• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEYAKINAN DAN NILAI PENTING ROKOK BAGI LANSIA DI TURI, SLEMAN, YOGYAKARTA (Kajian Konteks Perkembangan Rokok di Indonesia) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KEYAKINAN DAN NILAI PENTING ROKOK BAGI LANSIA DI TURI, SLEMAN, YOGYAKARTA (Kajian Konteks Perkembangan Rokok di Indonesia) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Nama : Yovita Ika Fimbriani NIM : 059114068

Program Studi Psikologi Jurusan Psikologi

Fakultas Psikologi

Unversitas Sanata Dharma

Yogyakarta

(2)
(3)
(4)

iv

Surrender, Give U p and Die Can B e Any Time But be Alive N eed a Bravery.

( K alimat yang dikutip dari seorang sahabat)

H idup adalah sepuluh, jangan pernah puas jika hanya mendapat delapan.

(5)

v

K arya ini ku persembahkan untuk :

I a yang bisa disebut dalam berbagai nama T uhan, Allah, Y esus, Sang H yang W idhi atas berkat, kasih dan

bimbinganN ya.

K eluargaku tercinta dimana aku tumbuh dan mendapat kasih yang berkelimpahan. T erimakasih Bapak,

M ama dan adikku tercinta I ndra. I love u all..

Seseorang yang selama ini menjadi tempatku berlindung dan bersandar, my beloved I ndra Dodi. Aku tak

sempurna tanpamu.

Seorang sahabat yang menjadi sumber insipirasi skripsi ini.

(6)
(7)

vii ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai keyakinan (belief) yang lansia perokok miliki terhadap rokok serta nilai penting rokok bagi lansia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi dengan menggunakan analisis fenomenologi interpretatif. Subjek yang digunakan adalah lansia perokok sejumlah tujuh orang dan berusia minimal 60 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara secara mendalam pada tujuh lansia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia memiliki keyakinan tertentu terhadap rokok yang dipengaruhi oleh konteks pandangan terhadap rokok dimasa lalu dan saat ini. Lansia memiliki keyakinan bahwa rokok tidak berbahaya, sebagai obat serta keputusan merokok merupakan keputusan yang sifatnya bebas. Lansia juga menganggap bahwa rokok bernilai penting bagi mereka. Nilai tersebut dipengaruhi oleh konteks waktu pandangan tentang rokok, adanya faktor adiksi terhadap substansi dan fungsi rokok sendiri bagi lansia. Nilai penting rokok bagi lansia adalah sebagai modulator, alat sosial dan kebutuhan. Adanya konteks pandangan mengenai rokok, keyakinan yang dimiliki lansia terhadap rokok serta nilai yang dimiliki oleh lansia memainkan peranan penting dalam keputusan lansia untuk tetap merokok.

(8)

viii

Ika Yovita Fimbriani

ABSTRACT

The purpose of this study was to obtain belief and cigarette important value for the elderly.This study uses qualitative methods of phenomenology by using interpretative phenomenological analysis.Researcher uses seven elderly smokers (at least 60 years old). Data collected by in-depth interviews in seven elderly.The results showed that the elderly have particular beliefs to smoking influenced by the context of the cigarette in the past and present.Elderly have a belief that cigarettes are not dangerous, as drugs and smoking is about free choice. Elderly also assumed the critical value for their cigarettes. That values are influenced by the context of the views on smoking, the addiction factor and the functions of their own cigarettes for the elderly.The importance of smoking for the elderly as a modulator, a social tool and needs.The existence of context views on smoking, the belief held elderly against smoking and the value that is owned by the elderly play an important role in the decision to keep smoking.

(9)
(10)

x

merokok akhirnya karya ini terciptalah. Saya sebagai penulis sangat bersyukur atas kekuatan yang diberikan olehNya dan dukungan serta bantuan dari semua pihak sehingga rasa penasaran tersebut dalam terjawab melalui skripsi ini. Oleh karena itu ijinkanlah pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu A. Tanti Arini selaku dosen pembimbing. Terimakasih atas kesempatan yang diberikan pada saya untuk berproses dalam skripsi ini. Terimakasih atas kesabaran dan waktu yang telah diberikan pada saya. Terimakasih karena saya telah diajarkan bagaimana menjadi seorang civitas akademika.

2. Ibu Maria Laksmi Anantasari selaku dosen pembimbing akademik. Terimakasih karena selalu mendukung dan mendengarkan keluh kesah kami yang tiada henti. Dukungan dan perhatian personal yang Ibu berikan sangat berarti buat saya dan memberi kekuatan.

3. Bu Agnes Indar Etikawati dan teman unit konseling yang selalu memberikan semangat, dukungan dan tempat berkeluh kesah. Terimakasih atas semua kebersamaan selama ini.

(11)

xi

tak pernah bertanya kapan aku lulus. Buat Indra yang selalu jadi partner bertengkar dan tertawa. Terimakasih atas semua kasih sayang, perhatian dan kepercayaan yang telah diberikan selama ini. Aku mencintai kalian semua. 6. My beloved Indra Dodi. Seniman besar yang menggoreskan warna dalam

kanvas kehidupanku. Thanks uda, tak ada kalimat yang sanggup mewakili rasa terimakasihku padamu. Maafkan aku kalau selama ini selalu membuat uda jengkel, marah atau kecewa. Uda ibarat cat dan aku kanvasnya. Jika tak ada uda maka kanvas ini hanya akan berwarna putih. Terimakasih atas semua rasa dan perjalanan ini. Thanks buat semua yang uda ajarkan ke aku. Semangat dan kekerasan hatimu menjadi sumber inspirasiku. Teruslah menjadi sumber inspirasi dan penerang dalam setiap jalanku. Aku percaya suatu saat nanti uda akan menggoreskan sejarah dengan karya besarmu.

(12)

xii

9. Buat seorang sahabat yang pernah mengajariku untuk jangan pernah menyerah akan apapun dan memberikan banyak hal, Ignatius Gelar Setiaji Purnomo. Terimakasih atas semua kesabaran dalam mengajariku untuk percaya bahwa aku mampu. Terimakasih atas semua warna yang telah kau berikan dalam hidupku. Sekarang aku sudah tahu jawabannya mengapa sulit sekali untuk berhenti merokok. Maaf kali ini aku tak bisa menjelaskannya secara langsung padamu.

Manusia hanya bisa berencana dan Tuhanlah yang menentukan. Semoga kamu selalu ada dalam keadaan yang baik.

(13)

xiii

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II Landasan Teori ... 7

I. Perilaku Merokok ... 7

(14)

xiv

2. Kecemasan Sosial ... 14

3. Pemaparan Stimulus ... 14

4. Konteks Individu ... 15

5. Representasi tentang Rokok ... 16

II. Representasi tentang Rokok ... 17

a. Sejarah Penggunaan Tembakau dan Industri Rokok di Indonesia .. 18

b. Perkembangan Rokok dan Keyakinan terhadap Rokok Saat Ini ... 20

III.Keyakinan (Belief) Lansia Perokok terhadap Rokok ... 22

a. Definisi Lansia ... 22

b. Perilaku Merokok Lansia ... 23

c. Keyakinan (Belief) Lansia terhadap Rokok ... 25

IV.Nilai Penting Rokok Bagi Lansia ... 26

a. Proses Pembentukan Nilai dalam Diri Seseorang Berdasarkan Pengalaman yang Dialami ... 28

b. Nilai Penting Rokok Bagi Lansia ... 29

V. Pertanyaan Utama ... 30

VI.Pertanyaan Penelitian ... 31

BAB III Metode Penelitian ... 33

(15)

xv

E. Analisis Data ... 35

F. Keabsahan Data / Verifikasi Data ... 36

G. Blue Print Wawancara ... 37

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 41

A. Pelaksanaan Penelitian ... 41

B. Hasil Penelitian ... 42

1. Karakterikstik Subjek Penelitian... 42

2. Ringkasan Tema yang Muncul ... 43

3. Pengalaman Sosial Merokok di Masa Muda Para Perokok (Lansia 1940-an) ... 44

a. Penggunaan Rokok ... 44

b. Respon Atas Perilaku Merokok ... 45

c. Rokok sebagai Alat Sosial ... 46

d. Kesimpulan Pengalaman Sosial Merokok Para Perokok ... 47

4. Pengalaman Pribadi Merokok pada Lansia ... 47

a. Tahap Tertarik pada Rokok... 48

b. Tahap Berhenti Sesaat ... 49

c. Kambuh dan Bertahan Hingga Saat Ini ... 50

(16)

xvi

b. Pandangan Terhadap Dampak Rokok... 60

6. Kesimpulan Umum ... 68

C. Pembahasan ... 71

1. Konteks Riwayat Merokok pada Lansia... 74

2. Konteks Pandangan tentang Rokok pada tahun 1940-an dengan tahun 2000-an ... 76

3. Pengaruh Perkembangan Rokok Terhadap Keyakinan Perokok Lansia Terhadap Rokok ... 83

4. Nilai Rokok yang Dihayati Oleh Lansia... 85

5. Nilai yang Muncul karena Ketagihan ... 86

6. Skema Penelitian ... 89

BAB V Kesimpulan dan Saran ... 90

A. Kesimpulan .... ... 90

B. Saran ... 91

(17)

xvii

2. RingkasanTema Keseluruhan Subjek ... 97

3. Koding ... 111

A. Koding Perokok PW ... 111

B. Koding Perokok PB ... 121

C. Koding Perokok PM ... 129

D. Koding Perokok PJ... 141

E. Koding Perokok PK ... 148

F. Koding Perokok PBd ... 161

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG MASALAH

Rokok merupakan sebuah benda yang sangat penting bagi perokok. Pentingnya rokok bagi perokok membuat perilaku merokok menjadi perilaku paling favorit bahkan diseluruh dunia (Sukendro, 20007). Indonesia sendiri contohnya merupakan negara pengkonsumsi rokok kelima tertinggi di dunia setelah Cina dengan angka prevalensi perokok yang cenderung meningkat setiap tahun (Nusantaraku, 2009). Peningkatan prevalensi ini tidak seiring dengan peningkatan perokok yang memutuskan untuk berhenti lebih-lebih perokok yang telah berusia lanjut (Husten dalam Schmitt (2005)).

Perokok yang tergolong dalam usia lanjut adalah perokok yang berusia minimal 60 tahun (WHO dalam Sulistyo, 2005). Berdasarkan faktor usia sebenarnya bagi mereka lebih diharapkan untuk menerapkan pola hidup sehat salah satunya dengan berhenti merokok. Hal ini mengingat kondisi fisik lansia yang telah mengalami penurunan dan beresiko untuk terkena masalah kesehatan yang serius seperti penyakit jantung, kanker, stroke dan penyakit paru-paru (Stroving et al, 2004; Schmitt,2005; Santrock,2005).

Namun dalam kenyataannya risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok tersebut tidak membuat lansia menghentikan perilaku merokok mereka. Hal ini peneliti temukan di daerah tempat tinggal peneliti yaitu di Turi banyak lansia

(19)

yang masih tetap merokok. Data yang tercatat dalam Resume Riskesdas Provinsi DIY mengindikasikan hal serupa karena tidak ada data khusus mengenai lansia. Berdasarkan laporan tersebut tercatat sebanyak 3,2 % perokok berusia diatas 30 tahun dan sisanya sebanyak 30 % tidak diketahui usianya (Resume Riskesdas Provinsi DIY, 2007).

Indikasi adanya lansia yang masih tetap merokok menjadi sangat penting untuk dikaji lebih lanjut mengingat lansia adalah perokok yang sangat rentan berisiko terkena masalah kesehatan yang serius. Penelitian mengenai hal ini pernah dilakukan oleh Schmitt di San Fransisco pada 20 perokok. Schmitt (2005) menemukan hambatan yang membuat lansia tidak ingin berhenti merokok adalah sikap yang lansia miliki terhadap rokok misalnya menolak bahaya rokok. Selain itu adanya faktor kecanduan membuat lansia tidak ingin menghentikan perilaku merokok mereka. Alasan yang lain adalah penolakan mereka tentang isu untuk berhenti merokok. Adanya anggapan bahwa rokok merupakan kenikmatan terakhir dalam hidup membuat lansia juga enggan untuk berhenti merokok.

(20)

Apakah keyakinan yang perokok lansia miliki terhadap rokok? Apakah rokok memiliki nilai penting untuk lansia ?

Wawancara awal dilakukan oleh peneliti untuk menemukan gambaran awal. Wawancara ini dilakukan pada 5 orang informan berusia 70 tahun yang tinggal di desa Nganggrung dan Garongan, Kecamatan Turi, Sleman, Yogyakarta. Berdasarkan hasil wawancara awal ditemukan beberapa alasan mengapa lansia tetap merokok.

Subjek K dan Bd contohnya mereka tidak ingin berhenti untuk merokok dengan alasan tidak percaya terhadap dampak buruk rokok. Lansia tersebut tidak percaya bahwa rokok berbahaya karena dulu sewaktu mereka anak-anak rokok bukanlah sesuatu yang berbahaya namun sebagai obat. Selain sebagai obat, berdasarkan hasil wawancara subjek B dan J mengatakan rokok juga berfungsi sebagai alat pelepas lelah atau hiburan.

(21)

kesehatan. Dua lansia yang berasal dari desa yang sama mengatakan hal yang serupa. Mereka menyebutkan bahwa rokok bahkan sering digunakan sebagai hadiah dalam khitanan, ngirim sesaji dan kenduri. Budiprasetya (2000) menegaskan pula bahwa rokok memang sudah menjadi bagian dari budaya. Hal ini terlihat dalam upacara tradisional yang menyertakan rokok di dalamnya seperti khitanan, kenduri atau sesaji.

Berdasarkan hasil wawancara awal, Budiprasetya (2000) dan Sukendro (2007) dapat disimpulkan bahwa rokok pada waktu dulu (tahun 1940-an) dianggap sebagai obat serta bagian dari budaya. Rokok dianggap tidak berbahaya karena perokok di waktu tersebut tidak mengetahui bahaya dari rokok. Berbeda halnya dengan saat ini rokok pada saat ini dianggap sebagai substansi yang berbahaya karena mengandung 4000 zat kimia berbahaya (Aditama, 2002; Asril, 2002). Pesatnya kajian tentang rokok membuat kampanye tentang bahaya rokok pun gencar dilakukan. Gencarnya kampanye mengenai rokok memungkinkan lansia mengetahui bahwa rokok sebagai substansi yang berbahaya. Subjek dalam wawancara awal yang tergolong dalam lansia mengemukakan hal serupa bahwa mereka mengetahui informasi mengenai dampak buruk rokok. Informasi yang mereka dapat pada saat ini sangat berbeda dengan pandangan yang mereka dapat ditahun 1940-an.

(22)

mengalami masa saat rokok merupakan sesuatu hal yang baik untuk dilakukan dan kebalikannya pada saat ini. Namun pada kenyataannya perbedaan pandangan tersebut tidak membuat lansia memutuskan untuk berhenti merokok.

Keputusan lansia untuk tetap merokok meskipun telah terjadi perubahan pandangan terhadap rokok menjadi sesuatu hal yang penting untuk mengetahui mengapa lansia tetap mempertahankan perilaku merokoknya. Bertahannya perilaku merokok pada lansia kemudian memunculkan pertanyaan mengapa perubahan pandangan terhadap rokok tidak membuat lansia memutuskan untuk berhenti merokok. Bagaimana keyakinan (belief ) lansia terhadap rokok saat ini. Apakah keputusan lansia untuk tetap merokok dipengaruhi oleh faktor lain selain faktor kecanduan seperti yang ditemukan pada penelitian Schmitt yaitu karena lansia menganggap bahwa rokok bernilai bagi mereka, apakah nilai rokok bagi lansia yang hidup dimasa ini ?

II. RUMUSAN MASALAH

Keyakinan (belief) apakah yang dimiliki lansia terhadap rokok pada saat ini? Apakah nilai yang dimiliki lansia terhadap rokok ?

III. TUJUAN

(23)

IV. MANFAAT

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

I. Perilaku Merokok

a. Pengertian Perilaku Merokok

Pribadi dalam Verawati, Hesty et al (2003) mendefinisikan merokok sebagai kegiatan memasukkan bahan yang berasal dari dedaunan (tembakau) yang mengandung zat tertentu (khususnya nikotin) sebagai tindakan untuk memperoleh kenikmatan. Levy (1984) mendefinisikan merokok sebagai sesuatu yang dilakukan seseorang berupa membakar dan menghisapnya serta dapat menimbulkan asap yang dapat dihisap oleh orang-orang disekitarnya. Persamaan dari dua definisi diatas adalah merokok sebagai sebuah aktivitas memasukkan dan mengeluarkan substansi berupa tembakau.

Aritonang (1997) mendefinisikan merokok sebagai sebuah perilaku kompleks yang merupakan hasil dari interaksi antara kognisi, lingkungan sosial, kondisi psikologis, penguatan dan kondisi fisiologis. Berdasarkan faktor kognisi adalah rendahnya kesadaran akan bahaya rokok dan asumsi yang dimiliki bahwa efek rokok dapat direduksi dengan olah raga rutin serta makan makanan yang bergizi. Berdasarkan aspek sosial, kebanyakan perokok mengatakan jika perilaku merokok mereka sebagai sebuah produk dari lingkungan. Efek menyenangkan yang dihasilkan dari sebuah rokok seperti perasaan santai, tenang dan ketegangan yang berkurang juga berperan dalam bertahannya perilaku merokok seseorang.

(25)

Berdasarkan uraian di atas merokok dapat disimpulkan sebagai perilaku kompleks yang di dalamnya terdapat interaksi antara kognisi, lingkungan, kondisi psikologis dan fisiologis yang digunakan untuk memperoleh kenikmatan dengan cara membakar dan menghisap tembakau serta menghembuskan asapnya.

b. Tahap Perilaku Merokok

Leventhal dan Cleary (Pitaloka, 2006; Sanderson, 2000; Sarafino,1994)

membagi tahapan seseorang menjadi perokok ke dalam 4 tahapan, yaitu :Preparation, Initiation , Becoming & Maintenance serta Cessation. Tiga

tahap pertama disebut sebagai tahap acquisition yang artinya di masa ini seseorang mengalami pengalaman merokok dan selanjutnya mengalami peningkatan konsumsi secara cepat. Keempat tahapan tersebut, yaitu:

1. Persiapan (Preparation)

Faktor yang berperan pada tahap ini adalah intensi dan bayangan tentang seperti apa rokok itu. Intensi, sikap serta belief tentang rokok pembentukannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Intensi, sikap dan belief yang berhasil terbentuk akan mendorong seseorang untuk mencoba merokok. Biasanya tahap ini dimulai pada usia belasan dan faktor utama yang berpengaruh adalah faktor psikososial.

2. Inisiasi (initiation)

(26)

diabaikan oleh perokok. Perokok lebih memilih untuk beradaptasi terhadap efek yang ditimbulkan rokok pada tubuh.

3. Menjadi perokok dan menjadi perokok tetap (becoming and maintenance) Pada tahap ini melibatkan suatu proses ‘concept formation’. Seseorang akan belajar kapan dan bagaimana merokok serta memasukkan aturan-aturan perokok ke dalam konsep dirinya. Selanjutnya faktor psikologi dan mekanisme biologis yang bergabung ini akan semakin mendorong perilaku merokok sehingga jadilah individu sebagai perokok tetap. Dua penelitian longitudinal menunjukkan bahwa faktor psikososial memiliki peranan penting dalam berlanjutnya perilaku merokok seseorang. Selain itu, lingkungan dan beliefs tentang rokok juga berhubungan dengan perubahan dalam perilaku merokok (Sarafino, 1994)

Smet (1994) menambahkan bahwa perokok dapat digolongkan menjadi perokok berat, sedang dan ringan berdasarkan banyaknya rokok yang dihisap. Seorang perokok dikatakan perokok berat jika menghisap rokok lebih dari 15 batang dalam satu hari. Perokok sedang adalah perokok yang menghisap rokok antara 5 hingga 14 batang dalam sehari. Perokok ringan adalah perokok yang menghisap rokok antara 1 hingga 4 batang dalam sehari.

4. Berhenti merokok (cessation)

(27)

Berdasarkan teori diatas seseorang dapat menjadi seorang perokok jika telah melewati tahap persiapan dan inisiasi. Pada tahap persiapan faktor psikososial mengambil peranan penting. Faktor psikososial akan mempengaruhi pembentukan sikap, belief dan intensi tentang rokok. Pada tahap inisiasi perokok akan merasakan beberapa efek rokok pada tubuh. Namun perokok lebih memilih untuk beradaptasi dengan efek dari rokok tersebut. Setelah kedua tahap itu terlewati maka seseorang kemudian akan belajar menjadi seorang perokok tetap yang diiringi dengan peningkatan konsumsi secara cepat. Jika kemudian perokok mengalami peningkatan akan kesadaran kesehatan maka mereka biasanya akan berada pada tahap selanjutnya yaitu berhenti merokok.

c. Faktor-faktor yang Membuat Bertahannya Perilaku Merokok

1. Ketagihan (addiction)

Ketagihan didefinisikan sebagai kondisi yang dihasilkan sebagai akibat dari penggunaan berulang dalam jangka waktu yang lama sehingga menimbulkan ketergantungan secara fisik maupun psikologis pada substansi atau zat. Ketergantungan secara psikologis adalah tahap disaat individu merasa ada tekanan untuk menggunakan substansi dengan tujuan mendapatkan perasaan senang tanpa perlu merasa tergantung secara fisiologis (Sarafino, 1994; Sanderson,2004).

(28)

berfungsi secara ” normal”. Seseorang yang mengalami ketergantungan secara fisik pada substansi mengembangkan toleransi pada substansi sehingga tubuh akan bereaksi dengan membutuhkan substansi lebih banyak untuk mendapatkan efek yang sama. Perokok juga mengalami sindrom yang tidak menyenangkan akibat toleransi ini (unpleasant withdrawl syndrom) seperti iritabilitas, kesulitan berkonsentrasi, kecemasan dan penurunan berat badan jika tidak melanjutkan penggunaan sebuah substansi (Sarafino, 1994; Sanderson, 2004).

Beberapa teori yang menjelaskan tentang ketergantungan pada substansi adalah sebagai berikut (Sarafino, 1994; Sanderson, 2004) :

a. Berdasarkan Model Nikotin (Nicotine Based Models)

i. Model Efek Nikotin yang Tetap (Nicotine Fixed Effect Models)

(29)

ii. Model Pengaturan Nikotin (Nicotine Regulation Models)

Model ini lebih luas dari model efek nikotin yang tetap (Fixed Effect Model). Model pengaturan nikotin memprediksi perilaku merokok akan mendapat ’penguatan’ (reward) oleh tubuh hanya ketika level nikotin di dalam tubuh berada pada ”set point” yang telah dibentuk oleh tubuh. Berdasarkan teori ini, seorang perokok akan berusaha untuk merokok dalam jumlah yang cukup untuk memelihara kadar nikotin dalam darah agar mendapatkan efek fisiologis yang sama.

b. Model Pengaturan Afek (Affect Regulation Model)

(30)

(1966, 1968) dalam Sarafino (1994) perilaku merokok terbagi dalam beberapa tipe, yaitu :

b.1. Rokok digunakan untuk mencapai afek positif

Perilaku merokok digunakan untuk menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat atau hanya digunakan untuk menyenangkan perasaan saja.

b.2. Rokok digunakan untuk mengurangi afek negatif

Perilaku merokok dilakukan untuk mengurangi perasaan negatif dalam diri. Misalnya merokok ketika marah, gugup atau gelisah.

b.3. Perilaku merokok yang adiktif

Perokok yang sudah dalam tahap adiksi menggunakan rokok dengan tujuan untuk meregulasi kondisi emosional baik itu positif ataupun negatif.

b.4. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan atau otomatis

Merokok bukan lagi untuk mendapatkan keuntungan tertentu melainkan sudah menjadi suatu kebiasaan.

c. Model Kombinasi (Combined Model)

(31)

perokok merasakan efek tersebut berkaitan dengan seberapa banyak kadar nikotin yang beredar dalam darah.

2. Kecemasan Sosial

Berdasarkan Taylor (2003) perilaku merokok dipelihara oleh pembelajaran sosial dan pengalaman merokok yang mengalami penguatan. Proses penguatan terjadi ketika seseorang yang memiliki kecemasan sosial kemudian mulai merokok akan mengembangkan perasaan aman dan matang. Perilaku merokok tersebut digunakan untuk mengurangi kecemasan sosial yang dia miliki. Ketika perilaku merokok tersebut berhenti, kecemasan tersebut muncul kembali dan kadar nikotin kembali turun. Selanjutnya, kecemasan akan muncul seiring dengan hilangnya nikotin dalam darah. Oleh sebab itu, seseorang akan berusaha untuk memelihara perilaku merokoknya untuk menghilangkan kecemasan yang muncul sebagai akibat kadar nikotin yang berkurang (Taylor, 2003).

3. Pemaparan Stimulus

(32)

sebagai faktor risiko yang akan mempengaruhi proses modeling. Jadi berdasarkan model ini perilaku merokok muncul karena adanya pemaparan stimulus yang kemudian mempengaruhi proses modeling sehingga seseorang kemudian memutuskan untuk merokok (Wills, Jody, Ainette, & Mendoza, 2004).

4. Konteks Individu

Konteks yang dimaksudkan disini adalah situasi dalam hidup seseorang. Perubahan situasi dalam hidup seseorang merupakan prediktor dalam kemunculan perilaku merokok. Will (2004) menyebutnya dengan model kontekstual. Model kontekstual menjelaskan bahwa perilaku merokok tidak hanya dipicu oleh pemaparan stimulus. Model kontekstual lebih luas dalam menjelaskan kemunculan perilaku merokok. Berdasarkan model ini dijelaskan bahwa kemunculan perilaku merokok berkaitan dengan beberapa variabel yang luas dan berbeda-beda seperti afek, coping, hubungan sosial, dan parental support (Wills, Jody, Ainette, & Mendoza, 2004).

(33)

5. Representasi tentang Rokok

Representasi yang dimiliki seseorang tentang rokok ternyata juga memberikan kontribusi mengapa seseorang merokok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Collins, Patricia., Maguire, Moira., & O’Dell, Lindsay (2002) menegaskan peran representasi tentang rokok dalam perilaku merokok. Mereka menemukan bahwa perokok memiliki representasi tentang rokok yang mencakup sisi positif dan negatif dari rokok. Penelitian ini dilakukan pada partisipan dengan usia 22 – 52 tahun dan bertujuan untuk menemukan faktor-faktor yang memberikan kontribusi mengapa seseorang merokok.

Berdasarkan penelitian ini ditemukan perokok memiliki representasi bahwa rokok memiliki sisi positif yaitu sebagai alat sosial, bagian dari identitas,dan peristiwa sosial. Penelitian ini menemukan juga bahwa perokok sebenarnya sadar akan sisi negatif dari rokok. Hal ini menimbulkan identitas ganda dalam diri perokok. Identitas ganda yang dimaksud adalah adanya dua hal yang bertentangan dalam diri perokok. Pada satu sisi perokok merasa merokok itu merupakan perilaku yang tidak aman namun di satu sisi perokok tidak mampu untuk menghentikan perilakunya. Ketidakmampuan ini bukan dikarenakan faktor ketagihan namun karena faktor bahwa rokok sudah menjadi bagian dari identitas diri (Collins et al, 2002).

(34)

sosial semakin mempersulit perokok untuk menghentikan perilaku merokoknya. Adanya dilematis antara keinginan untuk menjadi bukan perokok vs perokok memunculkan munculnya rasa menyesal dan kecewa atas perilaku merokoknya. Namun perokok akhirnya mengambil jalan tengah dengan mengambil tanggung jawab dari perilaku merokoknya tersebut (Collins et al, 2002)

Selain sebagai alat sosial dan identitas diri perokok menganggap merokok merupakan bagian yang mencolok dari kehidupan sosial. Perokok merasa lingkungan sosial mengijinkan untuk merokok dengan landasan bahwa merokok merupakan sebuah pilihan bebas. Namun, perokok tetap sadar dan berhati-hati tentang kemungkinan untuk tidak diterima secara sosial. Mereka mengambil jalan tengah dengan tetap meningkatkan atau menjaga tingkat kepuasan yang didapat dari merokok dalam situasi sosial yang tepat (Collins et al, 2002).

Jadi berdasarkan penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa perokok tetap mempertimbangkan aspek negatif dari rokok dan perilaku merokok mereka bukan hanya karena faktor adiksi. Berdasar penelitian Collins et al (2002) dapat dilihat bahwa rokok memiliki peran penting dalam kehidupan sosial bukan hanya sekedar unsur kenikmatan atau kepuasan.

II. Representasi tentang Rokok

(35)

berkaitan dengan faktor adiksi tapi juga dipengaruhi oleh faktor yang lain seperti yang ditemukan dalam penelitian Collins (2002). Collins menemukan bahwa representasi terhadap rokok mempengaruhi bertahannya perilaku merokok seseorang. Hanya saja penelitian Collins tersebut adalah penelitian yang dilakukan tidak di Indonesia. Collins sendiri hanya melakukan pengecekan terhadap representasi rokok saat ini tanpa mempertimbangkan aspek historis rokok yang mungkin menyumbang representasi rokok yang dimiliki dimasa ini. Oleh sebab itu dibawah ini akan diulas mengenai bagaimana sejarah rokok dan perkembangannya di Indonesia.

a. Sejarah Penggunaan Tembakau dan Industri Rokok di Indonesia

Bangsa Indonesia pertama kali mengenal tembakau melalui kebiasaan yang digunakan untuk memperoleh kenikmatan yaitu mengunyah buah pinang dan sirih serta mencampurnya dengan kapur. Pemakaian tembakau sendiri muncul pada abad XVII setelah dimasukkan oleh orang Portugis. Pada abad tersebut tembakau yang digunakan untuk memakan sirih dikenal dengan nama tembakau sugi. Masyarakat Jawa menyebutnya bako susur (Sukendro, 2007).

(36)

Fungsi rokok sebagai barang dagangan diduga telah ada sejak abad XVII, berdasarkan kisah Pranacitra dan Rara Mendut yang beredar di kalangan masyarakat Jawa. Selain untuk dihisap sekaligus barang dagangan, rokok dalam masyarakat Jawa juga dijadikan sebagai barang sesaji dalam acara ritual tertentu. Contohnya di Jawa Barat, rokok digunakan sebagai sesaji pada upacara menghormati arwah leluhur. Selain itu, di Jawa Tengah ada kebiasaan memberikan rokok kepada seorang dukun atau paranormal yang dimintai petunjuk atau bantuan (Sukendro, 2007).

(37)

Dia pun memberitahukan penemuan ini ke semua orang. Berita tentang rokok obat ini pun cepat tersiar dan menyebar luas hingga permintaan berdatangan. Pada tahun-tahun pertama penjualan rokok hanya terbatas di Kudus dan daerah sekitarnya. Tahun-tahun berikutnya pemasaran meluas hingga ke pulau Jawa (Sukendro, 2007).

Berdasarkan uraian diatas, rokok yang pada awalnya tidak berfungsi sebagai barang industri pada akhirnya berkembang menjadi sebuah barang industri yang populer di masyarakat. Berawal dari eksperimen kecil yang dilakukan oleh Haji Jamahari rokok mampu berkembang menjadi sebuah industri yang hingga saat ini memiliki peran penting dalam perekonomian. Populernya rokok pada saat itu yang mengantar ke perkembangan pesatnya industri rokok adalah kepercayaan masyarakat bahwa rokok dapat berfungsi sebagai obat.

b. Perkembangan Rokok dan Keyakinan Terhadap Rokok Saat Ini

Pada saat ini rokok dianggap sebagai substansi berbahaya dan mengandung 4000 zat kimia berbahaya bagi kesehatan (Asril Bahar, 2002). Selain itu merokok juga akan menimbulkan beberapa risiko kesehatan seperti penyakit jantung, stroke, kanker paru dan mulut, osteoporosis, katarak, psoriasis, kerontokan rambut dan impotensi (Prihatiningsih, 2007).

(38)

ditemukan bahwa merokok tidak hanya meningkatkan resiko kematian namun juga resiko menjadi cacat karena menurunnya kemampuan. Guralnik dan Kaplan dalam Nina Stovring et all (2004) menemukan juga bahwa perokok berat akan beresiko dua kali lebih banyak dari bukan perokok untuk menjadi cacat di usia lanjut.

Bahaya dan resiko kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok tersebut membuat pada saat ini kampanye tentang rokok begitu gencar dilakukan. Gencarnya kampanye tentang rokok membuat tekanan atau propaganda antirokok sudah banyak dilakukan namun sepertinya hal ini tidak berpengaruh terhadap perilaku konsumsi merokok sendiri. Hal ini terlihat dari angka perokok yang semakin meningkat (Sukendro, 2007).

Adanya propaganda anti rokok yang gencar dilakukan menunjukkan bahwa pada saat ini masyarakat memiliki keyakinan yang cenderung negatif terhadap rokok yaitu berbahaya dan merugikan kesehatan. Hal ini berbeda dengan keyakinan masyarakat terhadap rokok di waktu dulu. Pada waktu dulu rokok diyakini sebagai obat dan masyarakat pada waktu itu memiliki keyakinan yang positif mengenai rokok. Adanya perbedaan pandangan ini kemudian memunculkan pertanyaan bagaimana dengan perokok yang hidup dalam dua masa tersebut dan tetap bertahan merokok hingga saat ini. Bagaimana mereka menyikapi adanya perbedaan pandangan ini ?

(39)

mengalami masa pada saat rokok dipandang secara positif hingga saat ini rokok dianggap sebagai substansi berbahaya dan tetap saja mempertahankan perilaku merokoknya. Keputusan lansia untuk tetap merokok kemudian memunculkan pertanyaan bagaimana lansia memandang mengenai bahaya dan efek rokok yang gencar dikampanyekan selama ini. Apakah keyakinan yang lansia miliki terhadap rokok pada saat ini mengingat pandangan terhadap rokok sendiri telah berubah.

III.Keyakinan (Belief) Lansia Perokok terhadap Rokok

a. Definisi Lansia

The World Health Organization (WHO) mendefinisikan lansia sebagai proses perubahan biologis, psikologis dan struktur sosial yang terjadi secara bertahap di dalam individu. Ada juga yang mendefinisikan masa lansia sebagai masa perkembangan terakhir dalam hidup manusia. Hal ini dikarenakan beberapa orang memiliki anggapan bahwa perkembangan manusia berakhir setelah manusia menjadi dewasa maka dari itu masa lansia disebut sebagai masa perkembangan terakhir manusia (Prawitasari,1994; Blatterer,2007; Santanni,2009).

(40)

(Blatterer,2007). Badan Kesehatan Dunia (WHO, 1989) sendiri menetapkan umur 60 tahun sebagai batas umur menuju ke segmen lanjut usia (WHO dalam Sulistyo,2005). Undang- Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menyebutkan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun. Jadi dapat disimpulkan bahwa lansia adalah individu yang telah mencapai usia 60 tahun keatas atau serendah-rendahnya berusia 60 tahun yang mengalami perubahan perubahan psikologis, biologis, dan struktur sosial dalam hidup manusia.

b. Perilaku Merokok Lansia

Merokok merupakan perilaku yang kompleks dan tidak dapat dipisahkan dari risiko kesehatan yang ditimbulkan bagi individu yang merokok. Namun bagi perokok sendiri, mereka mendapati beberapa keuntungan dari merokok. Hal ini didukung dengan fakta bahwa nikotin akan cenderung meningkatkan performa kognitif seseorang. Efek yang ditimbulkan dari nikotin inilah yang membuat para perokok khususnya lansia menggunakan rokok untuk mendapatkan performa kognitif yang baik dan kemudian menjadi sebuah kebiasaan (Collins, Maguire, dan O’Dell, 2002 ).

(41)

juga menyebutkan hal tersebut bahwa merokok merupakan salah satu kebiasan favorit orang diseluruh dunia.

Faktor lain yang juga mendukung berkembangnya perilaku merokok adalah kurangnya kesadaran akan beberapa keuntungan jika berhenti merokok. Data dalam Schmitt (2005) menunjukkan bahwa lansia memiliki persepsi bahwa merokok memberikan kenikmatan yang khas. Perokok jika memutuskan untuk berhenti merokok maka akan mendapat kerugian tambahan yaitu tidak bisa merasakan kenikmatan khas yang hanya diperoleh dari rokok (Adler, Greeman, Rickers, & Kuskowski,1997; Barker, Mitteness, & Wolfsen,1994; Korchersberger & Clipp, 1996).

Relaksasi merupakan salah satu faktor lain yang paling sering muncul mengapa lansia mempertahankan perilaku merokoknya. Relaksasi ini diikuti dengan aktivitas yang lain seperti menonton televisi. Faktor lain yang juga mendukung adalah ingatan masa kecil ketika orang tua merokok (Schmitt et al, 2005 ).

(42)

c. Keyakinan (Belief) Lansia terhadap Rokok

Keyakinan merupakan prediktor penting dalam menentukan perilaku khususnya perilaku merokok (An, Dhao Thi.2008) Keyakinan menjadi faktor yang penting karena keyakinan dapat disebut juga dengan sesuatu hal yang dianggap benar dan berkaitan erat dengan intensi (Renshon, 2008. Dayakisni & Hudaniah, 2009). Intensi sendiri diartikan sebagai niat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu (Dayakisni, 2009).

Theory of Reason Action Ajzen & Fishbein (Sarafino, 1998) menyebutkan pula bahwa keyakinan merupakan faktor penting dalam menentukan perilaku kesehatan seseorang. Hal tersebut dikarenakan keyakinan yang dimiliki seseorang terhadap rokok khususnya disini ditambah dengan keyakinan normatif yang dimiliki akan mempengaruhi intensi terhadap rokok yang selanjutnya mempengaruhi perilaku. Intensi tersebut akan mempengaruhi apakah perokok memilih untuk berhenti merokok ataukah tidak (Cahyani, 1995).

(43)

disimpulkan bahwa lansia memiliki keyakinan yang positif terhadap rokok sehingga membuat lansia tetap mempertahankan perilaku merokoknya.

Keyakinan yang positif mengenai rokok ini kontras sekali dengan isu mengenai bahaya rokok yang begitu gencar dilakukan pemerintah. Lansia sendiri menanggapi isu mengenai hal tersebut dengan melakukan penolakan seperti yang ditemukan dalam penelitian Schmitt (2005) yang mengungkapkan bahwa lansia tetap berpikir bahwa rokok lebih memberikan manfaat bagi mereka. Pandangan mengenai rokok yang tidak berbahaya mungkin saja dapat ditemukan pada perokok lansia di Indonesia. Hal ini didukung dengan sejarah mengenai rokok di Indonesia yang menyebutkan bahwa rokok pada waktu itu dianggap sebagai bagian dari budaya, obat dan tidak berbahaya (Sukendro, 2007).

Adanya indikasi perbedaan pandangan antara rokok dulu dan sekarang menimbulkan pertanyaan apakah lansia perokok saat ini secara subyektif melihat adanya perbedaan pandangan tersebut? Keyakinan apakah yang lansia miliki saat ini terhadap rokok ?

IV.Nilai Penting Rokok Bagi Lansia

(44)

menentukan bagaimana seseuatu akan dianggap penting dan tidak. Berdasarkan hal tersebut tidak ada variabel yang lebih penting dari value (nilai) dalam motivasi serta pengambilan keputusan. Nilai dalam bahasa inggris memakai termvalue yang berarti menganggap bahwa sesuatu atau seseorang itu penting atau berharga (Oxford Dictionary, 2003).

Definisi yang lain adalah nilai merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia yaitu untuk mengindikasikan mengapa sesuatu menjadi penting, bernilai atau bermanfaat. Selain itu, nilai juga akan berdampak langsung pada bagaimana seseorang membuat prioritas dan membentuk keberadaannya di dunia. Nilai juga berperan untuk mengartikan ketertarikan, kepuasan, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban moral, kehendak, keinginan, tujuan, kebutuhan, dan keengganan (Rokeach, 1973; Rokeach,1968; Horton, Verena, & Armorel, 2007). Nilai juga akan menentukan cara seseorang memandang sesuatu baik atau buruk, bagaimana sebuah pengalaman dievaluasi atau dinilai (Higgins, 2003) mendasari berbagai variasi motivasi dan model pengambilan keputusan (Higgins, Freitas, Idson, Spiegel & Molden, 2003).

(45)

bahwa modifikasi yang dilakukan pada core values akan lebih efektif dalam merubah perilaku.

a. Proses Pembentukan Nilai dalam Diri Seseorang Berdasarkan

Pengalaman yang Dialami

Berdasarkan teori klasik, nilai tidak dapat dilepaskan dari prinsip kenikmatan. Jika berdasarkan pada prinsip ini maka individu akan mendekati kenikmatan dan menghindari rasa sakit atau hal-hal yang membuat tidak nyaman. Higgins et al (2003) mengatakan bahwa prinsip ini membuat motivasi dan pengambilan keputusan didasarkan pada hasil atau konsekuensi yang akan didapat (cost-benefit analysis).

Prinsip lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan terbentuknya nilai adalah regulatory fit (kecocokan) dan terpisah dari prinsip hedonik di atas. Berdasarkan prinsip ini, pengalaman akan menghasilkan dua hal yaitu kepuasan atau afek negatif dan kecocokan (regulatory fit). Nilai berasal dari daya tarik dari seberapa individu merasa cocok atau merasa feel right dengan aktivitas tersebut.

(46)

daripada keuntungannya. Hal tersebut dapat terjadi karena perasaan feel right ini akan mempengaruhi proses pembuatan keputusan, sikap, perubahan perilaku dan apa yang ditampilkan (Higgins, 2005) .

Hal yang mempengaruhi tingkat kecocokan adalah adanya penerimaan yang positif, adanya efektifitas dan kemudahan suatu informasi diterima. Kecocokan akan membuat sebuah pilihan menjadi prioritas dan yang lainnya menjadi pilihan yang kedua. Hal ini dikarenakan kecocokan mempengaruhi bagaimana sesuatu dipandang benar dan penting bukan hanya sekedar kebutuhan akan kepuasan (Higgins, 2003).

b. Nilai Penting Rokok Bagi Lansia

Lansia merupakan salah satu perokok aktif yang hidup dalam dua masa yang memiliki pandangan berbeda terhadap rokok. Rokok pada masa sebelumnya berfungsi sebagai obat dan dianggap sebagai perilaku yang wajar untuk dilakukan serta merupakan bagian dari budaya. Pada saat ini merokok dianggap sebagai sebuah perilaku yang sebaiknya tidak dilakukan karena berbahaya bagi kesehatan.

(47)

tetap mempertahankan perilaku merokoknya karena efek toleransi yang sudah ditetapkan oleh tubuh sehingga lansia mengalami kecanduan?

Selain faktor kecanduan mungkinkah karena rokok dianggap sebagai sesuatu yang bernilai bagi lansia. Hal ini mengingat bahwa nilai sendiri akan mendasari bagaimana sesuatu dapat dikatakan penting, bermanfaat atau berguna (Higgins et al, 2003). Jakob (2000) mengatakan juga bahwa sesuatu dapat dikatakan memiliki nilai apabila objek tersebut memiliki daya guna atau kualitas tertentu.

Peran penting dari nilai itulah yang mendasari munculnya pertanyaan mungkinkah lansia memiliki nilai tertentu terhadap rokok sehingga membuat lansia memutuskan untuk tetap merokok. Apakah nilai yang dimiliki oleh lansia terhadap rokok? Pertanyaan itulah yang akan menjadi fokus dari penelitian ini.

V. Pertanyaan Utama

(48)

VI. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana pengalaman pribadi subjek terhadap rokok ?

a.Bagaimana kebiasaan merokok subjek (frekuensi merokok, jenis rokok yang dihisap, kapan saja merokok dan berapa lama merokok) ?

b. Apa alasan subjek merokok dan bagaimana pengalaman pertama kali merokok dulu ?

c.Apa fungsi rokok bagi kehidupan subjek ?

d.Perasaan apa yang muncul jika merokok dan perasaan apa yang muncul apabila tidak merokok ?

e.Apa nilai rokok bagi kehidupan subjek ?

2. Representasi apa yang dimiliki subjek terhadap rokok ?

a.Bagaimanakah pandangan orang-orang terhadap rokok pada jaman dulu? b. Bagaimanakah orang-orang memandang bahaya rokok pada jaman dulu? c. Adakah larangan mengenai rokok seperti saat ini?

3. Bagaimana tanggapan subjek terhadap kampanye anti rokok saat ini ?

a.Bagaimana pengalaman subjektif subjek terhadap perbedaan pandangan terhadap rokok jaman dulu vs sekarang?

b.Bagaimana pandangan terhadap anjuran pemerintah saat ini untuk tidak merokok karena merugikan kesehatan ?

(49)

SKEMA TEORI

KETERANGAN:

: mempengaruhi : meliputi

: tahap selanjutnya

TAHAP PERILAKU MEROKOK

PERSIAPAN & INISIASI

MENJADI PEROKOK &

BERTAHAN

BERHENTI

Intensi

Sikap

Belief

Konteks Sejarah

Ketagihan

a. Model Nikotin b. Model Pengaturan

Afek

c. Model Kombinasi

Lingkungan

a. Kecemasan Sosial b. Pemaparan Stimulus c. Konteks Individu

Pemaknaan

a. Reperesentasi yang dimiliki

b. Value

(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

a. Jenis Penelitian

Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang nilai yang terkandung dalam rokok dan ingin mendeskripsikan bagaimana fenomena tentang rokok ini terjadi (Creswell, 1998; Hancock, 1998; Polkhorne, 2005; Smith, 2008).

Peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi karena memiliki kelebihan dalam memberikan gambaran tentang bagaimana sebuah fenomena terjadi tanpa bertitik tolak dari suatu teori atau gambaran tertentu serta menekankan unsur subyektif perilaku manusia (Creswell, 1998; Hancock,1998; Asmadi, 2004).

b. Fokus Penelitian

Penelitian ini menggambarkan bagaimana lansia memiliki penilaian tentang seberapa penting rokok bagi mereka. Peneliti menggunakan konsep value (nilai) untuk mengetahui seberapa penting rokok bagi lansia. Penggunaan konsep nilai dikarenakan nilai (value) merupakan sumber preferensi yang dimiliki individu. Nilai akan mengindikasikan mengapa sesuatu menjadi penting, bernilai atau bermanfaat. Nilai juga berperan untuk mengartikan ketertarikan, kepuasan, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban moral, kehendak, keinginan, tujuan, kebutuhan, dan keengganan (Rokeach, 1973; Rokeach,1968; Horton, Verena, & Armorel, 2007). Nilai juga

(51)

akan menentukan cara seseorang memandang sesuatu baik atau buruk, bagaimana sebuah pengalaman dievaluasi atau dinilai (Higgins, 2003), mendasari berbagai variasi motivasi dan model pengambilan keputusan (Higgins, Freitas, Idson, Spiegel & Molden, 2003). Nilai yang dimiliki lansia terhadap rokok berfungsi untuk melihat apakah sumber preferensi yang dimiliki lansia yang menentukan mengapa lansia tetap merokok.

c. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah lanjut usia yang merokok dengan batasan usia minimal 60 tahun (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998) di Kecamatan Turi. Proses pemilihan subjek menggunakan criterion sampling, yaitu mencari individu yang memiliki kriteria penting yaitu individu yang berusia minimal 60 tahun dan seorang perokok (Creswell, 1998; Polkinghorne, 2005). Pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan mewawancarai lansia yang sudah peneliti amati bahwa mereka sehari-hari merokok.

d. Metode Pengumpulan Data

(52)

e. Analisis Data

Analisis yang digunakan adalah analisis fenomenologis interpretatif. Analisis fenomenologis bertujuan untuk memahami isi dan kompleksitas berbagai makna yang terdapat dalam pengalaman subjek, bukan untuk mengukur frekuensinya. Proses analisis fenomenologis intrepertatif adalah sebagai berikut (Smith, 2008) : 1. Pengorganisasian Data

Pertama peneliti memindah hasil wawancara ke dalam bentuk verbatim. Peneliti kemudian membaca transkip verbatim tersebut berulang kali. Peneliti kemudian memilah apa yang menarik atau bermakna dari apa yang dikatakan subjek. Catatan-catatan yang berhasil didapat kemudian ditransformasikan ke dalam frase-frase singkat. Frase-frase singkat ini bertujuan untuk menangkap kualitas esensial dari apa yang ditemukan dalam teks.

2. Penentuan Tema dan Kategorisasi

(53)

dalam proses ini, topik-topik tertentu mungkin akan dibuang jika tidak sesuai dengan struktur yang ada atau tidak benar-benar kaya bukti di dalam transkip. 3. Interpretasi

Peneliti mencoba memahami tema-tema yang muncul dengan lebih mendalam. Tujuannya adalah agar peneliti dapat memberikan gambaran tentang struktur dan hubungan yang muncul pada masing-masing tema.

f. Keabsahan Data / Verifikasi Data

Setelah tahap-tahap analisis data maka perlu dilakukan verifikasi data yaitu dengan membagikan salinan deskripsi kepada subjek agar subjek dapat memberikan masukan atau pembetulan. Kemudian dari situ peneliti dapat merevisi kembali pernyataan sintesisnya. Proses ini disebut intersubjective validity, yaitu menguji kembali (testing out) pemahaman peneliti dengan pemahaman subjek melalui interaksi sosial timbal balik (back-and-forth) (Creswell, 1998).

(54)

No Aspek Pertanyaan Pertanyaan dalam bahasa Jawa 1. Data demografi a. Data Medis

b.Pekerjaan

c. Pendidikan

d.Usia

a.Apakah Anda memiliki suatu penyakit tertentu?

b.Apakah pekerjaan Anda saat ini?

c.Apakah pendidikan terakhir Anda?

d.Berapakah usia Anda saat ini?

a. Menapa Bapak nate gerah?

b. Menapa padamelanipun sakmenika?

c. Anggenipun sinau rumiyin tamatan menapa?

d. Yuswa panjenenganipun menawi sakmenika jangkep pinten ?

2. Pengalaman merokok subjek

1.Kebiasaan merokok a. Frekuensi merokok

b. Jenis rokok yang dihisap

c. Waktu merokok

d. Lama merokok

a. Berapa kali dalam sehari Anda merokok?

b.Biasanya jika merokok, rokok buatan sendiri atau pabrik ? c. Jika merokok pada saat-saat apa

saja?

d.Sudah berapa lamakah Anda merokok? Sejak kapan?

a. Ing salebetipun sedinten telas pinten anggenipun ngrokok? b. Menawi ngrokok biasanipun

mundhut napa nglinting? c. Menawi ngrokok pinuju

nembe menapa?

(55)

2.Rokok jaman dulu vs sekarang

Anda pertamakali merokok?

f. Apa alasan Anda merokok?

a. Apakah ada perbedaan antara rokok jaman dulu dengan sekarang?

b.Pada jaman dulu rokok sering digunakan dalam acara apa saja?

c. Bagaimanakah pandangan orang-orang terhadap rokok pada jaman dulu? Apakah ada larangan seperti saat ini? Bagaimanakah orang-orang memandang bahaya rokok pada jaman dulu?

pengalamanipun ngrokok ingkang wiwitan?

f. Menapa ingkang nyebabaken Bapak ngrokok kala rumiyin? a. Menapa wonten bentenipun

rokok jaman rumiyin kalih rokok jaman sakmenika ? b. Rikala jaman rumiyin rokok

asring kagem acara nunapa kemawon?

(56)

arti rokok tentang apa yang diinginkan terhadap rokok

2. Perasaan individu tentang apa yang diinginkan terhadap rokok

’rokok’ apa yang terlintas dalam pikiran Anda?

b.Apa tanggapan Anda terhadap anjuran pemerintah untuk tidak merokok karena merugikan kesehatan?

c. Apa fungsi rokok dalam kehidupan Anda?

d.Apa nilai penting rokok dalam kehidupan Anda?

a. Bagaimana perasaan Anda ketika merokok?

b.Bagaimana perasaan Anda jika semisalnya Anda tidak

tembung rokok menapa ingkang lajeng tuwuh ing penggalihan Bapak?

b. Menapa tanggapan Bapak dhateng aturan pamarintah menawi rokok dipun awis amargi ngrugekaken kasarasan?

c. Menapa ginanipun rokok wonten ing pagesangan Bapak?

d. Menapa pentinginpun rokok ing pagesangan Bapak?

a. Pripun penggalihanipun Bapak menawi pinuju ngrokok?

(57)

3.Tingkah laku

Tingkah laku merokok yang ditampilkan

a. Bisa diceritakan pengalaman Anda merokok selama ini baik dalam situasi sosial atau yang sifatnya pribadi !

b.Apa yang Anda lakukan selama ini untuk menyikapi bahaya rokok?

a. Saged dipun cariosaken kados pundi pengalamanipun Bapak anggenipun ngrokok ngantos sepriki! Pinuju sesarengan tiyang sanes utawi piyambakan?

(58)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan didaerah tempat tinggal peneliti sehingga peneliti mengetahui siapa saja lansia yang merokok dan tidak. Penelitian dilakukan di rumah subjek dengan menggunakan MP3 sebagai alat perekam. Tanggal dan waktu pelaksanaan penelitian dapat dilihat dalam tabel (terlampir). Subjek berasal dari desa Nganggrung (PN, PB, dan PJ), desa Dorjo (PBd), desa Jambusari (PK), desa Banyu Urip (PW) dan desa Garongan (PM). Karakteristik subjek lebih lanjut dapat dilihat dalam tabel karakteristik subjek penelitian. Wawancara dilakukan setelah subjek mengetahui tujuan dari penelitian ini dan setuju untuk diwawancarai.

Proses wawancara berlangsung dengan lancar. Jika subjek mengalami kesulitan untuk memahami pertanyaan peneliti maka anak atau saudara yang kebetulan ada di situ turut membantu untuk menjelaskan. Kesulitan tersebut muncul dikarenakan kesulitan mencari padanan kata yang tepat dalam bahasa Jawa. Selain itu untuk subjek yang memiliki latar belakang pendidikan kurang peneliti mengalami kesulitan pada saat menanyakan hal-hal yang bersifat abstrak. Oleh sebab itu kehadiran anak atau orang ketiga dalam wawancara sangat membantu.

(59)

B. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Subjek Penelitian Data

Linting Kretek tanpa

Sedang Ringan (dulu

(60)

2. Ringkasan Tema yang Muncul

No. Tema Sub Tema Isi

1. Pengalaman sosial merokok dimasa muda para perokok lansia (1940-an)

Pengguna rokok Perempuan, laki-laki, anak laki-laki merokok Respon atas perilaku

merokok

1. perilaku yang aman 2. anak laki-laki wajar

merokok

3. Larangan terbatas di instansi pendidikan Rokok sebagai alat sosial 1. acara adat

2. acara sosial 2. Pengalaman

merokok perokok lansia

Awal tertarik pada rokok 1.legitimasi orang tua 2.teman

3.pengalaman merasakan 4.tembakau pertama kali Berhenti sesaat 1. sakit

2. larangan dari sekolah Kambuh dan bertahan

hingga saat ini

1. lingkungan

2. mengganti jenis rokok Nilai penting rokok 1. alat sosial

2. modulator (fisik, afek, kognitif)

(61)

3. Pengalaman sosial merokok perokok lansia pada saat ini

Tanggapan terhadap perilaku dan larangan merokok saat ini

1.keputusan

pribadi/bebas,tidak dilarang tapi tidak diharuskan

3. rokok sebagai obat 4. merokok aman jika

disertai dengan perilaku tertentu 5. pandangan tentang

kecanduan

6. tidak percaya rokok berbahaya

Dampak rokok pada lingkungan sosial dan ekonomi

1. merokok ditempat umum menganggu 2. berdampak pada

kondisi perekonomian keluarga

3. Pengalaman Sosial Merokok Dimasa Muda Para Perokok Lansia (1940-an)

a. Pengguna Rokok

Merokok merupakan sebuah perilaku yang umum pada tahun ”1940-an” baik laki-laki maupun perempuan bahkan anak kecil merokok pada waktu itu. Subjek PW, PBd dan PN mengatakan hal ini. Mereka mengatakan jika pada waktu itu hampir semua orang merokok.

(62)

Subjek PN menambahkan bahwa pada waktu itu subjek juga merokok meskipun masih anak-anak. Hal ini ternyata juga dialami oleh subjek PW, PK, dan PBd.

Pada waktu kelas 3, 4, 5, 6 ada belajar bersama teman-teman itu. Ngomong-ngomong sambil belajar, ya nglinting rokok itu (PN (124-127)

4-5

).

b. Respon Atas Perilaku Merokok

Merokok pada waktu itu dianggap sebagai perilaku yang aman. Hal ini didukung dengan tidak adanya informasi mengenai kandungan zat-zat dalam rokok yang berbahaya bagi kesehatan. Para perokok waktu itu tidak mengetahui jika merokok akan membahayakan kesehatan mereka.

Bagi yang merokok ya ga tau itu berbahaya (PB (67-68)3).

Kurangnya informasi mengenai bahaya rokok mendukung tidak adanya larangan merokok pada waktu tersebut khususnya dari orang tua. Hal ini dikemukakan oleh ketujuh subjek.

Tidak ada larangan merokok kalau dulu. Itu aku masih di SR masih suka merokok (PW (185)6).

Selain tidak adanya larangan merokok dari orang tua, pada waktu itu ada keyakinan bahwa anak laki-laki seharusnya merokok. Hal ini diutarakan oleh subjek PK. Subjek PK mengatakan jika ayahnya yang berkata demikian.

Kalau anak laki-laki itu merokok...(PK (339-340) 11

)

(63)

subjek terpaksa berhenti merokok ataupun sembunyi-sembunyi jika ingin merokok. Subjek PW mengalami harus merokok sembari bersembunyi di sungai. Subjek PW juga terpaksa berhenti merokok ketika melanjutkan studinya di SGB.

Tidak boleh kalau disekolahan makanya kalau di SR Turi merokoknya di sungai. Tapi gurunya merokok. Pas SGB asrama, sama sekali tidak merokok karena tidak boleh (PW (220-224)7).

c. Rokok sebagai Alat Sosial

Rokok pada saat itu juga digunakan sebagai properti dalam acara adat atau acara sosial. Subjek PM, PBd, dan PN menjelaskan jika rokok biasanya dimasukkan dalam sesaji, tukon pasar atau ngirim. Ngirim merupakan aktivitas mendoakan arwah para leluhur di makam. Jika orang yang meninggal itu merokok maka selain bunga, rokok juga diikut sertakan sewaktu ngirim.

Kalau untuk sajen ya ada. Kalau untuk orang meninggal dunia ya ada. Kalau yang meninggal ngrokok ya disajeni rokok. Kalau kirim ke kuburan, menurut kepercayaan waktu itu ya (PM (270-277)9).

Subjek PN mengatakan hal yang serupa dengan subjek PM. Rokok pada waktu itu dimasukkan dalam sesaji dan dipakai untuk ngirim orang yang sudah meninggal di makam tempat dia disemayamkan.

(64)

leluhur kakung (laki-laki) dan putri. Itu butuh rokok dan butuh kinang (PN (173-182)6).

d. Kesimpulan Pengalaman Sosial Merokok Para Perokok Lansia

(1940-an)

Kesimpulan yang dapat diambil dari semua keterangan subjek adalah orang tua tidak melarang anaknya untuk merokok pada waktu itu. Institusi pendidikanlah yang berperan dalam mengendalikan perilaku merokok. Hal ini kemudian mendukung munculnya pandangan tertentu tentang rokok yaitu sebagai perilaku yang diterima oleh umum. Selain perilaku yang diterima oleh umum, pada saat itu ada anggapan jika anak laki-laki sudah sewajarnya merokok. Berkembangnya pandangangan tersebut didukung dengan kurangnya informasi mengenai bahaya rokok. Anggapan tentang merokok sebagai sebuah perilaku yang umum didukung oleh data demografi yang menunjukkan kebanyakan subjek mulai merokok sejak kecil.

4. Pengalaman Pribadi Merokok pada Perokok Lansia

a. Tahap Tertarik pada Rokok

(65)

a.1Legitimasi Orang Tua

Orang tua khususnya Bapak merupakan faktor utama yang mempengaruhi dalam kemunculan ketertarikan terhadap rokok. Sebanyak empat informan (PW, PJ, PK dan PN) mengatakan hal tersebut. Subjek PN menceritakan bahwa ia tertarik untuk merokok karena pada waktu itu Bapak subjek seorang kepala Dukuh sehingga banyak tamu yang datang ke rumah. Maka dari itu, Bapak subjek PN menyediakan rokok sebagai alat untuk mengakrabkan.

Simbah dulu, bapakku kan merokok. Karena Bapak saya jadi Kepala Dukuh banyak tamu. Jadi rokok merupakan alat komunikasi, pergaulan, alat penyapa. Bisa berarti keakraban (PN (19-25)1).

Subjek PW dan PJ tertarik merokok karena melihat Bapak mereka masing-masing merokok. Hal ini membuat mereka menjadi tertarik untuk menyicipi rokok.

Saya melihat orang tua saya merokok, kok melihat kadang-kadang ikut (PJ (204)

7

).

Bahkan, subjek PK tertarik merokok karena Bapak subjek sendiri yang mengajari dan melatihnya. Bapak subjek membuatkan subjek rokok lintingan untuk kemudian dihisap oleh subjek.

Kalau dulu suka dibuatin lintingan sama bapak....Ya dilatih lha diajari (PK (18-20)

1

).

a.2 Teman

(66)

Ya apa ya agak gengsi. Kalau merokok itu seperti gagah, kayak gagah (PB (73-76)3).

a.3 Pengalaman Merasakan Tembakau Pertamakali

Faktor yang lain adalah pengalaman pertama kali merasakan tembakau yang sangat berkesan sehingga menimbulkan keinginan untuk mencoba lagi.

Pastur itu suka membawa tembakau silok, yang lembut dan harum. Ditinggali ya dicoba, enak banget, masih jaman penjajahan Belanda. Pastur, kedatangan Pastur. Pastur suka membawa tembakau dengan kertas yang enak banget, masih ingat saja aku (PW (200-206)7).

b. Tahap Berhenti Sesaat

Sebanyak lima dari ketujuh subjek pernah mengalami fase berhenti merokok. Dua orang berhenti karena sakit sedangkan sisanya karena larangan dari institusi pendidikan.

Tidak boleh kalau disekolahan makanya kalau di SR Turi merokoknya di sungai. Tapi gurunya merokok. Pas SGB asrama, sama sekali tidak merokok karena tidak boleh. Ya pas mengajar di Gunung Kidul merokok, karena lingkungan (PW (220-225)7).

Dua subjek yang lain yaitu PB dan PJ. Subjek PB dan subjek PJ pernah berhenti merokok karena sakit. Keduanya sama-sama menderita sakit pernapasan yang membuat harus berhenti merokok.

(67)

Pada tahap ini, faktor yang berperan adalah kondisi kesehatan perokok. Kondisi kesehatan yang tidak mendukung membuat perokok terpaksa berhenti merokok. Faktor yang lain yaitu adanya tuntutan dari lingkungan. Tuntutan ini berupa larangan yang ditetapkan institusi pendidikan. Para perokok memilih untuk berhenti untuk memenuhi tuntutan yang diberikan oleh institusi tempat mereka bersekolah.

c. Kambuh dan Bertahan Hingga Saat Ini

Setelah mengalami tahap berhenti ternyata mereka kembali merokok. Sebanyak tiga subjek merokok kembali karena faktor lingkungan.

Waktu sekolah dikota sama sekali tidak merokok. Merokok lagi pada waktu ngajar di Gunung Kidul. Lingkungan merokok semua.Merokok lagi tapi rokok lintingan, jadi disitu terbiasa merokok (PW (187-191)6).

Beberapa perokok mengalami fase perubahan jenis rokok yang dihisap. Hal ini dialami oleh subjek yang berhenti karena sakit. Mereka mengalami perubahan jenis rokok yang dihisap dari rokok kretek tanpa filter menjadi berfilter.

Kalau sekarang Bapak rokoknya apa? Ya yang filteran seperti A-Mild, LA Light. Kalau dulu rokoknya apa, Pak? Ya Djarum, Dji Sam Soe, Gudang Garam (PB

(203-208)8).

(68)

tengah tersebut yaitu mengganti jenis rokok dengan rokok berfilter dan mengurangi jumlah rokok yang dihisap.

d. Pentingnya Rokok Bagi Subjek

Nilai penting rokok bagi subjek mempengaruhi bagaimana perilaku merokok menetap selain karena faktor biologis (kecanduan). Rokok bagi subjek berfungsi sebagai alat sosial dan memiliki fungsi dalam situasi sosial. Fungsi rokok dalam situasi sosial adalah sebagai praja dan alat untuk menunjukkan kepedulian terhadap yang lain. Selain itu, rokok juga berfungsi sebagai alat pergaulan serta mengakrabkan. Rokok juga memiliki fungsi untuk menunjukkan kelas sosial si perokok. Kelas sosial tersebut terlihat dalam jenis rokok yang dipilih untuk dihisap. Fungsi rokok yang lain adalah sebagai penanda kondisi tubuh sekaligus modulator. Modulator yang dimaksud disini adalah sebagai perantara untuk mendapatkan kondisi tertentu.

d.1 Modulator Afek

d.1.1 Menambah Kenikmatan

(69)

...Aku kalau merokok kalau pagi setelah minum mau berangkat kerja, kalau bangun tidur merokok aku tidak berani. Lalu kalau sesudah bekerja...(PBd (39-43)

2

).

Kebiasaan merokok setelah makan juga menunjukkan jika rokok digunakan untuk menambah kenikmatan. Empat subjek mengatakan jika mereka merokok setelah makan.

Lha itu sesudah makan, paling enak. Sebelum makan ngrokok ya ga enak ( PM (118)4).

Subjek PW juga mengatakan hal yang serupa bahwa merokok memberikan kenikmatan.

Ya kalau dirasa-rasakan ya itu kenikmatan (PW (50)2).

d.1.2 Bersemangat

Kondisi yang lain adalah menjadi bersemangat kembali. Subjek PM, PJ dan PBd mengatakan jika dengan merokok membuat mereka menjadi bersemangat.

Lebih semangat, jadi ya hampir sama dengan orang yang minum (PM (262)9).

Perasaan menjadi lebih bersemangat disebabkan karena rasa capek yang berkurang. Rasa capek yang berkurang ini sebagai akibat dari merokok.

Lha terus capeknya agak berkurang terus jadisemangat (PJ

(126-127)5).

(70)

berkaitan untuk menghilangkan rasa bosan seperti yang subjek PB katakan.

....Biasanya ya pas, nganu itu nganggur, melamun, seperti hilang rasa bosennya....( PB (101-102)4).

d.2 Modulator Fisik

d.2.1 Penanda Kondisi Tubuh

Pentingnya rokok bagi subjek yaitu sebagai penanda kondisi tubuh. Hal ini dapat dilihat pada saat sakit, mereka akan memilih untuk tidak merokok. Sebanyak dua subjek yaitu PW dan PBd mengatakan hal ini. Subjek PW beralasan karena rasa rokok menjadi tidak enak jika dalam keadaan sakit.

Kalau lagi sakit, ya tidak merokok, rasanya tidak enak. (PW (38)2).

Bagi subjek PBd rasa tidak enak itu menjadi indikator bahwa subjek dalam keadaan tidak sehat.

...Jadi kalau merokok rasanya sudah tidak enak aku langsung tahu wah ini badannya tidak enak. Kalau pas seperti itu, aku tidak merokok... (PBd (137- 142)5).

Subjek PBd akan terlihat tidak sehat jika tidak merokok. Tidak sehat yang dimaksud disini adalah terlihat tidak segar walaupun sebenarnya subjek merasa baik-baik saja.

Tapi katanya kalau aku tidak merokok terlihat pucat (PBd (

91)3).

(71)

Tapi kalau rasane enak, awake sehat tapi kalau merokok terus rasanya nggliyer itu tanda kalau badan tidak sehat (PW (88-90)3).

Berdasarkan semua pernyataan subjek dapat disimpulkan jika rokok merupakan sebuah sistem peringatan dalam tubuh untuk menunjukkan kondisi tubuh dalam keadaan sehat ataukah tidak.

d.3 Modulator Kognitif

Rokok juga berperan sebagai modulator untuk mendapatkan kondisi kognitif tertentu misal mendapat ide, menghilangkan kejenuhan, atau agar tetap fokus. Hal ini terlihat dari pernyataan subjek PM dan PJ. Mereka mengatakan pada saat bekerja keras maka akan merokok semakin banyak. Hal ini dialami subjek PM dulu ketika subjek harus bekerja keras untuk membiayai anak-anaknya yang sudah besar. Berbeda dengan saat ini, ketika subjek sudah selesai membiayai anak-anaknya tersebut, subjek mulai mengatur perilaku merokoknya. Subjek beralasan karena sudah tidak bekerja terlalu keras lagi sekarang.

....Kalau kerja keras ya ingin ngrokok..(PM (90)2)... Saya

sekarang tidak kerja keras kerjanya...( PM (102-103)4).

Bagi Subjek PJ definisi bekerja dengan keras adalah situasi ketika subjek memiliki banyak pekerjaan. Hal ini kemudian memicu perilaku merokok.

Referensi

Dokumen terkait

Suatu ruang vektor adalah suatu himpunan objek yang dapat dijumlahkan satu sama lain dan dikalikan dengan suatu bilangan, yang masing-masing menghasilkan anggota lain

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah