• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENEBANGAN POHON

DI LUAR RENCANA KARYA TAHUNAN BAGI

PEMEGANG IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN

TESIS

Oleh

MASHUDI

077005041/HK

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENEBANGAN POHON

DI LUAR RENCANA KARYA TAHUNAN BAGI

PEMEGANG IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MASHUDI

077005041/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENEBANGAN POHON DI LUAR RENCANA KARYA TAHUNAN BAGI PEMEGANG IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN

Nama Mahasiswa : Mashudi Nomor Pokok : 077005041 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 04 Maret 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

:

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota

:

1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

(5)

ABSTRAK

Penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan perusakan hutan dewasa ini khususnya perkara-perkara yang menyangkut tindak pidana perusakan hutan dan pencemaran lingkungan hidup yang melibatkan korporasi pemegang izin dirasakan kurang menyentuh perlindungan dan menimbulkan efek jera bagi pelaku. Hal ini disebakan oleh adanya keraguan aparat penegak hukum dalam menjerat pelaku. Misalnya penebangan pohon di luar RKT apakah dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum dan perbuatan pidana serta diancam sanksi pidana sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 78 jo Pasal 50 UUK ataukah perbuatan pelanggaran administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (2) UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Pasal 127 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Keraguan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan persepsi aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Dalam kasus PT. KNDI bahwa pelanggaran penebangan hutan di luar RKT (Rencana Karya Tahunan) oleh pemilik izin HPH dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi bukan pidana sehingga para tersangka dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Medan dari segala tuntutan yang telah dituduhkan. Di lain pihak aparat penegak hukum khususnya penyidik dan penuntut umum berpendapat bahwa perbuatan PT KNDI merupakan tindak pidana, hal ini telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung. Adapun permasalahan yang dikemukakan dalam tesis ini sebagai berikut: Pertama, Apakah penebangan pohon di luar Rencana Karya Tahunan (RKT) bagi pemilik IUPHHK memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dalam undang-undang kehutanan. Kedua, Bagaimana pertanggungjawaban pidana penebangan pohon di luar RKT bagi pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan. Ketiga, Bagaimana penanggulangan penebangan pohon di luar Rencana Karya Tahunan bagi pemegang IUPHHK.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dimana datanya bersumber dari data pustaka (library research) yang merupakan data skunder. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian lapangan melalui tekhnik wawancara dengan informan yang dinilai menguasai di bidang penegakan hukum kehutanan yakni penyidik di Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara serta pihak-pihak lainnya yang berkompeten. Keseluruhan data selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif.

(6)

asas hukum yang terdapat di dalam Undang-Undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pertanggungjawaban perusahaan pemegang IUPHHK yang melakukan tindakan penebangan kayu di luar RKT dapat digunakan dengan menerapkan rumusan Pasal 78 ayat (14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya baik sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan dan Pertanggungjawaban pelaku usaha berbentuk badan hukum sebagai pelaku tindak pidana dapat berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan badan hukum tersebut serta kewenangan yang ada serta kerugian yang nyata-nyata telah terjadi. Penanggulangan perusakan hutan yang dilakukan oleh perusahaan pemegang izin dengan melakukan kegiatan penebangan pohon di luar RKT harus dilakukan dengan menerapkan beberapa kebijakan penanggulangan baik secara preventif maupun represif dan dilakukan pembahasan yang mendetail mengenai perusakan hutan dengan melibatkan konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder).

(7)
(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum, Wr.Wb

Alhamdulillah, Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas kesehatan yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Adapun topik penelitian menyangkut tentang ”PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENEBANGAN POHON DI LUAR RENCANA KARYA TAHUNAN BAGI PEMEGANG IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN”. Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

(10)

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Pembimbing Utama sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, selaku Anggota Pembimbing atas kontribusi pembenahan substansi penelitian tesis ini sehingga tesis ini dapat rampung sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

5. Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, MH, selaku Anggota Pembimbing, atas bimbingan dan dorongan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis.

6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.Hum, selaku penguji penulis mengucapkan banyak terima kasih atas masukan dan sarannya guna perbaikan tesis ini. 7. Ibu Dr. Sunarmi, SH. M. Hum, selaku penguji penulis yang telah banyak

memberikan masukan dan arahan kepada penulis.

8. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

(11)

di Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih dan do’a penulis untuk orang tua dan mertua, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan-kebaikannya. Do’a-do’a beliau selalu mengiringi penulis sampai sekarang ini. Khusus untuk Anak-Anak dan Isteri penulis yang telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dan menyelesaikan studi ini. Kepada seluruh saudara, sahabat dan kerabat yang telah mendukung dan mendo’akan, penulis ucapkan terima banyak terima kasih atas segala bantuan dan perhatiannya.

Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan di bidang kehutanan khususnya badan usaha yang memperoleh izin pemanfaatan hasil hutan.

Semoga Allah SWT memberikan berkah, karunia dan kekuatan lahir batin kepada kita semua.

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Mashudi

Tempat/Tgl Lahir : Blora, 12 Mei 1968 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Polri

Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri 1 Jepon, Blora, Jawa Tengah - SMP Kristen Blora Jawa Tengah

- SMAN 1 Blora Jawa Tengah

(13)

DAFTAR ISI

BAB II : PENEBANGAN POHON DI LUAR RENCANA KARYA TAHUNAN (RKT) BAGI PEMILIK IUPHHK DALAM UNDANG-UNDANG KEHUTANAN ... 35

A. Tindak Pidana di Bidang Kehutanan... 35

B. Pendekatan Fungsi Kelestarian Lingkungan Hidup Untuk Menjerat Pelaku Penebangan Kayu di Luar RKT sebagai Tindak Pidana ... 46

BAB III : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENEBANGAN POHON DI LUAR RKT BAGI PEMEGANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN ... 57

A. Pertanggungjawaban pelaku usaha pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan berbentuk badan hukum berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan badan hukum ... 57 B. Prinsip-prinsip Pertanggungjawab Perusahaan Pemegang

(14)

1. Tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability, liability based on fault

principle)... 74

2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebut tablepresumption of liability principle)... 75

3. Prinsip tanggung jawab mutlak (no fault liability, absolute atau strict liability principle)... 76

C. Tanggung Jawab Perusahaan Pemegang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan yang Melakukan Penebangan Pohon di luar RKT... 77

BAB IV : PENANGGULANGAN PENEBANGAN POHON DI LUAR RENCANA KARYA TAHUNAN BAGI PEMEGANG IUPHHK ... 98

A. Penanggulangan Penebangan Pohon di Luar RKT melalui Tindakan Pencegahan... 98

B. Penanggulangan Melalui Kerjasama antara Stakeholder di bidang Kehutanan ... 104

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

A. Kesimpulan ... 109

B. Saran... 114

(15)

DAFTAR ISTILAH

BPKH : Balai Pemantapan Kawasan Hutan

DR : Dana Reboisasi

DHH : Daftar Hasil Hutan

HPH : Hak Pengusahaan Hutan

IUPHHK : Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu LHC : Laporan Hasil Cruising

LPH : Laporan Penebangan Hutan

PNBK : Penerimaan Negara Bukan Pajak PSDH : Provisi Sumber Daya Hutan

PPBS : Perusahaan Perkebunan Besar Swasta PT KNDI : PT Keang Nam Development Indonesia

P2SKSHH : Petugas Pembuat Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan

PWH : Pembukaan Wilayah Hutan

RUPS : Rapat Umum Pemegang Saham

RKT : Rencana Karya Tahunan

RKL : Rencana Pengelolaan Lingkungan SKSHH : Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan TPI : Tebang Pilih Indonesia

TPTI : Tebang Pilih Tanam Indonesia THPB : Tebang Habis Pemanfaatan Buatan UPHHK : Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Laporan Hasil Cruising ( LHC )... 92 2. Dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penebangan pohon diluar Rencana Karya Tahunan bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan merupakan perbuatan melanggar hukum yang seharusnya ditindak seberat-seberatnya dan perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai praktek penebangan liar (illegal logging), sebab dampak penebangan liar bukan saja berakibat terhadap kondisi pada saat ini akan tetapi dapat berakibat pada masa mendatang yang akan dialami oleh generasi penerus.1 Hal ini disebabkan penebangan liar dapat merusak ekosistem sehingga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan peruntukan hutan menjadi tidak seimbang. Praktek penebangan pohon secara liar biasanya dilakukan oleh pengusaha hutan yang memegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan dilakukan dengan cara menghabisi hutan di luar wilayah HPH maupun area di luar RKT (Rencana Karya Tahunan), sedangkan area hutan yang dikelolanya masih utuh untuk beberapa tahun lagi, tetapi hutan disekelilingnya telah habis. Praktek tindak pidana lainnya yang dilakukan oleh pengusaha hutan/pemegang HPH adalah dengan

1

Ketentuan hukum pidana kehutanan sebagai kriminalisasi illegal logging diatur mulai dari Pasal 77 hingga Pasal 79, yang terdiri dari dua masalah, yakni Penyidikan (Pasal 77) dan Ketentuan Pidana (Pasal 78 dan 79). Pasal 78 terdiri dari 15 ayat di mana setiap ayat memiliki spesifikasi pengaturan sanksi yang berhubungan dengan Pasal 50 UUK. Ketentuan pidana dalam UU Kehutanan

selain mengatur tentang perbuatan perorangan (individual crime) juga mengatur perbuatan perusahaan

atau Badan Hukum (corporate crime). Pasal 78 dengan seluruh ayatnya mengacu kepada pengaturan

(18)

cara memanipulasi atau menggunakan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) secara berulang-ulang.2

Praktek perusahaan pemegang HPH yang demikian menyebabkan kerugian negara dan hal itu berkenaan dengan praktek korupsi dan kolusi bisnis. Sebab eksploitasi kayu di hutan yang diduga dilakukan hampir semua perusahaan hak pengelolaan hutan dan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang berdampak pada kerugian negara triliunan rupiah dan kerusakan hutan.

Sedikitnya ditemukan bahwa modus operandi yang dimanfaatkan perusahaan tersebut dalam menjalankan praktik korupsi yang melibatkan oknum pemerintah dan aparat. Modus operandi tersebut di antaranya dengan menata areal kerja yang dilakukan secara sepihak di atas kertas, tidak melakukan kapitalisasi modal yang ditanamkan kembali ke dalam bentuk tegakan hutan.3

Selain itu, para perusahaan HPH dan HTI juga tidak melakukan kegiatan penanaman hutan kembali, indikasi praktik korupsi yang dilakukan perusahaan HPH dan HTI juga dapat dilihat dari besarnya tunggakan dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan (PSDH) yang dilakukan perusahaan. Akibat praktik korupsi tersebut, negara tidak hanya dirugikan triliunan rupiah, tetapi juga kerusakan hutan yang harus ditanggung pemerintah. Tidak kurang dari 43 % para pemegang HPH dan HTI tidak memenuhi kerangka hukum bisnis kehutanan lestari. Sebesar 39 % dari perusahaan

2

http://www.kompas.com, Perusakan Hutan di Indonesia, diakses tangggal 6 Juni 2008

3

(19)

tersebut mematuhi kerangka hukum hanya sepotong-sepotong saja, sedangkan sisanya 18 % hanya berkinerja sedang.4

Semakin meningkatnya kejahatan penebangan liar dapat mengakibatkan kerusakan dan hilangnya ekosistem hutan sehingga tentunya kelestarian fungsi lingkungan hidup akan terganggu. Dengan demikian penegakan hukum bagi pelaku penebangan liar terutama penebangan pohon di luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada saat ini belum dilakukan secara optimal, padahal secara yuridis perangkat hukum yang menjadi dasar penegakan hukum di Indonesia dirasakan sudah cukup memadai misalnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPLH) sebagai payung hukum udang-undang lainnya beserta peraturan pelaksananya yakni Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan (selanjutnya disingkat dengan UUK), hal ini dapat dilihat dari thema undang-undangnya sebagai undang-undang pokok.

Penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan perusakan hutan dewasa ini khususnya perkara-perkara yang menyangkut tindak pidana perusakan hutan dan pencemaran lingkungan hidup dirasakan kurang menyentuh perlindungan dan

4

(20)

menimbulkan efek jera bagi pelaku.5 Hal ini disebakan oleh adanya keraguan aparat

5

Dampak perusakan hutan dengan melakukan pengerjaan kawasan hutan dengan menggunakan alat-alat berat tanpa penggunaan pola hutan lestari dapat berakibat kerusakan pada tanah, tumbuh-tumbuhan dan merusak ekosistem hutan lindung. Salah satu contoh yang dapat dideskriptifkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Kisaran No. 523/Pid. B/2004/PN. Kis sebagaimana dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi No. 102/PID/2006/PT-MDN adalah perusakan ekosistem hutan lindung Tormatutung register 1/A Desa Hutabasan Kecamatan Bandar Pasir Mendoga Kabupaten Asahan, yaitu:

1. terlah terjadi erosi badan jalan yang dibangun.

2. terjadi laju inflasi rata-rata tanah terbuka sebesar 5,20 Cm/jam, hutan alam terdegradisi sebesar 168 cm/jam dan hutan alam primer sebesar 240 cm/jam, hal ini mengakibatkan terganggunya tata air pada bagian hilirnya yaitu terjadi banjir pada musim penghujan dan kelangkaan air pada musim kemarau dan ini mengakibatkan mengurangi fungsi pokok hutan lindung Register 1/A sebagai penyangga sistem kehidupan.

3. telah terjadi kehilangan solum tanah sebesar 75 cm (750 mm) dan bahan induk 63 cm

(630 mm) tanah sangat diperlukan sebagai media tumbuh untuk menunjang pertumbuhan vegetasi dan pohon lindung, sedangkan proses hutan alam sebelum dirusak secara pasti tidak akan kembali seperti sediakala.

4. konversi hutan dan hutan lindung Register I/A menjadi tanah terbuka telah menyebabkan

terjadinya pemadatan tanah hal ini dilihat dengan meningkatnya kerapatan limbak sebesar 0,65 gram/CC yaitu dari 0,65 gram/CC pada hutan alam menjadi 1,30 gram/CC dan hal ini mengakibatkan telah terjadi kerusukan struktur tanah.

5. tanah menurunkan permeabilitas sebesar 6, 05 cm/jam yaitu dari 7,79 cm/jam pada hutan

alam menjadi 1,74 cm/jam untuk tanah terbuka dan telah terjadi penurunan air tersedia sebesar 11,57 % yaitu 20.83 % pada hutan alam menjadi 9,26% pada tanah terbuka yang mengakibatkan air hujan cepat aliran permukaan (run off) karena kemampuan tanah meresapkan air menjadi turun.

6. telah menyebabkan hilang/menurunnya sumber genetik yaitu mikro organisme tanah,

fungsi tanah dan repirasi tanah dan juga telah terjadi penurunan bakteri pelarut fosfat dimana keberadaannya sangat penting untuk mempertahankan produktifitas lahan hutan.

7. telah menyebabkan rusaknya sifat kimia tanah yaitu telah terjadi penurunan pada bahan

organik tanah, nitrogen tanah, fosfor tanah dan kalium tanah serta menurunnya KTK tanah.

8. kerusakan ekologis yang meliputi biaya reservoir dan biaya pengaturan tata air untuk

tanaman semusim

9. kerusakan ekonomi, bahwa biaya pemulihan terhadap kerusakan ekonomi dengan

parameter lahan tersebut ditanami padi perhektar dapat ditanami 2 kali setahun dan hasilnya 2 x 8.000 kg x Rp.2. 000= Rp. 32.000.000-per Ha x 100 tahun.

Inti dari Putusan Pengadilan Negeri Kisaran dalam perkara dugaan pengrusakan hutan sebagaimana diancam dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak dapat terpenuhi, sehingga para terdakwa hanya dikenakan dengan ancaman Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yakni Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1). Pada persidangan di Pengadilan Negeri Kisaran, terdakwa secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, sebagaimana telah dibuktikan dan dipenuhinya unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur barang siapa.

b. Unsur secara melawan hukum

c. Dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan

(21)

penegak hukum dalam menjerat pelaku, misalnya penebangan pohon di luar RKT apakah dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum dan perbuatan pidana serta diancam sanksi pidana sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 78 jo Pasal 50 UUK ataukah perbuatan pelanggaran administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 127 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, misalnya dalam kasus penanganan penebangan kayu diluar RKT yang dilakukan oleh PT KNDI merupakan pelanggaran administrasi bukan sebagai tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan yang ditujukan kepada penasehat hukum PT. KNDI yakni Hotman Paris Hutapea bahwa surat Menteri Kehutanan Nomor S.613/Menhut-II/2006/ 27 September 2006 disebutkan pelanggaran penebangan hutan di luar RKT (Rencana Karya Tahunan) oleh pemilik izin HPH adalah pelanggaran administrasi bukan pidana sehingga para tersangka dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Medan dari segala tuntutan yang telah dituduhkan. Di lain pihak aparat penegak hukum khususnya penyidik dan penuntut umum berpendapat bahwa perbuatan PT KNDI merupakan tindak pidana, hal ini telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung.6

6

Putusan Mahkamah Agung Nomor 68 K/PID.SUS/2008 sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa Adelin Lis telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dan tindak pidana kehutanan secara bersama-sama dan berlajut.

2. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan

membayar denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) Subsidair 6 (enam) bulan kurungan.

3. Menghukum pula terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp. 119.802.293.040,- (seratus

(22)

Adapun tanggapan Menteri Kehutanan MS Kaban atas bebasnya para tersangka sebagai berikut:7

“Sepanjang tuduhan yang dialamatkan kepada pemilik areal konsesi hanya penebangan di luar blok dalam satu areal konsesi, tuntutan itu lebih terkait dengan pelanggaran administrasi. Selain itu, tuntutan hukum harus berdasar fakta yang ada. Dalam kasus Adelin Lis, kegiatan pembalakan haram yang merugikan negara sampai Rp200 triliun tidak muncul dalam tuntutan jaksa. Karena itu, Kaban menanyakan apakah kerugian negara itu merupakan pendapat atau fakta yang diperoleh di lapangan”.

Tujuan penindakan pelaku pada hakekatnya adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat dan menyelamatkan perekonomian negara serta mencegah perusakan kawasan hutan lebih parah lagi. Ketentuan hukum pidana kehutanan sebagai penentuan kejahatan penebangan liar telah diatur mulai dari Pasal 77 hingga Pasal 79, yang terdiri dari dua masalah, yakni Penyidikan (Pasal 77) dan Ketentuan Pidana (Pasal 78 dan 79). Pasal 78 terdiri dari 15 ayat di mana setiap ayat memiliki spesifikasi pengaturan sanksi yang berhubungan dengan Pasal 50 UUK.

Penerapan sanksi dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 dimaksudkan adalah menanggulangi praktik illegal logging yang dapat mengancam kerusakan hutan dan pelestrarian hutan pada khususnya dan pelestarian fungsi lingkungan hidup pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUPLH, yang berbunyi:

”Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”

dan apabila hartanya tidak cukup maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun.”

7

(23)

Ketentuan pidana dalam UU Kehutanan selain mengatur tentang perbuatan perorangan (individual crime) juga mengatur perbuatan perusahaan atau Badan Hukum (corporate crime). Pasal 78 dengan seluruh ayatnya mengacu kepada pengaturan ketentuan Pasal 50 yang terdiri dari 3 ayat, di mana ayat (3) dari pasal tersebut menetapkan larangan sebanyak 13 butir (butir a hingga m). Sistem pemidanaan kehutanan mengenal pula delik korporasi, yakni perusahaan yang melakukan perbuatan yang melanggar pidana kehutanan dapat dijatuhkan pidana. Pengaturan delik korporasi ini diatur dalam Pasal 78 ayat (14) UUK. Supaya dapat disebut dengan delik korporasi, maka perbuatan pidana kehutanan dilakukan sendiri oleh perusahaan, atau dapat pula dilakukan atas nama perusahaan. Bagaimana jika sebuah perusahaan melakukan kegiatan tidak langsung, misalnya mendanai seseorang atau sekelompok orang (istilah yang lazim disebut dengan mencukongi, termasuk pula menyediakan sarana-sarananya seperti truk pengangkut, alat-alat penebangan

(24)

kepada pelaku delik korporasi bersifat diperberat, yakni ditambah 1 / 3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Salah satu contoh praktek illegal logging dapat dilihat dari modus opzet PT KNDI yang melakukan perbuatan fiktif dengan maksud pemanfaatan hutan secara melawan hukum dapat dikontruksikan bahwa perusakan hutan yang dilakukan oleh PT KNDI sebagai perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) apabila tidak ditangani secara terpadu di dalam sistem peradilan pidana (integrited criminal justice system) akan berdampak sangat berbahaya dan leluasanya pelaku kejahatan, karena para pelaku akan berkedok di balik izin HPH dan IUPHHK di dalam modus operandi (dolus opzet) aksi kejahatan perambahan dan/atau perusakan hutan. Dolus opzet ini tentunya tidak mencerminkan adanya sifat kekerasan, namun tetap dalam lingkup perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undang di luar KUHPidana. Tindak pidana kehutanan dilihat dari maksud dan tujuan pelaku kejahatan dapat dideskripsikan sebagai suatu kejahatan white collar crime dengan karakteristik sebagai berikut: Pertama, adanya upaya pelaku untuk terus menerus melakukan perusakan hutan dengan mengabaikan kewajiban yang digariskan oleh undang-undang misalnya kewajiban Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)8 dan

8

(25)

Rencana Karya Tahunan (RKT) yang disahkan merupakan izin untuk menebang pohon. Kedua, dolus berlindung di balik HPH dan IUPHHK agar aksi kejahatan tidak terjamah oleh aparat penegak hukum. Ketiga, melaui pemanfaatan HPH dan IUPHHK adanya dugaan maksud pelaku kejahatan untuk mengalihkan suatu peristiwa pidana yang dilakukannya ke arah pelanggaran perizinan administrasi (pengalihan penjerat hukum atas dirinya pelaku). Keempat, memanfaatkan celah hukum yang ada dengan berpatokan pada asas societas delenquere non potest. (sanksi pidana / hukum hanya berlaku orang perorang bukan korporasi / perusahaan). Secara terperinci dijelaskan bahwa karakteristik kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan yang memiliki Hak Pengusahaan Hutan dan memiliki izin usaha pemanfaatan hasil hutan sebagai berikut:

1. Adanya tindakan pelaku sebagai upaya untuk melakukan pengrusakan hutan secara dengan mengabaikan adanya berbagai kewajiban yang telah ditentukan misalnya kewajiban Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Rencana Karya Tahunan (RKT) yang disahkan.

2. Adalanya modus opzet pelaku untuk berlindung di balik HPH dan IUPHHK agar aksi kejahatan seolah-olah sebagai kegiatan yang dibenarkan oleh undang-undang.

(26)

3. Pemanfaatan HPH dan IUPHHK dengan melakukan tindakan berlindung dibalik izin teridikasi perbuatan pelaku sengaja untuk mengalihkan suatu peristiwa pidana.

4. Kekosongan hukum sebagai suatu celah hukum yang ada dengan berpatokan pada asas pertanggungjawaban pidana tidak dapat dibebankan kepada korporasi.

Penyebab kurang efektifnya penegakan hukum terhadap pelaku illegal logging terutama korporasi yang berkedok sebagai pemegang izin pemanfaatan hutan salah satunya adalah Pemufakatan jahat pelaku dengan aparat terkait (endaadse samenloop/concursus idealis maupun meerdadse samenloop/concursus realis), hal ini dilihat dari terungkapnya beberapa kasus berdasarkan temuan penyidik Polda Sumut yakni hasil OPS Hutan Lestari Toba 2006 yang mengacu kepada pemeriksaan Tim II atas Dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) / Daftar hasil Hutan (DHH) ditemukan terjadinya pemufakatan jahat melalui negosiasi antara tersangka Soesilo Setiawan dengan aparat Petugas Pembuat Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (P2SKSHH) Kab. Madina An. Nirwan Rangkuti, SH., hasilnya:

a. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) kosong diterbitkan & ditandatangani oleh Nirwan Rangkuti,SH., di rumahnya di Penyabungan tanpa Cek Fisik Kayu Bulat, hanya konfirmasi dengan atasannya Sdr. Drs. Tohir (Kasubdin Bina Produksi) Kab. Madina.

b. Soesilo Setiawan telah memberikan uang sebesar Rp. 2.500.000,00 kepada Nirwan Rangkuti, SH melalui transfer rekening Bank No. Rek: 107-00-0405147

(27)

d. Soesilo Setiawan tiba di rumah Zainal Abidin (Pejabat Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan (BPP HH) Wil-IV Padang Sidempuan).

Pada saat pengembangan kasus tindak pidana ini penyidik Polri menemukan bahwa Staf/Petugas Dinas Kehutanan Kabupaten Madina yang diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan Blok Tebang dan Checking Cruising PT. KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA (PT. KNDI)9 tidak melaksanakan sebagaimana seharusnya ketentuan yang berlaku, namun Staf/Petugas Dinas Kehutanan Kabupaten Madina menuangkan pemeriksaan Blok Tebang dan Hasil Checking Cruising

kedalam Berita Acara Pemeriksaan Blok Tebang dan Checking Cruising berdasarkan Laporan Hasil Cruising (LHC) Fiktif yang dibuat oleh IUPHHK PT. KNDI, contoh RLHC yang dibuat oleh PT. Keang Nam Development Indonesia tahun 2004 untuk URKT tahun 2006, pembuatan RLHC tersebut dan penulisan datanya di Kantor PT. Keang Nam Development Indonesia di Medan, dan pengisian LHC dibuatkan di Camp Pinang. Kemudian setelah diisi tanpa melalui data dari lapangan, LHC tersebut dikirimkan ke PT. Keang Nam Developmnent Indonesia di Medan. Kemudian Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Madina mengeluarkan Pertimbangan Tehnis berdasarkan LHC Fiktif serta Berita Acara Pemeriksaan Blok Tebang dan Checking Cruising Fiktif, selanjutnya dikirimkan kepada Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara bersama dengan Rekapitulasi Laporan Hasil Cruising (RLHC) Fiktif yang dibuat oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Madina dan yang disyahkan oleh

9

(28)

Bupati Mandailing Natal. Setelah Pertimbangan Tehnis RLHC tersebut diterima oleh Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, selanjutnya diproses untuk Pengesahan RKT IUPHHK PT. KNDI berdasarkan jumlah Kuota Tebangan yang telah ditetapkan oleh Dirjen Bina Produksi Departemen Kehutanan Republlik Indonesia.

(29)

tidak dilaksanakan oleh pihak perusahaan, dengan demikian secara otomatis penebangan / pemanenan pohon kayu tidak dilakukan didalam RKT / Blok Tebang dengan alasan bahwa PWH adalah sebagai prasarana angkutan hasil penebangan pohon dari Blok Tebang ke TPN atau ke TPK, akibatnya terjadi penyelewengan anggaran sasaran Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) yang telah dialokasikan dalam RKT sebagaimana diatur:

a) Peraturan Pemerintah RI. No. 34 Tahun 2002, tentang Tata Hutan dan Penyusunan rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 47 ayat (7) huruf b berbunyi “ Kerja sama usaha pada segmen kegiatan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan“, dan Penjelasannya berbunyi “ Kerja sama Usaha pada segmen kegiatan Usaha pemanfaatan Hasil Hutan, dalam bentuk kegiatan antara lain , dalam bentuk kegiatan Penataan batas areal kerja, Batas Blok dan Batas Petak kerja , kegiatan Pembukaan wilayah Hutan, Penebangan atau Pemanenan Hasil Hutan, Penyiapan lahan, Perapihan, Inventarisasi Potensi Hasil Hutan, Pengadaan Benih dan Bibit, Penanaman dan Pengayaan, Pembebasan, Pengangkutan, Pengolahan Hasil Hutan, Pemasaran Hasil Hutan dan Kegiatan Pendukung lainnya.”

b) Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. : 151/Kpts/IV-BPHH/1993, tanggal 19 Oktober 1993 tentang Petunjuk teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada Hutan Daratan dalam Petunjuk Tehnis Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) pada huruf b “Maksud dan Tujuan“ yaitu adalah untuk merencanakan pembuatan jalan angkutan dan Prasarana lainnya yang berkaitan erat dengan kegiatan Pengusahaan yang tujuannya tujuannya adalah untuk menyiapkan jalan angkutan dan Prasarana lainnya dalam upaya untuk Kelencaran angkutan Produksi hasil hutan dari masing-masing Blok Kerja Tebangan”.

(30)

B. Rumusan Masalah

Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini maka perlu dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian10 yang akan dikaji lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang telah diidentifikasi tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah penebangan pohon di luar Rencana Karya Tahunan (RKT) bagi pemilik IUPHHK memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dalam undang-undang kehutanan?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana penebangan pohon di luar RKT bagi pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan?

3. Bagaimana penanggulangan penebangan pohon di luar Rencana Karya Tahunan bagi pemegang IUPHHK?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah:

10

Lihat, Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta:

(31)

1. Untuk mengetahui apakah penebangan pohon di luar Rencana Karya Tahunan (RKT) bagi pemilik IUPHHK memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dalam undang-undang kehutanan.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana penebangan pohon di luar RKT bagi pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan.

3. Untuk mengetahui penanggulangan penebangan pohon di luar Rencana Karya Tahunan bagi pemegang IUPHHK.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis yang didasarkan pada tujuan penelitian.11 Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam hukum ekonomi mengenai aspek pidana berupa penentuan kejahatan terhadap penebangan pohon di luar Rencana Karya Tahunan bagi pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan prinsip pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh perusahaan pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan.

11

Calire Seltz et.,al: 1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian

Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm. 9 bahwa Bertitik tolak dari tujuan

penulisan yang didasarkan pada tujuan penelitian yaitu: “…… to discover answers to questions

through the application of scientific procedures. These procedures have been developed in order to increase the likelihood that the information gathered will be relevant to the question asked and will be

(32)

Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum di bidang kehutanan.

b. Secara Praktis

Manfaat penelitian ini memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) dalam mengambil beberapa tindakan untuk menangulangi dan menjaga keberlakuan suatu kaedah hukum, sehingga dapat mengantisipasi implikasi tindakan penyalahgunaan penebangan pohon di luar Rencana Karya Tahunan bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia, selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang terkait dengan pemanfaatan hutan sehingga penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para akademisi, praktisi hukum dan instansi pemerintah dalam menentukan langkah dan kebijakan hukum khususnya terhadap penegakan hukum bagi pelaku kejahatan lingkungan hidup khususnya illegal logging di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

(33)

perumusan masalah yang sama, walapun ada beberapa topik penelitian tentang kehutanan dan pembalakan liar namun jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan hak penguasaan kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakannya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang merupakan tanggungjawab negara. Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, tetapi negara memberikan wewenang kepada pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban negara untuk:12

1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

2. Menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan.

3. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan.

4. Mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.

12

(34)

Pengertian dikuasai bukan berarti dimiliki, melainkan suatu pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang dalam hukum publik. Oleh karena itu, hak negara dalam bidang kehutanan adalah berwenang untuk menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan negara. Kewenangan lainnya adalah menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan.

Perbuatan-perbuatan menyangkut pemanfaatan dan pengelolaan hutan dalam rangka pembangunan harus memperhatikan fungsi kelestarian hutan secara berkelanjutan (sustainable) dengan memperhatikan peran serta masyarakat dalam pengelolaannya.13 Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang kehutanan adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan dan lingkungan hidup secara lestari.14 Hal ini berarti bahwa diperlukan adanya

13

Peran serta masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 68 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Kehutanan, yang berbunyi:

”(1).Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. (2). Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:

a. Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan.

c. Memberikan informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan. d. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung

atau tidak langsung.”

14

(35)

penyerasian antara lingkungan hidup dengan pembangunan bukan hal yang mudah, sehingga perlu dilaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan.15 Menurut Koesnadi Hardjasoemantri arti pentingnya pelestarian lingkungan hidup secara berkelanjutan sebagai berikut:16

“Lingkungan hidup dengan sumber-sumber dayanya adalah kekayaan bersama yang dapat digunakan setiap orang yang harus dijaga untuk kepentingan masyarakat dan untuk generasi mendatang. Perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alamnya dengan demikian mempunyai tujuan ganda yaitu melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhannya dan melayani kepentingan-kepentingan individu”

Pelestarian hutan tidak bisa dilepaskan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang lingkungan sumber daya alam non hayati, sumber daya alam buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 UUPLH. Pasal 14 ayat (1) UUPLH, menyatakan bahwa:

”Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”

dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

15

Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran dan atau

Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum

Pidana/Lingkungan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Sabtu 20 Desember 2003, hlm. 5

16

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjahmada University

(36)

Menurut Pasal 14 ayat (1) di atas, dalam rangka pelestarian hutan terhadap pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 UUK harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:17

1. Pelestarian fungsi lingkungan hidup, yaitu rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya dukung yang dimaksud adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk lain, sedangkan yang dimaksud daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

2. Baku mutu lingkungan hidup, yaitu ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemaran yang tenggang keberadaannya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

3. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, yaitu ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup.

Menyangkut penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan kehutanan tentunya tidak dapat dipisahkan dari pemenuhan asas legalitas untuk meminta

17

(37)

pertanggungjawaban pelaku, pemenuhan asas legalitas dimulai melalui kriminalisai kejahatan kehutanan sebagai tindak pidana. Asas ini mempunyai arti bahwa suatu perbuatan merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undang-undang (“nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”

artinya tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu). Dipergunakannya asas tersebut karena merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Pasal 1 ayat 1 KUHP berbunyi, “suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana, jika ini ditentukan lebih dulu dalam suatu ketentuan undang-undang”. Dalam rangka penegakan hukum di bidang kehutanan diharuskan untuk memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri. Faktor-faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto yakni hukum itu sendiri, faktor penegak hukum dan faktor sarana dan prasarana yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat dan kebudayaan.18

Faktor-faktor yang melandasi tersebut menegaskan pada proses penegakan hukum paling tidak ada 3 (tiga) komponen penting yang saling berinteraksi bahkan berinterdependensi antara komponen yang satu dengan yang lainnya.

18

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta,

(38)

komponen dimaksud adalah hukum (peraturan perundang-undang) sebagai rule of game dalam perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan, aparat penegak hukum sebagai pelaksana terselenggaranya pengawasan dan pengelolaan sumber daya hutan secara optimal dan berkelanjutan, oleh karenanya perlu ditingkatkan pengawasan kehutanan khususnya Departemen Kehutanan dan Dinas Kehutanan yang ada di daerah di mana hutan itu berada sesuai dengan kewenangannya sebagai wujud pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Di samping itu, perlu juga adanya kesadaran hukum masyarakat, karena kesadaran masyarakat sekitar hutan sangat penting yang diwujudkan melalui keterlibatan masyarakat untuk berperan serta dalam pengawasan di bidang kehutanan secara berdaya guna dan berhasil guna.

(39)

dalam penegakan hukum, sehingga tercapai adanya kepastian hukum.19 Erat kaitannya dengan permasalahan tentang penerapan prinsip-prinsip tanggung jawab terhadap pengusaha hutan/pemegang HPH dalam kaitannya dengan praktik illegal logging, hal ini merupakan salah satu agenda reformasi hukum yang penting dan mendesak (crucial) untuk dilaksanakan, yakni reformasi dalam penegakan hukumnya sendiri, khususnya yang berkaitan dengan kasus illegal logging. Apabila diperhatikan pelaksanaan penegakan hukum dewasa ini masih jauh dari yang diharapkan, hal ini dikarenakan banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum tersebut. Penegakan hukum atau yang dalam bahasa populernya sering disebut dengan istilah law enforcement, merupakan ujung tombak agar terciptaya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa:20

“Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup”. Dalam berbagai kajian sistematis penegakan hukum dan keadilan, secara teoritis menyatakan bahwa efektivitas penegakan hukum baru akan terpenuhi apabila lima pilar hukum berjalan dengan baik, termasuk pula dalam penegakan terhadap kasus illegal logging. Lima pilar hukum itu adalah instrumen hukumnya, aparat penegakan hukumnya, peralatannya, masyarakatnya, dan birokrasinya. Secara

19

Ujang Chandra, IIIegal Logging & Penegakan Hukumnya, (Bandung: Bungo Abadi, 2005),

hlm. 11

20

(40)

empirik, efektivitas penegakan hukum juga telah dikemukakan oleh Walter C. Reckless,21 yaitu harus dilihat bagaimana sistem dan organisasinya bekerja, bagaimana sistem hukumnya, bagaimana sistem peradilannya dan bagaimana birokrasinya. Berdasarkan berbagai kajian kesisteman tersebut dapat dikatakan bahwa efektivitas penegakan hukum dalam teori maupun praktik problematika yang dihadapi hampir sama. Kemauan politik (political will) dari pengambil keputusan merupakan faktor yang menentukan hukum dapat tegak dan ambruk, atau setengah-tengahnya.

Masalah penegakan hukum pada dasarnya merupakan kesenjangan antara hukum secar normatif (das sollen) dan hukum secara sosiologis (das sein) atau kesenjangan antara perilaku hukum masyarakat yang seharusnya dengan perilaku hukum masyarakat yang senyatanya. Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Hukum sebagai suatu kaidah di dalamnya merupakan seperangkat norma-norma yang memuat anjuran, larangan dan sanksi yang salah satu fungsi pokoknya sebagai sarana kontrol sosial, dengan tujuan menjaga ketertiban, keseimbangan sosial dan kepentingan masyarakat. Hukum sebagai perangkat norma yang berfungsi dan bertujuan demikian itu, maka pertama-tama akan hadir sebagai sesuatu yang bersifat

21

Walter C. Reckless dalam Bambang Sutiyoso, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi

(Paparan Aktual Berbagai Permasalahan Hukum dan sebagainya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

(41)

law in the book, memuat ancangan hipotesis tentang batas-batas perilaku manusia yang boleh tidak dilakukan serta memberi ancaman sanksi apabila ada diantara anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran.

Pada taraf law in the book ini, hukum belum banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, karena belum berjalan, bergerak, berfungsi, seperti apa yang dijanjikannya. Baru akan dirasakan manfaatnya atau bahkan dirasakan dampaknya setelah ditegakkan di tengah-tengah masyarakat (law in action). Tidak mengherankan jika ada pernyataan, bahwa hukum tidak disebut sebagai hukum masyarakat apabila tidak pernah dirasakan. Oleh karena itu, norma-norma hukum yang berisi anjuran, dan sanksi perlu adanya konkritisasi dan operasionalisasi dengan ditegakkannya hukum secara sungguh-sungguh terutama oleh aparat penegak hukumnya.

Pola penegakan hukum dipengaruhi oleh tingkat perkembangan masyarakat, tempat hukum tersebut berlaku atau dibekukan. Dalam masyarakat sederhana, pola penegakan hukumnya dilaksanakan melalui prosedur dan mekanisme yang sederhana pula, namun dalam masyarakat modern yang bersifat rasional dan memiliki tingkat spesialisasi dan diferensiasi yang begitu tinggi, pengorganisasian penegakan hukumnya menjadi begitu kompleks dan sangat birokratis.

(42)

illegal logging dalam masyarakat bukan hanya ditentukan oleh faktor tunggal, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memberikan kontribusi secara bersama-sama terhadap kondisi tersebut, namun faktor mana yang paling dominan mempunyai pengaruh tergantung pada konteks sosial dan tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat bersangkutan.

Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dalam praktik illegal logging dapat dibedakan dalam dua hal, yakni faktor-faktor yang terdapat dalam sistem hukum dan faktor di luar sistem hukum. Adapun faktor-faktor dalam sistem hukum meliputi faktor-faktor hukumnya (undang-undang), faktor-faktor penegak hukum, dan faktor sarana dan prasarana, sedangkan faktor-faktor di luar sistem hukum yang memberikan pengaruh adalah faktor kesadaran hukum masyarakat, perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan faktor politik atau penguasa negara.22

Selanjutnya, sistem hukum pidana di Indonesia memperkenalkan kunci utama dalam mendeskripsikan tindakan yang dianggap melawan hukum (melawan undang-undang) yaitu, tindakan yang dianggap sebagai suatu pelanggaran dan tindakan yang dianggap sebagai kejahatan. Suatu tindak pidana adalah perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum, dan pembuat salah melakukan perbuatan tersebut, seperti yang dirumuskan oleh Enschede bahwa “tindak pidana adalah perbuatan yang termasuk dalam rumusan suatu delik, melawan hukum, dan kesalahan dapat

22

(43)

dicelakan padanya”.23 Di dalam perumusan delik tindak pidana adakalanya sifat melawan hukum tidak dicantumkan, tetapi adakalanya juga dicantumkan secara tegas, padahal azas legalitas menyatakan bahwa:

a. Pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan berlaku surut (mundur);

b. Semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya;

c. Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan;

d. Terhadap peraturan pidana dilarang menerapkan penafsiran analogi. Hukum pidana pada hakekatnya adalah hukum undang-undang, sebagaimana adagium nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali. Akan tetapi, dengan undang-undang saja seringkali menimbulkan pemberian putusan yang tidak adil, sebagai akibat kekakuan dari undang-undang. Karenanya undang-undang dan hukum kebiasaan bersama-sama digunakan untuk memberikan dasar hukum yang diperlukan secara mutlak pada pergaulan hidup, dan hakim seringkali mendasarkan putusan pada keduanya untuk merumuskan perbuatan melawan hukum yakni unsur yang termuat di dalam rumusan tindak pidana sebagaimana yang diatur secara tegas oleh undang-undang dan perbuatan yang dianggap melanggar kepatutan masyarakat sehingga perbuatan dimaksud merupakan perbuatan tercela. Berdasarkan uraian ini maka mengenai dicantumkan atau tidaknya sifat melawan hukum di dalam rumusan delik tindak pidana, terdapat 2 (dua) ajaran yaitu:24

23

Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana

Indonesia, Cet I, (Bandung: Alumni, 2002), hlm. 23

24

(44)

a. Ajaran sifat melawan hukum yang formal, yang mengatakan bahwa: apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas di dalam undang-undang.

b. Ajaran sifat melawan hukum yang materiil, yang mengatakan bahwa disamping memenuhi syarat-syarat formal yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela.

Disamping itu, penegakan hukum untuk menjerat pelaku pemanfaatan hutan diluar RKT diperlukan penggunaan sistem hukum yang menekankan bekerjanya struktur hukum.25 Sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu terus berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Aspek lain seperti hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansi adalah aturan – aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Kemudian, budaya hukum yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.

Pendapat Lawrence di atas dipertegas oleh Jimly Asshiddiqie26 yang menyatakan penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

25

Lawrence M. Friedman (terjemahan Wishnu Basuki), American Law An Introduction,

(Jakarta: PT. Tatanusa, 2001), hal. 7-8

26

Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, http://www.solusihukum.com, diakses tanggal 6 Juni

(45)

bernegara. Dalam arti sempit dari segi subjeknya, penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya yang melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum yang diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut ojeknya yakni dari hukumnya itu sendiri.27 Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai-nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.

27

Hukum yang baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang yang akan diaturnya. Hukum tidak hanya bersifat praktis, efisien dan efektif, melainkan juga harus bermaksud mewujudkan suatu tatanan yang oleh masyarakat dirasakan adil. Untuk menemukan perasaan masyarakat itu semua unsur yang relevan bagi perasaan masyarakat dalam tertib hukum harus diperhatikan seperti nilai-nilai, norma-norma kehidupan, pola dan struktur hidup bermasyarakat, peranan sosial, situasi dan keadaan hubungan-hubungan sosial lembaga-lembaga

dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing. Lihat, Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengatar

Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 53. Lihat juga, Darji Darmodiharjo dan

Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta:

(46)

Pada dasarnya, tujuan dari penegakan hukum yang ingin dicapai adalah pemidanaan, yang untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri, untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan dan untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.28 Pemidanaan harus didahului dengan menempatkan suatu perbuatan sebagai kejahatan, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sudarto29 bahwa bahwa mengenai masalah penentuan hukum pidana harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur secara merata baik materil dan seprituil berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi keselamatan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugiaan (materiil dan atau spritual) atas warga masyarakat.

28

P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), hlm. 11

29

(47)

c. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tuga (overbelasting).

Kemudian, Soerjono Soekanto mengatakan bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi dari faktor-faktor itu sendiri, yaitu:30

1. Faktor hukumnya, yaitu undang-undang

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan dan

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

G. Metode Penelitian

1.Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dimana datanya bersumberkan dari data pustaka (library research). Penelitian ini cenderung menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundangan yang berkaitan dengan aspek pidana terhadap penebangan pohon di luar Rencana Karya Tahunan bagi

30

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.

(48)

pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan. Sebagai bahan hukum primer selain dari peraturan perundangan di bidang kehutanan dan KUH Pidana juga peraturan perundangan yang terkait dengan lingkungan hidup dan perseroan. Bahan hukum sekunder yaitu pandangan para ahli hukum dan ahli di bidang kehutanan dan lingkungan hidup yang dikutip dari literatur yang mendukung kerangka pemikiran dan analisis terhadap obyek penelitian.

2. Sumber Data

Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi:

(49)

b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku bacaan yang relevan dengan penelitian ini, hasil tulisan ilmiah seperti tesis, disertasi, journal, makalah, laporan penelitian yang sesuai dengan topik kajian penelitian ini;

c. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, skunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.31

3. Alat Pengumpulan Data

Alat yang dipergunakan dalam mengumpulkan data penelitian ini adalah menggunakan teknik dokumentasi. Metode ini penulis lakukan tidak lain hanya mengumpulkan bahan-bahan melalui kepustakaan, yakni berupa buku-buku, journal, dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok masalah dalam tesis ini. Selanjutnya penelitian ini juga didukung oleh penelitian lapangan melalui tekhnik wawancara dengan informan yang dinilai menguasai di bidang penegakan hukum kehutanan yakni penyidik di Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara serta pihak-pihak lainnya yang berkompeten.

31

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998),

(50)

4. Analisis Data

(51)

BAB II

PENEBANGAN POHON DI LUAR RENCANA KARYA TAHUNAN (RKT) BAGI PEMILIK IUPHHK DALAM UNDANG-UNDANG KEHUTANAN

A. Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan

Undang-Undang Kehutanan telah mengkualifikasi beberapa perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku baik perseorangan maupun badan usaha apabila melakukan praktik perusakan hutan dan diancam dengan sanksi, baik secara perdata maupun pidana. Sanksi perdata berupa kewajiban bagi pelaku untuk memberikan ganti kerugian atas perbuatannya yang telah menerbitkan kerugian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 KUHP, sedangkan sanksi pidana diatur dalam Pasal 50 dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 yang merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari dengan menerapkan sanksi pidana yang berat bagi pelaku,32 misalnya Pasal 50 ayat 3 butir a, b, c dan diancam pidana dalam Pasal 78 ayat 2, melanggar Pasal 78 ayat 5, 7 UUK.

Pasal 78 dengan seluruh ayatnya mengacu kepada pengaturan ketentuan Pasal 50 yang terdiri dari 3 ayat, di mana ayat (3) dari pasal tersebut menetapkan larangan sebanyak 13 butir (butir a hingga m). Sistem pemidanaan kehutanan mengenal pula delik korporasi, yakni perusahaan yang melakukan perbuatan yang melanggar pidana

32

Ketentuan hukum pidana kehutanan diatur mulai dari Pasal 77 hingga Pasal 79, yang terdiri dari dua masalah, yakni Penyidikan (Pasal 77) dan Ketentuan Pidana (Pasal 78 dan 79). Pasal 78 terdiri dari 15 ayat di mana setiap ayat memiliki spesifikasi pengaturan sanksi yang berhubungan dengan Pasal 50 UUK. Ketentuan pidana dalam UU Kehutanan selain mengatur tentang perbuatan perorangan

(52)

kehutanan dapat dijatuhkan pidana. Pengaturan delik korporasi ini diatur dalam Pasal 78 ayat (14) UUK. Supaya dapat disebut dengan delik korporasi, maka perbuatan pidana kehutanan dilakukan sendiri oleh perusahaan, atau dapat pula dilakukan atas nama perusahaan. Bagaimana jika sebuah perusahaan melakukan kegiatan tidak langsung, misalnya mendanai seseorang atau sekelompok orang (istilah yang lazim disebut dengan mencukongi, termasuk pula menyediakan sarana-sarananya seperti truk pengangkut, alat-alat penebangan (chain saw) untuk mencuri kayu di hutan dan hasil curian tersebut lalu dijual kepada perusahaan. Dapatkah hal ini dikualifikasikan sebagsai delik korporasi? bilamana dari kenyataan ini terdapat indikasi, misalnya, surat tugas, dokumen-dokumen pembayaran yang ditandatangani oleh pejabat perusahaan, maka hal demikian dapat dikualifikasikan sebagai delik korporasi sebagaimana diatur Pasal 78 ayat (14) UUK. Selanjutnya menurut Pasal 78 ayat (14) UUK delik korporasi dapat dijatuhkan kepada pengurus perusahaan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamasama. Hukuman kepada pelaku delik korporasi bersifat diperberat, yakni ditambah 1 / 3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Adapun bunyi rumusan Pasal 78 UUK, yaitu sebagai berikut:

(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(53)

(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(7) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

(8) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(54)

(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.

(14) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

(15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.

Pasal 78 ini merujuk kepada ketentuan Pasal 50 UU Kehutanan, yaitu sebagai berikut:

(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. (2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha

pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.

(3) Setiap orang dilarang:

a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;

(55)

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.

d. membakar hutan;

e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;

f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;

g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;

h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;

i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;

j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;

k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;

l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan

m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

(56)

1. Tindakan merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan (vide Pasal 78 Ayat (1) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (1) UU

Kehutanan);

2. Kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan oleh setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu (vide Pasal 78 Ayat (1) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (2) UU

Kehutanan);

3. Perbuatan mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah (vide Pasal 78 Ayat (2) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf a UU Kehutanan);

4. Merambah kawasan hutan (vide Pasal 78 Ayat (2) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf b UU Kehutanan);

Gambar

table presumption of liability principle) .........................
Tabel 1. Laporan Hasil Cruising ( LHC )

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pencatatan persediaan denganmetode perpetual merupakan salah satu metode yang telah sesuai dengan PSAK No.14 Tahun 2014, dimana pada saat transaksi pembelian terjadi

dengan jumlah pertanyaan 30 soal dan metode recall 24 jam untuk mengetahui jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi selama 24 jam (kalori in) dan

KEBENARAN: Buat masa ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahawa vaksin COVID sekarang tidak akan memberi perlindungan terhadap varian virus COVID yang baru.. Adalah normal bagi

A Bell, sebagai suat u met ode dan acuan unt uk memunculkan suat u wujud arsitekt ural dalam perancangan Mall dan Hypermarket di Kot amobagu yang diharapkan dapat menjadi

Adapun metode ini dalam prakteknya tidak membutuhkan alat yang bermacam-macam, karena hanya ditekankan pada bacaannya (membaca huruf Alquran dengan fasih) dalam metode

Mengambil sidik jari lantent mayat tanpa identitas di tempat kejadian perkara, tujuannya adalah untuk mengetahui siapa mayat tersebut dengan dicocokan dengan data yang ada di

bouyancy tank pada struktur terpancang kaki empat sehingga dapat mengurangi bahaya keruntuhan yang terjadi pada struktur, dan mengetahui tegangan yang terjadi pada sambungan

Hak atas suatu merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu