• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang memberikan sebuah nuansa baru dalam kegiatan penataan ruang di daerah. Undang-undang tersebut telah memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengelola penataan ruang wilayahnya sehingga produk penataan ruang diharapkan lebih luwes dan fleksibel untuk mengantisipasi perkembangan dan dinamika masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian di ganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah diberi kewenangan dalam mengatur, membagi dan memanfaatkan sumberdaya alam maupun sumberdaya lainnya yang dimiliki oleh daerah tersebut. Kewenangan yang diberikan memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam melakukan pengaturan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya alam yang dimilikinya.

Tata Ruang dalam pandangan pemerintah merupakan pengaturan ruang berdasarkan berbagai fungsi dan kepentingan tertentu atau pengaturan tempat bagi berbagai aktivitas manusia. Untuk memenuhi kebutuhan semua pihak dengan adil, menghindari persengketaan serta untuk menjamin kelestarian lingkungan maka dibutuhkan suatu proses yaitu penataan ruang. Dalam penataan ruang, berbagai sumberdaya alam ditata dari segi letak dan luas sebagai suatu kesatuan dengan memperhatikan keseimbangan antara berbagai pemanfaatan antara lain kawasan pertambangan dengan kawasan hutan lindung. Hasil dari penataan ruang ini kemudian disebut sebagai Rencana Tata Ruang.

Dalam melaksanakan perencanaan pembangunan daerah khususnya dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya alam, pemerintah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur masing-masing telah menyusun Rencana Tata Ruang sebagai dasar dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan kepentingan dan potensi yang dimiliki.

115

Kesesuaian Pemanfaatan Ruang antara Wilayah Penelitian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Rencana pemanfaatan ruang wilayah Kota Bontang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bontang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bontang. Pola pemanfaatan ruang Kota Bontang tahun 2001-2010 terdiri dari kawasan budidaya dan kawasan lindung. Pola pemanfaatan ruang kawasan budidaya meliputi kawasan perumahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan pemerintahan dan bangunan umum, kawasan industri, kawasan militer, kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta jaringan jalan dan sarana transportasi. Pola pemanfaatan ruang kawasan lindung meliputi Taman Nasional Kutai, kawasan hutan lindung dan resapan air, kawasan sempadan pantai, sungai, dan kawasan/ruang terbuka hijau kota, serta kawasan pantai berhutan bakau, laut, dan perairan.

Rencana pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Kutai Timur diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Timur. Pola pemanfaatan ruang Kabupaten Kutai Timur tahun 2001-2005 terdiri atas kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional, kawasan kehutanan, kawasan budidaya perkebunan/pertambangan/ pemukiman, dan areal yang diperuntukkan untuk pencadangan tanah/lokasi transmigrasi.

Hasil overlay lokasi pertambangan dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menunjukkan bahwa lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri memiliki fungsi pemanfaatan ruang sebagai kawasan kehutanan dan kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional, sedangkan lokasi industri PT Badak NGL memiliki fungsi pemanfaatan ruang sebagai kawasan industri.

Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat serta desa non-dampak yaitu Desa Kandolo berdasarkan Peta RTRW Kabupaten Kutai Timur memiliki fungsi pemanfaatan ruang sebagai kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional. Sedangkan berdasarkan Peta RTRW Kota Bontang, Kelurahan Bontang Lestari memiliki fungsi pemanfaatan ruang sebagai Hutan Lindung, RTH, kawasan pemerintahan dan bangunan umum, hutan bakau,

116

kawasan perikanan, pemukiman dan kawasan militer, sedangkan Kelurahan Kanaan memiliki fungsi pemanfaatan ruang sebagai hutan lindung, pemukiman, dan RTH.

Adapun kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah penelitian dengan Peta RTRW Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur disajikan selengkapnya pada Tabel 26 dan digambarkan dalam Peta Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Wilayah Penelitian dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (Lampiran 23).

Tabel 26 Fungsi pemanfaatan ruang wilayah penelitian sesuai dengan Peta RTRW

No. Lokasi Pemanfaatan sekarang

Rencana pemanfaatan sesuai RTRW 1 PT Indominco Mandiri Kawasan pertambangan Kawasan kehutanan

Kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional

2 PT Badak NGL Kawasan industri Kawasan Industri 3 Desa Suka

Damai

Pemukiman, Hutan Lindung

Kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional 4 Desa Suka Rahmat Pemukiman, Hutan Lindung

Kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional 5 Kelurahan Bontang Lestari Pemukiman, Hutan Lindung Hutan Lindung Ruang Terbuka Hijau Kawasan pemerintahan dan bangunan umum Hutan bakau Kawasan perikanan Pemukiman Kawasan militer 6 Kelurahan Kanaan

Pemukiman Hutan lindung Pemukiman

Ruang Terbuka Hijau 7 Desa Kandolo Pemukiman,

Taman Nasional

Kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional

117

Lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri belum diakomodir dalam RTRW Kabupaten Kutai Timur sebagai kawasan pertambangan meskipun keberadaan PT Indominco Mandiri di lokasi tersebut jauh sebelum penetapan RTRW Kabupaten Kutai Timur. PT Indominco Mandiri mulai melakukan penambangan pada tahun 1996, sedangkan RTRW Kabupaten Kutai Timur ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Timur. Lokasi pertambangan lain yang belum terakomodir dalam RTRW namun telah operasional dan berproduksi di wilayah Kabupaten Kutai Timur adalah PT Kitadin. Dilain pihak, lokasi pertambangan PT Kaltim Prima Coal yang lebih dulu eksis dalam pertambangan telah terakomodir dalam RTRW. Bahkan atas usulan pemerintah daerah setempat, lokasi pertambangan PT Kaltim Prima Coal yang tadinya memiliki fungsi sebagai kawasan hutan telah berubah fungsi menjadi APL.

Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Kutai Timur untuk tidak memasukkan wilayah kerja pertambangan PT Indominco Mandiri sebagai kawasan pertambangan dapat dipandang dari berbagai sisi. Apabila dipandang dari sisi lingkungan, hal ini akan sangat berarti dalam upaya mempertahankan fungsi ekologis dan hidroologis dari areal tersebut sebagai kawasan hutan khususnya areal yang berada pada Hutan Lindung dan Taman Nasional Kutai. Proses penambangan batubara yang dilakukan oleh PT Indominco Mandiri adalah tambang terbuka (open pit mining) dengan metode gali-isi kembali (back filling method). Hal ini menyebabkan terjadinya pembukaan kawasan hutan secara luas dan pengupasan permukaan tanah yang menyebabkan terjadinya kubangan-kubangan raksasa.

Sesuai dengan pasal 45 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan di luar kehutanan yang mengakibatkan kerusakan hutan wajib melakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan Pemerintah. Oleh karena itu, reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan. Dengan demikian, setelah kegiatan penambangan selesai maka kawasan tersebut dapat dikembalikan kepada peruntukannya semula. Namun hal ini memerlukan pengawasan yang intensif dan koordinasi antar instansi terkait agar perusahaan

118

pertambangan melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya. Lemahnya pengawasan dan koordinasi antar instansi terkait akan menyebabkan kerusakan hutan melalui pengurasan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui.

Dipandang dari sisi lain, ketidaksesuaian pemanfaatan ruang lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri merupakan suatu pelanggaran terhadap produk hukum yang telah dibuat oleh Pemerintah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang bahwa pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang diberikan pengenaan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun belum ada peraturan yang secara tegas dan jelas merumuskan bentuk pengenaan sanksi tersebut.

Ketidaksesuaian pemanfaatan ruang untuk lokasi pertambangan juga dapat menimbulkan konflik antar sektor. Salah satu bentuk konflik sektor pertambangan dengan sektor lainnya antara lain adalah konflik dalam penataan dan pemanfaatan ruang dan penggunaan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan. Menurut Bappenas (2004) penyebab konflik tersebut antara lain adalah sulitnya mengakomodasi kegiatan pertambangan ke dalam penataan ruang serta tumpang tindih pemanfaatan ruang dengan lahan kehutanan. Namun hal tersebut sebenarnya dapat diselesaikan apabila ada koordinasi antar instansi terkait khususnya dalam pemberian ijin lokasi untuk kegiatan pertambangan.

Kuasa pertambangan eksploitasi umumnya memiliki izin operasional selama tiga puluh tahun. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalam penyusunan RTRW seharusnya pemerintah daerah mempertimbangkan keberadaan kegiatan pertambangan di wilayahnya khususnya yang sudah dalam tahap eksploitasi atau produksi. Pada tahap eksploitasi, kegiatan pertambangan melakukan pembukaan lahan yang cukup besar baik untuk penambangan bahan galian maupun untuk pembangunan sarana pendukung yang sifatnnya permanen antara lain perkantoran, perumahan, jalan, unit pengolahan, dan lainnya.

Apabila kegiatan pertambangan telah berakhir dan perusahaan pertambangan telah menyelesaikan kewajibannya termasuk reklamasi dan rehabilitasi lahan, maka lokasi tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam rencana pemanfaatan ruang sesuai dengan peruntukan semula atau peruntukan yang baru sesuai dengan rencana pemanfaatan yang baru. Sesuai dengan

119

Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, jangka waktu RTRW Kabupaten adalah sepuluh tahun sehingga setelah jangka waktu berakhir maka dapat dilakukan review RTRW.

Salah satu contoh penetapan pemanfaatan lokasi pertambangan dalam RTRW sebagai kawasan pertambangan meskipun memiliki fungsi sebagai kawasan hutan adalah lokasi pertambangan PT Semen Cibinong di Propinsi Jawa Barat. Hal ini ditempuh sebagai salah satu kebijakan pemerintah daerah untuk menghindari pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW.

Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, dan Desa Kandolo merupakan desa definitif, namun dalam RTRW Kabupaten Kutai Timur merupakan kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional. Ketidaksesuaian rencana pemanfaatan ruang dengan kondisi riil di lapangan menunjukkan bahwa penyusunan RTRW belum mempertimbangkan keadaan eksisting di lapangan. Ketiga desa tersebut merupakan hasil pemekaran dari Desa Teluk Pandan yang keberadaannya jauh sebelum terbentuknya Kabupaten Kutai Timur. Bahkan ketiga desa tersebut lepas dari desa induknya setelah Kabupaten Kutai Timur menjadi daerah otonom. Sebagai dampak belum terakomodirnya pemukiman dalam RTRW, masyarakat pada ketiga desa tersebut belum bisa memiliki dokumen legal sebagai bukti kepemilikan lahan secara sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemanfaatan ruang untuk lokasi industri PT Badak NGL telah sesuai dengan rencana pemanfaatan ruang dalam RTRW Kota Bontang sebagai kawasan industri. Demikian pula dengan pemukiman masyarakat yang berada pada Kelurahan Bontang Lestari dan Kelurahan Kanaan telah sesuai dengan pemanfaatan ruang dalam RTRW Kota Bontang. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Kota Bontang telah mengakomodir penggunaan ruang riil di lapangan ke dalam RTRW dan pemanfaatan ruang telah dilakukan sesuai dengan RTRW.

120

Kesesuaian Fungsi Peruntukan Kawasan antara Wilayah Penelitian dengan Kawasan Hutan

Pemberian wilayah konsesi pertambangan seringkali tidak mempertimbangkan status tanah maupun kepemilikan tanah tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya tumpang tindih antara lokasi pertambangan dengan kawasan hutan dan lahan milik masyarakat. Tumpang tindih penggunaan lahan merupakan salah satu pemicu timbulnya konflik baik antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat, perusahaan pertambangan dengan pemegang ijin pemanfaatan kawasan hutan, maupun antar instansi sektoral terkait.

Hasil overlay antara lokasi pertambangan, desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak dengan Peta TGHK Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan bahwa seluruh wilayah tersebut pada awalnya merupakan kawasan hutan (Lampiran 24). Seiring dengan terjadinya pengembangan wilayah dan perkembangan pembangunan daerah maka kebutuhan akan lahanpun semakin meningkat sehingga terjadi perubahan penggunaan lahan. Hal ini tercermin dalam Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur yang merupakan hasil paduserasi TGHK dan RTRWP yang menunjukkan bahwa terjadi pengurangan luas kawasan hutan. Pengurangan luas kawasan hutan ini terjadi dalam rangka mengakomodir kebutuhan akan lahan baik untuk pemukiman, kawasan industri, pembangunan infrastruktur, dan lainnya sebagai bagian dari upaya pengembangan wilayah.

Hasil overlay lokasi pertambangan, desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak dengan Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kawasan industri PT Badak NGL yang semula memiliki fungsi sebagai HP telah berubah fungsi menjadi APL. Sebagian wilayah Kelurahan Bontang Lestari dan Kelurahan Kanaan berubah fungsi mejadi APL khususnya yang menjadi pemukiman masyarakat. Sebaliknya sebagian lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri, Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, Kelurahan Bontang Lestari, dan Kelurahan Kanaan yang wilayahnya merupakan kawasan HP, HPK, dan APL berubah fungsi menjadi HL, sedangkan wilayah Desa Kandolo sebagai desa non-dampak fungsinya tetap merupakan TN baik pada TGHK maupun Paduserasi TGHK-RTRW (Lampiran 25).

121

Hasil overlay antara wilayah penelitian dengan Peta TGHK Kalimantan Timur dan Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan bahwa terjadi perubahan fungsi kawasan hutan pada sebagian besar wilayah penelitian baik pada lokasi pertambangan maupun desa/kelurahan sebagai lokasi pemukiman masyarakat (Tabel 27).

Tabel 27 Fungsi kawasan hutan wilayah penelitian berdasarkan TGHK dan Paduserasi TGHK-RTRWP Fungsi No. Lokasi TGHK Paduserasi TGHK-RTRW 1 PT Indominco Mandiri TN, HP, HPK HL, HP, TN 2 PT Badak NGL HP APL

3 Desa Suka Damai HP, HPK HL

4 Desa Suka Rahmat TN, HP, HPK, APL HL, TN 5 Kelurahan Bontang Lestari HP, HPK HL, APL

6 Kelurahan Kanaan HPK HL, APL

7 Desa Kandolo TN TN

Keterangan :

TN : Taman Nasional HL : Hutan Lindung HP : Hutan Produksi tetap

HPK : Hutan produksi yang dapat dikonversi APL : Areal Penggunaan lain

Keberadaan lokasi pertambangan di dalam kawasan hutan dimungkinkan melalui pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Namun di dalam kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Jadi, apabila PT Indominco Mandiri melakukan penambangan di dalam hutan lindung berarti melakukan suatu pelanggaran hukum.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan pertambangan melalui Departemen Energi dan sumber Daya Mineral telah melakukan berbagai upaya

122

sehingga pemerintah memberikan kesempatan kepada tigabelas lokasi pertambangan untuk melakukan penambangan terbuka di dalam hutan lindung dengan cara melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Meskipun mendapat protes dari berbagai pihak, namun Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan persetujuan sehingga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tanggal 13 Agustus 2004. Menindaklanjuti undang-undang tersebut Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2004 tanggal 29 September 2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Kegiatan Pertambangan. PT Indominco Mandiri merupakan salah satu dari ketiga belas lokasi pertambangan yang mendapatkan peluang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka dalam kawasan hutan lindung.

Keberadaan pemukiman dalam kawasan konservasi merupakan salah satu permasalahan yang dialami oleh hampir semua kawasan TN di Indonesia. Ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya pemukiman dalam TN antara lain pemukiman tersebut telah ada sebelum areal tersebut ditetapkan sebagai TN dan muncul akibat perambahan hutan.

Taman Nasional Kutai (TNK) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/82 tanggal 14 Oktober 1982 dan dideklarasikan sebagai Taman Nasional pada Kongres Taman Nasional Sedunia di Bali. TNK awalnya merupakan hutan persediaan sesuai dengan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda (GB) Nomor 3843/AZ tanggal 7 Mei 1934. Pada tahun 1936, Kerajaan Kutai kemudian menetapkan kawasan hutan tersebut sebagai Suaka Margasatwa Kutai melalui Keputusan Pemerintah Kerajaan Kutai (ZB) Nomor 80/22.ZB/1936. Sebelum berubah fungsi menjadi TN, didalamnya sudah terdapat pemukiman masyarakat berupa kampung-kampung yang letaknya terpisah yang saat ini telah menjadi desa definitif antara lain Desa Sangatta Selatan, Desa Singah Geweh, Desa Sangkima, dan Desa Teluk Pandan.

Dalam era otonomi daerah, Kabupaten Kutai Timur memisahkan diri dari kabupaten induknya menjadi daerah otonom. Hal ini diikuti dengan pemekaran Desa Teluk Pandan menjadi beberapa desa antara lain Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, dan Desa Kandolo. Namun pemerintah Kabupaten Kutai Timur

123

telah mengajukan permohonan enclave terhadap desa-desa yang berada dalam TNK.

Perubahan fungsi kawasan hutan dari hutan produksi menjadi hutan lindung seperti yang terjadi pada lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri, Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, Kelurahan Bontang Lestari, dan Kelurahan Kanaan merupakan usulan dari pemerintah daerah setempat. Penunjukkan areal tersebut menjadi hutan lindung merupakan penunjukan parsial kawasan hutan Bontang sebagai Hutan Lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 230/KPTS-VII/1987 tanggal 27 Juli 1987. Namun sampai sekarang status kawasan Hutan Lindung Bontang masih sebagai penunjukan kawasan hutan lindung meskipun telah dilakukan penataan batas pada tahun 1992. Penetapan kawasan Hutan Lindung Bontang baru dapat dilakukan apabila segala permasalahan yang ada di lapangan baik menyangkut batas maupun hak-hak masyarakat telah diselesaikan.

Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan atau APL pada kawasan industri PT Badak NGL, Kelurahan Bontang Lestari, dan Kelurahan Kanaan merupakan usulan pemerintah daerah yang tertuang dalam RTRWP. Perubahan fungsi tersebut dilakukan dengan pertimbangan untuk mengakomodir kepentingan masyarakat dan pembangunan daerah. Seiring dengan perkembangan kota dan pertambahan jumlah penduduk, maka kebutuhan akan lahanpun semakin meningkat untuk pembangunan infrastruktur dan pemukiman penduduk.

Ikhtisar

Pemanfaatan ruang untuk lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri dan pemukiman masyarakat Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, dan Desa Kandolo belum sesuai dengan rencana peruntukan ruang yang tertuang dalam RTRW Kabupaten Kutai Timur.

Pemanfaatan ruang untuk lokasi industri PT Badak NGL dan pemukiman masyarakat Kelurahan Bontang Lestari dan Kelurahan Kanaan telah sesuai dengan rencana peruntukan yang tertuang dalam RTRW Kota Bontang.

Berdasarkan Peta TGHK Provinsi Kalimantan Timur, pada awalnya seluruh wilayah penelitian merupakan kawasan hutan. Namun seiring dengan

124

perkembangan pembangunan daerah, kebutuhan akan lahan pun semakin meningkat untuk kebutuhan pemukiman masyarakat dan pembangunan infrastruktur. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan fungsi kawasan hutan dan pengurangan luas kawasan hutan yang tercermin dalam Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimanatan Timur.

Adapun kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan ruang lokasi pertambangan dan pemukiman masyarakat disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28 Kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan ruang lokasi pertambangan dan pemukiman

Kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan ruang No Peruntukan/pemanfaatan

ruang

Kota Bontang Kabupaten Kutai Timur 1 Peta RTRW

Lokasi pertambangan Sesuai Tidak sesuai

Pemukiman Sesuai Tidak sesuai

2 Peta TGHK

Lokasi pertambangan Hutan Hutan

Pemukiman Hutan Hutan

3 Peta Kawasan Hutan

Lokasi pertambangan Non hutan Hutan

Pemukiman Non hutan Hutan