• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teori dan Konsepsi

Dalam dokumen TESIS. Oleh. W I L L I A M / M.Kn (Halaman 32-49)

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori.

thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.16 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.17 Teori yang digunakan dalam penelitian mi adalah teori kepastian hukum dan keadilan terhadap pihak yang dirugikan dalam suatu pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli dimana salah satu pihak telah melakukan perbuatan wanprestasi/ingkar janji.

16 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. hal. 80

17 Lexy Molloeng, Metodologi Penelitian KuanHtatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993. hal. 35

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (recht gehectheid), kemanfaatan dan kepastian hukum (rechtszekerheid).18 Apeldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil, untuk mencapai kedamaian hukum dan menciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan penyesuaian antara kepentingan yang bertentangan satu sarna lain, dan setiap orang harus memperoleh hak-hak sesuai hukum yang berlaku dalam hal mewujudkan keadilan.19

Suatu undang-undang harus memberikan keadaan yang sama kepada semua pihak, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara pribadi-pribadi tersebut. Semua orang bersamaan kedudukannya dan harus diperlakukan sama di depan undang-undang, apabila terjadi perbedaan perlakuan hukum diantara orang-orang maka tujuan undang-undang untuk memberikan keadiian dan kepastian hukum bagi semua orang telah mengalami kegagalan. Teori keadilan dan kepastian hukum yang dipelopori oleh Aristoteles merupakan dasar teori yang digunakan dalam menganalisis permasalahan yang, tetdapat dalam penelitian ini.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini menyangkut akibat hukum atas terjadinya wanprestasi dalam perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) hak atas tanah, perlindungan hukum terhadap pihak yang dirugikan atas terjadinya wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang dilakukan oleh salah satu pihak, dasar pertimbangan hukum majelis hakim dalam

18 Achmad AH, Menguak Tabir Hukum tSiutu Kajian Pilosofi dan Sosiologi) Citra Aditva Bakti, Bandung. 1996, hal. 85

19 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum. Sinar Grafika, Jakarta. 2008. hal.57

Putusan Mahkamah Agung RI No. 2161K/PDT/2014 dalam perkara wanprestasi terhadap pelaksanaan pengikatan jual beli hak atas tanah.20

Keadilan menurut Aristoteles adalah suatu tindakan untuk memperlakukan setiap orang / pihak sebagai subjek hukum secara seimbang (proporsional) sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing.21Didalam karya ihniahnya yang berjudul "Nichomacthen Ethics", Aristoteles menjabarkan keadilan tersebut menjadi 3 (tiga) pengertian yaitu :

a. Keadilan distributif (distributive justice), yang mempunyai pengertian dimana semua hak-hak dan keuntungan harus dibagi secara adil.

b. Keadilan retributif (retributive justice), dimana hak-hak dan keuntungan dibagi berdasarkan andil ataujasa-jasanya.

c. Keadilan kompensatoris (compensatory justice), dimana hak-hak dan keuntungan dibagikan kepada pihak lain berdasarkan besar kerugian yang dideritanya.

Dari beberapa pengertian tentang keadilan tersebut di atas, keadilan distributif dipandang sebagai awal mula segala jenis teori keadilan.Dinamika keadilan yang berkembang di masyarakat dalam telaah para ahli hukum pada umumnya berlandaskan pada teori keadilan distributif, meskipun dengan berbagai versi dan pandangan masing-masing, teori karena itu dalam suatu perjanjian haras dilandasi pemikiran proporsional yang terkandung dalam keadilan distributif.Keadilan dalam melaksanakan perjanjian lebih termanifestasi apabila

20 Riswanto Anwar, Asas Keseimbangan dalam Suatu PerjanjianTimbal Balik, Citra llmu, Jakarta, 2012, hal.7

21 K. Bertens, Etika Bisnis, Kanisnius, Yogyakana. 2000. Hal. 6

kepentingan para pihak terdistribusi sesuai dengan hak dan kewajiban secara proporsional. 22

Hukum perjanjian diatur dalam buku ke tiga KUH Perdata yang terdiri dari 18 Bab dan 631 Pasal, dimulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Secara garis besar, perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata adalah perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, kerja, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai bunga tetap dan abadi, untung-untungan, pemberian kuasa penanggung hutang dan perdamaian. Dalam teori ilmu hukum perjanjian-perjanjian di atas disebut dengan istilah perjanjian bernama (nominaaf).

Di mar KUH Perdata dikenal pula dengan perjanjian lainnya seperti perjanjian joint venture, produce Sharing, Franchise, perjanjian sewa beli termasuk perjanjian pengikatan jual beli. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian tidak bernama (in nominaaf), yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat karena kepentingan masyarakat itu sendiri.23

Sistem pengaturan hukum perjanjian adalah sistem terbuka (open system) yang mengandung kebebasan untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun belum diatur dalam undang-undang (KUH Perdata). Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata secara tegas menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Jika dianalisa lebih lanjut maka ketentuan pasal tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk:24

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian

22 Purwahit Patric, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 27.

23 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1994, hal. 6

24 M. Yahya Harahap. Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1996, hal. 43

2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun

3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya 4. Menentukan bentuk apakah tertulis atau lisan.

Hukum perjanjian adalah bagian dari hukum perdata (privat). Hukum itu memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self imposed obligation). Disebut sebagai bagian dari hukum perdata disebabkan karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian murni menjadi tanggungjawab pihak-pihak yang membuat perjanjian.25

Dalam suatu perjanjian terdapat 10 (sepuluh) asas yang dikenal dalam iimu hukum perdata. Kesepuluh asas itu antara lain adalah asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel), asas kekuatan mengikat, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral dan asas kepatutan.26 Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa asas kebebasan berkontrak termaktub dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pihak yang sepakat melakukan perjanjian dianggap mempunyai kedudukan yang seimbang serta berada dalam situasi dan kondisi yang bebas menentukan kehendaknya untuk melakukan perjanjian. Kebebasan berkontrak juga ditegaskan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu kesempatan ini dibuat haras bersifat

25Salim HS, Hukum Perjanjian Nominaat dan In Nominaat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 9

26Mariam Darus Badrulzaman. dkk. Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 83

bebas. Kesepakatan tidaklah sah apabila diberikan berdasarkan kekuatan atau diperolehnya dengan penipuan atau paksaan.27

Asas konsesualisme dapat dikatakan bahwa Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. Asas kepastian hukum yang lazim disebut juga dengan asas Pacta Sunt Servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Azas ini mesyaratkan bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati subtansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Asas itikad baik (good faith) tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik oleh para pihak yang mengikatkan diri ke dalam perjanjian tersebut. Asas itikad baik dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, harus memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek.Pada itikad baik mutlak, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan menurut norma-norma yang objektif. Asas kepribadian (Rechtpersonality) merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan kesediaannya untuk mengikatkan diri.

Pernyataan kedua belah pihak yang memiliki kesesuaian inilah yang disebut

27 Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 34

dengan kesepakatan (konsensus)28. Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik dan ketertiban umum. Penilaian terlarang dalam hal ini adalah apabila objek yang diperjanjikan merupakan sesuatu yang terlarang, atau berlawanan dengan undang-undang, kesusilaan baik dan ketertiban umum. Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Peristiwa pengikatan diri ke dalam satu perjanjian ini menimbulkan suatu hubungan hukum antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian yaitu berupa suatu perikatan yang mengandung janji atau kesanggupan atas apa yang diucapkan atau dituliskan oleh para pihak yaitu pihak yang berhak dan pihak yang berkewajiban.29

Dari rumusan di atas dapat dikatakan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum yang lahir dari adanya kesepakatan antara dua pihak atau lebih, dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya pada lapangan harta kekayaan dan pihak kedua pihak untuk menuntut prestasi yang disepakati bersama.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa pengikatan jual beli merupakan suatu perikatan yang dilahirkan dari kebutuhan yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Pada prinsipnya pengikatan jual beli merupakan suatu perikatan yang dilakukan oleh para pihak yang merupakan janji yang harus ditepati dalam melaksanakan perjanjian jual beli. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan perjanjian awal dari para pihak yang mendahului terjadinya

28 RM. Suryodiningrat, Asas-asas Hukvm Perikatan, Bandung, 1985, hal. 23

29 Munir Fuady, Hukum Kontrak, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 42

perjanjian jual beli itu sendiri30. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dilaksanakan oleh para pihak dengan tujuan untuk mengikat para pihak sebelum terjadinya perjanjian jual beli, agar melaksanakan/menepati janjinya pada waktu yang telah ditetapkan untuk melaksanakan perjanjian jual beli apabila seluruh persyaratan yang dikehendaki atau dipersyaratkan oleh undang-undang dalam pelaksanaan jual beli telah terpenuhi dan telah dapat dilakukan suatu perbuatan hukum jual beli secara sah sesuai hukum yang berlaku.

Jika suatu perjanjian diamati dan diuraikan unsur-unsur yang ada di dalamnya, maka unsur-unsur yang ada di sana dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Unsur Essensialia

Adalah unsur perjanjian yang selalu hams ada didalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tak mungkin ada. Misahiya dalam perjanjian yang riil, syarat pengetahuan objek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formil

b. Unsur Naturalia

Adalah unsur perjanjian yang oleh Undang-undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti.Di sini unsur tersebut oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur/ menambah (regelend/ aanvullend rec/z£).Misalnya kewajiban penjualan untuk menanggung biaya penyerahan (Pasal 1476) dan untuk

30Setyawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta. Jakarta, 1987, hal. 21

menjamin/ vrijwaren (Pasal 1491 BW) dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak.

c. Unsur Accidentalia

Adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak. Undang-undangsendiri tidak mengatur tentang hal tersebut, Di dalam suatu perjanjian jual beli, benda-benda pelengkap tertentu bisa dikecualikan.31

Asas-asas penting dalam perjanjian antara lain : 1. Asas kebebasan membuat perjanjian

Maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan.

Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ay at (1) KUH Perdata yang berbunyi "Semua persetujuan yangdibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Tujuan dari pasal di atas bahwa pada umumnya suatu perjanjian itu dapat dibuat secara bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuknya maupun syarat-syarat, dan bebas untuk menentukan bentuknya, yaitu tertulis atau tidak tertulis.

Jadi dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berapa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Kebebasan membuat perjanjian dari para pihak untuk membuat perjanjian

31 J. Satro, HukumPerjanjian. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 7

itu meliputi; a. Perjanjian yang telah diatur oleh undang-undang, b. Perjanjian-perjanjian baru atau campuran yang belum diatur dalam undang-undang

Asas kebebasan membuat perjanjian merupakan asas yang paling penting daiam hukum perjanjian, karena dari asas milah tampak adanya pernyataan dan ungkapan hak asasi manusia dalam mengadakan perjanjian sekaligus memberikan peluang bagi perkembangan hukum perjanjian. Asas kebebasan membuat perjanjian tidak tertulis dengan kata-kata yang banyak dalam undang-undang tetapi seluruh hukum perdata kita didasarkan padanya.32

2. Asas konsensualisme

Asas suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal.33

3. Asas itikad baik

Bahwa orang yang akan membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian obyektif adalah bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hukum harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.

4. Asas Pacta Sun Servanda

32 Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Semarang Badan Penerbit UNDIP, 1986, hal. 4

33A. Qiram Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 20

Merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian.Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat mereka yang membuatnya dan perjanjian tersebut berlaku seperti undang-undang.Dengan demikian para pihak tidak mendapat keragian karena perbuatan mereka dan juga tidak mendapatkan keuntungan darinya, kecuali kalau perjanjian tersebut dimaksudkan untuk pihak ketiga. Maksud dari asas ini dalam suatu perjanjian tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian itu.

5. Asas berlakunya suatu perjanjian

Pada dasarnya semua perjanjian itu berlaku bagi mereka yang membuatnya tak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga kecuali yang telah diatur dalam undang-undang misalnya perjanjian untuk pihak ketiga.34

Asas berlakunya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi: Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.35

Serupa dengan pendapat di atas mengenai asas-asas dalam Hukum Perjanjian, Mucharsyah Sinungan, menambahkan asas-asas yang telah tersebut di atas dengan satu asas, yaitu Asas Kepribadian. Menurut asas ini, seorang hanya diperbolehkan mengikatkan diri untuk kepentingan dirinya sendiri dalam suatu perjanjian. Asas ini terdapat pada Pasal 1315 KUH Perdata yang menyebutkan

34 RM Suryodiningrat, Asas-asas Hukum Perikatan, Tarsito Bandung, 1985, hal.12

35 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Alumni, Bandung, 2006

bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri pada atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.36

Dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat erapat syarat untuk menentukan sahnya perjanjian, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kata sepakat dalam suatu perjanjian merupakan suatu keadaan yang menunjukkan kedua belah pihak sama-sama tidak menolak apa yang diinginkan pihak lawanya. Dengan adanya kata sepakat. maka perjanjian itu telah ada, mengikat kedua belah pinak dan dapat dilaksanakan. Untuk mengetahui kapan terjadinya kata sepakat KUH Perdata sendiri tidak mengaturnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori yang mencoba memberikan penyelesaian persoalan sebagai berikut:

1. Teori kehendak (willstheorie)

Dalam teori ini kata sepakat dianggap terjadi manakala para pihak menyatakan kehendaknya untuk mengadakan suatu perjanjian

2. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie)

Berdasarkan teori kepercayaan, kata sepakat dalam perjanjian dianggap telah terjadi pada saat pernyataan salah satu pihak dapat dipercaya secara obyektif oleh pihak yang lainnya

3. Teori ucapan (uitingstheorie)

Dalam teori ini yang dilihat adalah ucapan (jawaban) debitur.Kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur mengucapkan persetujuannya terhadap

36 Mucharsyah Sinunggan, Kredit Seluk Belvk dan Pengelolaannya, Tograf, Yogyakarta, 1990,hal.42

penawaran yang dilakukan kreditur. Jika dilakukan dengan surat, maka kata sepakat terjadi pada saat menulis suraijawabannya.

4. Teori pengiriman (yerzendtheorie)

Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur mengirimkan surat jawaban kepada kreditur. Jika pengiriman dilakukan lewat pos, maka kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat surat jawaban tersebut distempel oleh kantor pos.

5. Teori penerimaan (ontvangsttheorie)

Menurut teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat kreditur menerima kemudian membaca surat jawaban dari debitur, karena saat itu dia mengetahui kehendak dari debitur.

6. Teori pengetahuan (vernemingstheorie)

Menurut teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur mengetahui bahwa debitur telah menyatakan menerima tawarannya.37

Setelah mengetahui waktu terjadinya kata sepakat, maka sebagaimana telah diketahui dengan kata sepakat berakibat perjanjian itu mengikat dan dapat dilaksanakan. Namun demikian vmtuk sahnya kata sepakat harus dilihat dari proses terbentuknya kehendak yang dimaksud. Menurut R. Subekti meskipun demikian kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa sepanjang tidak ada dugaan pernyataan itu keliru, melainkan sepantasnya dapat dianggap

37 Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 25

melabirkan keinginan orang yang mengeluarkan pernyataan itu, maka vertrouwens theorie yang dipakai.38

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Cakap merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan perbuatan tertentu.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata ditentukan bahwa barang-barang yang bisa dijadikan obyek perjanjian hanyalah barang-barang-barang-barang yang dapat diperdagangkan. Lazimnya barang-barang yang diperdagangkan untuk kepentingan umum, dianggap sebagai barang-barang diluar perdagangan sehingga tidak dapat dijadikan obyek perjanjian.

Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, supaya perjanjian dapat dilaksanakan dengan baik. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat yang ketiga ini berakibat batal demi hukum perjanjian dianggap tidak pernah ada (terjadi).

d. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat atau terakhir untuk sahnya perjanjian. Melihat ketentuan dalam Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena

38 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1996, hal. 18

suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Perjanjian tanpa sebab apabila perjanjian itu dibuat dengan tujuan yang tidak pasti atau kabur. Perjanjian yang dibuat karena sebab yang palsu, tujuannya untuk menutupi apa yang sebenarnya hendak dicapai dalam perjanjian tersebut. Suatu sebab dikatakan terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kepentingan umum (Pasal 1337 KUH Perdata).

Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya wanprestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau karena kelalaian.

Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana debitor tidak meraenuhi janjinya atau tidak memenuhi prestasi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya. Dengan demikian dapat dikatakan wanprestasi merupakan pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya, dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilakukan sama sekali sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak kreditur dan menimbulkan kewajiban bagi pihak debitor untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding) atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.

Pasal 1238 KUH Perdata menyebutkan bahwa, "si berhutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang haras dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan". Selanjutnya Pasal 1243 KUH Perdata menyebutkan bahwa, "Penggantian biaya rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si

berhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang hams diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya". Dari ketentuan Pasal 1238 dan 1243 KUH Perdata tersebut di atas keadaan lalai dapat diartikan jika debitor terlambat berprestasi, tidak berprestasi atau salah berprestasi.

Wanprestasi/ingkar janji dalam suatu perjanjian pengikatan jual beli merupakan sebuah perbuatan yang bertentangan dengan APJB yang telah disepakati dimana salah satu pihak telah tidak memenuhi prestasinya sebagaimana yang telah diperjanjian dalam APJB tersebut.39

Apabila dikaitkan dengan teori kepastian hukum dan keadilan maka perjanjian pengikatan jual beli harus mengandung unsur kepastian hukum bagi para pihak dalam melaksanakan perbuatan hukum tertentu sebagaimana termuat di dalam klausul perjanjian pengikatan jual beli tersebut. Kepastian hukum yang dimaksud adalah bahwa para pihak dapat saling menuntut haknya apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya dalam pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli tersebut.

Apabila dikaitkan dengan teori kepastian hukum dan keadilan maka perjanjian pengikatan jual beli harus mengandung unsur kepastian hukum bagi para pihak dalam melaksanakan perbuatan hukum tertentu sebagaimana termuat di dalam klausul perjanjian pengikatan jual beli tersebut. Kepastian hukum yang dimaksud adalah bahwa para pihak dapat saling menuntut haknya apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya dalam pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli tersebut.

Dalam dokumen TESIS. Oleh. W I L L I A M / M.Kn (Halaman 32-49)