• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENEBANGAN POHON DI LUAR RENCANA KARYA

B. Pendekatan Fungsi Kelestarian Lingkungan Hidup Untuk

Penebangan pohon secara liar di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks, karena melibatkan banyak aktor dengan berbagai kepentingan dan jaringan pasar yang tidak hanya di dalam tetapi juga di luar negeri. Berbagai kasus tentang pengrusakan hutan tidak saja merambah areal HPH,areal hutan yang tidak dibebani HPH, areal HPH yang telah habis masa berlakunya, ataupun areal HPH yang pengelolaannya diserahkan kepada BUMN, namun juga merambah kawasan hutan konversi serta hutan lindung. Menyangkut penerapan sanksi terhadap pelaku pengrusakan hutan terdapat 2 (dua) persepsi pandangan yakni: Pertama, penerapan sanski bagi perambahan areal HPH yang tidak sesuai dengan Tebang Pilih Indonesia

33

Sudarto, Hukum Pidana I, cetakan ke II, (Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum

Undip, 1990), hal. 12, bahwa fungsi khusus bagi hukum pidana ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya (rechtsgiiterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Kepentingan-kepentingan hukum (benda-benda hukum) ini boleh dari orang seorang dari badan atau dari kolektivitasnya. Sanksi yang tajam itu dapat mengenai harta benda, kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa seseorang yang memperkosa benda-benda hukum itu. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat.

34

Munculnya istilah-istilah ini merupakan terjemahan dari kata “Strafbaarfeit”, terjemahan dilakukan berdasarkan kemampuan para ahli hukum sehingga tidak ada terjemahan baku. Misalnya

35

Pasal 10 KUH Pidana menyebutkan: Pidana terdiri dari: a. pidana pokok yang meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda, b. Pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

(TPI) dan penebangan dilakukan di luar Rencana Karya Tahunan (RKT) merupakan pelanggaran administrasi.36 Kedua, perambahan areal hutan yang tidak dibebani HPH dan areal HPH yang telah habis masa berlakunnya merupakan perbuatan pembalakan liar (illegal logging).37 Perbuatan Illegal logging dapat diartikan sebagai penebangan hutan secara tidak sah. Penebangan pohon-pohon hutan, baik oleh perorangan maupun badan hukum harus dengan izin yang ditetapkan sesuai peraturan perundang- undangan, namun letak lokasi, jumlah maupun jenisnya melebihi dan tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam izin yang dimaksud dan dari segi peredaran hasil hutan dapat diindikasi dengan kayu yang tidak berdokumen atau berdokumen palsu, volume, dan jenis kayu berbeda dengan dokumennya.38

Pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan pemilik izin pemanfaatan hutan yakni kewajiban perusahaan untuk membayar IIUPH, PSDH, DR, wajib membuat RTPH atau RKUPHHK (sepanjang izin), RKT (satu tahun) apabila dokumen LPHnya terbukti palsu atau dipalsukan maka dipastikan besarnya nilai PSDH dan DR yang telah dibayarkan oleh pihak perusahaan adalah fiktif dan DR atas kayu bulat yang ditebang dari luar RKT/blok tebang yang bersangkutan tidak pernah dibayarkan oleh pihak perusahaan berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBK) kepada negara. Hal ini sebagaimana

36

Lihat, Pasal 127 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.

37

Lihat, Pasal 78 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang perubahan Atas Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

38

Herry Susanto, Quo Vadis Illegal Logging, www.sinarharapan.co.id, diakses tanggal 6 Juni 2008

dikemukakan oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara yakni M. Butar-Butar sebagai berikut:39

“Pelanggaran kewajiban-kewajiban perusahaan pemegang izin dapat diklasifikasi sebagai tindak pidana apabila dari segi aturan (UU No. 41 Tahun 2002 dan PP No. 45 Tahun 2004 serta PP No. 43 Tahun 2002) bahwa perhitungan besarnya nilai PSDH dan DR itu didapat dari volume kayu bulat/jenis dari blok tebang yang telah disahkan dan dicatat dalam LPH, jika ternyata dokumen LPHnya terbukti palsu maka dipastikan besarnya nilai PSDH dan DR yang telah dibayarkan oleh pihak perusahaan adalah fiktif dan PSDH dan DR atas kayu bulat yang ditebang dari luar RKT/blok tebang yang bersangkutan tidak pernah dibayarkan oleh pihak perusahaan yang disebut berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBK) kepada negara (vide Pasal 48 (1) PP No. 34 Tahun 2002). Dengan demikian sanksinya adalah:

1) Pidana KUHP berupa pemalsuan yakni Pasal 263 dan Pasal 266 KUHPidana atas produk dokumen LPH palsu/fiktif.

2) Korupsi atau pidana penggelapan hak Negara RI berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBK) dan dikenakan sanksi pidana korupsi yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Keuangan Negara adalah adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. (Vide Pasal 1 ayat (1) dari UU RI No. 17 Tahun 2003 tanggal 5 April 2003 tentang Keuangan Negara).

3) Pidana Kehutanan yang menebang di luar blok tebang (RKT) dan mengangkut kayu bulat tanpa dilengkapi dengan dokumen yang sah tapi dengan SKSHH fiktif/palsu (Pasal 50 jo 78 UU No. 41 Tahun 1999)”.

Dalam penanganan praktek penegakan hukum yang menetapkan PT KNDI sebagai pelaku pengrusakan hutan di beberapa wilayah hukum Polda Sumatera Utara kerangka hukum yang digunakan oleh sistem peradilan Pidana khususnya Pengadilan Negeri Medan adalah penjatuhan sanksi administrasi. Hal itu mendasar pada Pasal 86 dan 91 ayat 1 huruf b PP nomor 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan

39

Hasil wawancara dengan M. Butar-Butar, Penyidik pada Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara, tanggal 6 Januari 2009

Rencana Pengelolaan, Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang menegaskan bahwa, untuk menjamin status kelestarian kawasan hutan dan kelestarian fungsi hutan maka setiap pemegang izin pemanfaatan hutan dan usaha industri primer hutan apabila melanggar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 78 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dikenakan sanksi administrasi, yakni berupa denda sebesar 15 kali Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) terhadap volume kayu hasil penebangan yang dilakukan di luar blok tebangan yang disahkan. Perbuatan tersangka diancam melanggar UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI nomor 805/Kpts-VI/1999 tertanggal 30 September 1999 terkait Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang dimiliki PT KNDI, kemudian PP nomor 34 tahun 2004 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Untuk RKT ada beberapa kriteria. Di antaranya, Rencana Kerja Pengusahaan Hutan (RKPH atau sama dengan diterimanya izin HPH), rencana kerja lima tahunan (RKL/menengah) dan RKT jangka pendek, yakni per satu tahunan tidak dapat menentukan berapa luas lahan yang akan ditebang, jenis pohon, volume (jumlah) pohon, dan berbagai ketentuan lainnya. Melalui KRT itu, pemerintah melalui dishut dapat memperkirakan nilai pembayaran PSDH. Pembayaran untuk reboisasi dan lainnya. Jika RKT itu dilanggar, maka sama artinya melawan hukum yang aturannya secara 'Lex Specialis' diatur dalam UU Nomor 41 tahun 1999. Khususnya pada Pasal 70 jo Pasal 50.

Demikian juga dalam Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK/HPH) sesuai Skep Menhut RI nomor 805/Kpts/1999 tertanggal 30 September 1999 tentang izin pemanfaatan hutan oleh PT KNDI. Karena itu, menjadi kewajiban bagi PT KNDI untuk melaksanakan inventarisasi hutan guna memperoleh data yang akurat tentang fisik daerah guna menyusun RKPH, RKL dan RKT. Selanjutnya penataan hutan untuk mengusahakan pembinaan, pemeliharaan, perlindungan dan pengamanan hutan secara terus menerus membagi atas blok dan petak tebangan dengan tata batas yang jelas. Dugaan penyimpangan lainnya yang dilakukan tersangka, selain tidak membuat RKPH, RKL, dan RKT untuk disahkan pemerintah, dalam pemanfaatannya juga tidak melaksanakan silvikultur tebang pilih tanam Indonesia (TPTI) dan tebang habis pemanfaatan buatan (THPB), termasuk tidak merehabilitasi/menanam kembali pada areal yang tidak berhutan atau tidak produktif. Selanjutnya terdapat 10 ribu hektar kawasan hutan tersebut yang dirubah menjadi perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh PT RMM.40

Penerapan sanksi dalam Pasal 86 dan Pasal 91 ayat 1 huruf b PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan, Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan dan sanksi administratif sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dimaksudkan tidaklah menimbulkan efek jera dalam rangka menanggulangi praktik kejahatan kehutanan yang dapat mengancam kerusakan hutan dan pelestrarian hutan secara berkelanjutan (sustainable) pada khususnya dan pelestarian fungsi lingkungan hidup pada

40

umumnya. Untuk itu seharusnya kerangka hukum yang digunakan oleh criminal juctice system yang terintegrited adalah penggunaan kerangka hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUPLH dengan memperhatikan pelestarian fungsi lingkungan hidup, baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Hal ini mensyaratkan bahwa penggunaan kerangka hukum yang diatur oleh UUPLH merupakan payung (umbrella act) dari undang-undang lain (sektoral) di bidang pelestarian lingkungan hidup, rumusan yang umum dan abstrak yang terdapat dalam UUPLH menyangkut pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan hidup diharapkan dapat menjangkau perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang diatur atau yang akan diatur dalam undang-undang sektoral lainnya.41

Kriteria baku pengrusakan lingkungan hidup secara otentik dirumuskan dalam Pasal 1 angka (14) UUPLH, sebagai berikut:

“tindakan menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”

Pasal 1 angka (14) UUPLH di atas yang merumuskan tentang perusakan lingkungan hidup menurut alvi syahrin mengandung beberapa unsur di dalamnya sebagai berikut:42

1. adanya tindakan;

2. menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya;

41

Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan: Pustaka Bangsa

Press, 2008), hal. 31

42

3. mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

Pendekatan pelestarian hutan secara berkelanjutan (sustainable) dan pelestarian fungsi lingkungan hidup apabila dilakukan oleh criminal justice system

dalam penanganan penebangan hutan di luar RKT tentunya tentunya tidak akan melahirkan perbedaan pendapat sehingga pelaku dapat dijerat dengan penggunaan sanksi pidana. Hal ini dapat dilihat dari penerapan penegakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Kisaran dalam rangka penindakan pelaku pengrusakan hutan sebagai berikut:

“Putusan Pengadilan Negeri Kisaran No. 523/Pid. B/2004/PN. Kis sebagaimana dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi No. 102/PID/2006/PT-MDN mendasarkan putusannya dengan pendekatan perusakan ekosistem hutan lindung Tormatutung register 1/A Desa Hutabasan Kecamatan Bandar Pasir Mendoga Kabupaten Asahan, yaitu:

1. terlah terjadi erosi badan jalan yang dibangun.

2. terjadi laju inflasi rata-rata tanah terbuka sebesar 5,20 Cm/jam, hutan alam terdegradisi sebesar 168 cm/jam dan hutan alam primer sebesar 240 cm/jam, hal ini mengakibatkan terganggunya tata air pada bagian hilirnya yaitu terjadi banjir pada musim penghujan dan kelangkaan air pada musim kemarau dan ini mengakibatkan mengurangi fungsi pokok hutan lindung Register 1/A sebagai penyangga sistem kehidupan.

3. telah terjadi kehilangan solum tanah sebesar 75 cm (750 mm) dan bahan induk 63 cm (630 mm) tanah sangat diperlukan sebagai media tumbuh untuk menunjang pertumbuhan vegetasi dan pohon lindung, sedangkan proses hutan alam sebelum dirusak secara pasti tidak akan kembali seperti sediakala.

4. konversi hutan dan hutan lindung Register I/A menjadi tanah terbuka telah menyebabkan terjadinya pemadatan tanah hal ini dilihat dengan meningkatnya kerapatan limbak sebesar 0,65 gram/CC yaitu dari 0,65 gram/CC pada hutan alam menjadi 1,30 gram/CC dan hal ini mengakibatkan telah terjadi kerusukan struktur tanah.

5. tanah menurunkan permeabilitas sebesar 6, 05 cm/jam yaitu dari 7,79 cm/jam pada hutan alam menjadi 1,74 cm/jam untuk tanah terbuka dan telah terjadi penurunan air tersedia sebesar 11,57 % yaitu 20.83 % pada hutan alam menjadi 9,26% pada tanah terbuka yang mengakibatkan air

hujan cepat aliran permukaan (run off) karena kemampuan tanah meresapkan air menjadi turun.

6. telah menyebabkan hilang/menurunnya sumber genetik yaitu mikro organisme tanah, fungsi tanah dan repirasi tanah dan juga telah terjadi penurunan bakteri pelarut fosfat dimana keberadaannya sangat penting untuk mempertahankan produktifitas lahan hutan.

7. telah menyebabkan rusaknya sifat kimia tanah yaitu telah terjadi penurunan pada bahan organik tanah, nitrogen tanah, fosfor tanah dan kalium tanah serta menurunnya KTK tanah.

8. kerusakan ekologis yang meliputi biaya reservoir dan biaya pengaturan tata air untuk tanaman semusim

9. kerusakan ekonomi, bahwa biaya pemulihan terhadap kerusakan ekonomi dengan parameter lahan tersebut ditanami padi perhektar dapat ditanami 2 kali setahun dan hasilnya 2 x 8.000 kg x Rp.2. 000= Rp. 32.000.000-per Ha x 100 tahun.

Inti dari Putusan Pengadilan Negeri Kisaran dalam perkara dugaan pengrusakan hutan sebagaimana diancam dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak dapat terpenuhi, sehingga para terdakwa hanya dikenakan dengan ancaman Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yakni Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1). Pada persidangan di Pengadilan Negeri Kisaran, terdakwa secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, sebagaimana telah dibuktikan dan dipenuhinya unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur barang siapa.

b. Unsur secara melawan hukum

c. Dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”.

Berdasarkan Pasal 41 UUPLH sampai dengan Pasal 44 UUPLH telah mengklasifikasi tindak pidana lingkungan yaitu:

1. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan: a. pencemaran, dan atau

b. perusakan lingkungan hidup.

2. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan: pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat.

3. Melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa: a. melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang

berbahaya atau beracun masuk di atau/atau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam air pemukaan;

b. impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum. 4. Melakukan perbuatan berupa:

a. memberikan informasi palsu, atau b. menghilangkan informasi, atau c. menyembunyikan informasi, atau d. merusak informasi.

yang diperlukan (dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3 di atas), yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.

5. Melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka berat.

Apabila di tinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 41-44 UUPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat perbuatan dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan. Tindak pidana materiil dapat dilihat dari rumusan Pasal 41 dan Pasal 42 UUPLH, sedangkan tindak pidana formil dapat dilihat dari rumusan Pasal 43 UUPLH. Dalam tindak pidana materiil, perlu terlebih dahulu dibuktikan adanya akibat dalam hal terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Pencemaran lingkungan terjadi karena masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Selanjutnya, kerusakan lingkungan terjadi karena tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap fisik dan/atau

hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.43

Dalam pelestarian hutan tidak bisa dilepaskan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang lingkungan sumber daya alam non hayati, sumber daya alam buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam penataan ruang dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi budi daya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi pertahanan keamanan.

2. Aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya alam, fungsi dan estetika lingkungan serta kualitas ruang.

Perencanaan penataan ruang menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya lainnya. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas rencana tata ruang yang kemudian dikembangkan melalui pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air dan tata guna udara serta tata guna sumber lain melalui perangkat yang

43

bersifat intensif dan disinsentif dengan menghormati hak penduduk sebagai warganegara, sehingga pada akhirnya tercapainya tujuan penataan ruang sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 3 Undang-Undang Penataan Ruang, yang berbunyi:

”Penataan ruang bertujuan:

a. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.

b. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya.

c. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:

1). Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera.

2). Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia.

3). Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

4). Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menangani dampak negatif terhadap lingkungan.

5). Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.

Dokumen terkait