• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Kerangka Teori

1. Bank Syariah

Bank syariah didirikan dengan tujuan untuk mempromosikan dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip Islam, Syariah dan

tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait (Arifin, 2002:3). Aktivitas keuangan dan perbankan dalam ajaran al-Qur’an ada dua yaitu: (Arifin, 2002:11-12)

a. Prinsip at-Ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama di antara anggota masyarakat untuk kebaikan.

b. Prinsip menghindari al-Iktinaz, yaitu menahan uang (dana), dan membiarkannya menganggur (idle) dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum. Menurut Arifin (2002:3) prinsip utama yang diikuti oleh bank Islami itu adalah:

a. Larangan riba dalam berbagai bentuk transaksi.

b. Melakukan kegiatan usaha dan perdagangan berdasarkan perolehan keuntungan yang sah.

c. Memberi zakat.

2. Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori Keagenan (Agency Theory) memberikan fokus terhadap fakta yang berkembang bahwa dalam setiap organisasi individu (disebut dengan the agent) akan bertindak sebagai pihak yang dipercaya oleh individu atau sekelompok individu lainnya (disebut the principal). Hubungan antara keduanya (disebut juga dengan the principal-agent relationship) akan terjadi dalam organisasi perusahaan antara pemegang saham (stockholders) sebagai principal dengan

pengelola (managers) sebagai agent dalam hubungan tersebut (Lukviarman, 2016:38).

Teori Keagenan (Agency Theory) menyatakan bahwa hubungan antara manajemen sebagai pengelola perusahaan akan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dibandingkan pemegang saham. Sehingga terjadi asimetri informasi antara manajer dan pemegang saham yang menimbulkan konflik kepentingan (Boroastuti, 2015:4-5).

Pemegang saham diasumsikan hanya tertarik kepada meningkatnya hasil keuangan dalam perusahaan, sedangkan para manajemen diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut. Untuk itu manajemen diberi kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham. Sebagai wujud pertanggungjawaban manajemen sebagai pengelola perusahaan akan berusaha memenuhi keinginan pemegang saham dengan mengungkap informasi pertanggungjawaban sosial perusahaan (Lestari, 2015:4). 3. Profitabilitas

Rasio profitabilitas dalam penelitian ini merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktivitas normal bisnisnya (Hery, 2016:104). Rasio profitabilitas dalam penelitian ini diproksikan dengan ROA

(Return on Asset). ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar jumlah laba bersih yang akan dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam total aset. Semakin tinggi hasil pengembalian atas aset berarti semakin tinggi pula jumlah laba bersih yang dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam total aset. Sebaliknya, semakin rendah hasil pengembalian atas aset berarti semakin rendah pula jumlah laba bersih yang dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam total aset (Hery, 2016:106). Jika nilai ROA semakin mendekati 1 berarti semakin baik profitabilitas bank tersebut, karena tiap aktiva akan menghasilkan laba (Ariyanti, 2017:9).

Berikut adalah rumus yang digunakan untuk menghitung

Return On Asset:

ROA = π‘™π‘Žπ‘π‘Ž π‘π‘’π‘Ÿπ‘ π‘–β„Ž π‘ π‘’π‘ π‘’π‘‘π‘Žβ„Ž π‘π‘Žπ‘—π‘Žπ‘˜

π‘‘π‘œπ‘‘π‘Žπ‘™ π‘Žπ‘˜π‘‘π‘–π‘£π‘Ž x 100%

4. CAR (Capital Adequacy Ratio)

Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio kecukupan modal yang menunjukan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi, mengukur, mengawasi, dan mengontrol risiko-risiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap besarnya modal bank (Sukarno, 2006:48). Capital Adequacy Ratio menunjukkan sejauh mana modal pemilik saham dapat menutupi aktiva beresiko (Harahap, 2002: 307). Pemenuhan kebutuhan Rasio Modal Minimal Bank

ditentukan oleh BSI (Bank for International Setlement) sebesar 8% (Ariyanti, 2017:7).

Secara sistematis, CAR dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

CAR = π‘€π‘œπ‘‘π‘Žπ‘™ π΅π‘Žπ‘›π‘˜

𝐴𝑇𝑀𝑅 X 100%

5. DPK (Dana Pihak Ketiga)

Dana Pihak Ketiga (DPK) atau simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (UU Nomor 10 Tahun 1998 dalam Ervina, 2016:10). Penghimpunan Dana Pihak Ketiga yang diterapkan oleh Bank Syariah secara umum meliputi 2 metode yaitu wadiah dan mudhorobah (Ariyanti, 2017:8)

Perhitungan dana pihak ketiga didapatkan dari total jumlah dana pihak ketiga yang terdiri dari: giro, tabungan, dan deposito. Dirumuskan sebagai berikut :

DPK = Giro + Tabungan + Deposito 6. BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Opersional)

BOPO (Biaya Operasional/Pendapatan Operasional) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya (Wibisono, 2017:48). Semakin tinggi biaya pendapatan bank berarti kegiatan operasionalnya semakin tidak efisien, semakin kecil BOPO

menunjukkan semakin efisien bank dalam menjalankan aktivitas usahanya (Wibisono, 2017:57). Menurut ketentuan Bank Indonesia efisiensi operasi diukur dengan BOPO (Biaya Operasional Pendapatan Operasional) dengan batas maksimum BOPO (Biaya Operasional Pendapatan Operasional) yaitu 96% (Nurvarida, 2017:33).

Rasio Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) dihitung dengan rumus sebagai berikut (Kasmir, 2003:268):

BOPO = π΅π‘–π‘Žπ‘¦π‘Ž π‘‚π‘π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘ π‘–π‘œπ‘›π‘Žπ‘™

π‘ƒπ‘’π‘›π‘‘π‘Žπ‘π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘› π‘‚π‘π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘ π‘–π‘œπ‘›π‘Žπ‘™ x 100%

7. NPF (Non Performing Financing)

Non Performing Financing (NPF) analog dengan Non Performing Loan (NPL). Non Performing Financing (NPF) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola pinjaman bermasalah yang diberikan oleh bank (Wibisono, 2017: 54). Non Performing Loan adalah ratio ini menunjukkan bahwa kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank, sehingga semakin tinggi ratio ini maka akan semakin buruk kualitas kredit bank menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin besar (Harun, 2016:72-73). Adapun besaran yang diperbolehkan oleh Bank Indonesia mengenai ratio Non Performing Loan adalah maksimal 5 % jika melebihi 5%, maka akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank yang bersangkutan (Harun, 2016:73).

Rasio NPF dapat dihitung dengan rumus berikut:

NPF =

π½π‘’π‘šπ‘™π‘Žβ„Ž π‘ƒπ‘’π‘šπ‘π‘–π‘Žπ‘¦π‘Žπ‘Žπ‘› π΅π‘’π‘Ÿπ‘šπ‘Žπ‘ π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž

π‘‡π‘œπ‘‘π‘Žπ‘™ π‘ƒπ‘’π‘šπ‘π‘–π‘Žπ‘¦π‘Žπ‘Žπ‘› x 100%

8. FDR (Financing to Deposit Ratio)

Financing to Deposit Ratio (FDR) analog dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan (Kasmir, 2014: 225). Financing to Deposit Ratio (FDR) digunakan untuk mengukur seberapa jauh pemberian pinjaman kepada nasabah, pinjaman dapat mengimbangi kewajiban bank untuk segera memenuhi permintaan deposan yang ingin menarik kembali uangnya yang telah digunakan oleh bank untuk memberikan pinjaman (Wibisono, 2017:48). Standar yang digunakan Bank Indonesia untuk rasio

Financing to Deposit Ratio (FDR) adalah 80% hingga 110% (Hasanah, 2017:33).

Rasio FDR dapat dihitung dengan rumus berikut: FDR = π‘‡π‘œπ‘‘π‘Žπ‘™ πΏπ‘œπ‘Žπ‘›

π‘‡π‘œπ‘‘π‘Žπ‘™ π·π‘’π‘π‘œπ‘ π‘–π‘‘+πΈπ‘žπ‘’π‘–π‘‘π‘¦ x 100%

Dokumen terkait