• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN SOSIAL, EDUCATIF, DAN PROFESI GURU

KESETARAAN GENDER

Kesetaraan Gender

PAKET 10

KESETARAAN GENDER

Bagian ini mendiskusikan tentang kesetaraan gender. Sebagai sebuah konstruk budaya dan sosial, gender memang telah memberikan makna terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dengan makna yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan tersebut, masyarakat membuat pembagian kerja atau peran antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pembagian peran tersebut dalam kenyataannya tidak didasarkan pada asas kesetaraan dan keadilan, bahwa lak-laki dan perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama sebagai manusia. Realita yang terjadi adalah pembagian peran laki-laki dan perempuan lebih banyak didasarkan pada budaya patriarki, yaitu budaya yang lebih banyak didominasi oleh peran laki-laki. Bagaimana pendidikan dapat merubah mindset peserta didik tentang peran gender dalam masyarakat? Berikut uraiannya.

A. Konsep Dasar Gender

Gender (pengucapan bahasa Indonesia: gènder) dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat. WHO (World Health Organization) memberi batasan gender sebagai "seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat."1

Konsep gender berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang bersifat biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat saling dipertukarkan. Dalam isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), gender dikaitkan dengan orientasi seksual. Seseorang yang merasa identitas gendernya

Kesetaraan Gender

tidak sejalan dengan jenis kelaminnya dapat menyebut dirinya "intergender", seperti dalam kasus waria (wanita pria).2

Dalam konsep gender, yang dikenal adalah peran gender individu di masyarakat, sehingga orang mengenal maskulinitas dan femininitas. Sebagai ilustrasi, sesuatu yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminin dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosial-budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.3

Sebagai sebuah konstruk budaya dan sosial, gender memang telah memberikan makna terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dengan makna yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan tersebut, masyarakat membuat pembagian kerja atau peran antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pembagian peran tersebut dalam kenyataannya tidak didasarkan pada azas kesetaraan dan keadilan, bahwa lak-laki dan perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama sebagai manusia. Realita yang terjadi adalah pembagian peran laki-laki dan perempuan lebih banyak didasarkan pada budaya patriarki, yaitu budaya yang lebih banyak didominasi oleh peran laki-laki.

Pengingkaran atas azas kesetaraan dan keadilan ini telah melahirkan banyak kesengsaraan bagi kaum perempuan, bukan hanya kesengsaraan secara fisik, tapi juga secara psikologis. Kesengsaraan secara fisik dan psikologis yang diterima oleh perempuan dapat dilihat dalam bentuk kekerasan kepada perempuan. Secara statistik kasus kekerasan pada perempuan pada tahun 2004 mencapai 14.020 kasus. Angka ini mengalami kenaikan hampir 100 persen dari tahun sebelumnya, yaitu 7.787 di tahun 2003. Dari 14.020 kasus KTP (kekerasan terhadap perempuan) ini sebanyak 4.310 adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga, 2.470 kasus terjadi dalam komunitas, 6.634 kasus terjadi dalam rumah atau komunitas, 562 kasus trafiking

2 Ibid.. 3 Ibid..

Kesetaraan Gender

dan 302 kasus merupakan kasus yang pelakunya adalah aparat negara.4 Menurut catatan Komnas Perempuan dari tahun ke tahunnya angka KTP ini terus meningkat, pada tahun 2001 ketika Komnas Perempuan pertama kali mencoba melakukan pendataan, telah mencatat sebanyak 3.160 kasus dan mengalami peningktan pada tahun 2002 menjadi 5.163 kasus KTP (JP Online, 2005). Kekerasan yang dialami oleh perempuan secara umum merupakan refleksi dari budaya dominasi laki-laki.

Akibat lain dari adanya ketidakadilan dan kesetaraan gender adalah munculnya rasa tidak percaya diri (self confidance) pada diri perempuan, karena memandang dirinya sebagai ”kaum ke dua” setelah kaum laki-laki. Konsep diri yang negatif dalam diri kaum perempuan inilah yang akhirnya menimbulkan perasaan rikuh, malu, merasa bersalah, tidak berdaya, tidak pantas, ketika harus berkiprah dalam masyarakat bersama-sama dengan kaum laki-laki. Sehingga perasaan-perasaan tersebut menggiring kaum perempuan untuk menghindari kompetisi dengan kaum laki-laki, dengan memilih peran-peran domestik yang membuat mereka merasa ”nyaman dan aman” atau peran-peran yang tidak menimbulkan kompetisi dengan kaum laiki-laki dan secara langsung sudah menjadi ketetapan masyarakat bahwa peran tersebut cocok untuk kaum perempuan (misalnya sebagai sekretaris, guru Taman Kanak-Kanak, perawat dan lain sebagainya).

Kalau kita gali lebih dalam lagi masih banyak lagi data-data yang menunjukkan adanya ketimpangan dalam hal kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan, yang menunjukkan bahwa dalam masyarakat kita, ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender ini masih menjadi masalah. Salah satu penyebabnya adalah belum dipahaminya secara tegas identitas diri perempuan maupun laki-laki, apakah sebagai identitas kodrati, sosial, dan biologi.

Ketika fakta telah ditemukan, bahwa ketidakadilan yang menimpa perempuan dalam masyarakat berakar pada pembagian peran sosial laki dan perempuan, maka perlu adanya usaha untuk

Kesetaraan Gender

menciptakan kesetaraan dan keadilan gender, karena jika tidak, proses perendahan martabat kemanusiaan dalam masyarakat akan selalu berlangsung terus. Salah satu usaha yang perlu ditekan sejak awal adalah bagaimana membuka wawasan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender sebagai salah satu elemen penting untuk membentuk tatanan masyarakat madani, yaitu tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi.

Hal pertama dan penting untuk diperhatikan dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah pemahaman tentang konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat penting karena pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan, karena ada keterkaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara luas.5 B. Perbedaan Jenis Kelamin (Seks) dan Gender

Pemahaman konsep tentang gender dan seks seringkali mengalami kerancuan dan saling tumpang tindih, sehingga hal ini meyebabkan ketidakjelasan makna gender dan seks yang berakibat timbulnya kekeliruan dalam pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Oleh karena itu, menurut Mansour Fakih, perlu dibedakan antara kata gender dengan kata seks sehingga menjadi jelas apa yang dimaksud dengan konsep gender dan apa yang dimaksud konsep seks.6

Seks (jenis kelamin) mempunyai arti pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Berdasarkan konsep seks ini terjadilah pensifatan bahwa laki-laki mempunyai penis, jakun

5 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1997).

Kesetaraan Gender

(kalamenjing), dan mengeluarkan sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, mempunyai alat untuk menyusui. Masing-masing ciri-ciri biologis yang dianugerahkan Tuhan kepada laki-laki dan perempuan tersebut, tidak dapat saling dipertukarkan. Laki-laki misalnya, tidak dapat mengandung, melahirkan, dan menyusui anaknya. Sebaliknya perempuan tidak memiliki penis dan tidak dapat mengeluarkan sperma. Lihat perbedaan konsep seks dan konsep gender:7