• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini, adalah :

1. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya Tindak Pidana Penistaan Agama di Indonesia, adalah :

1. Kegagalan Pembinaan Agama

Semua ormas dan orsospol Islam harus mengakui bahwa mereka boleh dibilang masih gagal dalam membina aqidah umat. Pembinaan yang serius boleh jadi belum berhasil sepenuhnya. Di tataran akar rumput harus diakui bahwa umat ini masih belum mendapat sentuhan tarbiyah dan pembinaan. Fenomena maraknya pengajian dan ceramah baru menyentuh lapis terluar. Sedangkan akar rumput rakyat yang terselip di sana-sini, luput dari sentuhan pembinaan.

Kondisi ini dapat dikatakan muncul akibat kurangnya perhatian tokoh agama pada umatnya. Ketika orang-orang yang dianggap sebagai panutan umat terkesan hanya sibuk mengurusi kepentingan diri sendiri, golongan maupun menceburkan diri kedalam ranah politik, maka wajar bila sebagian dari umat yang tergolong awam mencari pegangan lain. Kalangan awam ini, pada prinsipnya, tidak mempersoalkan apakah ajaran baru yang mereka peroleh menyimpang dari norma-norma akidah. Yang mereka butuhkan adalah untaian kalimat sejuk dan perhatian dari orang yang dianggap sebagai panutan.

2. Lemahnya Penegakan Hukum (Law Enforcement)

Peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya juga sudah mengatur mengenai tindak pidana penistaan agama, tetapi tidak diketahui penyebab yang

Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009

pasti mengapa peraturan tersebut kurang efektif. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

3. Munculnya Pembela Aliran Sesat

Aliran sesat yang sudah banyak ini semakin subur ketika kelompok liberalis ikut-ikutan membela. Alasan yang paling banyak adalah alasan kebebasan memilih agama dan kebebasan untuk menafsirkan ajaran agama adalah merupakan hak asasi yang tidak boleh dilanggar.

Kelompok liberal dan sekuler semakin gencar mengkampanyekan pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah memfatwakan beberapa aliran sesat, seperti al-Qiyadah al-Islamiyah, ahmadiyah dan sebagainya. Menurut mereka, fatwa MUI tentang aliran sesat terhadap jamaah ahmadiyah merupakan pelanggaran HAM, kebebasan dalam memeluk keyakinan dan ajaran tertentu. Selanjutnya fatwa MUI tersebut dianggap telah mengecam pluralisme dan berpotensi memicu kekerasan dan tindak in-toleransi. Dengan fatwa ini massa merasa memiliki legitimasi untuk melakukan aksi kekerasan terhadap jamaah ahmadiyah.Untuk itu, MUI harus bertanggung jawab dan harus dilaporkan ke pengadilan.

4. Media Tidak Berpihak kepada Umat Islam

Umat Islam hari ini tidak punya media. Itu realita yang tidak ada seorang pun yang bisa menyanggahnya. Umat Islam tidak punya televisi, tidak punya kantor berita, tidak punya jaringan pers nasional apalagi dunia.

Maka munculnya aliran sesat di media, pada akhirnya mengarahkan agar umat jangan sampai terlibat, yang terjadi justru pembelaan kalangan pers kepada

Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009

aliran-aliran itu. Salah satu televisi swasta nasional malah membuat sebuah liputan yang menggambarkan bagaimana anarkisme dilakukan oleh umat Islam, membakar dan meruntuhkan sebuah markas aliran sesat sambil meneriakkan lafadz Allahu akbar. Dalam hal ini melihat adegan seperti ini dapat menimbulkan penafsiran dan mendudukkan umat Islam sebagai penjahat.

Usaha penanggulangan yang dapat dilakukan untuk tindak pidana penistaan agama ini adalah, sebagai berikut :

a. Usaha Preventif (Usaha Pencegahan)

1). Para tokoh agama Islam mestilah kembali ke pangkuan umatnya. Saatnya umat diurus lagi dan para ulama tidak boleh lagi menyalahkan satu sama lain. Seperti dinasihatkan oleh Ketua Dewan Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin dalam acara Pertemuan Kiai se-Indonesia di Pesantren Nurul Huda Al Islami, Pekanbaru, Riau Pada 25 Agustus 2007, dimana para ulama harus seperti bulan yang menyinari semua alam (public interests). Bukan seperti bintang, yang hanya bersinar untuk dirinya sendiri (personal interest). Ceramah-ceramah agama pun sudah harus disampaikan dengan cara-cara yang sejuk, damai dan ramah

(friendly) agar umat merasa nyaman, bukan dibayangi oleh ketakutan.

2). Departemen Agama wajib merespons dengan cepat setiap muncul keresahan tentang penyimpangan akidah di masyarakat. Sikap lambat Depag justeru merugikan kalangan awam yang memerlukan kepastian soal kebenaran agama yang selama ini mereka yakini. Ketiga, Polri dan jajaran intelijen di negeri ini harus pula mewaspadai adanya strategi asing yang hendak merusak stabilitas nasional. Jika Indonesia sebagai negara Muslim terbesar sukses dihancurkan akidahnya, maka akan selanjutnya negeri ini akan mudah untuk diadu domba.

Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009

Perlu diingat bahwa Tanah Air kita tercinta ini terdiri dari ribuan pulau dengan beragam suku dan bahasa, yang tentu rentan dengan percikan api permusuhan. Untuk itu kita wajib berdoa agar Bangsa Indonesia selamat dari bahaya disintegrasi dan penghancuran terselubung, baik oleh elemen internal maupun eksternal. Menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia sama artinya dengan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu sendiri. Ini, jika keutuhan NKRI masih dirasa perlu untuk dipertahankan.

3). Setiap umat Islam seharusnya lebih membekali diri dengan pengetahuan dan pemahaman agama yang cukup. Mereka yang merasa dirinya cukup berilmu dan ‘mampu untuk berijtihad’, janganlah berlaku semena-mena, bahkan terlalu over, dalam mengutak-atik ajaran Islam. Tindakan ini sangat berpotensi sampai ke gerbang kesesatan dan menyesatkan orang lain, karena segmen semacam ini bukanlah bagian dari kebebasan beragama. Allah memang memberikan ruang cukup besar untuk berpikir, tetapi harus tetap berada dalam lingkaran koridor aqidah yang benar.

b. Usaha Repressif (Tindakan Penanggulangan )

Selain penahanan terhadap tokohnya, pemerintah juga akan membina para pengikut aliaran sesat. Seperti yang terjadi pada sejumlah umat Islam di Jawa Barat dan Jakarta telah merasa terganggu dengan munculnya aliran ini sebab dinilai menyimpang dari ajaran agama Islam. Sebelumnya, sekitar 100 orang anggota Front Pemuda Islam (FPI) Jawa Barat berunjuk rasa ke DPRD Jawa Barat, mendesak penegak hukum agar pimpinan al-Qiyadah, Ahmad Mushaddeq dihukum mati sesuai syariat Islam.

Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009

Selain UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang selama ini dijadikan dasar hukum, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan kriteria suatu aliran dapat digolongkan tersesat. Namun, tidak semua orang dapat memberikan penilaian suatu aliran dinyatakan keluar dari nilai- nilai dasar Islam. Suatu paham atau aliran keagamaan dapat dinyatakan sesat bila memenuhi salah satu dari sepuluh kriteria. Kriteria tersebut tidak dapat digunakan sembarang orang dalam menentukan suatu aliran itu sesat dan menyesatkan atau tidak. Ada mekanisme dan prosedur yang harus dilalui dan dikaji terlebih dahulu, sehingga bagi MUI sebenarnya tidak gampang untuk mengeluarkan fatwa. Pedoman MUI itu menyebutkan, sebelum suatu aliran atau kelompok dinyatakan seat, terlebih dulu dilakukan penelitian. Data, informasi, bukti, dan saksi tentang paham, pemikiran, dan aktivitas kelompok atau aliran tersebut diteliti oleh Komisi Pengka jia

c. Usaha Reformatif (Pembinaan terhadap Para Pelaku)

Aliran-aliran sesat yang muncul di Indonesia boleh jadi karena adanya paham-paham baru yang bertentangan dengan akidah Islamiyah ini disebabkan karena dakwah yang belum meluas dan mendalam ke seluruh umat. Mengenai berbagai aliran sesat seperti al-Qiyadah al-Islamiyah, ahmadiyah dan sebagainya, untuk itu agar para pengikutnya yang telah disesatkan untuk dirangkul dan ditarik agar kembali ke jalan yang lurus. Namun, bila mereka tidak ingin kembali maka diharapkan agar aliran yang mereka junjung jangan dikaitkan dengan agama Islam. Din juga mengatakan, sebab lain dari munculnya berbagai aliran sesat juga karena adanya kebebasan yang

Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009

kebablasan dari alam reformasi sehingga orang dapat membuat berbagai organisasi tertentu. Untuk masa mendatang, tidak ada jaminan bahwa sebuah pemikiran atau keyakinan dapat “dibunuh” begitu saja. Cara yang paling baik adalah melalui penyadaran, yaitu bagaimana kita sentuh hatinya dan kita kembalikan ke jalan yang benar.

2. Pengaturan Hukum terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah terdapat di dalam KUHP, RUU KUHP maupun pengaturan-pengaturan lain yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Kejaksaan Agung baik di tingkat pusat maupun di daerah. KUHP mengatur mengenai tindak pidana penistaan terhadap agama adalah di dalam Pasal 156a KUHP selengkapnya berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :

a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.”

Selanjutnya di dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 1 Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,

Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009

menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran

tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan

keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan

mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu”.

Perumusan delik dalam Pasal 156a adalah sebagai berikut : a). setiap orang dilarang.

b). di muka umum.

c). menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum.

d). untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran atau kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Beberapa pakar mengemukakan bahwa tindak pidana penistaan terhadap agama termasuk melakukan perbuatan-perbuatan seperti :

a). pengakuan nabi palsu dan kitab suci palsu.

b). penganutan dan penyebaran atheisme (tidak ber-Tuhan dan anti Tuhan). c). penghinaan terhadap Tuhan, Nabi dan kitab suci.

d). penghalangan dan penggangguan terhadap orang beribadat secara upacara keagamaan.

B. Saran-saran

Saran-saran yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini, adalah :

1. Penyadaran adalah kata penting dalam beragama. Pilihan terhadap aliran tertentu pun bukan didorong oleh keterpaksaan dan rasa frustasi. Mereka memilih berdasarkan kesadaran penuh., misalnya jika dilihat dalam komposisi penganut

al-Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009

Qiyadah, sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa dan masyarakat terpelajar. Jadi pilihan untuk masuk aliran tersebut lebih disebabkan oleh kesadaran. Dengan demikian pendekatan yang sebaiknya diambil dalam menangani mereka adalah dengan bentuk penyadaran. Menyuguhkan konsepsi yang dapat membuka pikiran mereka. Tentu saja pendekatan semacam ini bukan sesuatu yang bisa dilihat hasilnya.

2. Jika dibandingkan dengan pendekatan kekerasan yang sejauh ini telah dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam dalam merespon dan menangani kasus ini, meskipun pendekatan kekerasan memberikan hasil yang segera, namun dampaknya dalam waktu yang panjang justru tidak baik. Amat boleh jadi konversi para pengikut setia al-Qiyadah itu ke dalam Islam (yang konvensional) tidak berdasar pada ketulusan, sehingga justru menjadi bumerang bagi citra Islam sendiri. Selain itu juga tindakan kekerasan telah menyalahi ajaran Islam itu sendiri.

Dalam konteks ini peran pemerintah, termasuk lembaga agama yang diberi otoritas oleh negara, tidak perlu intervensi terlalu jauh terhadap keyakinan agama seseorang, dengan menghukum kafir kepada mereka misalnya. Sebab pada dasarnya keyakinan (keberagamaan) seseorang merupakan hak asasi, yang tidak ada seorang dan lembaga pun yang memiliki otoritas untuk memaksanya. Wajar jika dalam Islam dikatakan “laa ikraaha fi ad-diin” (tidak ada paksaan dalam beragama). Sejatinya, pemerintah becermin kepada para pendiri negara (founding fathers). Mereka memiliki visi yang konstruktif dalam menghadapi dilema kedaulatan agama dan negara. Misalnya, mengenai kebebasan sipil. Dimana kebebasan sipil di sini tidak hanya sebatas kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berijtihad, melainkan pula kebebasan setiap orang untuk berbeda agama dan menjalankan ibadah agama

Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009

yang diyakininya tersebut. Indonesia bukanlah negara agama, tetapi juga bukan negara yang tak beragama. Agama diberikan ruang untuk hidup dan berkembang. Karena itu, tuntutan pendirian rumah ibadah adalah hak dan konsekuensi dari kedaulatan rakyat. Konflik internal umat beragama, antara aliran sesat dan Islam konvensional, tidak serta merta menjadikan negara boleh menghukum dan memvonis kriminal kepada kelompok yang minoritas itu. Dalam hal ini, negara atau pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak umat beragama dan memediasi konflik antara umat beragama.

Ismuhadi : Analisa Pidana Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia, 2008. USU Repository © 2009