BAB III PERAN PEMERINTAH DALAM KEBIJAKAN
E. Penetapan Kebijakan
6) Keseimbangan hak dan tanggung jawab, antara pihak
Secara politik dan ekonomi, pengeluaran publik dapat diklasifikasikan dalam:
1) Investasi sosial – proyek dan pelayanan yang meningkatkan produktivitas tenaga kerja
2) Konsumsi sosial – proyek dan pelayanan yang merendahkan biaya reproduksi dari tenaga kerja
3) Pengeluaran sosial – proyek dan pelayanan yang diisyaratkan untuk memastikan stabilitas sosial
Sehingga peranan pemerintah dapat diinterpretasikan sebagai pengambil kebijakan tentang:
1) Skala pelayanan – universal atau segmentasi
2) Metode penydiaan – oleh perusahaan negara atau swasta melalui
kontrak
3) Regulasi yang dibutuhkan
4) Intervensi terhadap ekonomi lokal dan regional, industri khusus dan perusahaan tertentu
40
5) Sumber keuangan – tipe dan tingkat perusahaan dan pajak individual
Pemahaman diatas menyebabkan dilakukannya evaluasi pelayanan publik yang terjadi di Indonesia:
1) Keterbatasan rentang pelayanan yang bisa diberikan, seperti batasnya sambungan saluran telepon, besarnya kuantitas air dan kualitas jalan raya
2) Dorongan yang kuat terhadap perusahaan negara untuk mengikuti kriteria pasar
3) Manajemen perusahaan negara dan badan sektor publik sering dituntut untuk mengikuti perkembangan metode mutakhir yang umumnya dipraktikan diswasta
4) Monitor dan evaluasi prestasi, target dan identifikasi tujuan sosial amatlah sulit, dan hal ini seringkali disebabkan oleh keengganan manajemen untuk mengeluarkan data yang terkait
5) Kurangnya pengendalian secara demokratis oleh pekerja dan konsumen
6) Terjadinya pencarian modal untuk memaksimasi keuntungan
7) Masih berbedanya penghargaan terhadap ide, sikap dan pengalaman pekerja antar organisasi sektor publik dan organisasi swasta.
Namun demikian ada berbagai manfaat lebih dari organisasi sektor publik dibanding organisasi swasta:
1) Rentang pelayanan luas dengan biaya yang lebih murah
41
3) Kerangka hubungan pekerja dan manajemen lebih bersifat kekeluargaan dan permanen
Manfaat tersebut di Indonesia ternyata masih minimal dibanding dengan kekurangannya. Oleh sebab itu, berbagai tuntutan muncul untuk mengubah orientasi peranan organisasi sektor publik. Ada beberapa alasan untuk mengubah orientasi pelayanan publik:
1) Beberapa organisasi swasta dianggap lebih efisien dibanding organisasi sektor publik
2) Kekuatan pasar dan kompetisi akan meningkatkan pilihan dan mengurangi biaya pelayanan, sementara itu tuntutan pengembangan kualitas menjadi lebih besar.
3) Sektor dan pasar yang kompetitie lebih cepat tanggap pada pilihan konsumen dan kondisi perubahan permintaan dan penawaran
4) Pemerintah terlalu besar dan boros, sehingga pemerintah lebih baik berperanan sebagai regulator.
5) Mengurangi ketergantungan pada pemerintah dengan meningkatkan partisipasi masyarakat melalui mekanisme pasar dan inisiatif individual.
Dalam praktik, pembebanan langsung (direct charging) biasanya ditentukan karena alasan-alasan sebagai berikut (Mardiasmo, 2002:112):
1)
Suatu jasa, baik merupakan barang publik maupun barang privat,
mungkin tidak dapat diberikan kepada setiap orang, sehingga tidak adil
bila biayanya dibebankan kepada semua masyarakat melalui pajak,
sementara mereka tidak menikmati jasa tersebut.
2)
Suatu pelayanan mungkin membutuhkan sumber daya yang mahal atau
langka sehingga konsumsi publik harus didisiplinkan (hemat).
42
4)
Suatu jasa mungkin digunakan untuk operasi komersial yang
menguntungkan dan untuk memenuhi kebutuhan domestik secara
individual maupun industrial.
Pembebanan dapat digunakan untuk mengetahui arah dan skala permintaan publik atas suatu jasa apabila jenis dan standar pelayanannya tidak dapat ditentukan secara tegas. Beberapa konsep berkaitan dengan prinsip penetapan tarif antara lain adalah konsep tariff dan economic efficiency sebagai berikut:
1) Tarif (A tariff)
Reuveny (2000: 714) mendefinisikan tariff sebagai bagian dari kebutuhan dari pemberi pelayanan atau penghasil produk sebagai sumber penerimaan pemerintah. Penetapan tarif yang didesain secara baik dapat menjadi sumber finansial yang penting dalam menyampaikan pelayanan dan mendorong penggunaan konsumsi yang mendorong penggunaan yang tidak boros.
2) Effisiensi Ekonomi (Economic Efficiency)
Dalam kaitannya tentang konsep efisiensi ekonomi, maka Ebdon (2000: 247) menekankan pentingnya penetapan tarif yang elastis dikaitkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya tarif tersebut. Konsekuensi dari hal ini adalah perlunya terus mengevaluasi penetapan tarif disesuaikan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan tarif tersebut, seperti pendapatan masyarakat, tingkat inflasi, jumlah penduduk, dan lain sebagainya.
Caramata (2000:112) berpendapat bahwa pada prinsipnya, manusia itu tidak suka menjalankan konsep efisiensi dalam tindakan ekonominya. Kebanyakan orang cenderung untuk mendapatkan porsi yang lebih banyak. Namun, pada prinsipnya, konsep efisiensi sangat dibutuhkan dalam
43
penggunaan anggaran negara atau masyarakat dengan cara menghasilkan lebih banyak manfaat (benefit) daripada biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat. Sebaliknya, tindakan ekonomi akan menghasilkan inefisiensi, apabila biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada manfaat (benefit) yang diterima. Apabila konsep inefisiensi ini terus berjalan akan merusak dan mengorbankan masyarakat. Hal ini pada akhirnya dapat mengakibatkan kontra produktif.
Dalam menentukan seberapa besar barang/pelayanan diberikan, terdapat perbedaan antara keputusan yang diambil oleh investor swasta dan keputusan yang diambil oleh suatu perusahan negara. Mangkoesoebroto (1993) menekankan bahwa mengambil keputusan investasi, pihak swasta hanya mementingkan efisiensi, sedangkan pada perusahaan negara haruslah diperhitungkan efisiensi sosial, sehingga timbul suatu pertanyaan seberapakah kapasitas perusahaan negara yang optimum.
a. Kompleksitas Strategi Harga Pelayanan Publik
Menurut Mardiasmo (2002:118) kompleksitas strategi harga pelayanan publik adalah sebagai berikut:
1)
Two-part tariffs: banyak kepentingan publik dipungut dengan two-part tariff, yaitu fixed charge untuk menutupi biaya overhead atau biayainfrastruktur dan
variable charge yang didasarkan atas besarnyakonsumsi
2)
Peak-load tariffs: pelayanan publik dipungut berdasarkan tariftertinggi. Permasalahannya adalah beban tertinggi, membutuhkan
tambahan kapasitas yang disediakan, tarif tertinggi untuk periode
puncak harus menggambarkan higher marginal cost
3)
Diskriminasi harga. Hal ini adalah salah satu cara mengakomodasi
pertimbangan keadilan (equity) melalui kebijakan penetapan harga.
Jika kelompok dengan pendapatan berbeda diasumsikan memiliki pola
permintaan yang berbeda, pelayanan yang diberikan kepada kelompok
yang berpendapatan rendah dapat disubsidi silang dengan kelompok
dengan pendapatan tinggi. Hal tersebut tergantung dari kemampuan
44
mencegah orang kaya menggunakan pelayanan yang dimaksudkan
untuk orang miskin.
4)
Full cost recovery. Harga pelayanan didasarkan pada biaya penuh ataubiaya total untuk menghasilkan pelayanan. Penetapan harga
berdasarkan
biaya
penuh
atas
pelayanan
publik
perlu
mempertimbangkan keadilan (equity) dan kemampuan publik untuk
membayar.
5)
Harga diatas marginal cost. Dalam beberapa kasus, sengaja ditetapkan
harga diatas marginal cost,
Samuelson dan Nordhaus (2004:134) memberikan definisi-definisi utama tentang konsumsi dan tabungan sebagai berikut:
1)
Fungsi konsumsi menghubungkan tingkat konsumsi dengan tingkat
pendapatan setelah pajak
2)
Fungsi tabungan menghubungkan tabungan dengan pendapatan setelah
pajak. Karena apa yang ditabung sama dengan apa yang tidak
dikonsumsi, skedul tabungan dan konsumsi merupakan bayangan
cermin.
3)
The marginal propensity to consume(MPC=kecenderungan marginal
mengkonsumsi) adalah jumlah konsumsi ekstra yang dihasilkan oleh
dollar ekstra dari pendapatan setelah pajak. Secara grafik, ini diberikan
dengan kemiringan fungsi konsumsi.
4)
The marginal propensity to save (MPS=kecenderungan marginal untukmenabung) adalah tabungan ekstra yang dihasilkan oleh dollar ekstra
dari pendapatan setelah pajak. Secara grafik, ini merupakan slope dari
skedul tabungan.
F. Perilaku Konsumen