• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian

6. Kesimpulan Umum

Berdasarkan uraian dari semua subjek dapat disimpulkan bahwa rokok pada mulanya bukan hanya sekedar perilaku kebiasaan atau adiktif saja, namun sudah masuk dalam tradisi budaya masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari dimasukkannya rokok dalam sesaji atau tukon pasar. Masuknya rokok sebagai tradisi dalam budaya masyarakat didukung juga dengan tidak adanya larangan merokok pada waktu itu. Larangan merokok hanya dialami subjek dalam institusi pendidikan. Tidak adanya larangan merokok mendukung munculnya pandangan bahwa merokok sebagai perilaku yang diterima oleh umum. Anggapan tentang merokok sebagai sebuah perilaku yang umum dapat terlihat dari data demografi yang menunjukkan kebanyakan subjek mulai merokok sejak kecil. Anggapan bahwa perilaku merokok diterima oleh umum didukung dengan ketidaktahuan perokok tentang bahaya-bahaya yang terkandung dalam rokok. Selain perilaku yang diterima oleh umum, pada saat itu ada anggapan bahwa anak laki-laki sudah sewajarnya merokok.

Berbeda halnya dengan saat ini perilaku merokok dipandang sebagai sebuah keputusan yang sifatnya bebas dan pribadi. Perilaku merokok tidak lagi dipandang sebagai sebuah perilaku yang diterima oleh umum namun dipandang sebagai perilaku yang lebih bersifat individual. Hal ini didukung dengan ditemukannya zat-zat berbahaya yang terkandung dalam rokok. Penemuan ini memungkinkan perokok mengetahui bahaya rokok yang pada masa sebelumnya (1940-an) perokok tidak tahu.

Perkembangan mengenai pengetahuan zat-zat berbahaya yang terkandung dalam rokok berdampak pada bagaimana subjek memandang rokok dari segi kesehatan. Subjek memandang merokok sebagai perilaku yang harus dikendalikan. Mereka juga tetap mempertahankan pendapat lama bahwa rokok tidak berbahaya bagi kesehatan asalkan disertai dengan perilaku tertentu misalnya kerja keras atau olahraga. Selain itu keyakinan tentang rokok sebagai obat juga masih dipertahankan.

Keyakinan rokok sebagai obat serta tidak berbahaya mendukung munculnya ketidak percayaan dampak rokok pada kesehatan. Subjek meyakini bahwa rokok lebih berdampak pada ekonomi dan lingkungan sosial. Ketidak percayaan subjek terhadap dampak rokok bagi kesehatan si perokok karena pengalaman perokok lain yang tetap sehat meskipun telah lama menghisap rokok. Walaupun subjek tidak meyakini bahwa rokok berdampak bagi kesehatan tubuh, mereka sepakat bahwa merokok menganggu di tempat umum. Selain menganggu jika dilakukan di tempat umum, merokok juga berdampak pada kondisi ekonomi keluarga. Hal ini yang lebih penting untuk diwaspadai oleh perokok.

Pentingnya rokok bagi subjek mempengaruhi bagaimana perilaku merokok itu menjadi sesuatu yang menetap selain karena faktor biologis (kecanduan). Rokok bagi subjek berfungsi sebagai alat sosial dan memiliki fungsi dalam situasi sosial. Fungsi rokok dalam situasi sosial adalah sebagai praja dan alat untuk menunjukkan kepedulian terhadap yang lain. Selain itu,

rokok juga berfungsi sebagai alat pergaulan serta mengakrabkan. Rokok juga memiliki fungsi untuk menunjukkan kelas sosial si perokok. Kelas sosial tersebut terlihat dalam jenis rokok yang dipilih untuk dihisap. Fungsi rokok yang lain adalah sebagai penanda kondisi tubuh sekaligus modulator. Modulator yang dimaksud disini adalah sebagai perantara untuk mendapatkan kondisi tertentu.

Perubahan pandangan tentang rokok ini ternyata tidak membuat para perokok memilih untuk berhenti merokok. Mereka tetap memilih untuk merokok karena merokok merupakan sebuah pilihan bebas. Namun, mereka juga tetap memperhitungkan dampak rokok bagi kesehatan tubuh. Hal ini terlihat dari pengetahuan yang dimiliki subjek terhadap efek rokok bagi kesehatan meskipun mereka mengatakan tidak percaya bahwa rokok merugikan kesehatan. Ketidakpercayaan mereka terhadap dampak rokok dipengaruhi oleh pengalaman para perokok lain yang tetap sehat meski merokok. Walaupun mereka tidak percaya namun pada kenyataannya mereka tetap peduli pada dampak rokok. Kepedulian ini terlihat dari diikutinya rokok dengan perilaku tertentu untuk mengurangi efek rokok bagi kesehatan. Perilaku tersebut misalnya mengganti rokok dengan jenis nikotin yang lebih rendah. Bisa disimpulkan jika didalam diri perokok sendiri terdapat konflik antara dampak rokok dan keyakinan mereka terhadap rokok. Hal ini kemudian dijembatani dengan mengambil kompromi yaitu tetap merokok dan mengurangi dampak rokok dengan perilaku tertentu.

C. Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rokok memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya rokok bagi lansia dapat dilihat dalam perannya dalam kehidupan yaitu sebagai alat sosial, modulator afek, fisik serta kognitif, dan bagian dari budaya. DiClemente dalam Psychology of Nurses and the Caring Professions mengatakan hal yang serupa bahwa rokok merupakan perilaku yang memiliki peranan penting dalam kehidupan. Pentingnya rokok dalam kehidupan terletak pada reward yang dihasilkan oleh rokok atau keuntungan yang didapat oleh perokok. Oleh sebab itu jika perokok ingin berhenti maka mereka harus mempersiapkan sebuah cara alternatif yang mampu memberikan reward yang sama (Walker, 2005).

Bagaimana perilaku merokok dapat muncul merupakan sesuatu hal yang tidak sederhana. Hal ini terlihat dari beberapa pernyataan subjek yang menyatakan bahwa mereka merokok tidak hanya sekedar imitasi terhadap orang tua namun karena pada saat itu orang tua yang sengaja melatih mereka untuk merokok. Orang tua pada waktu itu sengaja melatih anaknya untuk merokok karena mereka beranggapan bahwa merokok itu baik. Berdasarkan dari jawaban tersebut dapat terlihat bahwa konteks memainkan peranan penting. Will (2004) menegaskan pula hal ini. Pada penelitiannya ditemukan bahwa kemunculan perilaku merokok tidak hanya berkaitan dengan pemaparan stimulus saja namun berkaitan pula dengan variabel-variabel lain. Variabel lain itu seperti afek, coping, hubungan sosial, dukungan orang tua dan perubahan situasi hidup seseorang (Will et al, 2004). Selain itu,

bagaimana lansia membentuk pandangan tentang rokok juga selanjutnya mempengaruhi perilaku merokok mereka (Collins et al, 2002).

Berdasar Will dan Collins serta data yang ada di lapangan dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok tidak hanya berkaitan dengan pemaparan stimulus saja atau unsur modelling. Hal yang lebih penting dalam pembentukan perilaku merokok pada lansia adalah konteks dan pandangan yang mereka miliki tentang rokok. Konteks dan pandangan ini kemudian membentuk suatu perasaan bahwa rokok merupakan sesuatu hal yang sangat berharga dan penting seperti yang dituliskan dalam Walker (2005). Keberhargaan dan pentingnya rokok ini kemudian peneliti sebut dengan value atau nilai.

Value atau nilai yang dimiliki oleh lansia tidak lepas dari pengaruh konteks mereka pada saat lansia berada dalam fase akuisisi hingga fase peningkatan konsumsi secara cepat. Leventhal dan Cleary (Sarafino, 1994; Sanderson, 2000) menyebutkan dalam fase akuisisi yang memainkan peranan penting adalah intensi, sikap, belief dan concept formation yang dimiliki perokok. Concept formation adalah tahap seseorang akan belajar kapan dan bagaimana merokok serta memasukkan aturan-aturan perokok ke dalam konsep dirinya. Satu faktor lain yang juga memainkan peranan penting dalam perilaku merokok adalah mekanisme biologis atau faktor adiksi yang ditimbulkan oleh substansi.

Bagaimana value dapat terbentuk dapat dijelaskan melalui dua prinsip yaitu prinsip kenikmatan (berdasar cost-benefit analysis) dan regulatory fit (kecocokan terhadap sebuah aktivitas). Jika berdasarkan prinsip kenikmatan maka individu akan

mendekati kenikmatan dan menghindari rasa sakit (Higgins et al, 2003). Prinsip ini mampu menjelaskan bagaimana kecanduan membentuk nilai tertentu tentang rokok. Lansia yang menganggap rokok penting sebagai modulator serta sebuah kebutuhan dikarenakan kepuasan merupakan faktor yang terpenting. Lansia cenderung menganggap merokok lebih memberikan keuntungan daripada kerugiaan sehingga mereka akhirnya tetap memutuskan untuk merokok. Lansia berusaha untuk menghindari konsekuensi negatif yang akan mereka dapat ketika tidak merokok.

Prinsip yang lain adalah regulatory fit atau kecocokan dengan aktivitas. Berdasarkan prinsip ini pengalaman akan menghasilkan kepuasan atau afek negatif. Kedua efek tersebutlah yang kemudian akan memunculkan nilai (Higgins, 2005). Nilai tentang rokok yang dimiliki oleh lansia muncul karena adanya proses tersebut. Lansia memiliki nilai-nilai tertentu tentang rokok dikarenakan perasaan feel right yang muncul. Perasaan ini kemudian membuat lansia merasa bahwa apa yang dilakukannya itu benar dan penting meskipun memiliki efek negatif yaitu merugikan kesehatan. Hal ini dapat terjadi karena perasaan feel right ini mempengaruhi lansia dalam pembuatan keputusan, sikap, perubahan perilaku, dan perilaku yang ditampilkan (Higgins et al, 2003; Higgins, 2005)

Regulatory fit ini mempengaruhi dalam bagaimana sesuatu dipandang benar dan penting bukan hanya sekedar kebutuhan akan kepuasan. Regulatory fit ini akan membuat sebuah pilihan menjadi prioritas dan yang lainnya menjadi pilihan kedua (Higgins et al, 2003). Hal ini menjadi jelas mengapa lansia tetap mempertahankan perilaku merokoknya. Lansia menganggap bahwa perilakunya tersebut benar

sebagai akibat dari regulatory fit ini. Karena anggapan itulah, lansia menempatkan berhenti merokok merupakan pilihan kedua. Lansia lebih memilih mengambil jalan tengah dengan tetap merokok dengan mengurangi efek buruk rokok dengan menjaga kesehatan tubuh, mengurangi jumlah rokok, mengganti jenis rokok yang dihisap dan meminum kopi untuk melarutkan nikotin.

Berdasarkan semua uraian di atas adanya interaksi antara faktor lingkungan dan biologis memiliki andil dalam terbentuknya dan bertahannya perilaku merokok pada lansia. Selain itu kedua faktor tersebut memiliki andil pula dalam pembentukan nilai-nilai tertentu tentang rokok yang dimiliki lansia sehingga membuat mereka tetap bertahan merokok. Oleh sebab itu, di bawah ini akan diulas mengenai nilai rokok yang terbentuk pada lansia berdasarkan konteks pengalaman merokok lansia, konteks jaman mengenai rokok dan berdasarkan faktor adiksi terhadap rokok. 1. Riwayat Merokok Lansia

Hasil penelitian menunjukkan jika terdapat dua kategori dalam tahapan lansia untuk menjadi perokok tetap. Kategori pertama adalah tanpa fase cessation (berhenti) dan kategori kedua adalah diikuti dengan fase cessation serta kambuh. Secara garis besar terdapat dua tahapan besar yang terjadi di dalam diri lansia untuk menjadi seorang perokok tetap. Dua tahapan tersebut adalah masa acquisition yang melibatkan pengalaman seseorang terhadap rokok dan tahapan yang selanjutnya adalah peningkatan konsumsi secara cepat (Sanderson, 2000; Sarafino, 1994).

Faktor yang berperan dalam masa ketertarikan terhadap rokok adalah lingkungan atau konteks (telah dijelaskan pada point 1), orang tua dan teman sebaya. Bagi lansia yang memulai merokok di usia anak-anak faktor orang tua merupakan hal yang sangat penting. Bagi lansia yang memulai merokok di usia remaja faktor teman sebayalah yang merupakan faktor yang dominan dibandingkan dengan orang tua. Penyebab perbedaan tersebut adalah bagi perokok yang memulai merokok di usia awal faktor yang berperan adalah konteks keluarga dan teman yang dipresentasikan sebagai lingkungan yang memiliki resiko tinggi (Wills, Thomas. Resko, Jody A. Ainette, Michael G. Mendoza, Don. 2004). Penelitian lain menemukan ingatan masa kecil ketika orang tua merokok merupakan faktor yang mendukung munculnya perilaku merokok (Schmitt, Eva M et all, 2005). Krosnik (1982) juga menemukan hal serupa bahwa di usia anak-anak orang tua akan memiliki pengaruh lebih penting dibandingkan di usia remaja.

Bagi perokok yang memulai merokok diusia remaja faktor yang paling berperan adalah teman. Hal ini dijelaskan juga dalam Taylor (2003) bahwa remaja pada umumnya memulai merokok karena pengaruh teman sebaya. Krosnick (1982) menemukan juga hal yang serupa bahwa keluarga bukan lagi menjadi faktor yang penting. Gold dan Douvan dalam Krosnick (1982) mengatakan mengapa teman menjadi faktor yang penting. Hal tersebut dikarenakan pada masa remaja anak akan melepaskan diri dari keluarga dan

mencoba untuk menjadi seseorang yang memiliki kontrol atas emosi, perilaku dan values.

Setelah tertarik terhadap rokok dan mempertahankan perilakunya beberapa subjek mengalami tahap berhenti sesaat. Tahap berhenti sesaat ini dinamai dengan cessation. Pada tahap ini seseorang akan memutuskan untuk menghentikan perilaku merokoknya karena meningkatnya kesadaran akan kesehatan (Sanderson, 2000; Sarafino, 1994). Namun berdasarkan hasil penelitian peneliti tidak mendapati hal tersebut. Subjek memutuskan untuk berhenti akibat adanya tuntutan lingkungan yaitu larangan dari institusi pendidikan. Mereka memutuskan untuk sementara berhenti bukan karena kesadaran akan dampak buruk rokok. Alasan yang lain adalah karena perokok sudah terlanjur sakit sehingga harus menghentikan perilaku merokoknya agar tidak bertambah parah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan lingkungan sangat mempengaruhi perilaku merokok seseorang. Konteks yang memiliki resiko tinggi seperti keluarga dan teman merupakan faktor predisposisi perilaku merokok. (Chamberlain,1998; Wills et all, 2004).