakannya asas tersebut karena merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Pasal 1 ayat 1 KUHP berbunyi, “suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana, jika ini ditentukan lebih dulu dalam suatu ketentuan undang-undang”. Dalam rangka penegakan hukum di bidang kehutanan diharuskan untuk memperhatikan faktor- faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto yakni hukum itu sendiri, faktor penegak hukum dan faktor sarana dan prasarana yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat dan kebudayaan.18

Faktor-faktor yang melandasi tersebut menegaskan pada proses penegakan hukum paling tidak ada 3 (tiga) komponen penting yang saling berinteraksi bahkan berinterdependensi antara komponen yang satu dengan yang lainnya. Komponen-

18

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta,

komponen dimaksud adalah hukum (peraturan perundang-undang) sebagai rule of game dalam perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan, aparat penegak hukum sebagai pelaksana terselenggaranya pengawasan dan pengelolaan sumber daya hutan secara optimal dan berkelanjutan, oleh karenanya perlu ditingkatkan pengawasan kehutanan khususnya Departemen Kehutanan dan Dinas Kehutanan yang ada di daerah di mana hutan itu berada sesuai dengan kewenangannya sebagai wujud pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Di samping itu, perlu juga adanya kesadaran hukum masyarakat, karena kesadaran masyarakat sekitar hutan sangat penting yang diwujudkan melalui keterlibatan masyarakat untuk berperan serta dalam pengawasan di bidang kehutanan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Ketiga komponen penegakan hukum di atas sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum itu sendiri, yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum yang satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan (wholeness). Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan sistem hukum ini, demikian pula keberhasilan penegakan hukum yang meminta pertanggungjawaban pelaku kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan pemegang HPH sangat tergantung pada eksistensi, artikulasi, “performance” dan “iner capasity” dari masing-masing komponen, namun demikian sangat perlu mendapat penegasan bahwa dalam rangka mencapai tujuannya tersebut sama sekali tidak boleh ada fragmentasi dari masing-masing komponen

dalam penegakan hukum, sehingga tercapai adanya kepastian hukum.19 Erat kaitannya dengan permasalahan tentang penerapan prinsip-prinsip tanggung jawab terhadap pengusaha hutan/pemegang HPH dalam kaitannya dengan praktik illegal logging, hal ini merupakan salah satu agenda reformasi hukum yang penting dan mendesak (crucial) untuk dilaksanakan, yakni reformasi dalam penegakan hukumnya sendiri, khususnya yang berkaitan dengan kasus illegal logging. Apabila diperhatikan pelaksanaan penegakan hukum dewasa ini masih jauh dari yang diharapkan, hal ini dikarenakan banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum tersebut. Penegakan hukum atau yang dalam bahasa populernya sering disebut dengan istilah law enforcement, merupakan ujung tombak agar terciptaya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa:20

“Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup”. Dalam berbagai kajian sistematis penegakan hukum dan keadilan, secara teoritis menyatakan bahwa efektivitas penegakan hukum baru akan terpenuhi apabila lima pilar hukum berjalan dengan baik, termasuk pula dalam penegakan terhadap kasus illegal logging. Lima pilar hukum itu adalah instrumen hukumnya, aparat penegakan hukumnya, peralatannya, masyarakatnya, dan birokrasinya. Secara

19

Ujang Chandra, IIIegal Logging & Penegakan Hukumnya, (Bandung: Bungo Abadi, 2005),

hlm. 11

20

empirik, efektivitas penegakan hukum juga telah dikemukakan oleh Walter C. Reckless,21 yaitu harus dilihat bagaimana sistem dan organisasinya bekerja, bagaimana sistem hukumnya, bagaimana sistem peradilannya dan bagaimana birokrasinya. Berdasarkan berbagai kajian kesisteman tersebut dapat dikatakan bahwa efektivitas penegakan hukum dalam teori maupun praktik problematika yang dihadapi hampir sama. Kemauan politik (political will) dari pengambil keputusan merupakan faktor yang menentukan hukum dapat tegak dan ambruk, atau setengah-tengahnya.

Masalah penegakan hukum pada dasarnya merupakan kesenjangan antara hukum secar normatif (das sollen) dan hukum secara sosiologis (das sein) atau kesenjangan antara perilaku hukum masyarakat yang seharusnya dengan perilaku hukum masyarakat yang senyatanya. Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Hukum sebagai suatu kaidah di dalamnya merupakan seperangkat norma- norma yang memuat anjuran, larangan dan sanksi yang salah satu fungsi pokoknya sebagai sarana kontrol sosial, dengan tujuan menjaga ketertiban, keseimbangan sosial dan kepentingan masyarakat. Hukum sebagai perangkat norma yang berfungsi dan bertujuan demikian itu, maka pertama-tama akan hadir sebagai sesuatu yang bersifat

21

Walter C. Reckless dalam Bambang Sutiyoso, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi

(Paparan Aktual Berbagai Permasalahan Hukum dan sebagainya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

law in the book, memuat ancangan hipotesis tentang batas-batas perilaku manusia yang boleh tidak dilakukan serta memberi ancaman sanksi apabila ada diantara anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran.

Pada taraf law in the book ini, hukum belum banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, karena belum berjalan, bergerak, berfungsi, seperti apa yang dijanjikannya. Baru akan dirasakan manfaatnya atau bahkan dirasakan dampaknya setelah ditegakkan di tengah-tengah masyarakat (law in action). Tidak mengherankan jika ada pernyataan, bahwa hukum tidak disebut sebagai hukum masyarakat apabila tidak pernah dirasakan. Oleh karena itu, norma-norma hukum yang berisi anjuran, dan sanksi perlu adanya konkritisasi dan operasionalisasi dengan ditegakkannya hukum secara sungguh-sungguh terutama oleh aparat penegak hukumnya.

Pola penegakan hukum dipengaruhi oleh tingkat perkembangan masyarakat, tempat hukum tersebut berlaku atau dibekukan. Dalam masyarakat sederhana, pola penegakan hukumnya dilaksanakan melalui prosedur dan mekanisme yang sederhana pula, namun dalam masyarakat modern yang bersifat rasional dan memiliki tingkat spesialisasi dan diferensiasi yang begitu tinggi, pengorganisasian penegakan hukumnya menjadi begitu kompleks dan sangat birokratis.

Semakin modern suatu masyarakat, maka akan semakin birokratis proses penegakan hukumnya. Akibatnya yang memegang peranan pening dalam proses penegakan hukum bukan hanya manusia yang menjadi aparat penegak hukum, namun juga organisiasi yang mengatur dan pengelola operasionalisasi proses penegakan hukum. Kondisi penegakan hukum dalam kaitannya dengan penegakan kasus praktik

illegal logging dalam masyarakat bukan hanya ditentukan oleh faktor tunggal, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memberikan kontribusi secara bersama-sama terhadap kondisi tersebut, namun faktor mana yang paling dominan mempunyai pengaruh tergantung pada konteks sosial dan tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat bersangkutan.

Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dalam praktik illegal logging dapat dibedakan dalam dua hal, yakni faktor-faktor yang terdapat dalam sistem hukum dan faktor-faktor di luar sistem hukum. Adapun faktor- faktor dalam sistem hukum meliputi faktor hukumnya (undang-undang), faktor penegak hukum, dan faktor sarana dan prasarana, sedangkan faktor-faktor di luar sistem hukum yang memberikan pengaruh adalah faktor kesadaran hukum masyarakat, perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan faktor politik atau penguasa negara.22

Selanjutnya, sistem hukum pidana di Indonesia memperkenalkan kunci utama dalam mendeskripsikan tindakan yang dianggap melawan hukum (melawan undang- undang) yaitu, tindakan yang dianggap sebagai suatu pelanggaran dan tindakan yang dianggap sebagai kejahatan. Suatu tindak pidana adalah perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum, dan pembuat salah melakukan perbuatan tersebut, seperti yang dirumuskan oleh Enschede bahwa “tindak pidana adalah perbuatan yang termasuk dalam rumusan suatu delik, melawan hukum, dan kesalahan dapat

22

dicelakan padanya”.23 Di dalam perumusan delik tindak pidana adakalanya sifat melawan hukum tidak dicantumkan, tetapi adakalanya juga dicantumkan secara tegas, padahal azas legalitas menyatakan bahwa:

a. Pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan berlaku surut (mundur);

b. Semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya;

c. Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan;

d. Terhadap peraturan pidana dilarang menerapkan penafsiran analogi. Hukum pidana pada hakekatnya adalah hukum undang-undang, sebagaimana adagium nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali. Akan tetapi, dengan undang-undang saja seringkali menimbulkan pemberian putusan yang tidak adil, sebagai akibat kekakuan dari undang-undang. Karenanya undang-undang dan hukum kebiasaan bersama-sama digunakan untuk memberikan dasar hukum yang diperlukan secara mutlak pada pergaulan hidup, dan hakim seringkali mendasarkan putusan pada keduanya untuk merumuskan perbuatan melawan hukum yakni unsur yang termuat di dalam rumusan tindak pidana sebagaimana yang diatur secara tegas oleh undang-undang dan perbuatan yang dianggap melanggar kepatutan masyarakat sehingga perbuatan dimaksud merupakan perbuatan tercela. Berdasarkan uraian ini maka mengenai dicantumkan atau tidaknya sifat melawan hukum di dalam rumusan delik tindak pidana, terdapat 2 (dua) ajaran yaitu:24

23

Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana

Indonesia, Cet I, (Bandung: Alumni, 2002), hlm. 23

24

a. Ajaran sifat melawan hukum yang formal, yang mengatakan bahwa: apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas di dalam undang-undang.

b. Ajaran sifat melawan hukum yang materiil, yang mengatakan bahwa disamping memenuhi syarat-syarat formal yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela.

Disamping itu, penegakan hukum untuk menjerat pelaku pemanfaatan hutan diluar RKT diperlukan penggunaan sistem hukum yang menekankan bekerjanya struktur hukum.25 Sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu terus berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Aspek lain seperti hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansi adalah aturan – aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Kemudian, budaya hukum yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.

Pendapat Lawrence di atas dipertegas oleh Jimly Asshiddiqie26 yang menyatakan penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

25

Lawrence M. Friedman (terjemahan Wishnu Basuki), American Law An Introduction,

(Jakarta: PT. Tatanusa, 2001), hal. 7-8

26

Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, http://www.solusihukum.com, diakses tanggal 6 Juni

bernegara. Dalam arti sempit dari segi subjeknya, penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya yang melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum yang diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut ojeknya yakni dari hukumnya itu sendiri.27 Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai- nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.

27

Hukum yang baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang yang akan diaturnya. Hukum tidak hanya bersifat praktis, efisien dan efektif, melainkan juga harus bermaksud mewujudkan suatu tatanan yang oleh masyarakat dirasakan adil. Untuk menemukan perasaan masyarakat itu semua unsur yang relevan bagi perasaan masyarakat dalam tertib hukum harus diperhatikan seperti nilai-nilai, norma-norma kehidupan, pola dan struktur hidup bermasyarakat, peranan sosial, situasi dan keadaan hubungan-hubungan sosial lembaga-lembaga

dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing. Lihat, Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengatar

Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 53. Lihat juga, Darji Darmodiharjo dan

Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta:

Pada dasarnya, tujuan dari penegakan hukum yang ingin dicapai adalah pemidanaan, yang untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri, untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan dan untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.28 Pemidanaan harus didahului dengan menempatkan suatu perbuatan sebagai kejahatan, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sudarto29 bahwa bahwa mengenai masalah penentuan hukum pidana harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur secara merata baik materil dan seprituil berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi keselamatan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugiaan (materiil dan atau spritual) atas warga masyarakat.

28

P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), hlm. 11

29

c. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tuga (overbelasting).

Kemudian, Soerjono Soekanto mengatakan bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi dari faktor-faktor itu sendiri, yaitu:30

1. Faktor hukumnya, yaitu undang-undang

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan dan

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

G. Metode Penelitian

Dokumen terkait