• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Penebangan pohon di luar RKT oleh pemilik IUPHHK adalah perbuatan melawan hukum administrasi negara yang secara conditio sine quanon merupakan perbuatan melawan hukum pidana. Pelanggaran kewajiban-kewajiban perusahaan pemegang izin dapat diklasifikasi sebagai tindak pidana apabila dari segi aturan (UU No. 41 Tahun 2002 dan PP No. 45 Tahun 2004 serta PP No. 43 Tahun 2002) bahwa perhitungan besarnya nilai PSDH dan DR itu didapat dari volume kayu bulat/jenis dari blok tebang yang telah disahkan dan dicatat dalam LPH, jika ternyata dokumen LPHnya terbukti palsu maka dipastikan besarnya nilai PSDH dan DR yang telah dibayarkan oleh pihak perusahaan adalah fiktif dan PSDH dan DR atas kayu bulat yang ditebang dari luar RKT/blok tebang yang bersangkutan tidak pernah dibayarkan oleh pihak perusahaan yang disebut berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBK) kepada negara (vide Pasal 48 (1) PP No. 34 Tahun 2002). Dengan demikian sanksinya adalah: Pertama, Pidana KUHP berupa pemalsuan yakni Pasal 263 dan Pasal 266 KUHPidana atas produk dokumen LHP palsu/fiktif. Kedua, Korupsi atau pidana penggelapan hak Negara RI berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBK) dan dikenakan sanksi pidana korupsi yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Keuangan Negara adalah adalah semua hak dan

kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. (Vide Pasal 1 ayat (1) dari UU RI No. 17 Tahun 2003 tanggal 5 April 2003 tentang Keuangan Negara). Ketiga, Pidana Kehutanan yang menebang di luar blok tebang (RKT) dan mengangkut kayu bulat tanpa dilengkapi dengan dokumen yang sah tapi dengan SKSHH fiktif/palsu (Pasal 50 jo 78 UU No. 41 Tahun 1999)”. Dalam prakteknya penegakan hukum yang menetapkan PT KNDI sebagai pelaku pengrusakan hutan di beberapa wilayah hukum Polda Sumatera Utara kerangka hukum yang digunakan oleh sistem peradilan Pidana khususnya Pengadilan Negeri Medan adalah penjatuhan sanksi administrasi. Hal itu mendasar pada Pasal 86 dan 91 ayat 1 huruf b PP nomor 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan, Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang menegaskan bahwa, untuk menjamin status kelestarian kawasan hutan dan kelestarian fungsi hutan maka setiap pemegang izin pemanfaatan hutan dan usaha industri primer hutan apabila melanggar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 78 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dikenakan sanksi administrasi, yakni berupa denda sebesar 15 kali Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) terhadap volume kayu hasil penebangan yang dilakukan di luar blok tebangan yang disahkan. Selanjutnya kerangka hukum yang digunakan untuk merumuskan perbuatan melawan hukum perusahaan pemegang izin dapat menggunakan kerangka kerangka hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi: ”Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”

2. Pertanggungjawaban perusahaan pemegang izin pemanfataan hutan yang melakukan tindakan penebangan kayu di luar RKT dapat digunakan dengan menerapkan rumusan Pasal 78 ayat (14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya baik sendiri maupun bersama- sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. Sanksi pidana di atur dalam Pasal 50 ayat (2) dan diancam pidana dalam Pasal 78 ayat (1) UU No. 41/1999 yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) yaitu “Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan”, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.00 (lima milyar rupiah) jo Pasal 55 KUH Pidana. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e, menebang pohon atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang: huruf f, menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan atau memiliki hasil hutan yang

diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; huruf h, mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, diancam pidana dalam Pasal 78 ayat 5. hal ini mengandung arti bahwa badan hukum (korporasi) juga dianggap telah melakukan tindak pidana lingkungan jika tindak pidana di bidang kehutanan dilakukan oleh orang-orang yang ada hubungan kerja dengan korporasi maupun hubungan lain dengan korporasi, yang bertindak dalam lingkungan (suasana) aktivitas usaha korporasi yang bersangkutan (no fault liability, absolute atau strict liability principle).. Hubungan kerja tersebut merupakan hubungan antara pengusaha/orang perorangan (mempunyai badan usaha) dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja, dengan demikian, baik korporasi maupun orang-orang yang memberi perintah atau bertindak sebagai pemimpin dalam lingkungan (suasana) aktivitas usaha korporasi yang bersangkutan, dapat dituntut pidana dan dijatuhi sanksi pidana beserta tindakan tata tertib. Sebaliknya, suatu korporasi juga akan terbebas dari pertanggungjawaban secara pidana atau dianggap tidak bersalah, jika bisa membuktikan bahwa korporasi tidak melakukan suatu kesalahan, berhubung orang-orang yang melakukan perbuatan itu tidak ada hubungan kerja atau hubungan lainnya dengan korporasi atau perbuatan itu dilakukan oleh seseorang di luar lingkungan aktivitas usaha korporasi itu.

3. Penanggulangan pengrusakan hutan yang dilakukan oleh perusahaan pemegang izin dengan melakukan kegiatan penebangan pohon di luar RKT harus dilakukan

dengan menerapkan beberapa kebijakan penanggulangan baik secara preventif maupun represif dan dilakukan pembahasan yang mendetail mengenai perusakan hutan dengan melibatkan konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder). Proses ini telah menghasilkan beberapa strategi pencegahan, deteksi dan penanggulangan yang dapat dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan untuk memberantas pembalakan liar dan meningkatkan penegakan hukum. Disamping itu, menyangkut penegakan hukum oleh criminal juctice system terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dan berakibat menghambat proses penegakan hukum di bidang kehutanan khususnya pemberantasan penebangan kayu di luar RKT selama ini terutama dalam hal menindak pelaku aktor pemegang HPH dan IUPHHK yang menyalahgunakan izin pemanfaatan hutan secara melawan hukum. Hal ini dapat dikontruksikan yakni keterlibatan aparat dinas terkait maupun aparat pemerintah setempat jelas merupakan hambatan yang cukup berarti, dukungan dana yang melimpah dan dilakukan oleh aktor yang memiliki net work yang sangat luas maka ada upaya-upaya yang dilakukan pelaku untuk mengaburkan dan/atau menghalangi proses penyidikan, sehingga menyulitkan penyidik melaksanakan tugasnya, izin HPH/IUPHHK kepada perusahaan terkait memberi payung hukum bahwa tindakan mereka dapat diarahkan kepada pelanggaran administratif.

Dokumen terkait