• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pulau-Pulau Kecil

Menurut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982, Bab VIII pasal 121 ayat 1) Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, di kelilingi oleh air dan selalu berada atau muncul di atas permukaan air pada saat pasang tinggi (United Nation 1983). Dari definisi tersebut, selanjutnya dapat kita lihat lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pulau kecil.

Towle (1979) in Debance (1999) menggunakan definisi pulau kecil menurut The Commonwealth Secretary yaitu pulau yang memiliki luas kurang dari 10.000 km2 dan penduduk kurang dai 500.000 jiwa. Selanjutnya dengan berlandaskan pada kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar) ditetapkan batasan tentang pulau kecil oleh para ilmuwan. Menurut para ilmuwan, yang dimaksud dengan Pulau Kecil adalah pulau dengan ukuran kurang dari 1.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km. Namun demikian, ternyata banyak pulau yang berukuran antara 1.000 dan 2.000 km2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari 1.000 km2, sehingga diputuskan oleh UNESCO (1991) bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. Hal ini sejalan dengan batasan pulau kecil yang ditetapkan kemudian dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pulau Kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2

Definisi tentang batasan pulau kecil ini kemudian dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dimana dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km

.

2

beserta kesatuan ekosistemnya. Dari uraian di atas, selanjutnya yang dimaksud dengan Pulau-Pulau Kecil atau Gugusan Pulau-Pulau Kecil adalah kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya (DKP-RI 2001).

2.1.1 Karakteristik Ekosistem dan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil

Menurut DKP-RI (2001) bahwa terdapat 4 karakteristik pulau-pulau kecil yaitu (1) secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terisolasi dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular; (2) memiliki proporsi spesies endemik lebih besar daripada yang terdapat di pulau induk; (3) daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut, akibatnya pulau kecil selalu peka terhadap kekeringan dan kekurangan air; dan (4) dari segi sosial ekonomi budaya, masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas.

Selanjutnya Adrianto (2004) mengemukakan bahwa dalam konteks faktor lingkungan, Hall (1999) membagi persoalan lingkungan di pulau-pulau kecil menjadi 2 kategori yaitu (1) persoalan lingkungan secara umum (common environmental problems); dan (2) persoalan lingkungan lokal (local environmental problems). Persoalan lingkungan secara umum didefinisikan sebagai persoalan yang terjadi hampir di seluruh pulau-pulau kecil di dunia. Persoalan ini mencakup limbah lokal, persoalan perikanan, kehutanan, penggunaan lahan dan persoalan hak ulayat pulau. Persoalan limbah terutama dihasilkan dari kegiatan manusia yang menjadi penduduk pulau kecil, sementara untuk persoalan yang menyangkut kegiatan perikanan, penangkapan ikan berlebih dan merusak telah menjadi indikasi umum dari terjadinya kerusakan kualitas sumberdaya perikanan dan lingkungan laut di pulau-pulau kecil. Sumberdaya lahan daratan seperti hutan juga merupakan persoalan lingkungan yang secara luas terjadi pulau-pulau kecil. Penebangan pohon yang tidak terkendali, kebakaran hutan dan beberapa dampak turunan seperti erosi dan hilangnya keanekaragaman hayati hutan merupakan salah satu karakteristik persoalan ini. Selain itu, persoalan tata guna lahan dan hak ulayat juga tergolong dalam persoalan lingkungan yang secara luas terjadi di pulau-pulau kecil. Pengaturan penggunaan lahan secara komprehensif dan tepat sesuai dengan peruntukannya merupakan prasyarat utama bagi pengelolaan lahan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.

Kategori persoalan lingkungan yang kedua di pulau-pulau kecil adalah persoalan lokal, yang terdiri dari hilangnya tanah baik secara fisik maupun kualitas, kekurangan air, limbah padat dan bahan kimia beracun dan problem

spesies langka. Kehilangan tanah baik dalam arti fisik maupun kualitas (kesuburan) terjadi karena erosi lahan yang juga terjadi di berbagai wilayah lainnya. Demikian juga dengan persoalan air bersih, banyak pulau-pulau kecil yang tidak memiliki cadangan air bersih yang cukup sehingga dalam beberapa hal perlu dilakukan teknik desalinisasi dari air laut ke air tawar. Limbah padat khususnya yang terkait dengan konsumsi penduduk pulau juga menjadi salah satu persoalan umum di pulau-pulau kecil (Hall 1999 in Adrianto 2004). Karakteristik lain adalah bahwa pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap bencana alam (natural disaster) seperti angin topan, gempa bumi dan banjir (Briguglio 1995; Adrianto and Matsuda 2002).

2.1.2 Potensi dan Kendala Pembangunan Pulau-Pulau Kecil

Secara umum, sumberdaya alam yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil terdiri atas sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), sumberdaya tidak dapat pulih (nonrenewable resources), dan jasa-jasa lingkungan (environmental services). Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, plankton, bentos, moluska, mamalia laut, rumput laut (seaweed), lamun (seagrass), mangrove, terumbu karang dan krustasea. Sumberdaya yang tidak dapat pulih meliputi minyak bumi dan gas, mineral, bahan tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah, bauksit serta bahan tambang lainnya, sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan adalah pariwisata dan perhubungan laut (Dahuri 1998).

Dahuri (1998) menjelaskan bahwa pulau-pulau kecil memiliki satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan (man-made). Ekosistem alami yang terdapat di pulau-pulau kecil, antara lain; terumbu karang (coral reef), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan, antara lain; kawasan pariwisata, kawasan budidaya dan kawasan permukiman.

Selanjutnya dijelaskan bahwa potensi sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal ini didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam. Perairan karang merupakan ekosistem yang subur yang banyak di huni oleh beranekaragam sumberdaya hayati. Selain itu ekosistem

terumbu karang dengan keunikan dan keindahannya juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata bahari.

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat berperan bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut dan sekitarnya maupun bagi masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembangbiak dan sebagai tempat memelihara anak. Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai penahan abrasi yang disebabkan oleh gelombang dan arus, selain itu ekosistem ini juga secara ekonomi dapat dimanfaatkan sebagai bahan kayu bakar dan bahan membuat rumah (Dahuri 1998).

Sumberdaya rumput laut banyak dijumpai di pulau-pulau kecil, hal ini karena kebanyakan wilayah pesisir di kawasan ini mempunyai perairan yang subur dan dangkal serta mempunyai ombak yang relatif kecil. Rumput laut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersial yang tinggi di samping sumberdaya perikanan. Sumberdaya ini banyak dibudidayakan oleh penduduk sekitar sebagai mata pencaharian mereka.

Dahuri (1998) menjelaskan bahwa potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Dengan keanekaragaman dan keindahan yang terdapat di pulau-pulau kecil tersebut merupakan daya tarik tersendiri di dalam pengembangan pariwisata.

Beberapa karakteristik ekosistem pulau-pulau kecil yang dapat merupakan kendala bagi pembangunan adalah:

1) Ukuran yang kecil dan terisolasi, sehingga penyediaan sarana dan prasarana menjadi sangat mahal dan sumberdaya manusia yang handal menjadi langka. 2) Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang

optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulau-pulau kecil di dunia (Brookfield 1990; Hein 1990; Dahuri 1998).

3) Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, pada akhirnya akan

menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dan menopang kehidupan manusia dan segenap kegiatan pembangunan.

4) Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) saling terkait erat satu sama lain (Mc Elroy et al. 1990; Dahuri 1998).

5) Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan.

Berdasarkan beberapa kendala tersebut, bukan berarti pulau-pulau kecil tidak dapat dibangun atau dikembangkan, melainkan pola pembangunannya harus mengikuti kaidah-kaidah ekologis, khususnya adalah bahwa tingkat pembangunan secara keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung suatu pulau, dampak negatif pembangunan hendaknya ditekan seminimal mungkin sesuai dengan kemampuan ekosistem pulau. Selain itu, setiap kegiatan pembangunan yang akan dikembangkan di suatu pulau seyogyanya memenuhi skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan serta sesuai dengan budaya lokal (Dahuri 1998).

2.1.3 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Cicin Sain (1993) in Adrianto (2004) mengemukakan bahwa strategi pengelolaan lingkungan di pulau-pulau kecil sudah sejak lama dilakukan secara parsial dan individualistik. Strategi pengelolaan seperti ini gagal memahami bahwa seluruh komponen kegiatan di pulau-pulau kecil terkait satu sama lain dan bahwa interaksi dan hasil dari seluruh kegiatan di pulau-pulau kecil dapat menciptakan reaksi berganda sekaligus berantai dari persoalan dan tekanan terhadap ekosistem dan komunitas di pulau-pulau kecil. Selanjutnya dikatakan bahwa seluruh kegiatan sosial ekonomi masyarakat di pulau-pulau kecil memiliki dampak langsung terhadap lingkungan daratan dan laut. Selain itu pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap bencana alam seperti angin topan, gempa bumi, dan kenaikan permukaan laut.

Dalam konteks ini maka Cambers (1992) in Adrianto (2004) menganjurkan bahwa strategi pengelolaan pulau-pulau kecil harus dapat mengkaitkan seluruh kegiatan dan stakeholders yang ada di pulau-pulau kecil dengan menggunakan pendekatan terkoordinasi. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pulau-pulau

kecil paling tidak terdapat 5 proses, yaitu proses alam, proses sosial, proses ekonomi, perubahan iklim, dan proses pertemuan antara daratan dan laut yang masing-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 3 komponen pulau-pulau kecil yaitu sistem lingkungan daratan, sistem lingkungan laut, dan sistem aktikvitas manusia, sehingga harus dikelola secara terpadu. Dalam konteks keterpaduan, maka pendekatan berbasis keberlanjutan sistem wilayah pesisir di pulau-pulau kecil menjadi sebuah syarat mutlak.

Bengen (2002a) mengatakan bahwa pentingnya pengelolaan pulau-pulau kecil secara terpadu karena: ukuran pulau kecil yang terbatas, sehingga pulau kecil tidak berdiri sendiri tetapi memiliki keterkaitan fungsional sebagai gugus pulau; adanya keterkaitan ekologis antar ekosistem pesisir; pemanfaatan sumberdaya pesisir yang beragam (dapat menimbulkan berbagai konflik); pulau-pulau kecil dihuni oleh berbagai kelompok masyarakat dengan preferensi yang berbeda; dan adanya sifat common property dari sumberdaya pesisir. Lebih lanjut dikatakan bahwa pengelolaan terpadu adalah pengelolaan secara komprehensif dengan memperhatikan secara mendalam dan menyeluruh sumberdaya alam yang unik; mengoptimalkan pemanfaatan serbaneka ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut; mengintegrasikan aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya dalam pengelolaan; serta meningkatan pendekatan interdisiplin dan koordinasi antar sektor dalam masalah pesisir. Sedangkan target pengelolaan pulau-pulau kecil adalah untuk mempertahankan dan memperbaiki kualitas sumberdaya dan lingkungan pesisir, serta meningkatkan kualitas sosial dan ekonomi masyarakat pesisir.

Dalam kaitannya dengan program pemanfaatan pulau-pulau kecil di Indonesia, maka yang diperlukan adalah beberapa aspek normatif, akurat dan data baru. Berdasarkan kondisi, potensi dan peluang dalam optimasi sumberdaya maka Hidayat (1998) mengusulkan beberapa bahan pertimbangan sebagai berikut: (1) keterpaduan dan keberlanjutan; (2) pemberian nilai ekonomi lingkungan; (3) penataan ruang; (4) pengamanan fungsi lindung; (5) pemberdayaan masyarakat setempat; (6) peningkatan pendapatan masyarakat; (7) pengendalian pencemaran dan kualitas air; dan (8) pembangunan kawasan pemukiman.

Dalam konteks arahan pengelolaan pulau-pulau kecil, kegiatan pemanfaatannya hanya diperuntukan bagi kegiatan berbasis konservasi. Artinya, pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploratif-destruktif tidak disarankan untuk dilaksanakan. Hal ini mengingat bahwa pulau-pulau kecil memiliki sejumlah kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pengelolaan pulau-pulau besar (mainland). Atas dasar karakteristik pulau-pulau kecil, maka arahan peruntukan dan pemanfaatannya hanya beberapa kegiatan yang dapat memanfaatkan potensi sumberdaya pulau-pulau kecil, antara lain perikanan tangkap, perikanan budidaya laut, dan pariwisata (Bengen 2002b; Fauzi dan Anna 2005). Kriteria dari beberapa kegiatan tersebut seperti ditunjukan pada Tabel 1. Selanjutnya uraian dari kriteria umum untuk penentuan pemanfaatan pulau-pulau kecil seperti ditunjukan pada Lampiran 2.