• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

2.3. Pengelolaan Ekowisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil

2.3.1 Konsep Dasar dan Peraturan Pendukung

Pariwisata diartikan sebagai seluruh kegiatan orang yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat di luar lingkungan kesehariannya untuk jangka waktu tidak lebih dari setahun untuk bersantai (leisure), bisnis dan berbagai maksud lain (Agenda21 1992). Menurut UU No. 9 Tahun 1990 pasal 1(5), pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata serta usaha- usaha yang terkait di bidangnya. Pariwisata berkelanjutan adalah penyelenggaraan pariwisata bertanggungjawab yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia saat ini, tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa mendatang, dengan menerapkan prinsip-prinsip, layak secara ekonomi

(economically feasible) dan lingkungan (environmentally feasible, diterima secara sosial (socially acceptable) dan tepat guna secara teknologi (technologically appropriate). Pendekatan pariwisata berkelanjutan disajikan pada Gambar 2 (France 1997 dalam Beeler 2000).

Gambar 2 Ekowisata sebagai suatu strategi wisata dan pembangunan berkelanjutan (Beeler 2000)

Berdasarkan Gambar 2, kegiatan ekowisata adalah sebagian dari pariwisata berkelanjutan. Ini berarti bahwa pariwisata berkelanjutan lebih luas dari ekowisata, mencakup sektor-sektor pendukung kegiatan wisata secara umum. Saling keterkaitan yang dijelaskan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (Beeler 2000): (1) Menunjukkan sejumlah wisatawan yang berkunjung pada suatu lingkungan

alami. Agen perjalanan biasanya elit lokal atau multinasional, dimana profit usaha wisata rasanya sulit masuk ke masyarakat lokal.

(2) Biasanya wisma tamu skala kecil setempat memberikan kenyamanan di bawah standar dalam pelayanan. Pemukiman penduduk lokal biasanya memperoleh manfaat langsung dari dampak lingkungan yang buruk.

3) Banyak usaha wisata mempekerjakan penduduk lokal sebagai tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled labor). Secara ekonomi dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, akan tetapi selalu dengan dampak lingkungan yang tinggi.

4) Titik keseimbangan yang memungkinkan antara ketiga aspek yang secara lokal dapat dikelola dan manfaatnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.

Memelihara ekologi Ekowisata Pembangunan Lingkungan Pembangunan Ekonomi Pembangunan Sosial

Penyelenggaraan pengembangan pariwisata di PPK harus menggunakan prinsip berkelanjutan di mana secara ekonomi memberikan keuntungan, memberikan kontribusi pada upaya pelestarian sumberdaya alam, dan sensitif terhadap budaya masyakat lokal. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata PPK harus berpegang pada prinsip-prinsip dasar sebagai berikut (Depbudpar 2004): 1. Prinsip keseimbangan; pengelolaan pariwisata di PPK harus didasarkan pada

komitmen pola keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial budaya dan konservasi.

2. Prinsip partisipasi masyarakat; proses pelibatan masyarakat, baik secara aktif maupun pasif, harus dimulai sejak tahap perencanaan hingga tahap pengelolaan dan pengembangan (Damanik dan Weber 2006). Hal ini akan menumbuhkan tanggung jawab dan rasa memiliki yang akan menentukan keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pariwisata di PPK tersebut.

3. Prinsip konservasi; memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan, mengikut i kaidah-kaidah ekologi dan budaya (peka dan menghormati nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat lokal). 4. Prinsip keterpaduan; pengelolaan pariwisata di PPK harus direncanakan secara

terpadu dengan memperhatikan ekosistem pulau, disesuaikan dengan dinamika sosial budaya masyarakat setempat dan disinergikan dengan pembangunan berbagai sektor, kerangka dan rencana pembangunan daerah.

Dilihat dari daya tariknya, keanekaragaman obyek wisata di PPK dapat dibedakan menjadi dua: pertama, daya tarik wisata berbasis sumber daya alam daratan (hutan, gunung, sungai, danau dan pantai) dan sumber daya laut (seperti: terumbu karang, gua dan gunung api bawah laut); kedua, daya tarik wisata yang berbasis warisan maupun pusaka budaya (cultural heritage) baik yang bersifat nyata

(tangible) seperti situs, makam, istana, maupun yang bersifat tidak nyata (intagible)

seperti pertunjukan budaya atau tradisi budaya masyarakat. Selain kedua jenis pariwisata tersebut, juga terdapat wisata buatan yang pada intinya memberdayakan potensi sumberdaya alam yang ada. Wisata buatan pada hakikatnya merupakan hasil karya cipta manusia yang sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang secara langsung atau tidak langsung dapat menjadi objek/daya tarik wisata tertentu seperti wisata belanja, pendidikan, olahraga, dan taman rekreasi.

Kegiatan wisata alam daratan diantaranya kegiatan menikmati bentang alam, olah raga pantai, pengamatan satwa, jelajah hutan, dan mendaki gunung. Sementara kegiatan wisata bahari mencakup snorkeling, menyelam (diving), selancar angin (parasailing), selancar (surfing), memancing (fishing), ski-air, berperahu (canoewing), berperahu kayak (sea kayaking) dan lain sebagainya (META 2002). Sedangkan kegiatan wisata yang berbasis budaya seperti kegiatan menangkap ikan, mengolah ikan, mengamati kebiasaan hidup para nelayan sehari-hari, melihat adat istiadat yang berlaku di perkampungan nelayan, melihat bangunan rumah-rumah nelayan, melihat upacara adat yang biasa dilakukan para nelayan, dan lain sebagainya (Depbudpar 2004).

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dalam pengelolaan lingkungan PPK yakni:

a) Pengelolaan limbah meliputi: (1) pengelolaan limbah padat dan cair agar tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan dengan menerapkan prinsip 3R yaitu Reduce (reduksi), Reuse (penggunaan kembali), dan Recycle

(daur ulang), dan (2) menetapkan satu pulau kosong yang memungkinkan untuk tempat pengolahan limbah, sesuai ketetapan AMDAL.

b) Penggunaan air tawar: (1) dilakukan dengan memperhatikan konservasi air yang tersedia di pulau dan akses masyarakat terhadap kebutuhan air tawar, (2) menganjurkan pengembangan sistem pengolahan air laut menjadi air tawar. c) Pelestarian flora dan fauna: melakukan upaya menjaga dan memelihara flora,

fauna dan terumbu karang di sekitar pulau dengan cara: (1) pengawasan dan pengamanan sumberdaya kelautan sekitar pulau dari kegiatan yang dapat merusak dan mengurangi populasinya, (2) merencanakan dan melaksanakan program perlindungan dan pemeliharaan flora, fauna dan terumbu karang, (3) tidak memasukkan jenis flora dan fauna yang berasal dari luar pulau tanpa seijin instansi yang berwenang, (4) tidak menggunakan karang, sebagai bahan bangunan untuk sarana dan prasarana di pulau.

d) Pelestarian pesisir: (1) tidak melakukan pengerukan, reklamasi dan atau melakukan kegiatan yang dapat merubah kondisi pantai dan pola arus laut, (2) tidak melakukan pengambilan atau pengerukan pasir baik di daratan maupun di

perairan pulau, (3) semua pembangunan di pesisir harus didasarkan pada studi AMDAL/UPL/UKL.

Pengembangan pariwisata di PPK harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal sekaligus melibatkan peran aktif masyarakat sejak awal proses pengembangan pariwisata. Hal ini sejalan dengan konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism Development), yang dilakukan dengan cara:

a) Memprioritaskan peluang kerja dan usaha bagi masyarakat lokal.

b) Membantu peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat antara lain melalui program pelatihan untuk menunjang usaha pariwisata.

c) Membangun hubungan kemitraan antara pengusaha dan masyarakat dalam rangka pemanfaatan hasil-hasil produk lokal.

d) Mewujudkan sikap saling menghargai dan menghormati di antara pengusaha dan masyarakat lokal.

e) Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menanamkan modal melalui kepemilikan saham perusahaan.

Perencanaan ekowisata menurut Boo (1995) memuat tiga strategi yakni:

1. Menilai situasi dan potensi wisata saat ini (status sumberdaya alam, tingkat permintaan dan perekembangan pariwisata, siapa yang mendapat manfaat, apa saja biayanya, dan bagaimana potensi pengembangannya).

2. Menentukan situasi pariwisata yang diinginkan dan mengindentifikasi langkah- langkah mencapai situasi ini (keseimbangan antara pengunjung, sumberdaya alam, masyarakat lokal dan pemerintah).

3. Membuat dokumen strategi ekowisata, menerbitkan dan mengedarkan kepada sumber-sumberdana, bantuan teknis dan pihak-pihak terkait lainnya.

Peraturan dan perundang-undangan yang melandasi pengelolaan wisata bahari berbasis konservasi sumberdaya alam dan budaya lokal, meliput i:

1. Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, secara khusus tentang taman nasional, zona pemanfaatan di taman nasional untuk pariwisata/rekreasi, dan peranserta masyarakat.

3. UU RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, secara khusus penataan wilayah perdesaan.

4. UU RI Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, secara khusus tentang konservasi sumberdaya PPK, rencana zonasi, hak pengusahaan perairan pesisir (HP3), dan pemanfaatan kawasan PPK untuk pariwisata.

5. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

6. PP Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, secara khusus tentang penetapan kawasan konservasi perairan, zonasi kawasan konservasi, dan konservasi sumberdaya ikan meliputi konservasi ekosistem, jenis ikan, dan genetik ikan.

7. Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata, secara khusus tentang peran masing-masing kementerian atau setingkatnya, dan peda dalam kegiatan pariwisata.

8. Peraturan dan Keputusan Menteri setingkat dan di bawah Menteri yang terkait dengan pengelolaan wisata di pesisir dan PPK.

2.3.2. Konsep Ekowisata Pesisir

Pendefenisian ekowisata diawali oleh Hetzer (1965) dan Ziffer (1989) dalam

Bjork (2000) yang menyatakan ekowisata sebagai suatu bentuk wisata yang mengandalkan atau mengutamakan oleh nilai sumberdaya alam (flora, fauna dan proses geologi) dan budaya (lokasi suatu fosil dan arkeologi sebagai bentuk peradaban), praktek pemanfaatannya bersifat tidak konsumtif, dapat menciptakan lapangan kerja dan pendapatan untuk upaya konservasi dan peningkatan ekonomi masyarakat lokal. Konsep ekowisata selanjutnya dipopulerkan oleh Hector Ceballos-Lascurian pada awal tahun 1980-an yang menyatakan ekowisata sebagai perjalanan ke kawasan yang relatif belum terganggu (alami) dengan tujuan khusus untuk pendidikan, mengagumi dan menikmati pemandangan alam dan isinya (tumbuhan dan hewan), serta sebagai perwujudan (manifestasi) budaya yang ditemukan di kawasan yang dituju (Tisdell 1998). The International Ecotourism Society menyatakan ekowisata sebagai perjalanan wisata yang bertanggungjawab ke

wilayah-wilayah alami dalam rangka mengkonservasi lingkungan dan memberi penghidupan penduduk lokal (Western 1995; Sørensen et al. 2002). Sementara

World Conservation Union (WCU) dalam Wood (2002), ekowisata adalah perjalanan wisata ke wilayah-wilayah yang lingkungan alamnya masih asli, menghargai warisan budaya dan alamnya, mendukung upaya-upaya konservasi, tidak menghasilkan dampak negatif, dan memberikan keuntungan sosial ekonomi serta menghargai partisipasi penduduk lokal. META (2002) mendefinisikan ekowisata sebagai bentuk usaha atau sektor ekonomi yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Wight (1993) dan Scace (1993)

dalam Bjork (2000), menyatakan ekowisata sebagai suatu pengalaman perjalanan alam yang dapat berkontribusi terhadap konservasi lingkungan guna menjaga dan meningkatkan integritas sumberdaya alam dan elemen sosial dan budaya.

Berdasarkan defenisi dan konsep tersebut, maka ekowisata merupakan suatu bentuk pengalaman perjalanan wisata yang dikemas secara profesional, terlatih, memuat unsur pendidikan, suatu sektor ekonomi, yang mempertimbangkan warisan budaya, partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal yang dilakukan untuk upaya mengkonservasi sumberdaya alam dan lingkungan. Ekowisata tidak setara dengan wisata alam oleh karena tidak semua wisata alam dapat memberikan sumbangan positif kepada upaya pelestarian lingkungan, diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu untuk menjadi ekowisata dan memiliki pasar khusus (Tisdell 1996). Ekowisata bukanlah merupakan wisata petualang, akan tetapi lebih dari bentuk permintaan wisata. Wisata petualang merupakan kegiatan waktu senggang pada tempat yang eksotik, unik, sifatnya menantang, penuh resiko, dan juga keceriaan misalnya wisata arung jeram, mendaki gunung, diving di lingkungan populasi ikan hiu, dan lainnya. Wisata alam merupakan wisata di kawasan alami dengan fokus pada pengalaman produk wisata berbasis alam (Bjork 2000).

Ekowisata menurut Wood (2002) menganut beberapa prinsip, yakni: 1. Meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya.

2. Mengutamakan pendidikan bagi pengunjungnya guna kepentingan konservasi.

3. Menekankan pada kepentingan bisnis yang bertanggungjawab melalui pola

4. Penerimaan langsung dari pengelolaan dan konservasi lingkungan serta kawasan yang dilindungi.

5. Menekankan kebutuhan untuk penzonaan wisata lingkup regional dan untuk

perencanaan pengelolaan pengunjung kawasan alami.

6. Menekankan pada penggunaan kajian dasar lingkungan dan sosial guna

kepentingan program monitoring.

7. Peningkatan manfaat ekonomi maksimum masyarakat, usaha lokal dan negara.

8. Pembangunan pariwisata tidak melebihi batas daya dukung lingkungan sosial.

9. Pembangunan infrastruktur wisata yang harmoni dengan alam, meminimalisir

penggunaan bahan bakar dari fosil (BBM), melindungi satwa dan tumbuhan lokal, dan menselaraskan lingkungan dan budaya.

Jika dikaitkan dengan semua kegiatan wisata yang mengandalkan daya tarik alami lingkungan pesisir dan lautan baik secara langsung maupun tidak, maka kegiatan pariwisata tersebut dinamakan sebagai wisata pesisir (Wong 1991) atau juga wisata bahari (Orams 1999). Kegiatan langsung diantaranya berperahu, berenang, snorkeling, menyelam dan memancing. Kegiatan tidak langsung meliputi kegiatan olahraga pantai, dan piknik menikmati atmosfer laut (META 2002). Konsep ekowisata pesisir didasarkan pada menikmati keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karakteristik masyarakat pesisir sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Sementara ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut (Hutabarat et al. 2009). Kegiatan ekowisata bahari bukan semata-mata untuk memperoleh hiburan dari berbagai suguhan atraksi dan suguhan alami lingkungan pesisir dan lautan. Akan tetapi, diharapkan wisatawan dapat berpartisipasi langsung untuk mengembangkan konservasi lingkungan sekaligus pemahaman yang mendalam tentang seluk-beluk ekosistem pesisir sehingga membentuk kesadaran bagaimana harus bersikap untuk kelestarian wilayah pesisir dan laut di masa kini dan masa yang akan datang. META (2002), merumuskan tujuh prinsip utama pengelolaan ekowisata bahari berkelanjutan, yaitu:

1. Partisipasi masyarakat lokal; ekowisata bahari harus memberikan manfaat

2. Proteksi lingkungan; ekowisata bertumpu pada lingkungan alam pesisir dan laut, budaya yang relatif belum tercemar atau terganggu.

3. Pendekatan keseimbangan; prinsipnya meliputi maksimum profit, bagaimana

ekowisata memberikan manfaat, komitmen indus tri pariwisata dan lainnya.

4. Pendidikan dan pengalaman; ekowisata harus dapat meningkatkan pemahaman

akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki.

5. Pendekatan kolaboratif; ekowisata bahari dapat memberikan sumbangan

positif bagi keberlanjutan ekologi baik jangka pendek maupun jangka panjang. 6. Tanggungjawab pasar; diperlukan interdependen kegiatan, demand-supply side

dan lain sebagainya.

7. Kontinuitas manajemen; ekowisata harus dikelola secara baik dan menjamin

keberlanjutan lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat saat ini maupun generasi mendatang.

Pengelolaan ekowisata bahari adalah bagaimana memelihara dan melindungi sumberdaya alam yang tidak tergantikan (irreplaceable) agar dapat dimanfaatkan untuk generasi sekarang dan (terlebih) untuk generasi mendatang. Konflik kepentingan akan mudah timbul antara dimensi ekonomi dan ekologi pada suatu sumberdaya. Pengelolaan ekowisata bahari mencakup sebagian pengelolaan wisata, yakni kegiatan-kegiatan mensinergikan sektor penunjang ekowisata, menetapkan tujuan wisata, menyiapkan akomodasi hingga mengoptimalkan pemasaran produk- produk wisata. Pengelolaan ekowisata yang memenuhi kaidah konservasi memerlukan penjelasan rinci tentang sistem produksi ekowisatasecara keseluruhan (from cradle to grave). Suatu obyek tujuan wisata memiliki karakteristik sistem produksi yang berbeda dengan dengan tujuan wisata lainnya. Ekowisata wilayah pesisir dan laut memiliki karakteristik lahan basah yang berbeda dengan ekowisata pegunungan dengan karakteristik lahan kering (META 2002).

Ada empat issu konservasi yang berkaitan dengan ekowisata (Millar 1991

dalam Wood 2002). Pertama, kegiatan wisata yang cenderung massal (mass tourism). Karakteristik sektor wisata umumnya menghasilkan pengaruh yang signifikan dan massal. Di negara-negara sedang berkembang, manfaat ekonomi sektor tourism sangat signifikan sehingga dimensi sosial dan lingkungan seringkali terkorbankan. Kedua, obyek ekowisata yang spesifik. Sektor wisata umumnya

memiliki sarana akomodasi yang terstandarisasi dengan kenyamanan tertentu, misalnya fasilitas parkir, toilet atau kamar hotel. Keseragaman akomodasi tersebut, sejak masa konstruksi hingga pemanfaatannya, akan cenderung berdampak merugikan bagi ekowisata. Hal tersebut dapat mematikan pengembangan potensi spesifik lokal, juga dapat berlawanan dengan nilai-nilai budaya setempat. Ketiga,

pemberdayaan penduduk lokal. Trade-off aliran insentif ekonomi pada sektor

tourism umumnya lebih condong ke pemilik modal dibanding ke penduduk lokal.

Trade-off tersebut harus mengarah secara proporsional pada kedua belah pihak jika tidak ingin menghancurkan kegiatan ekowisata. Insentif ekonomi bagi penduduk lokal digunakan untuk peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan ketrampilan profesional, serta penguatan struktur sosial. Keempat, faktor-faktor yang tidak

terhitung (intangible) di dalam sumberdaya alam masih banyak. Pemangku

kepentingans, khususnya penduduk lokal memiliki nilai-nilai budaya dan potensi yang belum terungkap dalam bentuk manfaat bagi konservasi dan ekowisata. Implikasinya, harus dilakukan penelitian dan pengembangan untuk menggali ilmu pengetahuan dan menyebarkan informasi dalam rangka membangun kesadaran publik tentang konservasi dan keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan.

2.3.3 Kawasan Konservasi dan Kegiatan Wisata Pesisir

Umumnya, penetapan suatu kawasan laut menjadi kawasan konservasi akan merugikan kegiatan ekonomi lainnya. Di lain pihak, kawasan konservasi dapat juga dijadikan sebagai instrumen pengendalian kegiatan pariwisata dan kegiatan lain termasuk perikanan untuk pemanfaatan yang berkelanjutan. Awal tahun 1990, mulai diperkenalkan suatu instrumen yang didesain langsung pada pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam, yaitu berupa penentuan suatu kawasan konservasi laut (KKL) atau marine reserve atau Marine Protected Area (MPA). Tujuannya adalah agar input dan output produksi perikanan dan wisata bahari berbasis konservasi diatur dengan menutup sebagian kawasan untuk daerah perlindungan.

Banyak dukungan empiris yang menyatakan KKL akan dapat meningkatkan dan memperbaiki ekologi yang mencakup peningkatan komposisi umur dan tingkat stok yang lebih tinggi untuk perbaikan habitat. Manfaat tambahan yang diperoleh dari adanya kawasan konservasi ini adalah untuk keperluan pariwisata, pendidikan, dan konservasi biodiversitas laut (Bohnsack 1993 dalam Sanchirico et al. 2002).

Manfaat kawasan konservasi laut adalah sebagai biogeografi, keanekaragaman hayati, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan, peningkatan produksi di wilayah sekitarnya, perlindungan pemijahan, penelitian, ekowisata, pembatasan hasil sampingan ikan-ikan juvenil dan peningkatan produktivitas perairan.

Salah satu peran utama kawasan konservasi PPK, yakni menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata yang bernilai ekologis dan estetika (Barr et al. 1997 dalam

Bengen dan Retraubun 2006). Perlindungan terhadap tempat-tempat khusus bagi kepentingan rekreasi/pariwisata (seperti pengaturan dermaga perahu/kapal, tempat berjangkar dan jalur pelayaran) akan membantu mengamankan kekayaan dan keragaman daerah pariwisata yang tersedia di sepanjang pesisir PPK. Pemanfaatan suatu kawasan konservasi menjadi kawasan wisata dan kegiatan perikanan harus dapat memberikan manfaat ekonomi yang tinggi. Cesar (1996) menyatakan bahwa KKL di Apo Island Philipina mampu memberikan nilai ekonomi hampir US$400 ribu dari sektor wisata bahari dan perikanan.

Masalah utama dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi adalah menetapkan batas ekologis yang dapat digunakan untuk mencapai suatu kawasan konservasi. Selama ini batas kawasan konservasi didasarkan pada karakteristik geologis kawasan (batas daratan dan lautan), batas administrasi (nasional, propinsi dan kabupaten), atau biaya (lokasi yang lebih kecil akan memerlukan biaya yang kecil untuk melindungi atau mempertahankan keberadaannya. Kawasan konservasi yang berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis biota dengan relung yang berbeda-beda serta tidak merusak semua kawasan konservasi secara bersamaan bila terjadi bencana. Kawasan konservasi yang berukuran besar menuntut adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung pengelolaan yang efektif bagi pemanfaatan secara berkelanjutan, termasuk pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif untuk mencapai sasaran dan tujuan konservasi. Berdasarkan arah pengembangan pariwisata, zonasi yang umum digunakan dalam pengembangan pariwisata di kawasan PPK adalah (Depbudpar 2004):

1. Zona Intensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk dapat menerima kunjungan dan tingkat kegiatan yang tinggi dengan memberikan ruang yang luas untuk kegiatan dan kenyamanan pengunjung. Dalam zona ini dapat

dikembangkan sarana dan prasarana fisik untuk pelayanan pariwisata yang umumnya tidak melebihi 60 % dari luas kawasan zonasi intensif dan memperhatikan daya dukung lingkungan.

2. Zona Ekstensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk menerima kunjungan dan tingkat kegiatan terbatas, untuk menjaga kualitas karakter sumber daya alam. Kegiatan pengunjung dalam zona ini harus dapat dikontrol, dan pembangunan sarana dan prasarana terbatas hanya ditujukan untuk pengunjung kegiatan, seperti jalan setapak, tempat istirahat, menara pandang, papan penunjuk dan informasi.

3. Zona Perlindungan, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk tidak menerima kunjungan dan kegiatan pariwisata. Kawasan ini biasanya merupakan kawasan yang menjadi sumber air bagi kawasan seluruh pulau, atau memiliki kerentanan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.