• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesesuaian Pemanfaatan Ruang untuk Masing-Masing Aktivitas a.Minawisata Bahari Pancing

DAFTAR LAMPIRAN

5.1 Analisis Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Bahari Berbasis Konservasi Pengelolaan pada hakekatnya adalah mengatur perilaku para pengguna

5.1.1 Kesesuaian Pemanfaatan Ruang untuk Masing-Masing Aktivitas a.Minawisata Bahari Pancing

Pada dasarnya, memancing ikan dapat dibedakan dalam 2 kategori yaitu memancing ikan dalam konteks berproduksi, dan memancing ikan dalam konteks berwisata. Dalam konteks berproduksi, memancing ikan adalah aktivitas nelayan menangkap ikan dimana hasil pancingannya kemudian dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan dalam konteks berwisata, memancing ikan merupakan aktivitas wisatawan menangkap ikan dimana hasil pancingannya diutamakan untuk mencapai kepuasan selama berwisata. Hasil pancingan dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga, atau bisa juga dibawa pulang ke rumah untuk dinikmati bersama keluarga. Dengan dasar pemikiran tersebut maka aktivitas perikanan dan pariwisata ini dapat dipadukan dan dikemas dalam bentuk minawisata bahari, yaitu berwisata sambil memancing ikan.

Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional dan dikenal sebagai ladang ikan baronang (siganus sp) dan juga jenis-jenis ikan target lainnya seperti ikan kerapu (grouper) dan ikan maming (napoleon) yang telah lama dimanfaatkan oleh penduduk Desa Taar dan sekitarnya bagi pemenuhan kebutuhan protein. Pemanfaatan sumberdaya laut di teluk ini cenderung meningkat dari waktu ke waktu, apalagi karena berada dalam pusat pengembangan Kota Tual, maka dikhawatirkan dimasa datang akan terjadi tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya teluk ini bersamaan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk sebagai konsekuensi pengembangan Kota Tual. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dicarikan suatu bentuk

pemanfaatan sumberdaya yang berbasis konservasi agar dapat mengurangi tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya yang ada. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan dari konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu untuk menjaga kelestarian ekosistem dan sumberdaya yang ada termasuk sumberdaya ikan. Dengan pertimbangan tersebut maka minawisata bahari pancing adalah merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya yang berbasis konservasi yang dapat dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.

Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pancing mempertimbangkan 8 parameter kesesuaian biofisik yaitu kelompok jenis ikan; kecepatan arus; tinggi gelombang; kecerahan perairan; suhu perairan; salinitas; kedalaman perairan; serta jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari pancing seperti ditunjukan pada Tabel 18.

Tabel 18 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pancing No Kelas Kesesuaian Luasan (ha) Luasan (%)

1. Sesuai (S) 169,22 58,52

2. Sesuai Bersyarat (SB) 119,95 41,48

3. Tidak Sesuai (TS) - -

Total 289,17 100,00

Tabel 18 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai (S) untuk minawisata bahari pancing adalah sebesar 169,22 ha (58,52%) dan yang sesuai bersyarat (SB) adalah sebesar 119,95 ha (41,48%) dari total luas perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, sedangkan untuk kelas kesesuaian yang tidak sesuai (TS) tidak ditemukan dalam perairan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, hal ini karena kondisi biofisik kawasan perairan ini memenuhi 8 parameter kesesuaian yang digunakan untuk analisis dan dari hasil ground check masing-masing parameter tersebut berada dalam kisaran yang dipersyaratkan untuk kelas sesuai dan sesuai bersyarat.

Menurut Madduppa (2009) ikan dapat dikelompokkan berdasarkan perannya yaitu kelompok ikan target; kelompok ikan indikator; dan kelompok ikan mayor. Kelompok ikan target adalah ikan-ikan yang mempunyai nilai

ekonomis yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat, atau ikan-ikan yang merupakan target penangkapan (ikan ekonomis penting) antara lain Serranidae; Lutjanidae; Lethrinidae; Acanthuridae; Mulidae; Siganidae; Labridae; dan Haemulidae. Kelompok ikan indikator adalah ikan-ikan yang menjadi parameter terhadap kesehatan terumbu karang karena keberadaan ikan-ikan ini erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang antara lain Chaetodontidae; dan Variegatus. Sedangkan kelompok ikan mayor adalah ikan-ikan yang berperan secara umum dalam sistem rantai makanan di daerah terumbu karang, biasanya ditemukan dalam jumlah banyak dan seringkali dijadikan sebagai ikan hias air laut antara lain Pomacentridae; Pomachantidae; dan Apogonidae.

Dalam hubungannya dengan minawisata bahari pancing di kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, Polanunu (1998) menemukan bahwa arus dominan di Teluk Un adalah arus pasang surut. Dari hasil pengukuran arus secara tertambat (eularian) pada bulan Oktober dan November 1997 diketahui bahwa kecepatan arus di Teluk Un baik di dalam maupun di luar areal padang lamun memiliki kisaran antara 0,35 - 1,12 m/detik, dan kisaran kecepatan arus ini baik untuk kehidupan ikan.

Menurut Sugiarti (2000) tinggi gelombang merupakan salah satu parameter yang harus diperhatikan dalam menentukan alokasi ruang untuk suatu peruntukan pemanfaatan sumberdaya laut, karena hal ini berkaitan dengan faktor keamanan dan keselamatan nelayan atau wisatawan selama melakukan berbagai aktivitas di laut. Tinggi gelombang yang dipersyaratkan untuk aktivitas penangkapan ikan di laut adalah kurang dari 1 meter. Dengan tinggi gelombang yang kurang dari 1 meter maka nelayan atau wisatawan akan berada dalam kondisi aman dari hempasan gelombang perairan yang terjadi di lokasi tersebut.

Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor yang cukup menentukan keberadaan ikan, baik kelompok ikan target; ikan indikator; ataupun ikan mayor, karena keberadaan ikan-ikan tersebut erat hubungannya dengan kondisi kesehatan dan kesuburan terumbu karang. Perairan yang cerah dan jernih sangat baik untuk pertumbuhan terumbu karang yang menjadi habitat dari berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Semakin sehat ekosistem terumbu karang di suatu lokasi maka

semakin banyak pula ikan dan organisme laut yang dapat kita temukan di lokasi tersebut.

Kecerahan perairan berbanding terbalik dengan kekeruhan. Pada perairan yang cerah jarak tembus pandang dalam kolom air semakin besar atau jauh, selain itu kondisi perairan yang cerah baik untuk kehidupan ikan dan organisme laut lainnya. Dalam kenyataannya, banyak terdapat ikan dan organisme laut lainnya yang hidup pada kondisi perairan yang cerah. Sebaliknya pada perairan yang keruh terdapat banyak partikel-partikel yang tersuspensi dalam kolom air sehingga membuat jarak tembus pandang dalam kolom air semakin kecil atau dekat, selain itu kondisi perairan yang keruh tidak sehat bagi kehidupan ikan dan organisme laut lainnya. Dalam hubungannya dengan minawisata bahari pancing, Sugiarti (2000) menjelaskan bahwa kegiatan pemancingan ikan biasanya dilakukan di perairan dengan jarak tembus pandang dalam kolom air (kecerahan) kurang dari 10 meter, karena ikan-ikan yang menjadi target penangkapan biasanya banyak terdapat di perairan dengan kondisi kecerahan seperti tersebut diatas.

Menurut Nybakken (1988) dalam kondisi normal suhu dipermukaan laut berkisar antara 25,6 - 32,3oC, disamping itu Mulyanto (1992) menjelaskan bahwa suhu perairan yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25 - 32o

Selain parameter biofisik dan oseanografi perairan tersebut diatas, pengembangan minawisata bahari pancing di suatu lokasi tertentu perlu mempertimbangkan jarak lokasi pengembangan dari alur pelayaran, kawasan budidaya dan kawasan lainnya seperti sentra pemukiman; perekonomian; aktivitas pemerintahan; dan lain-lain. Idealnya jarak untuk kelas kesesuaian S (sesuai) adalah lebih dari 500 meter, hal ini agar aktivitas minawisata bahari pancing yang dikembangkan di lokasi tersebut tidak sampai mengganggu alur pelayaran. Demikian pula sebaliknya semua kegiatan masyarakat yang ada di sekitar lokasi tersebut tidak sampai berpengaruh kepada aktivitas minawisata bahari

C. Untuk salinitas, Nontji (2003) menjelaskan bahwa nilai salinitas di lautan pada umumnya berkisar antara 33 - 37‰. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32 - 34‰ sedangkan untuk laut terbuka umumnya berkisar antara 33 - 37‰ dengan rata-rata adalah 35‰. Kisaran salinitas ini baik untuk kehidupan organisme laut khususnya ikan (Romimohtarto dan Juwana 1999).

pancing yang dikembangkan di lokasi tersebut (Bengen DG 24 Pebruari 2008, komunikasi pribadi).

Data lapangan menunjukan bahwa untuk lingkungan perairan dengan kelas kesesuaian S (sesuai) pada umumnya parameter biofisik dan oseanografi perairan seperti kecepatan arus; tinggi gelombang; kecerahan perairan; suhu perairan; salinitas; dan jarak lokasi pengembangan dari alur pelayaran, kawasan budidaya dan kawasan lainnya memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan kondisi lingkungan perairan menjadi sesuai bersyarat (SB) yaitu kedalaman perairan dan kelompok jenis ikan.

Di beberapa bagian perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir kedalaman perairan ditemukan berada pada kisaran kurang dari 2,5 meter. Dengan tunggang pasut lebih dari 2,5 meter maka pada saat surut terendah bagian perairan tersebut akan kering sehingga yang tadinya sesuai kini menjadi tidak sesuai lagi untuk aktivitas pemancingan. Selain itu juga ada bagian perairan yang kedalamannya berada pada kisaran lebih dari 10 meter. Jika dikaitkan dengan sasaran dari aktivitas minawisata bahari pancing hal ini juga akan menjadi faktor pembatas, karena ikan-ikan yang menjadi target penangkapan adalah ikan-ikan ekonomis penting dari kelompok ikan pelagis dimana perairan yang sesuai untuk aktivitas ini adalah perairan dengan kedalaman kurang dari 10 meter karena ikan-ikan yang menjadi target penangkapan biasanya hidup pada kedalaman tersebut.

Kelompok jenis ikan juga merupakan faktor pembatas lainnya. Ikan target yaitu ikan-ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat seperti dari family Serranidae; Lutjanidae; Lethrinidae; Acanthuridae; Mulidae; Siganidae; Labridae; dan Haemulidae (Madduppa 2009) tidak tersebar merata tetapi ditemukan terkonsentrasi pada lokasi tertentu dengan kondisi terumbu karang yang masih baik. Dengan faktor pembatas tersebut maka tidak semua kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sesuai untuk aktivitas minawisata bahari pancing seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 10.

Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan potensi dan sumberdaya perikanan yang ada di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang dikemas dalam bentuk minawisata bahari pancing, maka perlu disiapkan sarana pendukung

lainnya seperti dermaga kecil (jetty); perahu (boat); dan peralatan pancing. Dilokasi ini tersedia jetty milik masyarakat Desa Taar yang dapat dimanfaatkan untuk aktivitas tersebut, sedangkan yang masih perlu dibenahi adalah penyediaan perahu berikut peralatan pancingnya.

b. Minawisata Bahari Pengumpulan Kerang (Moluska)

Di daerah Kepulauan Kei ada satu aktivitas masyarakat yang sudah berlangsung secara turun temurun yaitu pengumpulan biota laut dari jenis kerang (moluska) untuk dikonsumsi oleh keluarga. Aktivitas ini sering dilakukan pada bulan Oktober karena biasanya pada bulan tersebut temperatur udara tertinggi sepanjang tahun dan kekuatan angin sangat lemah sehingga kondisi laut sangat tenang, bersamaan dengan kondisi tersebut terjadi juga air surut terbesar yang dikenal dengan Met Ef atau Meti Kei.

Moluska adalah salah satu kelompok dari berbagai biota laut yang banyak terdapat di daerah pasang surut (intertidal). Daerah intertidal merupakan daerah pesisir yang paling banyak diminati dan dikunjungi baik untuk kegiatan penelitian maupun untuk berwisata. Dengan melihat kebiasaan masyarakat tersebut dan didukung oleh kondisi fisik alam dan potensi sumberdaya yang tersedia maka aktivitas masyarakat ini dapat dikembangkan dan dikemas dalam bentuk minawisata bahari yaitu berwisata sambil mengumpulkan dan menikmati makanan laut (sea-food) dari jenis moluska. Pengumpulannya dilakukan sendiri oleh wisatawan dan selanjutnya dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga untuk mencapai kepuasan selama berwisata, atau bisa juga dibawa pulang ke rumah untuk dinikmati bersama keluarga.

Minawisata bahari pengumpulan moluska dapat dikembangkan di kawasan ini karena kondisi topografi Kepulauan Kei khususnya kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang landai, kondisi ini mengakibatkan sebagian besar wilayah mintakad pasang surut pada kawasan tersebut mengalami kekeringan, lebar dataran pasut dapat mencapai lebih dari 200 meter sehingga dapat dijadikan area pengumpulan moluska. Pemanfaatan potensi sumberdaya moluska di teluk ini cenderung meningkat dari waktu ke waktu, apalagi karena aktivitas ini telah berlangsung lama dan secara turun-temurun sehingga pengelolaannya perlu diarahkan pada aktivitas yang berbasis konservasi.

Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pengumpulan moluska mempertimbangkan 7 parameter biofisik yaitu jenis moluska; kelimpahan; lebar dataran pasut; tipe substrat pantai; kemiringan pantai; suhu perairan; dan salinitas. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari pengumpulan moluska seperti ditunjukan pada Tabel 19.

Tabel 19 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pengumpulan moluska

No Kelas Kesesuaian Luasan (ha) Luasan (%) 1. Sesuai (S) 107,23 37,08 2. Sesuai Bersyarat (SB) 69,15 23,92 3. Tidak Sesuai (TS) 112,79 39,00

Total 289,17 100,00

Tabel 19 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai (S) untuk minawisata bahari pengumpulan moluska adalah sebesar 107,23 ha (37,08%), yang sesuai bersyarat (SB) adalah sebesar 69,15 ha (23,92%), sedangkan yang tidak sesuai (TS) adalah sebesar 112,79 ha (39,00%) dari total luas perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.

Renjaan (2006) in DPK (2006a) menjelaskan bahwa dari hasil analisis terhadap data dari 10 transek pengamatan yang dilakukan pada bulan Oktober - Nopember 1997 di kawasan perairan Teluk Un teridentifikasi beberapa jenis moluska dengan kepadatan masing-masing sebagai berikut Abra sp. (0,26); Donax variagartus (0,34); D. vittatus (1,32); D. compresus (0,56); Perna viridis (0,18); Pitar manilae (1,42); Rhinoclavis vertagus (0,72); Tellina radiate (2,8); dan Terebellum terebellum (0,22) dengan kepadatan rata-rata berkisar antara 0,18 - 2,8 individu/m2

Disamping itu, hasil pengamatan lapangan menunjukan bahwa selain yang tersebut diatas terdapat juga beberapa jenis moluska yang teridentifikasi berada di daerah intertidal kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan kepadatannya masing-masing sebagai berikut Anadara sp. (2,53); Cerithium sp. (2,37); Chlamys sp. (0,85); Clanculus sp. (0,16); Cypraea sp. (0,28); Donax sp. (1,32); Euspira sp. (0,64); Guilfordia sp. (0,23); Haliotis sp. (2,47); Hippopus sp. (0,12); Lambis sp. (0,23); Lioconcha sp. (0,85); Littorina sp. (2,76);

Phenacovolva sp. (1,63); Siliquaria sp. (1,93); Strombus sp. (1,63); Tectus sp. (0,16); Tridacna sp. (0,12); dan Tripneustes sp. (1,14), dengan kepadatan rata-rata berkisar antara 0,12 - 2,76 individu/m2.

Berkaitan dengan kebutuhan lahan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska pada saat terjadinya surut, maka lebar dataran pasut diukur mulai dari garis pantai sampai dengan batas surut terendah. Menurut Bengen (2008) untuk kebutuhan aktivitas ini, maka lebar dataran pasut yang ideal adalah lebih dari 100 meter, dengan pertimbangan bahwa apabila lebar dataran pasut cukup luas, maka wisatawan dapat melakukan aktivitas pengumpulan moluska dengan aman sekaligus dapat menikmati keindahan alam di lokasi pengumpulan moluska. Menurut Renjaan (2006) in DPK (2006a), lebar dataran pasut di sekitar Teluk Un dapat mencapai lebih dari 200 meter dan memiliki dasar perairan yang sangat landai. Karena kondisi dasar perairannya yang landai dan kisaran pasut wilayah ini yang tergolong kedalam mesotidal (>2,50 m) menyebabkan saat surut sebagian besar perairan ini mengalami kekeringan.

Hasil penelitian dari Latale (2003) in Natan (2008) menemukan bahwa salah satu spesies moluska dari famili Lucinidae yakni kerang lumpur (Anodontia edentula) mendiami substrat bersedimen pasir sangat kasar (very coarse sand) sampai lumpur (silt atau clay), dan umumnya didominasi oleh pasir kasar (coarse sand) dan pasir berukuran sedang (medium sand), dan mempunyai nilai porositas antara 41,71 - 55,58%.

Kemiringan pantai merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan lokasi minawisata bahari pengumpulan moluska. Pada umumnya aktivitas ini dapat dilakukan di daerah intertidal dengan kemiringan pantai yang landai karena lama waktu untuk berwisata sambil mengumpulkan moluska akan lebih panjang dan relatif aman bagi wisatawan. Untuk daerah intertidal dengan kemiringan pantai yang curam, aktivitas ini masih dapat dilakukan tetapi waktunya relatif lebih pendek dan cukup beresiko terhadap keselamatan wisatawan dalam hubungannya dengan proses naiknya permukaan air laut akibat pasang karena dataran pasut pada pantai yang curam akan cepat tergenang air laut, sedangkan daerah intertidal dengan kemiringan pantai yang terjal tidak dimungkinkan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska.

Perubahan suhu akan berpengaruh terhadap pola kehidupan organisme perairan. Pengaruh suhu yang utama adalah mengontrol penyebaran hewan dan tumbuhan. Suhu mempengaruhi secara langsung aktifitas organisme seperti pertumbuhan dan metabolisme bahkan menyebabkan kematian organisme, sedangkan pengaruh tidak langsung adalah meningkatnya daya akumulasi berbagai zat kimia dan menurunkan kadar oksigen dalam air. Setiap spesies hewan moluska mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu. Suhu optimum bagi moluska bentik berkisar antara 25 - 28o

Tunggang pasut (tidal range) sangat erat hubungannya dengan tipe pantai dan lebar dataran pasut. Menurut Renjaan (2006) in DPK (2006a) tunggang pasut maksimum di perairan Kei Kecil umumnya lebih dari 2,5 meter, dengan kondisi tunggang pasut sedemikian pada topografi yang landai seperti halnya di Teluk Un maka pada saat surut terendah sebagian besar dataran pasut muncul dipermukaan C (Hutagalung 1988 dan Huet 1972 in Razak 2002). Sejalan dengan itu, salinitas secara tidak langsung mempengaruhi kerang melalui perubahan kualitas air seperti pH dan oksigen terlarut. Menurut Setiobudiandi (1995) salinitas optimum bagi hewan moluska berkisar antara 2 - 36 ppt.

Renjaan (2006) in DPK (2006a) menjelaskan bahwa jenis pasut di kawasan Teluk Un adalah pasut campuran mirip harian ganda (mixed predominantly semi-diurnal tide), tipe pasut ini dicirikan dengan dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari. Dengan jenis pasut seperti ini maka aktivitas pengumpulan moluska oleh wisatawan dapat dilakukan selama 2 kali dalam 1 hari, dengan demikian minawisata bahari pengumpulan moluska dapat dikembangkan di daerah-daerah dengan tipe pasut seperti ini, salah satunya adalah di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir (Bengen DG 24 Pebruari 2008, komunikasi pribadi).

Data lapangan menunjukan bahwa untuk lingkungan perairan dengan kelas kesesuaian S (sesuai) pada umumnya parameter biofisik dan oseanografi perairan seperti jenis moluska; kelimpahan; suhu perairan; salinitas; lebar dataran pasut; tipe substrat pantai; dan kemiringan pantai memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan kondisi lingkungan perairan menjadi sesuai bersyarat (SB) dan tidak sesuai (TS) yaitu tunggang pasut.

air. Sementara itu menurut BAKOSURTANAL (1992) in DPK (2006a) tunggang pasut maksimum di perairan Kei Kecil berdasarkan pengukuran selama 30 hari di stasiun TNI AL Tual adalah 2,6 meter.

Daerah-daerah dengan tunggang pasutnya besar sangat sesuai untuk lokasi minawisata bahari pengumpulan moluska, hal ini karena dengan tunggang pasut yang lebih dari 2 meter pada pantai yang landai, maka pada saat surut akan membuat pantai tersebut menjadi cukup luas dan mengalami kekeringan sehingga dapat digunakan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska. Sedangkan pada saat air laut bergerak pasang, daerah intertidal tersebut masih relatif aman bagi wisatawan karena permukaan air laut akan naik secara perlahan dalam waktu yang cukup lama untuk menutupi pandai yang landai. Sebaliknya untuk daerah-daerah dengan tunggang pasutnya kecil (kurang dari 2 meter) tidak sesuai untuk lokasi minawisata bahari pengumpulan moluska. Hal ini karena dengan tunggang pasut yang kurang dari 2 meter pada pantai yang relatif curam maka walaupun pada saat surut, lebar dataran pasut (lebar pantai) tidak cukup luas sehingga tidak dimungkinkan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska. Dengan kondisi dan faktor pembatas tersebut maka tidak semua kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sesuai untuk aktivitas minawisata bahari pengumpulan moluska seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 11.

Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan potensi dan sumberdaya moluska di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang dikemas dalam bentuk minawisata bahari pengumpulan moluska maka perlu disiapkan sarana pendukung lainnya seperti peralatan pengumpul kerang berikut peralatan pengolahannya, sehingga moluska yang terkumpul dapat diolah dan dinikmati saat itu juga oleh wisatawan.

c. Minawisata Bahari Karamba Pembesaran Ikan

Ikan-ikan karang seperti dari jenis baronang (Siganus gutatus); kerapu bebek (Cromileptes altivelis); kerapu sunu (Plectropomus leopardus); kerapu lumpur (Epinephelus tauvina); kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus); napoleon/maming (Cheilinus undulatus); dan beberapa jenis lainnya merupakan ikan konsumsi yang saat ini banyak dipasarkan dalam keadaan hidup, umumnya

Gambar 11 Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pengumpulan kerang (moluska).

ikan-ikan jenis ini tersebar di daerah tropis dan subtropis. Selain dapat diambil dari habitatnya, saat ini ikan-ikan tersebut mulai ditangkar (dibesarkan) dan dibudidaya. Metoda pemeliharaan yang paling produktif dengan teknik akuakultur adalah dengan metoda karamba jaring apung yang dilakukan diperairan pantai, hal ini karena jumlah dan kualitas air selalu memadai dan juga mudah dipanen.

Saat ini banyak wisatawan yang selain melakukan kegiatan wisata pantai atau wisata bahari juga mencari bentuk aktivitas lain yang berhubungan dengan ekosistem dan sumberdaya laut sebagai bentuk lain dalam berwisata. Dengan melihat peluang tersebut maka aktivitas pembesaran ikan dalam karamba jaring apung dapat dikembangkan dan dikemas dalam bentuk minawisata bahari yaitu berwisata sambil menikmati makanan laut (sea-food) dari berbagai jenis ikan karang. Aktivitas pembesaran ikan dalam karamba jaring apung yang dimaksud dalam minawisata bahari ini adalah bukan dalam konteks berproduksi tetapi semata-mata untuk kepentingan berwisata. Wisatawan diberikan kesempatan untuk memilih ikan dalam karamba yang pengambilannya dilakukan sendiri oleh wisatawan dan selanjutnya dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga untuk mencapai kepuasan selama berwisata, atau bisa juga dibawa pulang kerumah untuk dinikmati bersama keluarga.

Minawisata bahari karamba pembesaran ikan ini dapat dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir karena kondisi perairannya relatif tenang serta terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Kelompok ikan yang menjadi target pembesaran dalam karamba jaring apung adalah ikan-ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat, atau ikan-ikan yang merupakan target penangkapan (ikan ekonomis penting). Tentunya aktivitas yang akan dikembangkan ini adalah aktivitas yang berbasis konservasi, karena ikan-ikan tersebut tidak dibudidaya melainkan hanya diambil dari habitatnya dan dibesarkan dalam karamba jaring apung sehingga beban limbah yang dihasilkan tidak sampai mencemari lingkungan perairan.

Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan mempertimbangkan 10 parameter kesesuaian yaitu kecepatan arus; tinggi gelombang; kedalaman air dari dasar jaring; suhu perairan; salinitas; oksigen terlarut; pH perairan; nitrat; phospat; serta jarak dari alur pelayaran dan kawasan