• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesesuaian Pemanfaatan Ekowisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil

I. PENDAHULUAN

2.4. Kesesuaian Pemanfaatan Ekowisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil

2.4.1. Kriteria Umum

Keberadaan PPK yang nampaknya cukup potensial namun pada dasarnya memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai banyak dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi keterpencilan, terbatasnya luasan lahan, terbatasnya sumberdaya manusia dan keterbatasan lainnya bukanlah halangan bagi kita untuk dapat memanfaatkan potensi-potensi yang cukup dapat diharapkan, minimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat penghuninya. Kebijakan pulau-pulau kecil yang tidak seimbang akan menghasilkan dampak negatif. Di satu pihak, tidak berkembangnya kawasan PPK akibat kebijakan yang terlalu protektif. Di pihak lain, rusaknya kawasan PPK akibat tekanan pemanfaatan berlebihan. Untuk itu perlu kebijakan yang berimbang, dimana usaha pemanfaatan PPK ditingkatkan, sementara keseimbangan ekologis kawasan masih terjaga (Bengen 2002).

Terkait dengan konteks arahan pengelolaan PPK, kegiatan pemanfaatannya hanya diperuntukkan bagi kegiatan berbasis konservasi. Artinya, pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploratif-destruktif tidak disarankan untuk dilaksanakan. Hal ini mengingat bahwa PPK memiliki sejumlah kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pengelolaan pulau besar (mainland). Atas

dasar karakteristiknya, maka arahan peruntukkan dan pemanfaatan pariwisata memiliki kriteria sebagai berikut (Bengen 2002):

1. Berjarak aman dari kawasan perikanan, sehingga dampak negatif yang

ditimbulkan oleh kegiatan tersebut tidak menyebar/mencapai kawasan wisata.

2. Berjarak aman dengan kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang

ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung.

3. Sirkulasi massa air di kawasan pariwisata harus lancar.

4. Pembangunan sarana dan prasarana wisata tidak mengubah kondisi pantai dan

daya dukung PPK, sehingga proses erosi atau sedimentasi dapat dihindari. Lebih jauh Fauzi dan Anna (2005), menyatakan bahwa kebijakan menyangkut PPK pada dasarnya haruslah berbasiskan kondisi dan karakteristik bio-geo-fisik serta sosial ekonomi masyarakatnya, mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem perairan laut maupun bagi kehidupan

ekosistem daratan (mainland). Maksudnya agar sumberdaya tersebut dapat

dimanfaatkan secara terus-menerus. Salah satu cara yang diterapkan adalah menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL), dengan maksud: perlindungan sumberdaya perikanan, pelestarian genetik dan plasma nutfah serta mencegah rusaknya bentang alam. Beberapa kriteria umum dalam penentuan pemanfaatan pariwisata di PPK menurut dimensi pembangunan adalah (Bengen 2002):

1. Dimensi sosial: diterimanya secara sosial, kesehatan masyarakat, rekreasi, budaya, estetika, konflik kepentingan, keamanan, aksesibilitas, penelitian dan pendidikan, dan kepedulian masyarakat.

2. Dimensi ekonomi: nilai ekonomi spesies penting, nilai ekonomi kegiatan perikanan, ancaman terhadap alam, dan keuntungan ekonomi, dan pariwisata. 3. Kriteria dalam dimensi ekologi: keanekaragaman hayati, kealamiahan,

ketergantungan, keterwakilan, keunikan, produktivitas, dan vulnerabilitas. 4. Kriteria dalam dimensi regional: tingkat kepentingan regional, dan tingkat

kepentingan sub-regional.

Kriteria khusus suatu wilayah yang diperlukan untuk menentukan zona kegiatan pariwisata:

1. Mempunyai keindahan alam yang menarik untuk dilihat dan dinikmati sehingga membawa kepuasan dan kenangan manis serta memberikan rasa rileksasi dan memulihkan semangat daya produktifnya;

2. Keaslian panorama alam dan keaslian budaya; 3. Keunikan ekosistemnya;

4. Di dalam lokasi wisata tidak ada gangguan binatang buas, arus berbahaya, angin kencang, dan topografi dasar laut yang curam; dan

5. Tersedia sarana dan prasarana yang mudah dijangkau, baik melalui darat maupun laut (dekat restoran, penjualan cinderamata, penginapan dan air bersih). 2.4.2. Parameter Kesesuaian Pemanfaatan untuk Ekowisata Pesisir

Kesesuaian pemanfaatan wisata pesisir di PPK berbeda untuk setiap kategori wisata. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata PPK dapat dikelompokkan atas wisata bahari dan wisata pantai. Wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya laut dan dinamika air laut. Sedangkan wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai (Hutabarat et al. 2009). Berdasarkan kondisi daerah kajian penelitian, setiap kegiatan wisata pesisir di PPK dibagi dua kategori yakni kategori wisata selam dan wisata snorkeling (kegiatan wisata bahari), dan kategori wisata mangrove dan rekreasi pantai (kegiatan wisata pantai), serta wisata berbasis budaya lokal.

Potensi utama untuk menunjang kegiatan pariwisata di wilayah pesisir dan laut adalah kawasan terumbu karang, pantai berpasir putih atau bersih, dan lokasi- lokasi perairan pantai yang baik untuk berselancar. Keragaman spesies pada terumbu karang dan ikan hias merupakan obyek utama yang menciptakan keindahan panorama alam bawah laut yang luar biasa bagi para penyelam dan para wisatawan yang melakukan snorkeling (Dahuri 2003).

Secara umum, jenis dan nilai setiap parameter kesesuaian untuk kegiatan wisata bahari kategori wisata selam dan wisata snorkeling hampir sama. Parameter yang dipertimbangkan dalam menilai tingkat kesesuaian pemanfaatan kedua kategori kegiatan wisata bahari tersebut adalah:

1. Kondisi kawasan penyelaman yakni menyangkut keadaan permukaan air

para penyelam ke luar kawasan wisata. Kekuatan arus yang aman bagi wisatawan maksimum 1 knot (0.51 m/detik), sesuai sampai sangat sesuai yakni di bawah 0.34 m/detik (Davis and Tisdell 1995).

2. “Kualitas” daerah penyelaman yakni menyangkut jarak pandang yang layak

(sesuai) di bawah permukaan air (underwater visibility), dalam hal ini

tergantung tingkat kecerahan dan kedalaman perairan, dan tutupan komunitas karang dan life form (marine life) (Davis and Tisdell 1995; Davis Tisdell 1996). Jarak pandang yang layak untuk wisata bahari >10-20 m. Hal ini terkait dengan penetrasi matahari terhadap biota dasar permukaan air maksimum 25 m. Marine National Park Division (2001) menyatakan bahwa kedalaman 2-5 m sangat sesuai untuk melakukan wisata snorkeling, sementara wisata selam biasanya dilakukan pada kedalaman 5-10 m. Di atas kedalaman air tersebut, pengaruh gelombang juga semakin besar dan kemungkinan keberadaan hewan berbahaya sangat besar sehingga dapat mengancam para penyelam dan snorkeler.

Davis and Tisdell (1995), alasan orang berpartisipasi dalam melakukan kegiatan Scuba (Self Contained Underwater Breathing Apparatus)-Diving adalah karena hasrat untuk mencari “pengalaman di belantara laut”, ketertarikan terhadap ekologi perairan laut, sebagai sarana olahraga yang ‘berbeda dan spesial’ dengan olahraga lainnya, pesona bawah laut (formasi geologi) dan kehidupan laut (terumbu karang, hiu, dan spesies ikan lainnya), untuk tujuan hobi fotografi bawah laut, dan petualang dengan resiko tertentu. Dahuri (2003), sumberdaya hayati pesisir dan lautan seperti populasi ikan hias, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, dan berbagai benteng alam pesisir (coastal landscape) unik lainnya, membentuk suatu pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan untuk kegiatan wisata bahari. Luas kawasan terumbu karang di Indonesia diperkirakan mencapai 85 000 km2 dengan keanekaragaman spesies terumbu karang mencapai 335-362 spesies karang scleractinian (kepulauan Togean 262 spesies) dan 263 spesies ikan hias, umumnya berada di Kawasan Timur Indonesia.

Selain kawasan terumbu karang, Indonesia merupakan tempat komunitas mangrove terluas di dunia (4.25 juta ha) yang mewakili 25 % dari luas mangrove dunia (75 % dari luas mangrove di Asia Tenggara), diperkirakan dijumpai 202 jenis vegetasi mangrove. Areal mangrove yang luas tidak hanya berperan dalam

menyediakan habitat untuk berbagai macam biota, tetapi juga menciptakan keindahan, kenyamanan, dan kesegaran lingkungan atmosfir di wilayah pesisir dan laut. Hutan mangrove sering dijadikan hutan wisata yang dapat berfungsi sebagai tempat rekreasi memancing, lintas alam, dan koleksi flora maupun fauna untuk ilmu pengetahuan (Dahuri 2003). Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata bahari kategori wisata mangrove, meliputi (Ayob 2004):

1. Apa yang diharapkan seseorang dengan berkunjung ke kawasan hutan

mangrove, tergantung kepentingan dan tingkat pendidikannya. Ada yang ber- kepentingan melihat sejumlah dan jenis burung (migrasi dan atau menetap), melihat lebih dekat mangrove, dan bagaimana nira diambil langsung dari nipah. 2. Selain itu, beberapa pengunjung lebih suka melakukan ‘trekking’ di jembatan

bakau sambil mendengarkan burung berkicau, dan menggunakan boat untuk menjelajahi setiap bagian hutan mangrove, serta menikmati makanan laut yang diperoleh dari kawasan mangrove (Marine National Park Division 2001).

3. Ketebalan dan kerapatan mangrove dapat mempengaruhi sistem ekologi pada

kawasan tersebut, termasuk keberadaan hewan lain seperti burung, kadal, ular, monyet, kepiting, udang dan beberapa moluska (Hutabarat et al. 2009). Bengen dan Retraubun (2006), jenis dan pertumbuhan hutan mangrove di PPK dibatasi oleh ketersediaan air tawar, pasokan sedimen (bahan organik) dari daratan dan jenis substrat pasir, sehingga jenis mangrove yang dominan adalah dari genus

Avicennia (api-api) dan Sonneratia.

Obyek wisata pesisir di PPK yang berpotensi besar adalah wilayah pantai. Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, tempat permandian yang bersih, serta tempat melakukan kegiatan berselancar air (Dahuri 2003). Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata pesisir kategori rekreasi pantai, meliputi (Wong 1991; Hutabarat et al. 2009):

1. Kondisi geologi pantai menyangkut tipe (substrat pasir), lebih lebar, kemiringan pantai (idealnya <25o) dan material dasar perairan pantai (idealnya berpasir). 2. Kondisi fisik menyangkut kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang,

kecerahan perairan dan ketersediaan air tawar (maksimum 2 km).

3. Kondisi biota menyangkut tutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan biota berbahaya (menyangkut kenyamanan dan keselamatan wisatawan).

2.5. Daya Dukung Ekowisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil

Daya dukung didefinisikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam. Bengen dan Retraubun (2006) menyatakan daya dukung sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya. Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik (mahluk hidup) yang terkandung di dalamnya, dengan juga memperhitungkan faktor lingkungan dan faktor lainnya yang berperan di alam.

Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk jumlah atau massa organisme hidup yang dapat didukung oleh suatu habitat. Batasan daya dukung bagi populasi manusia adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu satuan luas kawasan dan lingkungan dalam keadaan sejahtera (Tantrigama 1998). Jadi, daya dukung adalah jumlah batasan yang perlu diperhatikan dari keberadaan suatu biota karena adanya keterbatasan lingkungan seperti makanan, ruang atau tempat berpijah, penyakit, siklus predator, temperatur, cahaya matahari, atau salinitas. Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan perairan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan pencemaran (UNEP 1993).

Davis and Tisdell (1996), daya dukung lingkungan terbagi atas dua yakni daya

dukung ekologis (ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomis

(economic carrying capacity). Jika dikaitkan dengan kegiatan wisata, Mathieson

and Wall (1989) dalam Zhiyong and Sheng (2009) mendefenisikan daya dukung

sebagai jumlah maksimum orang yang dapat menggunakan suatu kawasan tanpa mengganggu lingkungan fisik dan menurunkan kualitas petualangan yang diperoleh pengunjung, serta tanpa sebuah kerugian dari sisi sosial, ekonomi dan budaya

masyarakat lokal (Inskeep 1991 dalam Liu 1994). Daya dukung wisata dalam

prakteknya merupakan sebuah konsep yang lebih luas yang dapat mencakup tiga bagian yakni daya dukung ekologi, daya dukung ekonomi dan daya dukung psikologi (sosial) (Zhiyong and Sheng 2009). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, dan terjadinya kerusakan

lingkungan secara permanen (irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Hal ini sejalan dengan Tantrigama (1998), analisis daya dukung difokuskan pada dimensi ekologi, fisik dan lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan paremeter- parameter kelayakan usaha secara ekonomi. Pearce and Kirk (1986) dalam Wong (1991) menggambarkan beberapa tipe perbedaan daya dukung (fisik, lingkungan, dan sosial) yang dapat diaplikasikan pada beberapa bagian lingkungan pesisir (daratan, bukit pasir, pantai dan laut), dan dimensi terkait dengan sistem wisata seperti akomodasi dan pelayanan, transit, dan aktivitas rekreasi (Gambar 3).

SISTEM PARIWISATA LINGKUNGAN PESISIR DAYA DUKUNG

Zona akomodasi dan

pelayanan Hinterland Fisik

Zona Transit Bukit pasir Lingkungan (Ekologi)

Zona aktifitas wisata bahari

. . . . . . . . . . .. . .

Sosial . . . . Pantai . . .. . . .

. . . ... .. . . .... ... ... ... ... ... ..

Laut Lingkungan (Ekologi)

Gambar 3 Hubungan daya dukung dengan wisata pesisir (Wong 1991)

Hal penting yang dapat dijelaskan pada Gambar 3, dimana hubungan ketiga dimensi tersebut umumnya terjadi pada kawasan wisata yang jauh dari pemukiman

penduduk, misalnya PPK. Jika kawasan hinterland juga dimanfaatkan untuk

pemukiman, maka sistem pariwisata yang berkelanjutan juga tidak hanya memperhatikan daya dukung fisik, akan tetapi juga daya dukung sosial. Kemampuan daya dukung setiap kawasan pesisir berbeda-beda sehingga perencanaan pariwisata di PPK secara spasial akan sangat bermakna dan menjadi penting (Depbudpar 2004). Pengetahuan daya dukung lahan atau lingkungan, harus memperhitungkan semua potensi yang ada di wilayah yang bersangkutan dan faktor kendala apa saja yang mempengaruhi potensi tersebut dalam jangka panjang.

. . . .Pantai . . . . . …. . .. .. . . … . . .

Mengacu pada batasan-batasan konsep daya dukung sebelumnya, selanjutnya diuraikan beberapa daya dukung kegiatan pengelolaan pariwisata PPK.

2.5.1. Daya Dukung Ekologis

Daya dukung ekologis, menurut McLeod and Cooper (2005) menyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau suatu ekosistem agar tetap lestari, baik dalam jumlah populasi maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis ekosistem tersebut. Defenisi daya dukung berdasarkan teori Odum, bahwa batas maksimum biomas yang dapat mendukung seperangkat produksi primer dan satu variabel struktur jaringan makanan yang diperoleh ketika total sistem respirasi sama dengan jumlah produksi primer dan impor detritus (Christensen dan Pauly 1998). Pencemaran perairan pesisir akibat meningkatnya berbagai kegiatan pemanfaatan merupakan indikator terlampauinya daya dukung perairan. Dampak yang timbul akibat pencemaran oleh berbagai jenis polutan dapat langsung meracuni kehidupan biologis dan menyerap banyak jumlah oksigen selama proses dekomposisi (Sumadhiharga 1995).

Daya dukung ekologis PPK merupakan tingkat maksimal penggunaan suatu pulau. Pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau untuk kegiatan pariwisata, disamping dampak yang terjadi yang mengganggu kenyamanan atau kepuasan pemakai kawasan/ruang ini, dampak negatif lanjutan lainnya dapat terjadi misalnya menurunnya spesies biota di suatu kawasan. Turner (1988) menyebutkan bahwa daya dukung merupakan maksimum populasi organisme akuatik yang akan ditunjang oleh suatu kawasan atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu/kualitas perairan (deteriorasi). Prosser (1986) dalam

Davis and Tisdell (1996) menyatakan daya dukung ekologi merupakan tingkat pemanfaatan dimana sumberdaya alam dapat berkelanjutan tanpa sebuah pengurangan dalam karakteristik dan kualitas sumberdaya yang dimanfaatkan. Seidl and Tisdell (1999) mendefenisikan daya dukung sebagai batas maksimum suatu lingkungan dalam mentoleransi tekanan pemanfaatan. Cooper et al. (1998), daya dukung ekologi pada kegiatan wisata merupakan batas maksimum kunjungan yang dapat mempengaruhi kondisi ekologi yang terjadi karena aktifitas yang dilakukan turis. Daya dukung yang terkait dengan pariwisata bahari menunjukkan jumlah

maksimum wisatawan yang melakukan penyelaman atau berenang tanpa merusak terumbu karang atau kehidupan laut (Tantrigama 1998).

2.5.2. Daya Dukung Fisik

Daya dukung fisik suatu kawasan atau areal merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan atau areal tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik (Wong 1991; McLeod and Cooper 2005). Daya dukung fisik, yang merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas. Daya fisik diperlukan untuk meningkatkan kenyamanan pengunjung. Daya dukung fisik dapat dikaji melalui berapa besar kapasitas dan ruang pesisir yang tersedia untuk membangun infrastruktur pariwisata guna kenyamanan wisatawan (Tantrigama 1998; McLeod and Cooper 2005). Cooper et al. (1998), daya dukung fisik terkait dengan pengalaman pengunjung atau merupakan maksimum level yang tidak dapat diterima dengan penurunan kepuasan dari adanya kelebihan pemanfaatan.

Terlampauinya daya dukung fisik wisata pantai akibat meningkatnya jumlah infrastruktur (dermaga melalui reklamasi, hotel, dan lainnya) dan pemukiman penduduk, menyebabkan hilangnya beberapa vegetasi daratan dan ekosistem perairan laut (terumbu karang, sumberdaya ikan dan non ikan). Peningkatan infrastruktur dan jumlah penduduk secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas air, melalui peningkatan jumlah limbah (padat dan air) (Wong 1991).

2.5.3. Daya Dukung Sosial

Konsep daya dukung sosial pada suatu kawasan merupakan gambaran dari presepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan, atau presepsi pemakai kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam memanfaatkan suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat

confortability atau kenyamanan dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya

atau pengaruh over-crowding pada suatu kawasan. Daya dukung sosial suatu

kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan, dalam suatu kawasan dimana dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan menimbulkan penurunan dalam tingkat dan kualitas

pengalaman atau kepuasan pengguna (pemakai) pada kawasan tersebut. Beeler (2000) menyatakan daya dukung sosial sebagai batas maksimum yang ditoleransi oleh seseorang yang bertindak sebagai tuan rumah (host resident) terhadap dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan wisata.

Daya dukung sosial di bidang pariwisata dipengaruhi oleh keberadaan infrastruktur wisata, attitude pengunjung (wisatawan) dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat suatu kawasan wisata (McLeod and Cooper 2005). Daya dukung sosial, yang merupakan batas tingkat maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan yang akan menimbulkan penurunan dalam tingkat kualitas pengalaman atau kepuasan pengunjung di PPK. Satu bentuk illustrasi yang menggambarkan hubungan antar daya dukung sosial, lingkungan dan kualitas pengalaman berekreasi oleh seorang turis disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Daya dukung ekologi dan daya dukung sosial kegiatan ekowisata (Seidl and Tisdell 1999)

Gambar 4 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya waktu dan jumlah manusia maka kebutuhan manusia, interaksi dan kompetisi antar manusia dalam menempati ruang juga semakin meningkat, akibatnya timbul ketidaknyamanan (ketidakpuasan, utility) antara satu manusia dengan yang lain dan menyebabkan ia

merasa terganggu (unsustainable). Ketidaknyaman itulah yang membatasi

seseorang untuk menerima orang lain yang masuk untuk berinteraksi sehingga daya

dukung sosial (KS) menjadi lebih rendah tingkatannya dibanding daya dukung

biofisik atau ekologisnya (KB). Selain itu, KB yang memiliki ukuran populasi maksimal dapat bertahan secara biofisik karena besarannya sangat dipengaruhi oleh

adanya kemampuan teknologi yang mendukungnya (Seidl and Tisdell 1999).

Sementara KS yang memiliki ukuran populasi maksimal lebih rendah dapat

bertahan dalam setiap sistem sosial cenderung untuk mengkonsumsi dan membebani sumberdaya biofisik sehingga kontra produktif terhadap pertumbuhan sehingga nilainya relatif lebih rendah (Davis and Tisdell 1996).

Terganggunya pola, tatanan atau sistem kehidupan dan sosial budaya manusia (individu, kelompok) pemakai ruang tersebut, yang dapat dinyatakan sebagai ruang sosialnya, juga merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut (Seidl and Tisdell 1999). Pada kegiatan pariwisata, terlampauinya daya dukung menyebabkan dampak yang mengganggu kenyamanan atau kepuasan pemakai kawasan/ruang ini. Pada tingkat intensitas pemanfaatan yang tinggi, maka kegiatan tersebut akan mempengaruhi daya dukung ekologi kawasan wisata.

2.5.4. Daya Dukung Ekonomi

Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi pengelolaan usaha wisata. Dalam hal ini digunakan parameter-parameter kelayakan usaha secara ekonomi, misalnya maksimum keuntungan, maksimum tenaga kerja yang diserap oleh kegiatan pemanfaatan PPK, lama pengembalian investasi dan multiplier effect usaha tersebut (Tisdell 1998a; McLeod and Cooper 2005). Produk wisata diperoleh dari kombinasi antara potensi sumberdaya (resources), modal (capital), tenaga kerja (labour) dan kemampuan mengelola (management) yang akan dipasarkan sebagai barang ekonomi.

Sektor ekowisata menyumbang peran ekonomi secara mikro maupun makro. Kegiatan ekowisata dalam aspek mikro ekonomi menghasilkan kajian produk- produk wisata, kemasan, kualitas dan kuantitas, pelaku dan harga. Umumnya produk wisata memiliki karakteristik yang sama dengan barang konsumsi. Produk tersebut disajikan dengan karakteristik yang sangat beragam, dan sangat fleksibel dipilih oleh wisatawan. Pada sisi makro ekonomi, sektor ekowisata membahas tentang share ekonomi, pendapatan dan tenaga kerja, maupun keterkaitan ekonomi. Sektor ekowisata tidak berjalan sendirian dalam perekonomian suatu wilayah. Ia membutuhkan infrastruktur transportasi, telekomunikasi, listrik dan air bersih, selain dukungan dari sektor perdagangan maupun pakaian, makanan dan minuman,

baik dari dalam maupun luar negeri (Sathiendrakumar 1989). Peran sektor ekowisata dapat dilihat dari ukuran tenaga kerja, pendapatan, PDRB maupun total produksi. Umumnya, besaran pengaruh masing-masing ukuran dari atau terhadap sektor ekowisata diperlihatkan melalui nilai pengganda (multiplier). Makin tinggi nilai pengganda semakin besar peran sektor ekowisata dalam perekonomian wilayah. Nilai income multiplier ekowisata berkisar antara 0.4 hingga 1.2 (Depbudpar 2007). Besaran income multiplier memperlihatkan bahwa ekowisata dapat menggerakkan aktifitas perekonomian lokal dan regional.

Manfaat ekonomi lainnya adalah kenaikan kesejahteraan penduduk lokal. Fisik lingkungan dan budaya di sekitar mereka, yang sehari-hari dihadapi, akan memberikan dampak langsung bagi keberlangsungan hidupnya. Karenanya, ukuran ini menjadi penting terutama bagi yang mendiami di sekitar wilayah-wilayah yang terancam kepunahan (protected area). Sebagian pendapatan penduduk lokal yang dapat diidentifikasi adalah jasa pemandu, pemilik penginapan, driver, penjual cindera mata, atau jasa lainnya. Upaya menghitung dampak ekowisata terhadap ekonomi lokal berhasil dilakukan pada Dorrigo National Park di New South Wales, Australia, dengan hasil kontribusi 7 % dari PDRB dan 8.4 % mampu menyerap tenaga kerja (Tisdell 1998a).

Selain memperoleh manfaat ekonomi bagi masyarakat dan ekonomi secara nasional, kegiatan ekowisata juga berdampak pada terancamnya kelestarian sumberdaya terutama perairan laut yakni melalui pencemaran. Pencemaran lingkungan dan degradasi sumberdaya perairan laut berdampak pada penurunan nilai ekonomi wisata. Penurunan nilai manfaat ini disebabkan oleh meningkatnya biaya konservasi termasuk biaya pengendalian pencemaran (cost of pollution) dan penurunan penerimaan (revenue) oleh masyarakat dan pajak bagi pemerintah akibat degradasi sumberdaya atau penurunan kualitas produk wisata. Ini berarti bahwa penurunan kualitas produk wisata akibat pencemaran lingkungan perairan laut menyebabkan penurunan permintaan akan produk wisata bahari (Tisdell 1998).