• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENEBANGAN POHON DI LUAR RENCANA KARYA

A. Tindak Pidana di Bidang Kehutanan

Undang-Undang Kehutanan telah mengkualifikasi beberapa perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku baik perseorangan maupun badan usaha apabila melakukan praktik perusakan hutan dan diancam dengan sanksi, baik secara perdata maupun pidana. Sanksi perdata berupa kewajiban bagi pelaku untuk memberikan ganti kerugian atas perbuatannya yang telah menerbitkan kerugian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 KUHP, sedangkan sanksi pidana diatur dalam Pasal 50 dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 yang merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari dengan menerapkan sanksi pidana yang berat bagi pelaku,32 misalnya Pasal 50 ayat 3 butir a, b, c dan diancam pidana dalam Pasal 78 ayat 2, melanggar Pasal 78 ayat 5, 7 UUK.

Pasal 78 dengan seluruh ayatnya mengacu kepada pengaturan ketentuan Pasal 50 yang terdiri dari 3 ayat, di mana ayat (3) dari pasal tersebut menetapkan larangan sebanyak 13 butir (butir a hingga m). Sistem pemidanaan kehutanan mengenal pula delik korporasi, yakni perusahaan yang melakukan perbuatan yang melanggar pidana

32

Ketentuan hukum pidana kehutanan diatur mulai dari Pasal 77 hingga Pasal 79, yang terdiri dari dua masalah, yakni Penyidikan (Pasal 77) dan Ketentuan Pidana (Pasal 78 dan 79). Pasal 78 terdiri dari 15 ayat di mana setiap ayat memiliki spesifikasi pengaturan sanksi yang berhubungan dengan Pasal 50 UUK. Ketentuan pidana dalam UU Kehutanan selain mengatur tentang perbuatan perorangan

kehutanan dapat dijatuhkan pidana. Pengaturan delik korporasi ini diatur dalam Pasal 78 ayat (14) UUK. Supaya dapat disebut dengan delik korporasi, maka perbuatan pidana kehutanan dilakukan sendiri oleh perusahaan, atau dapat pula dilakukan atas nama perusahaan. Bagaimana jika sebuah perusahaan melakukan kegiatan tidak langsung, misalnya mendanai seseorang atau sekelompok orang (istilah yang lazim disebut dengan mencukongi, termasuk pula menyediakan sarana-sarananya seperti truk pengangkut, alat-alat penebangan (chain saw) untuk mencuri kayu di hutan dan hasil curian tersebut lalu dijual kepada perusahaan. Dapatkah hal ini dikualifikasikan sebagsai delik korporasi? bilamana dari kenyataan ini terdapat indikasi, misalnya, surat tugas, dokumen-dokumen pembayaran yang ditandatangani oleh pejabat perusahaan, maka hal demikian dapat dikualifikasikan sebagai delik korporasi sebagaimana diatur Pasal 78 ayat (14) UUK. Selanjutnya menurut Pasal 78 ayat (14) UUK delik korporasi dapat dijatuhkan kepada pengurus perusahaan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamasama. Hukuman kepada pelaku delik korporasi bersifat diperberat, yakni ditambah 1 / 3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Adapun bunyi rumusan Pasal 78 UUK, yaitu sebagai berikut:

(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(7) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

(8) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3

(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.

(14) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

(15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.

Pasal 78 ini merujuk kepada ketentuan Pasal 50 UU Kehutanan, yaitu sebagai berikut:

(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. (2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha

pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.

(3) Setiap orang dilarang:

a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.

d. membakar hutan;

e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;

f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;

g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;

h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;

i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;

j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;

k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;

l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan

m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

Berdasarkan Pasal 78 dan Pasal 50 UU Kehutanan di atas, maka kualifikasi tindak pidana kehutanan adalah sebagai berikut:

1. Tindakan merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan (vide Pasal 78 Ayat (1) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (1) UU Kehutanan);

2. Kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan oleh setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu (vide Pasal 78 Ayat (1) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (2) UU Kehutanan);

3. Perbuatan mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah (vide Pasal 78 Ayat (2) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf a UU Kehutanan);

4. Merambah kawasan hutan (vide Pasal 78 Ayat (2) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf b UU Kehutanan);

5. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi

pantai (vide Pasal 78 Ayat (2) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf c UU Kehutanan);

6. Membakar hutan (vide Pasal 78 Ayat (3) dan (4) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf d UU Kehutanan);

7. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang (vide Pasal 78 Ayat (5) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf e UU Kehutanan);

8. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (vide Pasal 78 Ayat (5) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf f UU Kehutanan);

9. Melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka pada kawasan Hutan Lindung (vide Pasal 78 Ayat (6) atas pelanggaran Pasal 38 Ayat (4) UU Kehutanan);

10. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri (vide Pasal 78 Ayat (6) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf g UU Kehutanan);

11. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan

(vide Pasal 78 Ayat (7) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf h UU Kehutanan);

12. Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang (vide Pasal 78 Ayat (8) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf i UU Kehutanan);

13. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang (vide Pasal 78 Ayat (9) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf j UU Kehutanan); 14. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,

memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (vide Pasal 78 Ayat (10) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf k UU Kehutanan);

15. Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan (vide Pasal 78 Ayat (11) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf l UU Kehutanan);

16. Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (vide Pasal 78

Ayat (12) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf m UU Kehutanan);

Pada dasarnya ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UUK yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan benda. Ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UUK. Jenis pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 UUK. Uraian tentang ketentuan pidana dan sanksinya terhadap kegiatan pengrusakan hutan UUK adalah sebagai berikut :

1. Setiap orang dilarang masuk prasarana dan saran perlindungan hutan. (Pasal 50 ayat (1)). Barangsiapa dengan sengaja merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) (Pasal 7 ayat (1)). Penjelasan 50 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha. Prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, lingkaran api, menara pengawas, dan jalan pemeriksaan. Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda larangan dan alat angkut.

2. Setiap orang yang diberikan izin pemanfaatan kawasan izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu,

dilarang melakuka kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan (Pasal 50 ayat (2)). Barangsiapa yang melanggar ketentutan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (1)). Penjelasan 50 ayat (2), yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, atau hayatinya yang menyebabkan hutan tersebut terganggung atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.

3. Setiap orang dilarang melakkan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak (Pasal 50 ayat (3) huruf c) sampai dengan 500 (lima ratus) meter dan tepi waduk atau danau; 200 (dua ratus) meter dan tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 100 (seratus meter) dan tepi kiri kanan sungai; 50 (lima puluh) meter dan kiri kanan tepi anak sungai; 2 (dua) kali kedalaman jurang dan tepi jurang; 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dan tepi pantai. Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) (Pasal 8 ayat (2)). Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf c menyebutkan bahwa secara umum jarak tersebut sudah cukup baik untuk mengamankan kepentingan konservasi tanah dan air Pengecualian dan ketentuan tersebut dapat diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan konservasi tanah dan air. Perbuatan yang diatur dalam Pasal 78 ayat (1), (2) dan ayat (3) tersebut jika dilakukan oleh badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap

pengurusnya sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah 1/3 (sepertiga) dan pidana yang dijatuhkan (pasal 78 ayat (14)). Sementara itu yang dimaksud dengan badan hukum atau badan usaha dalam pasal tersebut antara lain Perseroan Terbatas (PT), perseroan comanditer.

Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana terhadap setiap pelanggaran hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran hukum di bidang kehutanan. Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hutan, karena sanksi pidananya berat. Di samping itu, sanksi perdata dan pidana pelaku juga dapat dijatuhi sanksi administratif dengan tidak mengurangi sanksi perdata dan pidana. Adapun bentuk sanksi administratif ini menurut penjelasan Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 adalah denda, pencabutan izin, penghentian kegiatan, dan atau pengurangan areal.

Di samping itu, sanksi pidana terhadap pelaku pengrusakan hutan juga diatur dalam UUPLH. Undang-undang ini secara tegas mensyaratkan beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana misalnya Pasal 41 ayat 1, Pasal 46 ayat 1 UUPLH. Beberapa pasal di dalam undang-undang tentang kehutanan dan lingkungan hidup ini yang dikriminalisasi dijadikan sebagai ketentuan hukum tentang perbuatan yang dilarang dan diharuskan, disertai dengan ancaman pidana bagi barang

siapa yang melanggar larangan tersebut.33 Pelanggaran atas ketentuan hukum pidana biasa disebut sebagai tindak pidana, perbuatan pidana, delik, peristiwa pidana dan banyak istilah lainnya.34 Terhadap pelakunya dapat diancam sanksi sebagaimana sudah ditetapkan dalam undang-undang.35

B. Pendekatan Fungsi Kelestarian Lingkungan Hidup Untuk Menjerat Pelaku

Dokumen terkait